Selasa, 30 Desember 2008

Kaos Oblong: Petanda yang Hilang

Oleh: Haris Firdaus

Hubungan manusia dengan pakaian yang dikenakannya bukan hanya sebatas hubungan fungsional. Pakaian memiliki nilai-nilai kultural tertentu yang berpengaruh terhadap kebudayaan manusia. Sejarah kemunculan kaos—yang dimulai pada akhir abad 19—membuktikan bahwa relasi manusia dengan pakaian adalah relasi kultural yang kadangkala melibatkan ketegangan tubuh manusia.

Seperti pernah ditulis Antariksa (2001), kaos atau kaos oblong yang hari-hari ini dipakai banyak orang di manapun sebagai “pakaian luar”, pada mulanya adalah sesuatu yang dinisbatkan sebagai “pakaian dalam”. Fungsi kaos sebagai pakaian luar baru bisa tersebar ke seluruh dunia tatkala John Wayne, Marlon Brando, dan James Dean mengenakan kaos sebagai pakaian luar di dalam film-film yang mereka bintangi pada tahun 1950-an.

Meski mulai diperkenalkan sebagai pakaian luar, kaos tak serta merta diterima. Pada tahun-tahun itu, konvensi mode dunia masih beranggapan bahwa kaos tetap merupakan “pakaian dalam”. Oleh karenanya, mengenakan kaos, ditilik dari konvensi mode dunia kala itu, adalah sesuatu yang “unfashion”.

Namun, justru konvensi macam inilah yang melambungkan kaos. “Kelompok-kelompok anak muda pemberontak” segera saja mengadopsi kaos sebagai bagian dari identitas diri mereka. Sebagai anak-anak nakal yang mengangankan diri mereka menjadi orang yang keluar dari norma sosial yang ada, sejumlah kelompok seperti punk kemudian ramai-ramai mengenakan kaos—yang disobek lengannya—sebagai sebentuk penolakan sekaligus resistensi terhadap konvensi mode dunia.

Di sinilah “rekam jajak” soal ketegangan itu terlihat. Ketika sejumlah anak muda yang menolak konvensi mode dunia ramai-ramai memakai kaos, mereka pada dasarnya sedang melakukan “pembebasan”, merayakan “otonomi” mereka atas tubuh dan gaya pakaian mereka sendiri. Kaos, oleh karena itu, adalah sebentuk lambang yang merepresentasikan “kebebasan”.

Pesan Terbuka
Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kaos mulai diterima sebagai pakaian luar. Ia mulai dikenakan di mana-mana secara terbuka. Yang unik, kaos bukan hanya menjadi pakaian yang membalut tubuh tapi juga sebuah medium tempat menyampaikan pesan secara terbuka. Sejak beberapa tahun lampau, kita bisa melihat kaos digunakan untuk menyampaikan berbagai pesan demi kepentingan politik, iklan, atau identitas tertentu.

Dalam perkembangannya, tren kaos sebagai media penyampai pesan juga kadang kian membingungkan. Sebab, pesan-pesan yang dikandungnya makin tak mudah dipahami. Kini—seperti dicontohkan Antariksa—misalnya, kita bisa menemukan seorang ibu muda memakai kaos bertuliskan “Bitch” sambil menggandeng anaknya. Atau, kita juga sering melihat anak-anak muda yang di kaos yang mereka pakai tertulis pesan-pesan seram seperti “Panitia Hari Kiamat”, “Penghuni Neraka Nomor Satu”, atau “Buronan Mertua”.

Dalam logika identitas, segala hal yang kita pakai adalah sesuatu yang ingin kita komunikasikan. Dan, sesuatu yang ingin kita komunikasikan berarti merupakan sesuatu yang hendak kita ambil sebagai “penanda” kita. Kita ingin orang lain melihat, memahami, dan menilai diri kita melalui penanda tersebut. Kalau segala hal di dunia ini mesti melewati representasi, maka tiap orang memang hanya bisa dilihat melalui penanda yang ia komunikasikan. Artinya, orang lain akan selalu melihat diri kita dari penanda yang kita kenakan. Mereka tak akan pernah mampu secara simultan menilai “kesejatian diri” kita tanpa melewati tahap pemaknaan terhadap penanda kita.

Kaos ada dalam fungsi sebagai penanda itu. Ia merupakan pakaian yang mengandung teks terbuka dan gamblang. Orang akan mudah membaca pesan pada kaos yang kita kenakan. Mereka akan menilai kita dari pesan itu dan kita pun lazimnya menginginkan hal yang demikian.

Namun, dalam contoh kasus ibu muda yang menggunakan kaos bertuliskan “Bitch”, benarkah logika penanda-petanda yang konvensional ala Saussure masih berlaku? Benarkah sang ibu yang sedang menggandeng anaknya itu ingin diidentikkan atau dipandang dan dinilai sesuai dengan petanda yang ada di balik kata “bitch”? Atau jangan-jangan, sang ibu tak memahami arti kata “Bitch” dalam Bahasa Inggris?

Saya kira persoalannya bukan ada dalam pemahaman bahasa. Kata “Bitch” sudah terlampau akrab di telinga kita dan lagi, dalam contoh yang selanjutnya, di mana seorang pemuda memakai kaos bertuliskan “Penghuni Neraka Nomor Satu”, kendala bahasa tak lagi berlaku. Dalam misal yang kedua itu, sang pemuda tentu memahami apa itu “neraka” dan apa artinya menjadi “penghuni neraka nomor satu”. Lalu, benarkah ia—melalui kaos yang dikenakannya—hendak menyampaikan bahwa dirinya adalah orang yang akan menjadi penghuni neraka pertama kali?

Menurut saya tidak. Si ibu yang memakai kaos bertuliskan “Bitch” ataupun sang pemuda yang mengenakan kaos dengan tulisan “Penguni Neraka Nomor Satu” tak benar-benar ingin dilihat sesuai dengan pesan tertulis yang ada dalam kaos mereka. Dalam kasus macam ini, saya kira, kita mesti melihat adanya fenomena “terlepasnya petanda dari penanda”. Pada misal tersebut, kita mungkin tak lagi bisa melihat kaos sebagai penanda yang memiliki petanda. Kaos yang bertuliskan “Bitch” atau “Penghuni Neraka Nomor Satu” bukan lagi sebuah simbol dengan makna yang pasti di sebaliknya.

Pembuat Perbedaan
Saya menduga, tujuan utama pemakaian kaos model begitu bukan lagi untuk menyampaikan pesan denotatif sesuai dengan tulisan yang ada tapi sekadar supaya mereka “terlihat berbeda”. Jadi, ketika seorang pemuda memakai kaos bertuliskan “Penghuni Neraka Nomor Satu” misalnya, ia tak sedang ingin benar-benar dianggap sebagai penghuni neraka pertama kali. Motif pemuda itu, saya kira, hanyalah agar dirinya terlihat berbeda di hadapan orang lain.

Kejadian macam ini bisa dijelaskan melalui logika diferensiasi yang pernah diperkenalkan Jean Baudrillard tatkala menganalisa proses mengonsumsi dalam masyarakat konsumer. Baudrillard menyebut, di dalam masyarakat konsumer, konsumsi digerakkan semata-mata menuruti logika diferensiasi: artinya, konsumsi dilakukan guna menegaskan perbedaan-perbedaan tertentu. Proses mengonsumsi bukan lagi menjadi proses pemenuhan kebutuhan, tapi proses penegasan perbedaan.

Sebuah barang dikonsumsi bukan karena ia bisa memenuhi kebutuhan real sang konsumer tapi karena ia bisa memberikan semacam “perbedaan” pada si empunya sehingga sang konsumer menjadi terlihat “berbeda” dengan orang lainnya. Di sinilah prestise, gaya hidup, atau kelas sosial, kemudian ditegaskan.

Bagi saya, logika diferensiasi dalam konsumsi itulah yang juga sedang menjangkiti sebagian kita tatkala memakai atau mengonsumsi kaos. Apalagi, laku memakai kaos sebenarnya juga merupakan bagian dari proses konsumsi. Tujuan yang menggerakkan sebagian manusia tatkala mengonsumsi kaos bukanlah motif menegaskan identitas tertentu yang secara denotatif tergambarkan melalui teks yang ada dalam kaos yang ia kenakan. Yang menggerakkan proses mengonsumsi itu, bisa jadi, hanyalah sebuah hasrat untuk berbeda.

Di sinilah “rekam jajak” tentang ketegangan tubuh manusia kembali terlihat. Ketika kaos telah beralih dari medium “penyampai pesan” menjadi alat “pembuat perbedaan”, sebenarnya pemaknaan atas tubuh pun menjadi berlainan. Tubuh manusia, bukan lagi sekadar sarana dengan mana sebuah identitas yang “relatif stabil” ditegaskan, tapi sebuah medium tempat perbedaan disemai. Dan, kalau dulu perbedaan itu berkait dengan soal identitas tertentu, kini perbedaan itu mungkin saja tak ada kaitannya sama sekali dengan soal “identitas”, terutama dalam pengertiannya yang lumrah.

Dengan kata lain, perbedaan itu adalah sesuatu yang sama sekali tak stabil: ia akan segera beralih rupa tatkala ada kehadiran liyan yang mengancam perbedaan yang ia “kenakan”. Konkretnya, perbedaan yang ingin diperlihatkan itu tidak lagi dilakukan demi sesuatu yang lebih besar. Perbedaan disemai semata-mata hanya karena seorang manusia ingin terlihat “berbeda”. Di sini, satu-satunya identitas yang akhirnya muncul adalah perbedaan itu sendiri.

(Dimuat di Majalah Gong Edisi 105/IX/2008)

Menguak Potensi Wisata di Sukoharjo

Oleh: Heri Priyatmoko

Dua tahun terakhir Pemerintah Kabupaten Sukoharjo mempercantik Solo Baru untuk kawasan wisata. Di Kota tersebut, Solo Baru menjadi salah satu magnet para pelancong. Selain memiliki wisata kuliner, ada wisata air Pandawa yang elok. Namun, dinamika pariwisata lokal di Sukoharjo masih cenderung statis. Padahal, ada banyak aset wisata yang khas, yaitu wisata sejarah dan ritual. Sayangnya, publikasi hal itu belum luas.

Ada Pesanggrahan Langenharja di dekat Solo Baru. Tempat itu merupakan peninggalan Keraton Surakarta yang dulunya untuk beristirahat keluarga raja. Bangunan unik itu pernah menjadi lokasi pembuatan sinetron. Pesanggrahan itu memiliki pemandian air hangat yang airnya dipercaya berkhasiat menyembuhkan penyakit kulit.

Ada pula sisa Keraton Kartasura. Keraton yang luluh lantak dalam peristiwa "Geger Pecinan" itu adalah situs penting dalam sejarah Kota Solo. Situs peninggalan Keraton Kartasura lainnya, Gunung Kunci dan Segarayasa (sekarang Lapangan Gunung Kunci), pada masanya berfungsi sebagai tempat hiburan raja (taman sari atau kebon rojo). Terdapat pula petilasan Pajang di Makamhaji yang menyimpan cerita tokoh legenda Joko Tingkir. Pendiri petilasan itu pada 1993 adalah Paguyuban Amarsudi Petilasan Kasultanan Karaton Pajang.

Sukoharjo juga mempunyai obyek wisata ziarah yang menarik. Misalnya, makam Ki Ageng Balak, Ki Ageng Sutawijaya, Ki Ageng Purwoto Sidik, BRAy Sedah Mirah, Banyubiru, Majasto, dan Taru- wangsa, yang tersebar di beberapa tempat. Masyarakat sekitar meyakini orang yang dimakamkan di situ adalah tokoh-tokoh pada era Kerajaan Mataram Islam.

Bagi masyarakat Jawa khususnya, mereka tidak dapat meninggalkan aktivitas ritual karena bagian dari tradisi. Kedatangan mereka dianggap sebagai sowan leluhur, bahkan dianggap sebagai ibadah. Pengunjung pemakaman itu selalu ramai setiap bulan Suro, Ruwah, dan malam Jumat Kliwon.

Memiliki segudang obyek wisata seperti itu, Pemkab Sukoharjo seharusnya mampu memberdayakannya. Pasalnya, di wilayah lain seperti Kudus dan Gresik, wisata sejarah dan ziarah menjadi primadona dan penopang pendapatan asli daerah. Selain itu, obyek wisata berfungsi sebagai penguatan citra daerah.

Tanpa mengelola semua potensi itu secara maksimal dan menjalankan strategi pemasaran yang jitu, pariwisata Sukoharjo akan tertidur semakin lama. Tertidur dan terlelap. Artinya, Sukoharjo tertinggal dari daerah lain yang gencar menjual aneka potensi daerahnya. Jika hal itu terjadi, Sukoharjo bakal rugi.

Ingat, promosi pariwisata yang andal mampu mendorong pening- katan lapangan kerja yang memadai. Pariwisata turut menggenjot kegiatan ekonomi produktif mulai dari kerajinan, makanan, transportasi, akomodasi, dan lain sebagainya.

Jadi, Pemkab Sukoharjo janganlah menyia-nyiakan "tambang emas" tersebut.

Dimuat di Kompas Jateng, Selasa, 16 Desember 2008

Buku, Televisi, Selebritas

Oleh: Bandung Mawardi

Siapa masih khusyuk mengonsumsi berita, cerita, derita selebritas di televisi? Televisi masih jadi kiblat hidup orang-orang Indonesia. Selebritas terus jadi “sumur tak pernah kering” untuk godaan tak usai. Penonton televisi mendapati sihir untuk menikmati lakon hidup selebritas dari perkara aib sampai mimpi. Acara-acara mengenai selebritas adalah godaan genit untuk penonton sejak pagi hari sampai larut malam.
Kritik dan protes tak bisa mempan untuk membunuh atau mengurangi acara dengan lakon-lakon selebritas. Acara tentang selebritas mungkin adalah ruh untuk hidup dan mati televisi. Penonton pun terus khusyuk menonton televisi. Neil Postman (1995) dalam kritik keras mengungkapkan bahwa ibadah menonton televisi adalah tindakan “menghibur diri sampai mati”. Garin Nugroho juga dengan kritis dalam buku Seni Merayu Massa (2005) mengajukan tanya: “Televisi, musuh di ruang keluarga Indonesia?”
* * *
Bagaimana perkara selebritas mendapati analisis kritis dalam sorotan studi kebudayaan populer atau cultural studies? Ignatius Haryanto memberi paparan kritis dalam buku Aku Selebriti Maka Aku Penting (2006). Judul buku ini merupakan plesetan dari adagium Descartes: Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada). Judul buku ini mengisyaratkan kegeraman dan kegemasan terhadap selebritas, televisi, dan penonton di Indonesia. Buku ini masuk dalam genre studi kebudayaan populer dalam sorotan cultural studies. Jenis-jenis buku ini memang ramai di dunia perbukuan Indonesia sejak tahun 2000-an sebagai acuan untuk membaca lakon kebudayaan populer mutakhir.
Ignatius Haryanto dalam bab “Aku Selebriti maka Aku Penting”, “Infotainment: Pengingkaran Fungsi Informasi?”, dan “Pekerja Infotainment, Profesionalisme, dan Etika” secara gamblang mendedahkan sisi gelap dan ironi dalam acara televisi dengan lakon dan komoditi selebritas. Inilah refleksi Ignatius Haryanto: “Dunia ini seolah extravaganza dengan parade keriuhan tanpa henti, di mana artis cantik dan ganteng satu persatu bermunculan, membentuk barisan tanpa putus. Kita pun dihibur dan dihibur dan dihibur.”
Kritik atas acara hiburan televisi memang tidak pernah absen meski tak ada tanda perubahan secara signifikan. Kritik justru mendapati jawaban mencengangkan bahwa acara-acara hiburan dan selebritas semakin bertambah dan digandrungi penonton. Logika untuk membenahi kualitas acara televisi kerap ambruk oleh kepentingan kapital, rating, atau apa saja.
Kritik muncul karena ada gelagat dan fakta bahwa acara-acara di televisi adalah senjata mencari uang dengan “mengutuk” penonton sebagai umat dan korban. Acara infotainment, sinetron, talk show, kuis, atau reality show dengan kiblat selebritas kerap mengantarkan penonton pada tabrakan etika, humanisme, spiritualitas, intelektualitas, dan kesadaran rasionalitas. Acara-acara televisi memang menjadi “menu lezat tapi mematikan.”
* * *
Buku-buku tentang budaya populer atau cultural studies pantas jadi referensi untuk membaca dan menilai pelbagai program acara televisi dan sihir selebritas. Sekian buku-buku terjemahan: Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (2003) oleh Dominic Strinati, Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan: Lanskap Konseptual Cultural Studies (2003) oleh John Storey, Cultural Studies: Teori dan Praktik (2005) oleh Cris Barker, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (2007) oleh John Storey, dan Media dan Budaya Populer (2008) oleh Graeme Burton. Muatan dalam buku-buku itu reflektif, provokatif, dan kritis untuk jadi bekal membaca televisi dan selebritas.
Penerbitan buku-buku itu merepresentasikan antusiasme publik pembaca dalam menyusun argumentasi untuk melancarkan kritik atas lakon-lakon televisi. Yasraf Amir Piliang dalam buku Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika (2004) mengungkapkan: “Televisi adalah kotak jiwa yang mengandung pelbagai citra semu, rayuan palsu, dan simulakrum realitas.” Penonton sebagai umat setia bakal diarahkan untuk melakukan “bunuh diri” rasionalitas.Kritik terhadap televisi memang memuat daftar panjang serangan dan senjata. Bagaimana kritik untuk lakon televisi hari ini?
Gosip selingkuh, perceraian, kekerasan, pesta, pacaran, atau bualan dari kaum selebritas terus mengalami pembesaran dan pelipatgandaan sebagai informasi dan hiburan dalam program-program televisi di Indonesia. Kritik dalam bentuk esai atau artikel di media massa cetak dan penerbitan buku mungkin sekadar tanda seru kecil karena tak sanggup meruntuhkan iman pembuat program acara televisi dan penonton televisi?
Selebritas pada hari ini adalah lakon menggemaskan dan mengenaskan dalam acara-acara televisi. “Aku selebritas maka aku penting” menjadi fakta dan tanda seru untuk nasib penonton. Negeri dengan rakyat yang suntuk dan repot memikirkan selebritas adalah negeri ironi dan tragedi. Siapa mau percaya dengan ungkapan provokatif Jean Baudrillard (1983): “Televisi lebur dalam kehidupan dan kehidupan lebur dalam televisi?” Begitukah?

Dimuat di Suara Merdeka (28 Desember 2oo8)

Jumat, 12 Desember 2008

Bedah Buku Belanja

Kawan-kawan semua, silakan hadir dalam acara ini! Gratis!

Kabut Institut (Pusat Studi Sastra, Agama, Filsafat, dan Kebudayaan) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMAKOM) FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo akan menggelar Diskusi dan Bedah Buku "Saya Berbelanja Maka Saya Ada" karya Haryanto Soedjatmiko pada

Waktu: Senin, 15 Desember 2008
Pukul: 09.00 WIB-selesai
Tempat: Ruang MAP FISIP UNS, Jalan Ir Sutami No. 36 A Solo
Pembicara: Haryanto Soedjatmiko (Penulis Buku), Prahastiwi Utari, Phd (Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNS), dan Haris Firdaus (Pegiat Kabut Institut).

Terima kasih atas perhatiannya.

Ttd
Direktur Kabut Institut
Ridho Al Qodri
(http://kabutinstitut.blogspot. com)

Rabu, 10 Desember 2008

Habis Sawah Terbitlah Rumah

Oleh: Bandung Mawardi

Kecamatan Colomadu secara geografis dilingkupi oleh Solo, Sukoharjo, dan Boyolali. Colomadu menjadi lalu lintas strategis dari mobilitas orang, nilai, dan barang. Letak geografis itu menentukan nasib Colomadu sebagai ruang hunian dan ruang kerja untuk hidup. Keterpisahan dengan induk Kabupaten Karanganyar membuat Colomadu cenderung memiliki jarak dengan wacana dan kebijakan dari pusat kabupaten.
Colomadu saat ini adalah representasi dari ungkapan “habis sawah terbitlah rumah”. Ungkapan itu mengabarkan nasib sawah yang habis untuk realisasi investasi dan bisnis perumahan. Hamparan sawah terus turun secara drastis menjelma jadi rumah.
Sawah sebagai sumber penghidupan oleh petani mendapati godaan dalam bentuk bisnis rumah dan uang. Laku tragis pertanian terkadang menjadi penentu karena sawah sudah jarang memberi kepastian hidup dalam kalkulasi pendapatan dan kebutuhan. Hasil dari sawah rentan dengan kerugian karena faktor alam, faktor manusia, dan faktor kebijakan pertanian dari pemerintah. Petani perlahan kehilangan hubungan lahir-batin dengan sawah karena kebutuhan-kebutuhan hidup kurang bisa dipenuhi dari lahan sawah.
Pewarisan laku pertanian pun mengalami kemerosotan karena generasi-generasi lanjutan cenderung memilih lahan kerja di kota dalam pelbagai sektor. Sawah terlupakan dan mengalami perubahan makna dari lahan tanaman menjadi lahan uang. Perubahan makna sawah ini adalah tanda seru dari arus masyarakat modern. Sawah tidak untuk menanam padi, jagung, atau tebu tapi sawah untuk menanam modal. Sawah memiliki arti karena uang dan bukan karena panenan dari tanaman. Sawah jadi komoditi untuk merubah nasib dan mengikuti lakon-lakon modern dengan kecenderungan konsumsi ketimbang produksi.
Sepuluh tahun terakhir lahan sawah di Colomadu mulai mengalami metamorfosa menjadi rumah. Hamparan sawah dengan tanaman dan penampilan sosok petani mulai kurang atau hilang. Puluhan pengembang mulai mengerjakan sawah menjadi lahan untuk mendirikan rumah sebagai komoditi. Petani menerima uang dalam jumlah besar dari penjualan sawah untuk pemenuhan pelbagai kebutuhan dan keinginan. Pengembang membeli sawah untuk memanen uang dalam jumlah besar dengan “menanam” rumah.
Puluhan kompleks perumahan dengan pelbagai kelas sekarang tampak berdiri di lahan-lahan bekas sawah. Pemahaman ruang geografis dengan cepat mengalami perubahan definisi dan epistemologi-kultural. Sawah sebagai ruang untuk tanaman sebagai lahan hidup dan harmonisasi alam (ekologi) sudah hilang. Sepuluh tahun lalu orang masih mungkin melihat sawah sebagai pemandangan dan menghirup udara segar ketika jalan-jalan pagi hari. Kisah itu sudah berakhir karena tanaman semen (rumah) membuat pemandangan jadi sumpek dan udara segar jadi rebutan.
Risiko-risiko dari “habis sawah terbitlah rumah” mulai jadi perkara pelik dan dilematis. Pembangunan perumahan memang dampak dari pertambahan jumlah penduduk atau pelebaran ruang kota. Papan (rumah) adalah syarat hidup. Apakah suatu keharusan membangun perumahan di atas lahan sawah? Pertanyaan ini dilematis karena memang lahan untuk rumah semakin sempit. Pilihan membangun di atas lahan sawah tentu menimbulkan efek besar. Lahan sawah adalah lahan produktif untuk hidup manusia dan ekologi. Pembangunan perumahan justru menguburkan peran lahan itu dengan pemunculan tanah sebagai sekadar komoditi bisnis.
Risiko nilai pun muncul dari ekspansi pembangunan perumahan di Colomadu. Parameter hidup mengalami perubahan dalam sisi permukaan dan sisi dalam. Kehidupan dalam kompleks perumahan kerapa berhadapan dengan normativitas kehidupan dusun atau kampung. Anutan perbedaan nilai terkadang konfrontatif atau koeksistensi. Perbedaan itu jadi pemicu transformasi sosial karena interaksi dan komunikasi niscaya terjadi sesuai dengan konvensi kehidupan administratif dan laku sosial di pedesaan.
Perubahan parsial mulai tampak dari pakaian-penampilan, kepemilikan kendaraan, desain-arsitektur rumah, dan kehadiran pos satpam. Pakaian adalah identitas. Perbedaan dalam representasi identitas ini mengalami transformasi dari perumahan ke dusun. Kendaraan adalah representasi kelas sosial dan mobilitas hidup. Kepemilikan mobil atau sepeda motor memicu ada eksplisitas perbedaan kelas sosial dan pola pendapatan-konsumsi. Jalan-jalan desa mulai ramai dengan sliweran kendaraan penghuni perumahan.
Perumahan identik dengan desain-arsitektur mutakhir atau modern sebagai tanda perbedaan dari arsitektur rumah-rumah kampung. Homogenisasi pun mendominasi kehadiran kompleks-kompleks perumahan sesuai tipe dan kelas sosial. Praktik transformasi pun terjadi dengan peniruan pada rumah-rumah di kampung meski tetap menjadi suatu perbedaan yang ganjil. Letak kompleks perumahan yang kerap terpisah dari pemukiman dusun jadi penegasan ada perbedaan dengan batas-batas geografis. Pemisahan itu pun mengandung perbedaan nilai dengan risiko ada stigma terhadap penghuni perumahan. Stigma itu adalah “rumah di dalam rumah tapi terpisah”. Perumahan hadir di desa tapi tak menjadi atau lebur dalam desa.
Risiko kentara “habis sawah terbitlah rumah” adalah kehadiran pos keamanan dengan penjaga gajian (satpam). Konvensi kompleks perumahan memang cenderung memberi fasilitas kemanan atau proteksi sebagai konsekuensi dari pengembang terhadap konsumen. Pos keamanan itu seperti tandingan dari pos ronda (kamling) atau gardu sebagai representasi pola keamanan kolektif dari masyarakat desa. Perumahan melakukan proteksi dengan aturan dan kompensasi dalam curiga dan isolasi. Kompleks perumahan dengan pemagaran dan penjagaan pintu masuk menjadi ruang protektif, tertutup, dan eksklusif. Transformasi nilai tentang keamanan menjadi pemicu curiga sosial dan kriminal dengan proteksi berlebihan.
“Habis sawah terbitlah rumah” memang terjadi di pelbagai tempat. Colomadu hanya satu contoh tapi mengandung curiga akut mengenai nasib hidup kolektif dan transformasi nilai sosial-kultural dalam tegangan tradisionalitas dan modernitas. Melakukan perjalanan di Colomadu saat ini adalah perjalanan dari perumahan ke perumahan. Sawah jadi sejarah. Perumahan adalah tanda seru untuk lekas menjadi kota. Itukah masa depan Colomadu? Begitukah?

Dimuat di Suara Merdeka (9 Desember 2oo8)

Kereta Kota di Solo Tempo Doeloe

Oleh Heri Priyatmoko

PEMERINTAH Kota Solo, bekerja sama dengan PT Kereta Api (KA), berencana menghidupkan lagi penggunaan kereta pariwisata. Rencananya, Pemkot akan meminjam loko milik PT KA di Ambarawa dengan kisaran ongkos Rp 1,5 miliar (Kompas Jateng, 7/8/08). Rel di tengah kota yang ada di Solo merupakan heritage railway, atau benda pusaka jalan kereta api.

Dalam tulisan ini, saya akan mengulas sejarah jalur perkeretaapian yang ada dalam kota di Solo tempo doeloe, lengkap dengan dinamika sosialnya.

Kereta perkotaan dikelola oleh Solosche Tramweg Maatschappij, yang didirikan tahun 1892. Sebe­lum digunakan lokomotif tenaga uap atau setum, di Solo telah ada kereta yang ditarik kuda (tahun 1900).

Kereta ini ditarik empat ekor kuda dan saban 4 km kudanya diganti. Setiap gerbong menampung 20 orang penumpang.

Dalam buku Babad Sala (2001) dijelaskan, saat itu yang naik kereta hanya orang Belanda dan China. Kalaupun ada dari pribumi, pastilah mereka para saudagar kaya. Sebab, tarifnya cukup mahal.

Kebanyakan wong cilik lebih suka naik dokar atau berjalan kaki. Selain alasan menyehatkan, juga kondisi sepanjang jalan begitu teduh oleh rindangnya pepohonan. Lagi pula, pejalan kaki tak perlu khawatir kehausan, karena sudah disediakan kendi berisi air oleh warga yang tinggal dekat bibir jalan.

Kereta mulai berjalan di halte depan Benteng Vastenburg. Jalur­nya ke selatan belok ke barat sampai Purwosari. Kereta berhenti se­kali di Kampung Kauman, Kam­pung Derpoyudan (sebelah barat Nonongan), lalu melaju di halte Pasar Pon.

Selanjutnya, kereta berhenti lagi di depan Sriwedari (Kebon Rojo) yang merupakan taman hiburan bagi warga. Kereta berjalan lagi sampai belok ke utara, menyeberang jalan raya dan berhenti ke Stasiun Purwosari.

Tenaga Uap

Baru tahun 1905, kereta kuda diganti tenaga uap dan ditambah 10 gerbong. Tiknopra­noto (1979) menyebutkan, pemberhentian kereta yang awalnya di halte depan Benteng Vastenburg, diteruskan sampai Stasiun Jebres, dengan menyeberang jembatan Kali Pepe untuk menuju Pasar Gede, Warung Pelem, dan berakhir di Stasiun Jebres.

Seluruh proses penggantian kuda dengan mesin rampung dan diumumkan pada 1 Mei 1908. Dalam peresmian itu, diundang 28 pejabat pemerintah untuk menaiki kereta tanpa dipungut bayaran. Penggantian ini menguntungkan penduduk, karena tarifnya lebih rendah.

Secara formal, hal itu hanya di­­peruntukkan bagi orang asing, priayi, dan pedagang yang me­manfa­atkan KA kota. Kunto­wijoyo (2000) memaparkan kondisi jalan-jalan di pusat kota tampak sangat sibuk, dan kecelakaan sulit dihindarkan, khususnya di persilangan jalan dalam kota yang dilalui ken­daraan, sepeda, kereta, dan mobil.

Karena itu, di persimpangan jalan Pasar Gede terlihat seorang penjaga yang bertugas mengatur lalu-lintas dengan sebuah bendera di tangan. Lebih-lebih bila ada acara perayaan yang diadakan tuan Residen maupun Paku Buwono X, lalu-lintas menjadi kian ramai.

KA menjadi alat transportasi perkotaan yang utama. Bagi mereka yang hendak pergi dari pusat kota, dekat Javasche Bank (seka­rang kantor BI), ke Jebres harus memilihnya.

Biar lebih mudah, mereka yang merencanakan perjalanan mesti melihat berita jadwal perjalanan kereta yang bisa ditemukan dalam su­rat kabar lokal berbahasa Be­landa.

Kemunculan perusahaan listrik swasta NV So­losche Electriciteit Maatschappij (SEM) yang ber­kantor di dekat Stasiun Purwosari membawa perubahan.

Setelah kekuatan arus listrik yang tersedia di Solo sudah mampu melayani kepentingan penduduk, perusahaan Nederlandsch Indische Spoor­weg Maatschappij (NIS) mempertimbangkan penggantian trem uap dengan trem listrik yang dinilai lebih efektif dan efisien.

Soedarmono dkk (2004) menjelaskan, tahun 1912 tenaga listrik menggantikan batubara sebagai bahan bakar trem. Imbasnya, gu­dang penimbunan batubara di Stasiun Purwosari berubah fungsi. Tidak lagi menampung batubara, tapi dipakai menampung barang dagangan yang akan diangkut dengan trem, baik dari luar daerah maupun keluar Solo.

Jalur trem ini tak lagi dibuat ke arah Boyolali saja, namun juga dibuka jalur ke selatan menuju Wonogiri-Baturetno. Trem listrik menjadi satu-satunya angkutan penumpang dan barang jarak dekat yang dikelola NIS. Karena, sejak itu, KA milik NIS hanya melayani jalur dari Solo ke Yogya dan Se­marang.

Tidak dimungkiri, adanya ja­ringan KA di dalam kota memengaruhi perubahan sosial. Kesibu­kan kota meningkat. Solo, yang disebut Kuntowijoyo sebagai jantung Pulau Jawa, karena memang menjadi pusat pemberhentian pe­numpang KA yang mau ke Batavia, Yogyakarta, Surabaya, dan Sema­rang.

Banyak penumpang yang me­nikmati keindahan kota dan hiburan dengan menggunakan trem. Perekonomian Solo pun kian menggeliat. Aneka jajanan mulai muncul sampai larut malam dan didirikan banyak hotel.

Lebih Mudah

Dengan diketahuinya posisi-posisi halte tempo dulu, kerja Pemkot Solo dalam proyek ini lebih mudah. Sekarang tempat pemberhentian kereta yang kiranya penting adalah Diamond Restaurant, Solo Grand Mall, Loji Gandrung, Taman Sri­wedari, Museum Batik House of Danar Hadi (HDH) Wuryaning­ratan, dan kampung batik Kaum-an untuk belanja batik, kawasan Keraton, Pusat Grosir Solo, Gedung BI, dan Pasar Gede.

Di satu sisi, jalur KA yang melewati sepanjang Jalan Slamet Riyadi terlihat jalur pedestrian dengan berbagai macam wisata kuliner, area hotspot, serta cenderamata di sepanjang rel KA dan bangunan kuno yang masih terawat dan terlindungi.

Memang, dengan hadirnya kereta pariwisata, Solo makin terdongkrak sekaligus muncul kesan klasik yang bercorak Solo asli, sesuai dengan semangat Soloís Past is Soloís Future (Solo Masa Lalu adalah Solo Masa Depan).

Namun, sebagai catatan, Pem­kot harus mengkaji lebih menda­lam agar proyek tidak mengganggu sarana transportasi yang telah ada. Jangan sampai tukang becak protes karena pendapatannya turun akibat keberadaan kereta wisata, karena ini sudah menyangkut urusan perut.

Suara Merdeka. 01 Desember 2008

Wisata Industri Sukoharjo

Oleh: Heri Priyatmoko

Sambil jigang Pakde Rusdi begitu enaknya menyantap pecel ndeso, oleh-oleh Rajiyem, istrinya, dari Pasar Grogol. Satu bungkus bongko yang tersaji di atas meja kian menambah gairah makan Pakde Rusdi pagi itu. Melihat Pakde Rusdi santai makan di emper rumah, Sutris yang hendak berangkat glidik di pabrik gamelan di Desa Wirun, mampir sebentar.
”Jam segini baru sarapan, Pakde?” Sutris basa-basi.
”Iya, setelah menyalakan disel di sawah, terus saya tinggal pulang sarapan,” sahut Pakde Rusdi.
”Gimana pekerjaan kamu, ramai tidak?,” tanya Pakde Rusdi sembari nyruput wedang teh karena kesereten nguyah bongko.
”Lumayan Pakde, sitik-sitik ono. Sing penting dapur iso kemebul,” jawab Sutris.
Sukoharjo merupakan wilayah yang memiliki berbagai industri, baik yang berskala besar, menengah maupun kecil. Industri kerajinan di Kota Makmur tersebar di berbagai daerah dan mampu menyerap ribuan tenaga kerja.
”Sentra industri di Sukoharjo sebenarnya bisa dikemas dan dijual sebagai salah satu alternatif jalur wisata, mengingat wilayah Sukoharjo minim objek wisata alam dan budaya seperti yang dimiliki Karanganyar dan Solo,” ujar Sutris.
”Di mana saja to, tempat-tempat industri di kota ini berada?” Pakde Rusdi polos.
”Banyak, Pakde. Ada grafir kaca di Desa Pabelan Kartosura, Manang, Grogol dan Baki Pandeyan. Kerajinan kain jumputan ada di Desa Wirun, Kecamatan Mojolaban. Tatah Sungging berlokasi di Desa Madegondo dan Telukan, Grogol. Sentra industri genteng press terdapat di Desa Jatisobo, Wirun, Joho, Demakan Kecamatan Mojolaban dan Desa Grogol Kecamatan Weru. Industri gamelan di Desa Wirun dan Desa laban Kecamatan Mojolaban. Industri gitar bertempat di Desa Ngrombo dan Mancasan, Baki. Industri kecil emping mlinjo di Desa Makam Haji. Rotan di Desa Trangsan, Kecamatan Gatak. Pusat kerajinan mebel kayu ada di Desa Telukan dan Desa Wirun,” terang Sutris panjang lebar.
Rajiyem datang membawa segelas minuman, lalu disodorkan untuk tamunya.
”Mari diminum Tris, nanti keburu dingin,” Pakde Rusdi mempersilahkan.
”Lha terus apa keunikannya, sehingga dapat menjadi daya tarik wisatawan?” tanya Rajiyem yang sedari tadi nguping pembicaraan mereka berdua dari dapur yang jaraknya hanya dipisahkan triplek.
”Keunikan barang dan sekaligus proses produksinya, yang mungkin masih dikerjakan berdasarkan ketrampilan tangan serta teknologi yang relatif sederhana,” jawab Sutris seraya menaruh kembali gelas di meja.
Dengan adanya ”resort zoning industry” yang tersebar di Sukoharjo dapat diintegrasikan menjadi satu paket industri wisata yang dikemas dengan kelengkapan fasilitas ruang pamer atau promosi dan atraksi seni. Menu wisata ini harus mengutamakan orientasi pada konsumen. Artinya, tak sekadar menampilkan gagasan hanya dengan orientasi produk dan bahan orientasi proyek, melainkan harus benar-benar pada kepentingan konsumen.
”Kalau begitu mesti bagaimana langkah Pemda untuk mengoptimalkan potensi ini biar bisa ditawarkan?” Pakde Rusdi mimik serius.
”Tentunya dinas yang menangani bidang pariwisata Kabupaten Sukoharjo mesti menggalang kerjasama dengan Biro Perjalanan Wisata dan pemilik usaha kerajinan pula. Karena produknya adalah wisata industri, maka Biro Perjalanan Wisata yang akan ditugasi sebagai pelaksana utama dari penjualan Program Wisata Industri. Kalau ini yang dimaksudkan, kunci sukses penjualannya yaitu dari aspek promosi. Promosi harus bagus, baru paket wisata industri bisa dijual,” Sutris dengan nada optimis.
”Wah, peluang ini memang potensial untuk dikembangkan. Selain untuk memperbaiki citra pariwisata Kota Makmur yang sudah lama ”tertidur pulas”, dampaknya juga dapat meningkatkan sektor industri di daerah,” sahut Pakde Rusdi.
”Pakde, saya berangkat kerja dulu. Namanya juga buruh, takut juragan marah,” Sutris pamit.

Suara Merdeka 1 Desember 2008

Rabu, 03 Desember 2008

Khazanah Buku Haji

Oleh: Bandung Mawardi

Musim haji merupakan musim kesibukan dari umat sampai negara. Haji sebagai laku religius memiliki efek besar untuk menggerakkan roda-roda ibadah sampai ekonomi-politik. Haji pun menjadi kesibukan dalam dunia penerbitan di Indonesia. Kepustakaan menjadi roda penting dalam mendedahkan tuntunan teknis sampai wacana kritis-filosofis.
Buku-buku dalam kriteria teknis pelaksanaan haji terbit dalam jumlah besar. Buku teknis haji antara lain: Problematika Manasik Haji (1989) oleh Nasir Yusuf, Ibadah Haji dan Umrah oleh Noor-Matdawan, Cara Mudah Naik Haji (1993) oleh Kelompok Empat Satu, Pedoman Haji (1994) oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Buku Pintar Haji dan Umrah (2000) oleh H.M. Imran Gayo, Haji Bersama Quraish Shihab oleh Quraish Shihab (2000), dan Kitab Fadhilah Haji (2003) oleh Maulana M. Zakariya. Buku-buku itu mayoritas mendedahkan rukun haji sampai hikmah haji. Perkara-perkara teknis menjadi muatan pokok sebagai panduan pengetahuan dan praktik haji.
Jenis buku dengan muatan wacana haji dari sejarah sampai analisis kritis mengenai nilai-nilai teologis dan komitmen sosial haji hadir dalam buku-buku berikut ini: Haji (1983) oleh Ali Syariati, Perayaan Mekkah (1989) oleh Christian Snouck Hurgronje, Tafsir Ayat-Ayat Haji (1993) oleh Muchtar Adam, Rahasia Haji dan Umrah (1993) oleh Abu Hamid Al-Ghozali, Rahasia Haji Mabrur (1995) oleh A. Mutawalli Asy Syarawi, Perjalanan Religius Haji (1997) oleh Nurcholis Madjid, Menyingkap Rahasia Ibadah Haji (1999), Mengikuti Jalur Para Nabi: Kisah Perjalanan Haji Rasulullah SAW (2001) oleh O. Hashem, dan Mari Memabrurkan Haji (2002) oleh Mutawakil Ramli.
Buku Ali Syariati merupakan buku mumpuni dalam menjelaskan sejarah haji sampai pada pandangan kritis terhadap ibadah haji dan sosok pelaku haji. Buku itu terbit dalam tiga versi terjemahan Indonesia oleh penerbit berbeda: Pustaka Salman dengan judul Haji (1983), Yayasan Fatimah dengan judul Makna Haji (2001), dan Jalasutra dengan judul Menjadi Manusia Haji (2005). Ali Syariati menjelaskan haji merupakan revolusi lahir dan batin untuk membebaskan manusia dari belenggu tuhan-tuhan palsu. Haji merupakan pertunjukan tentang “penciptaan”, “sejarah”, “keesaan”, “ideologi Islam”, dan “ummah”.
Nurcholis Madjid (1997) menilai haji adalah laku religius atas perintah Tuhan dan napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci. Tanda ketundukan dan kemabruran adalah kesadaran dan praksis untuk komitmen-solidaritas sosial. Haji merupakan ibadah individu dengan implikasi sosial. Buku Perjalanan Religius Haji dari Cak Nur merupakan kumpulan ceramah tentang haji dan umrah di Universitas Paramadina. Buku itu memiliki muatan studi teologi, intelektual, sosial, dan kultural.
Buku-buku haji dalam jenis memoar, pengalaman, atau catatan harian semakin menunjukkan bahwa haji merupakan ibadah signifikan dalam kehidupan kaum muslim. Buku-buku jenis ini antara lain: Orang Jawa Naik Haji (1984) oleh Danarto, 100 Keajaiban di Tanah Suci: Pengalaman Unik Jamaah Haji (1996) oleh E. Syarif Nurdin dan E. Kosasih (editor), Pengalaman Seorang Mualaf: Haji Kelana Mencari Illahi (1996) oleh Ahmad Thomson, Haji: Sebuah Pengalaman Perjalanan Air Mata Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh (1993) oleh Mustofa W. Hasyim dan Ahmad Munif (editor), dan Orang Jawa Naik Haji + Umroh (1999) oleh Danarto.
Buku Danarto terbit dalam dua edisi dengan perbedaan pada edisi kedua ditambahi dengan catatan harian ketika ibadah umrah. Buku Orang Jawa Naik Haji memang fenomenal karena dikisahkan oleh seorang sastrawan mumpuni dengan muatan reflektif dan humor-kritis. Danarto mengungkapkan: “Ibadah haji sesungguhnya saat manusia bergabung kembali dengan esensinya.” Buku pengalaman haji terasa pluralis dan menyentuh dalam buku Haji: Sebuah Pengalaman Perjalanan Air Mata Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh yang memuat kisah dari Ali Sadikin, Amien Rais, Didi Petet, Arifin C. Noer, Mustofa A. Bisri, Taufik Ismail, Waldjinah, Nurcholis Madjid, Benyamin S., Sahal Mahfudz, dan lain-lain.
Kisah memukau juga ada dalam buku Pengalaman Seorang Mualaf: Haji Kelana Mencari Illahi. Ahmad Thomson merupakan mualaf dari Inggris yang memutuskan untuk melakukan ibadah haji dengan berjalan kaki dari London sampai Mekah. Ahmad Thompson menemukan hikmah: “Haji merupakan kunci untuk membuka makna keseluruhan perjalanan hidup seseorang.” Haji memang ibadah menakjubkan dalam ikhtiar menjadi manusia dengan kesadaran religius dan sosial. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (3o November 2oo8)

Sapardi dan Tanda

Oleh: Ridha al Qadri

“sebuah puisi menyatakan satu hal dan bermakna yang lain”.
Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry

I
Di tahun 2001, Sapardi Djoko Damono menulis puisi berjudul “23:30” yang dicantumkan dalam kumpulan Mata Jendela. Inilah seluruh gambaran yang disaksikan menjelang tengah malam itu: sebuah ojek diparkir di pinggir pertigaan/mesinnya sudah dingin;/satu-dua angkot masih lewat, kecapekan – /menunggu terasa sangat panjang: tinggal angin.
Penjelasan apa yang diwakili peristiwa dalam puisi ini? Kita tahu, akhirnya, penjelasan itu tidak tersedia secara lugas. Semua wujud visual yang tampak di sana pun bukan sebagai keterangan yang gamblang mengenai judulnya. Pada satu sisi, judul “23:30” semata-mata bukanlah penunjuk waktu saat semua hal terlihat, melainkan sebagai indikasi bahwa sekian peristiwa yang monoton telah terjadi di pinggir jalan hingga jam yang disebutkan; bahkan mungkin lebih lama lagi semua itu akan berlanjut, bahwa ketika malam makin dingin dan sepi, belum juga terjadi perubahan aktivitas dan situasi yang sesuai harapan. Pada lain sisi, tidak terlihatnya seseorang bukan berarti tidak hadirnya seorang pun di sana; ini juga berarti begitu penting tidak terdapatnya kata yang langsung mewakili manusia.
Menghadapi puisi Sapardi itu, kita tidak segera memperoleh amanat. Kita seperti dipaksa menduga maksud seluruh gambaran yang dihadirkan. Akibatnya, kita cuma menemui beberapa objek dan durasi waktu dan gejala alam yang membentuk situasi dan struktur peristiwa dari bangunan teks. Hubungan-hubungan tiap hal itulah yang menentukan makna peristiwa dalam teks puisi; yakni, yang menunjuk pada asosiasi pengaruh keadaan, atau yang menyusun penjelasan ketika setiap tanda memungkinkan terjadinya pemaknaan dari kaitan kausal tanda-tanda.
Persoalannya kemudian, karena apakah interpretasi atas puisi semacam itu menjadi mungkin?

II
Di depan teks puisi yang sepenuhnya bertumpu pada imaji seperti itu, kita dituntut dan diberi kesempatan luas menemukan tafsir yang paling pas. Ada kalanya sebuah benda yang berada pada satu tempat dan waktu tertentu mengandung pemerian yang beda bila ada di lain saat dan lain letak. Bagaimana pun atribut dan cara tampilnya objek dalam sebuah teks memiliki artikulasi yang lain-lain. Ketika sebuah objek yang diwakili sebuah kata diletakkan dalam teks, maka, ia telah erat terkait dengan pola pikiran seluruh teks tersebut. Dalam puisi “23:30”, kata “mesinnya” yang mengacu pada motor “ojek”, berikut “angkot” dan “angin” dan “pertigaan”, menguatkan konsekuensi atau arah pemaknaan pembaca atas fokus topik dari teks.
Dari sini, ada perlunya kita kutip pernyataan termasyur dari seorang filsuf Anglo-Amerika. “Apa yang membedakan bahasa puisi dan yang bukan puisi adalah cara teks puisi membawa makna”, demikian kata Michael Riffaterre dalam The Semiotics of Poetry. Dalam arti khusus, seorang penyair menampilkan dunia lewat bahasa puisi. Proses representasi itu berlangsung karena bahasa semata-mata menjembatani hubungan antara penyair dan dunia; yang secara tidak langsung dapat menyatakan konsep, tindakan, dan pikiran.
Kita mengawali dengan asumsi bahwa terdapat kaitan antara bahasa dan dunia. Akan tetapi, relasi itu hanya mungkin dimaknai karena bahasa sendiri terdiri dari susunan tanda. Melalui tanda itulah bahasa puisi mempunyai beragam cara “membawa makna”. Apa yang merangsang kita berpikir, dan juga yang mengundang penyair mempertimbangkan dan mengolah gagasan, adalah tanda. Dengan kata lain, perhatian dasar pengetahuan penyair adalah melalui tanda. Seluruh hal dalam dunia merupakan semesta tanda. Namun, meminjam pernyataan Gilles Deleuze dalam Proust and Sign, bahwa “sekian tanda yang menyusun pluralitas dunia itu tidak terdiri dari jenis yang sama, tak punya cara yang sama untuk tampil, tidak menyediakan dirinya untuk diuraikan dalam kesamaan cara, tak memiliki relasi identik dengan maknanya.”
Barangkali, karena itulah seorang penyair mulai menyusun puisi dengan merujuk suatu peristiwa, benda, lanskap, orang, atau objek. Hal demikian lazim terjadi, misalnya, bila sebuah puisi hendak mengomunikasikan sebuah pengalaman dengan menggambarkan sesuatu yang melibatkan “sistem penglihatan”, the perceptual system. Apa saja yang mengacu pada persepsi, atau segala sesuatu yang bersifat iderawi, selalu mungkin menyusun bahasanya sendiri. Mengenai peran bahasa inderawi ini Daniel Chandler mengemukakan pendapat dalam Semiotic: The Basic, bahwa “persepsi selalu menyiapkan representasi”. Pada gilirannya, sistem persepsi menyangkut dunia yang telah dibahasakan ke dalam teks puisi selalu melibatkan unsur dan fungsi tanda. Dalam pengertian yang lebih khusus, bahasa inderawi selalu terkait dengan kode persepsi. Maka, sebagian interpretasi atas teks puisi adalah bentukan antara tanda dan kode.
Dengan demikian, bisa diibaratkan, walau tak sepenuhnya sesuai: dunia adalah sistem makna, bahasa adalah sistem tanda. Pengertian ini pun sesungguhnya bisa saling dipertukarkan. Antara dunia dan bahasa terdapat tanda dan makna. Masing-masing hal itu tak dapat dipisahkan. Mereka seperti dua rupa dalam satu wajah. Misalnya, kata “hujan” merupakan tanda – yang di satu sisi terdiri dari abjad-abjadnya sebagai “penanda”, sekaligus, di lain sisi bisa mengacu fenomena jatuhnya air dari langit, atau berarti kesuburan bagi kebun dan sawah, atau berkah dari Tuhan, sebagai “petanda”.
Sedangkan peran kode, menurut Chandler, merupakan pemfungsian seluruh elemen yang membentuk “sistem pikiran” dari teks, yang kemudian “mengorganisir tanda ke dalam sistem makna” sebuah teks. Sistem makna dari kode lebih banyak menyangkut unsur-unsur petanda yang sudah dikombinasikan dengan petanda lain pada seluruh bangunan teks.
Kode seperti acuan pemaknaan tertentu atas hubungan-hubungan antar tanda. Berikut ini pernyataan Chandler yang lebih jelas: “Tiap teks adalah suatu sistem tanda yang terorganisir menurut kode dan subkode yang mencerminkan nilai-nilai tertentu, sikap, kepercayaan, asumsi, dan praktek. Kode melebihi teks tunggal, menghubungkan mereka bersama-sama dalam suatu kerangka interpretatif yang digunakan oleh interpreter dan produsen teks. Dalam menciptakan teks kita memilih dan mengombinasikan tanda dalam relasinya dengan kode karena kita telah terbiasa. Kode membantu menyederhanakan fenomena dalam rangka membuat teks lebih mudah mengomunikasikan pengalaman-pengalaman.” Atau, dalam pengertian yang pernah dikoreksi Umberto Eco: “kode menyediakan aturan yang menyebabkan tanda sebagaimana peristiwa konkrit dalam hubungan komunikatif.”

III
Memang asumsi yang dibawa Chandler dan Eco tentang kode menggarisbawahi fungsi tanda pada seluruh representasi literer sampai representasi visual. Meski begitu, pandangan-pandangan mereka cukup relevan untuk diterapkan pada teks puisi. Namun, asumsi yang lebih spesifik menyangkut elemen-elemen dan fungsi kode dalam produksi tanda dan teks puisi dinyatakan oleh Michael Riffaterre dalam risalah berjudul Semiotics of Poetry. Sedangkan pada satu bab buku The Pursuit of Signs, Jonathan Culler cukup jelas menguraikan gagasan Riffaterre yang terlalu abstrak itu.
Beberapa kata yang dipertemukan ke dalam teks puisi dan yang mengandung fungsi tanda puitis bisa jadi akan merujuk pada pengelompokkan kata sebelum kata-kata itu eksis dalam ruang dan waktu tertentu. Riffaterre menyebutnya dengan istilah yang sulit dialihbahasakan ke bahasa Indonesia: hypogram. Dengan pengertian: bahwa tanda-tanda atau kata-kata dalam sebuah teks akan merujuk pada “asosiasi konvensional”, atau “sistem deskriptif”, atau pola pikiran, kode, atau dalam uraian Jonathan Culler pada “kompleks tematik” sebuah teks.
Sebuah tanda dalam teks puisi membentuk kesatuan tematik ketika dikenali pemfungsian salah satu atau beberapa maknanya lewat menghubungkannya dengan tanda yang lain. Kata “angin” pada bait “tinggal angin” dalam puisi Sapardi di atas, bisa menunjuk pada makna gejala gerak pada alam. Inilah konvensi makna yang membentuk kode. Namun, makna “angin” di sana juga dipengaruhi kata “menunggu” pada frase “menunggu terasa sangat panjang”. Maka terasa ada kompleks tematik selanjutnya yang mempengaruhi tanda “angin”. Angin seperti jadi kehadiran yang sebenarnya tidak terlalu diharapkan. Angin seperti mengganti sosok yang cukup lama ditunggu. Selain pengartian tersebut, angin seolah menimbulkan konotasi atau mengganti ketidakhadiran calon penumpang ojek.
Maka, tiap penyair – terutama yang menulis lirik yang imajis – akan berpeluang memodifikasi tiap kata atau tanda lewat beberapa cara yang membuatnya bisa membentuk struktur bahasa dan dunia yang unik. Bisa jadi modifikasi itu menimbulkan problem ketika interpretasi pembaca menuntut hasil pemaknaan yang final. Bisa jadi puisi Sapardi berjudul “Gadis Kecil” ini, yang ditulis tahun 2001, mewakili licinnya batas-batas “sistem deskriptif”, dan berpotensi memunculkan paradoks atas akhir pemaknaan teks. Inilah seluruh bagian puisi itu: “ada gadis kecil diseberangkan gerimis/di tangan kanannya bergoyang payung/tangan kirinya mengibas tangis – /di pinggir padang ada pohon dan seekor burung.”
Betapa pendek puisi ini. Meski cukup ringkas, betapa luas pikiran kita digerakkan oleh citra yang disajikan. Seolah-olah imajinasi kita mudah terangsang oleh imaji yang dihadirkan. Adakah yang langsung, bahkan tidak langsung, yang menghubungan gadis kecil di bawah gerimis dengan burung di sekitar pohon? Kita bisa memikirkan pertanyaan ini karena puisi ini mengandung cerita. Karena itu, deskripsi puisi “Gadis Kecil” cukup kentara meletakkan kausalitas sebagai perangkat naratif: seorang gadis seolah berjalan terburu-buru ke suatu tempat dengan payung karena hari tiba-tiba hujan.
Meskipun narasi puisi cukup jelas, kausalitas yang digambarkan bisa dibilang belum memastikan motif apa yang meluaskan arti kata “tangis” untuk mengarahkan pengartian pembaca ke pemandangan “di pinggir padang”. Seakan-akan kita tidak diberi banyak petunjuk apakah gadis itu menjauh dari padang atau menuju burung itu berada. Inilah paradoks yang tersembunyi. Tapi, kita akan sulit menyangkal adanya pendapat jika gadis itu tak mungkin mengambil payung dari sekitar pohon. Terlebih lagi, ketika hujan masih berupa “gerimis”, salahkah bila payung itu diambil di suatu tempat yang bukan dari di sekitar padang itu.
Di sinilah kode persepsi, atau asumsi inderawi, mengatur proses pemaknaan. Persepsi kita seolah memanggil memori akan kode ruang atau posisi benda atas letak dan maksud yang sudah pasti. Kode persepsi ini mempengaruhi pemaknaan mengenai maksud mengapa gadis kecil itu mengambil payung, mau ke mana, dan untuk siapa payung itu dibawa.

IV
Bagaimana pun, fungsi kode begitu vital dalam interpretasi. Kita bisa mengenali aktivitas dalam puisi “23:30” karena di sana terdapat kata “ojek” dan “angkot”. Ojek memiliki kode sosial seperti alat transportasi umum. Kita tahu bahwa pasti terdapat seseorang yang kedinginan menunggu penumpang ojek dalam waktu lama. Kita seakan-akan tidak dipaksa oleh seruan seperti ”kasihanilah orang seperti ini”, tapi, gambaran peristiwa itu sudah membangkitkan simpati tertentu dalam perasaan kita. Atau, dalam puisi “Gadis Kecil”, tanda-tanda seperti tangis, hujan, pohon, payung, dan burung, mengonstruksi kode naratif yang mengarah pada aspek afektif cerita.
Selain kode, tiap signifikansi tanda dalam teks juga didukung oleh model-model penandaan. Model-model itu sangat kompleks dan beragam. Sedangkan sebuah teks puisi mungkin memakai beberapa model penandaan. Kita bisa mencari contoh sebuah model penandaan dari puisi Sapardi dari tahun 2004, berjudul “Sajak Delapan”: “”Apa yang memantul di permukaan air itu?” tanyamu, pelahan./Sisa siang, sisa genangan sehabis hujan,/sisa langit di antara daunan basah dan selembar awan – /sisa percakapan yang melelahkan tentang harapan.//Kau menghindar dari genangan itu, memegang erat-erat/tanganku, “Ada yang memantul di air kotor itu,” katamu;/waktu itu sisa matahari sudah susut ke arah barat,/menawarkan warna kemerahan, “Cahaya itu”, kataku.//Di perempatan kau menunjuk ke papan reklame itu,/aku tak begitu paham apa maksudmu,/tak tahu hubungan antara genangan air, cahaya matahari,/dan gambar anak-anak muda yang warna-warni.
Untuk mengenali pola penandaan puisi ini kita bisa mengawali dari baris “kau menghindar dari genangan itu, memegang erat-erat tanganku”. Merminjam pemaparan Kris Budiman, peristiwa semacam ini bisa diartikan ke dalam tipe tanda yang berupa indeks. “Indeks adalah tanda yang memiliki kaitan fisik, eksistensial, atau kausal”, demikian kata Kris. Genggaman tangan adalah indeks dari adanya kedekatan personal. Tentu tidak umum jika tindakan saling memegang tangan dilakukan lelaki satu dengan lelaki lain, walau itu bisa banyak terjadi pada pasangan homo.
Maka, asumsi kita akan maklum jika paling mungkin terdapat pasangan lelaki dan perempuan dalam puisi itu. Kita bayangkan pasangan yang sedang kasmaran itu berjalan-jalan di sebuah jalan kota. Mereka bercakap-cakap tentang apa saja. Mereka bertanya-jawab mengenai citra-citra yang tampil di sekitar jalan. Ada genangan air sebagai indeks air hujan. Warna kemerahan di permukaan genangan air sebagai indeks hari telah sore. Seolah-olah mereka mencari kebahagiaan dari persepsi alam yang ditangkap. Justru sebaliknya yang tertangkap, genangan air hujan yang kotor mungkin mencitrakan kondisi mereka: “sisa percakapan yang melelahkan tentang harapan”.

V
Sepertinya memang tiap upaya penafsiran selalu menuntut kita mencari kata-kata yang tidak tercantum dalam teks. Kita seolah diajak mengajukan pertanyaan, menyeleksi petanda, melacak asosiasi, dan memperhitungkan kombinasi atas relasi-relasi tanda dalam sebuah konstruksi teks puisi.
Puisi Sapardi lainnya di tahun 2001, berjudul “Kaubayangkan”, menuntut praktik semacam itu. Puisi ini bermain-main dengan imaji dan khayal. Mungkin kita setuju bila kekuatan bahasa puisi ini justru terletak ketika fungsi ekspresi bahasa bisa dibolak-balik ke dalam fungsi impresi bahasa. Puisi ini berupa lamunan, atau yang dalam risalah Gaston Bachelard disebut sebagai tipe poetics of reverei; puisi lamunan atau lamunan puitis.
Dalam puisi Sapardi ini, antara tanda yang diisyaratkan oleh tanda lain, yang tak hadir, atau tanda yang tak langsung diacu, dan seluruh asumsi penginderaannya, seolah-olah hadir karena pengaruh seleksi dan kombinasi tanda. Beberapa metafor berhasil menguatkan pola kombinasi tanda itu. Di sini bisa kita baca seluruhnya: “kaubayangkan angkasa tiba-tiba mengental/sementara awan mendaki pundak gunung itu;/kaubayangkan panorama itu menjelma kristal/yang percik-perciknya menenteramkan debu.
Pada awalnya, kita dikejutkan oleh baris metaforik “angkasa tiba-tiba mengental”. Definisi mengental merupakan kualitas yang terjadi bila suatu zat cair mengalami pengurangan sifat cairnya, atau bisa dikatakan bila telah terjadi pemadatan atau akumulasi kepekatan dalam jumlah besar. Metafor “mengental” bisa dibilang tak terhubungkan dengan unsur denotatif tanda yang sebelumnya; angkasa. Justru metafor “mengental” itu diikuti baris yang menyertakan kata “awan” sebagai pelengkap kombinasi tanda. Jadi, mula-mula “mengental” membentuk arti konotatif saat mengikuti tanda “angkasa”. Kemudian, “mengental” menguatkan konotasi itu ketika produksi teks diikuti fenomena “awan”. Karena itu, gambaran langit dan di sekitar gunung seolah-olah telah berubah kadar cairnya, dan di atas sana itu sedang berlangsung kondisi yang mirip dengan kecap atau saus.
Pada pola penandaan seperti itu, permainan makna terjadi antara makna denotatif dan konotatif. Seperti yang dijelaskan oleh Roland Barthes, jika denotasi tak lagi berfungsi, maka, fungsi konotasi yang akan mengatur relasi tanda. Karena itu, filsuf Prancis ini mengingatkan, bahwa tiap produksi makna yang bersifat konotatif cenderung menggoncang, mengagetkan, mengejutkan; atau dengan istilah Barthes sebagai relasi tanda yang melepas batasan sistem makna (staggered system).
Peran konotasi adalah apa yang sesungguhnya diperankan metafor ketika menukar petanda dan membawanya sejauh mungkin ke pada acuan makna yang tak terduga sebelumnya. Akan tetapi, apa yang disebut pula oleh Riffaterre sebagai sistem konversi dan ekspansi tanda ini, atau pola perluasan dan penukaran makna, tidak sepenuhnya bebas dari matriks yang kemudian mengikutinya. Dalam puisi itu, frase “panorama menjelma kristal” sedikit demi sedikit memperluas atau mengembangkan dugaan kita atas keberadaan zat cair di angkasa. Tafsir yang paling mungkin adalah tentang mendung atau air hujan. Dan bait penutup puisi ini menguatkan sugesti tersebut.
Apa yang kita pahami dengan proses interpretasi, akhirnya, dipengaruhi oleh interaksi dan konsekuensi pola-pola penandaan dalam sebuah teks. Sebagai pembaca puisi, awalnya, kita memang bertumpu pada pikiran semata. Tapi, pikiran itu dirangsang oleh imaji-imaji yang muncul dari pengorganisasian sejumlah tanda dalam teks, yang kemudian merangsang seluruh indera kita. Indera kita mencerap tanda dalam teks. Karena itu, kumpulan tanda dalam teks puisi cenderung menimbulkan apek-aspek imaji. Pengorganisasian tanda tersebut kemudian menggerakkan imaji pikiran kita.
Sebab itulah puisi Sapardi berjudul “Di Depan Pintu” menggerakkan pikiran kita ke mana saja imaji itu mungkin bergerak. Masing-masing penanda dan petanda saling memberi isyarat, bahwa gambaran visual yang tampil hendak membawa pikiran kita pada tanda visual yang belum hadir atau ditunda tampil. Saya kutipkan lagi puisinya secara utuh: “di depan pintu: bayang-bayang bulan/terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang/mengajaknya pergi/menghitung jarak dengan sunyi.
Bukankah Sapardi mengajak kita, kira-kira setelah Subuh, ketika gelap masih tersisa, untuk memperhatikan pemandangan di halaman rumah dan di atas langit. Bukankah persepsi kita dituntun untuk bergerak, menghitung, memprediksi, dan menunggu, adakah yang kemudian berubah pada semua lanskap yang tampak itu. Bukankah “sunyi” adalah milik malam, dan di saat hari mulai terang, berarti kita sedang menuju lingkungan yang segera berubah jadi ramai.

VI
Rangkaian tanda yang menyusun kembali suatu peristiwa adalah representasi yang dapat membentuk imaji. Menurut definisi asal kata imaji, istilah ini berkenaan dengan segala sesuatu mengenai “gambar” atau “tiruan”. Jika dalam film dan lukisan imaji dapat jelas kita rasakan lewat citra visual, maka, dalam puisi, tipe imaji tercermin dari tanda-tanda yang memberi impresi visual. Makna impresi visual ini tidak kita tangkap segera setelah kita menghadapi sekian kata atau tanda dalam teks puisi. Kesan visual cenderung menampilkan kualitas-kualitas yang bersifat inderawi.
Impresi visual dalam puisi terjadi ketika sebuah bait atau baris atau seluruh kalimat dalam puisi menunjuk satu atau beberapa peristiwa kongkrit yang berlangsung dalam kenyataan. Berikut ini sebuah puisi Sapardi berjudul “Aubade” yang cenderung memberi kesan-kesan visual dari lanskap: “percik-percik cahaya. Lalu kembali hijau namamu,/daun yang menjelma kupu-kupu, ketika anak-anak bernyanyi – /melintas di depan jendela itu/lalu kembali cahaya sebutanmu, hatiku pagi ini.”
“Aubade” berarti nyanyian di waktu pagi. Bisakah kita menghubungkan tanda-tanda impresif itu, antara perubahan warna daun setelah gelap malam, dengan perubahan lingkungan yang terdengar ceria, dengan tangkapan mata atas sinar mentari, dan dengan ekspresi perasaan penyair yang disamarkan. Bisa jadi semua yang tampak di sana adalah cermin “hati” penyairnya di pagi itu.
Dengan demikian, di depan sebuah puisi, tidak selamanya kita diminta merasa cukup dengan hal yang dinyatakan secara gamblang. Di depan puisi Sapardi, seringkali kita menghadapi limpahan makna yang tak terduga dari sekian tanda dalam teks. Itulah mengapa esai ini “sementara” saya tutup dengan kutipan dari Michael Riffaterre di awal tulisan ini: “sebuah puisi menyatakan satu hal dan bermakna yang lain”.

Boyolali, 15-28 Agustus 2008

Dimuat dalam Bulletin Sastra Dwi Bulanan Littera: No.5 Th.I Edisi September-Oktober 2008.

Bacaan:
Daniel Chandler, Semiotics: The Basic, Routledge, New York, 2002.
Gilles Deleuze, Proust and Sign: The Complete Text, translated from French by Richard Howard, University of Minnesota Press, Minneapolis, 2000.
Jonathan Culler, The Pursuits of Sign: Semiotics, Literature, Deconstruction, Routledge & Kegan Paul, London, 1981.
Kris Budiman, Ikonisitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual, Buku Baik, Yogyakarta, 2005.
Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry, Indiana University Press, Bloomington & London, 1978.
Roland Barthes, Elements of Semiology, translated from French by Annette Lavers and Colin Smith, Hill and Wang, New York, 1985.
Sapardi Djoko Damono, Ayat-ayat Api, Grafiti, jakarta, 2006.
Sapardi Djoko Damono, Mata Jendela, Indonesia Tera, Magelang, 2001.
Sapardi Djoko Damono, Sajak-sajak, Kompas, Rabu: 3 Maret 2004.
Umberto Eco, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington, 1979.

Tokoh dan Kehinaan (2)

Oleh: Ridha al Qadri


Kiranya tepat jika sekian novel itu kita baca lewat konsep Georg Lukacs ini. Jiwa tokoh yang mengalami kebimbangan moral seperti Kabul itu, atau kenistaan Srintil dan aib Permana dan rasa tercela Kartini dan krisis martabat Lasiyah, ujung-ujungnya rawan melakukan tindakan-tindakan yang lebih buruk. Sebab, ketika eksistensi seseorang kehilangan arti, ketika horor melemahkan akal sehat, maka hampir sulit mengajukan dan mempertahankan argumen yang bisa membenarkan suatu aksi.
Justru di sanalah imajinasi pengarang dituntut bekerja lebih jauh. Kehinaan adalah titik awal seluruh masalah yang dialami tokoh novel. Tetapi, demi melanjutkan cerita novel dibutuhkan sekian faktor yang bertujuan mengembangkan problem tokoh itu. Dalam istilah Lukacs adalah “petualangan”. Faktor inilah yang menggarisbawahi maksud penokohan dalam novel, dan juga kisah epik, yakni agar jiwa tokoh “mencari dirinya”. “Petualangan mencari itu”, kata Georg Lukacs melanjutkan, ”layak dibuktikan dan diuji...untuk menemukan esensinya sendiri.”

III
Bisa dikatakan, bahwa goyahnya moralitas merupakan sebab robohnya nilai sebagai manusia. Namun, orang yang tak lagi bersandar pada adab hanya mungkin dikenali dari kelakuannya. Orang tak bermoral adalah yang menghalangi upaya mewujudkan akhlak. Karena itu, hilangnya moral berarti awal bagi kehinaan. Dalam hal ini, Julia Kristeva mempunyai pendapat, bahwa “kehinaan” sering dihubungkan “dengan perbuatan tidak wajar”.
Langkah tak bermoral adalah perilaku yang seharusnya tak lazim. Perkara seperti itu bukan ukuran normal bagi kesahajaan manusia. Akan tetapi, awal ketidakwajaran bukan saja sebab tindakan yang tak sengaja menelikung dari konsep akhlak yang dianggap baku, pasti, dan tetap. Kadang yang dianggap tidak lumrah justru diciptakan, disengaja, dan oleh sebab itu terdapat alasan untuk membuat daif orang lain.
Persoalannya memang akan berbeda jika jiwa dan martabat manusia menemui kekejian. Mungkin itulah yang digambarkan sekian novel realis kita, mengenai kehinaan, selain soal hilangnya signifikansi moral. Yang sesuai dalam perkara seperti ini, karya-karya Remy Sylado adalah contoh yang pas.
Di tahun 2002, dengan setting kota-kota besar di Indonesia, Remy Sylado menghasilkan kisah panjang seorang janda bernama Myrna Andriono, Kerudung Merah Kirmizi. Kesulitan ekonomi setelah kematian sang suami membuat tokoh ini pantang menyerah pada kekerasan hidup di kota. Ia bertahan mencari nafkah sebagai penyanyi hiburan di sebuah hotel. Adalah Prof. Dr. Luc Sondak, seorang duda beranak satu yang sukses, yang menawarkan harapan cinta baru dan berumah tangga.
Sosok Myrna adalah sosok yang berusaha tegar, bersama dua anak yang masih belum dewasa, bersama gunjingan dan fitnah dari pihak yang suka durjana. Bagian per bagian novel ini bergantian hadir tokoh-tokoh yang membawa harapan, dengki, cinta, zalim, gembira, bengis, dan peristiwa-peristwa yang mengundang bangkit atau patahnya semangat.
Selain Myrna, tokoh-tokoh ciptaan Remy Sylado, seperti Nunuk dalam Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet, atau Getruida van Veen dalam Parijs van Java: Darah, Keringat, Air Mata, adalah gambaran manusia-manusia, terutama para perempuan, yang sering menghadapi perawakan-perawakan yang tebal hati. Terlebih lagi Parijs van Java, kita sungguh merasakan perlakuan bengis, biadab, dan brutal dari peran-peran antagonis.
Dalam arti tertentu, cerita-cerita Remy Sylado mewakili kecenderungan yang dinyatakan Georg Lukacs di tahun 1920 sebagai kelanjutan gagasan “petualangan sifat rendah diri” pada kisah heroik sebelum zaman modern, yang kemudian sebagian besar masih membentuk arti novel pada abad 19 dan 20. Unsur kepahlawanan dan kehinaan belumlah berakhir, melainkan berubah tujuan dan penampilannya lewat persesuaian di era modern.
Apabila kisah epik dibentuk dari relasi “ide dan kenyataan”, atau lebih bertumpu pada sesuatu yang abstrak, pada novel modern cenderung menunjuk hubungan “jiwa dan kenyataan”, atau tidak melulu bertumpu pada konsep metafisik.
Relasi jiwa dan realitas, pada akhirnya juga butuh apa yang dikatakan oleh Lukacs penting dari tiap “novel besar dan sejati”, yakni “refleksi”. Ciri khas novel modern, yang berarti yang membedakan dari kisah epik, adalah kemungkinan bagi tokoh-tokohnya untuk membayangkan, memikirkan, dan merenungkan diri mereka sendiri. Itulah refleksi. Refleksi menjadi jembatan antara sisi psikis tokoh dengan dunia eksternal. Refleksi menjadi cermin, bagaimana dan seperti apa seorang tokoh memahami problem-problem hidupnya.
Pada gilirannya, refleksi adalah usaha menemukan kembali harga diri yang terancam. Itu memang kita rasakan ketika Getruida van Veen dalam Parijs van Java frustasi setelah mengalami tindakan biadab Rumondt dan Van der Wijk, saat Rob Verschoor sang suami terjebak konspirasi dan dipenjarakan, dan wanita itu merenung: “yang mengaku memiliki harkat, haruslah sanggup mengatur jalannya masing-masing”.

IV
Dalam arti tertentu, bagaimana refleksi punya peran dalam novel tergantung bagaimana seorang tokoh mengalami kekecewaan, disillusionment.
Kehinaan, yang disebabkan tindakan-tindakan keji dan runtuhnya kaidah moral, seakan-akan jadi bagian tak terpisahkan dalam usaha reflektif seorang tokoh. Rasa hina dan kecewa adalah bagian dari petualangan itu sendiri. Sedangkan upaya reflekfif terhadap rasa hina merupakan kapasitas yang masih bisa dilakukan seorang tokoh demi “mencari dirinya”. Refleksi adalah sejenis petualangan jiwa. Di sana berlangsung upaya menemukan diri. Namun, dalam sekian novel, seperti apa dan bagaimana yang ditemukan tokoh itu tidak pernah sejelas ujian yang sedang dialami.
Tetapi ada satu hal yang bisa kita ajukan di sini menyangkut apa yang ditemukan tokoh dari dirinya pada sebuah cerita: status.
Status bisa berarti beragam derajat eksistensi yang dimiliki seseorang. Status adalah persoalan yang erat dengan hal kehormatan seseorang. Bukankah Srintil merana ketika statusnya sebagai perempuan tidak seperti umumnya wanita? Atau, apakah Getruida van Veen tak merasa terancam harga dirinya ketika ia dan suaminya dikhianati orang-orang yang dulunya menawarkan harapan?
Status adalah semacam identitas yang hendak diusahakan dan dipertahankan. Status pula yang membuat Ni, tokoh Arswendo Atmowiloto dalam Canting, mempertanyakan kembali tanggung jawabnya terhadap buruh batik. Ia pun mengakhiri karier di bidang farmasi, dan pilih melanjutkan usaha keluarga di pabrik batik. Ia tak merasa tercela dengan status barunya, sebab dengan langkah itu ia merasa menjadi dirinya.
Atau kita baca novel Jalan Menikung Umar Kayam, yang terbit di tahun 1999 sebagai kelanjutan novel Para Priyayi. Eko Harimurti, keturunan priyayi Jawa bertradisi Islam, memilih tetap tinggal di Amerika dan beristri Yahudi, sementara sang ayah, Harimurti, dipecat dari tempat kerja karena perkara keterlibatannya di masa lalu dengan organisasi PKI. Hubungan keluarga jadi mengkhawatirkan dan seperti terputus. Perkawinan Eko dengan gadis Yahudi, serta keterkucilan sosial Harimurti karena aib politik, memicu perdebatan keluarga tentang status dan martabat keluarga yang dianggap kurang wajar.
Tapi di setiap novel selalu ada yang unik. Misalnya, bahwa tokoh-tokoh yang kehilangan arti sebagai manusia belum tentu menemui jalan keluar di ujung cerita. Sebab, novel menampilkan sesuatu yang tidak jadi begitu saja. Novel adalah perjalanan jiwa. Itu sebabnya novel selalu mengundang pertanyaan, pertanyaan, dan pertanyaan yang kita, sebagai pembaca, mesti mengajukan sendiri jawaban-jawabannya.

Dimuat Suara Merdeka: Minggu, 5 Oktober 2008.

Bacaan:
Ackhdiat K. Mihardja, Atheis, Balai Pustaka, Jakarta, 1960.
Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, Gramedia, Jakarta, 2004.
Ahmad Tohari, Orang-orang Proyek, Mahatari, Yogyakarta, 2004.
Ahmad Tohari, Bekisar Merah, Gramedia, Jakarta, 1993.
Arswendo Atmowiloto, Canting, Gramedia, Jakarta, 1997.
Georg Lukacs, The Theory of The Novel, translated from the German by Anna Bostock, The Merlin Press, London, 1971.
Idrus, Hati Nurani Manusia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1976.
Julia Kristeva, Powers of Horror: An Essay on Abjection, translated from French by Leon S. Roudiez, Columbia University Press, New York, 1982.
Ramadhan K.H., Keluarga Permana, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
Remy Sylado, Parijs van Java: Darah, Keringat, Air Mata, Gramedia, Jakarta, 2003.
Remy Sylado, Kerudung Merah Kirmizi, Gramedia, Jakarta, 2003.
Remy Sylado, Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet, Gramedia, Jakarta, 2006.
Umar Kayam, Jalan Menikung, Grafiti, Jakarta, 2002.

Tokoh dan Kehinaan (1)

Oleh: Ridha al Qadri

“novel adalah kisah jiwa yang mencari dirinya”,
Georg Lukacs, The Theory of The Novel

I
Satu atau dua tokoh utama: karakter-karakter yang malang. Sepertinya kita mempelajari kebanyakan prosa realis ketika kita menemui arti kata kehinaan sebagai pengalaman utama beberapa tokoh novel. Kehinaan selalu berarti bermacam kondisi negatif yang memungkinkan cerita novel menampilkan penokohan dalam proses yang sulit.
Agaknya, itulah gambaran jamak novel realis kita. Kehinaan membayangi di balik struktur peristiwa tokoh. Keadaan itu bukan hanya menimbulkan teror yang dialami tokoh, melainkan kehinaan juga membawa seseorang “ke tempat di mana arti roboh”. Itu ungkapan dari Julia Kristeva dalam buku Powers of Horror: An Essay on Abjection. Pada akhirnya, ide mengenai kehinaan menjadi demikian penting ketika novel disiapkan untuk menggambarkan beragam jiwa manusia. Kemudian, yang dihadapi ketika harga sebagai manusia telah tumbang adalah kengerian: horor.
Horor itu pula yang mengawali novel Atheis Achdiat K. Mihardja, yang pertama kali terbit di tahun 1949, dengan kalimat: “apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk memperbaiki segala kesalahan?” Kalimat pesimis ini mewakili kebingungan Kartini di depan mayat Hasan suaminya. Ia terguncang dan lalu mencela diri sendiri karena telah lalai mengartikan peran sebagai istri. Aib yang diderita wanita itu disebabkan ketidaksetiaannya. Kehormatannya sebagai wanita terancam punah. Sedangkan untuk menebus kesalahannya itu tak lagi ada kesempatan.
Salah, represi, sesal. Mungkin itu sebabnya jiwa tokoh dalam novel sering riskan dalam pergolakan. Roland Barthes pernah menyebutnya dengan istilah “problem subjek”. Sekian karakter dalam novel tidak untuk ditampilkan secara datar dan biasa saja, melainkan hadir bersama krisis atau rasa sakit. Dalam hal novel realis, rasa hina timbul ketika batin tokoh dikacaukan oleh ihwal yang buruk. Bagaimana kehinaan tokoh itu terjadi dan apa pentingnya demi mengartikan novel?

II
Pada tahun 1978, Ramadhan K.H. menulis sebuah novel tentang sebuah keluarga dengan “pengalaman hidup yang begitu menyedihkan”.
Membaca Keluarga Permana kita menemui rasa kasihan dan marah. Bila diperhatikan, tokoh-tokohnya diletakkan pada persimpangan di mana pengertian moral dan iman mudah goyah. Di samping itu, ternyata ketulusan cinta dibuntukan karena suasana takut akan cemooh dan pelecehan. Dengan gambaran psikologis seperti itu novel ini hendak menggambarkan bagaimana kegamangan sebuah keluarga yang tiba-tiba kehilangan kebajikan di tengah pemecahan kemelut.
Sebagai kepala keluarga, Permana merasa tercemar martabatnya ketika mengetahui kehamilan putrinya di luar pernikahan. Pemuda yang ia percaya untuk menyewa sebuah kamar di rumahnya, Sumarto, justru jadi sumber musibah itu lahir. Yang makin menyulut rasa benci adalah beda agama. Di tengah keluarga itu, perasaan nista dan hina tak terhindarkan. Ia berang dan tak sempat menimbang keselamatan putrinya, Ida. Ditambah lagi, batin Permana yang giris karena putus kerja makin memperparah perasaan tercela.
Atau kita baca novel Ahmad Tohari Orang-orang Proyek. Seorang insinyur dan mantan aktivis bernama Kabul mesti memperjuangkan keyakinan etis atas “sesuatu yang benar” terhadap represi birokrat. Ia dipaksa dan diancam putus kerja oleh atasannya jika tidak melakukan “permainan” dalam anggaran pembangunan jembatan. Kenyataan itu menjadi pukulan keras bagi Kabul, dan kemudian ia memilih angkat kaki dari tanggung jawab kerja. Dari novel ini kita tahu, pikiran ideal belum tentu bisa diharapkan dalam kenyataan.
Dalam karya-karyanya, Ahmad Tohari memperlihatkan bagaimana manusia sering menyingkirkan adab, menjauhi akhlak, membatalkan tiap kaidah budi pekerti. Seperti pada Bekisar Merah, sejak kecil hingga dewasa, Lasiyah mengalami cacian, pengkhianatan, derita batin, dan karena semua itulah pandangan hidup atau kejujuran tidak mudah terus dipegang. Sebenarnya di sini terasa ada ironi, bahwa moralitas yang selalu dianggap luhur tidak selalu gampang membalik segala celaka.
Bukankah novel-novel seperti itu menunjukkan lenyapnya suka cita, ketika ide-ide akan kesusilaan, amanat, budi, dan etik bukanlah konsep yang terjamin di kenyataan begitu saja? Oleh sebab itu, yang kita tangkap memang ironi, seperti kesimpulan Georg Lukacs, bahwa “ironi adalah obyektifitas dari novel”. Keseluruhan ruang dalam novel merupakan wilayah pertentangan antara kategori-kategori ideal dan kenyataan yang tidak pernah pasti. Dalam novel, antara gagasan dan fenomena tidak selalu satu jalan.
Kita bisa rasakan kehancuran mental Srintil, tokoh rekaan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, yang terobang-ambing antara menunggu sikap cinta heroik Rasus, pelecehan harga diri sebagai perempuan, dan keputusasaan menjadi perempuan yang wajar. Ia adalah korban ketentuan sosial yang mengharuskannya menjadi ronggeng, atau penari erotis. Dengan identitas itu ia bebas “ditiduri” oleh siapa pun, dan dari sana seluruh rasa nista wanita itu bermula.
Dapat juga kita perhatikan moral keluarga yang amblas ditelan kepentingan individual dalam Hati Nurani Manusia, di mana pelbagai adegan dan pikiran kotor antara ayah dan anak diperlihatkan. Novel Idrus ini pertama terbit tahun 1965, ketika kondisi seluruh bangsa kita begitu mengkhawatirkan. Namun, agak aneh jika kita lihat zaman yang dipenuhi rasa takut itu justru lahir novel yang menghadirkan keluarga yang sibuk dengan kehinaannya sendiri. Novel ini hampir tidak merekam kerisauan yang ada di luar setting keluarga, melainkan merekam raibnya kategori susila keluarga itu sendiri.
Kehinaan bisa diartikan ketika harga diri dengan pikiran yang luhur mulai tak stabil. Itu juga punya maksud bahwa kehinaan merupakan wilayah terdekat munculnya ancaman. Akan tetapi, dalam hal novel, yang di mana “realitas” dicipta lewat sebuah desain, atau sebuah rancangan, tiap pengalaman buruk bukanlah titik akhir sebuah rekaan. Rasa hina adalah sisa dari sekian ikhtiar. Seakan-akan hal itu harus diterima, tetapi bukan merupakan keadaan yang ingin diraih. Dengan demikian, kehinaan sebagai problem tokoh tidak memiliki tujuan hanya dalam dirinya sendiri. Sepertinya, seluruh ruang dalam novel realis bukan cuma guna rasa hina ditampilkan.
Dari sini, ada perlunya kita mengutip kata-kata Georg Lukacs dari buku The Theory of The Novel. “Novel”, demikian buah pikiran pemikir Marxis ini, “menyampaikan petualangan sifat rendah diri”. Saya kira, kata “petualangan” cenderung mewakili apa yang jadi tujuan seluruh struktur yang dibangun pada sebuah novel, terutama cerita yang bercorak heroik. Hal inilah yang membedakan terhadap puisi atau cerpen. Justru inilah yang menarik perihal bentuk sastra dari novel.
Dengan demikian, meskipun kehinaan bisa diartikan sebagai sifat rendah diri, adanya novel bukan hanya demi menyisakan keputusasaan. Karena memberi tempat istimewa atas petualangan, novel tidak diciptakan tanpa hadirnya hal-hal baru, seperti harapan atau cita-cita. Maka, cita-cita dalam novel selalu berada dalam proses dialektik sejarah. Dengan kata lain, dalam novel terdapat ujian bagi jiwa tokoh.

Dimuat Suara Merdeka: Minggu, 28 September 2008.

Selasa, 25 November 2008

Risiko Teknologi dalam Pornografi

Oleh Haris Firdaus

PERKEMBANGAN teknologi komunikasi, terutama komunikasi visual, selalu diiringi dengan pertumbuhan pornografi. Sejarah membuktikan, pornografi merupakan salah satu risiko paling purba dari teknologi. Namun, catatan historis juga menunjukkan bahwa industri porno memiliki andil sebagai pendorong pertumbuhan teknologi visual baru. Teknologi dan pornografi, oleh karenanya, bertalian secara amat erat.

Penemuan kamera film pertama pada 1890, misalnya, segera disusul dengan pembuatan rekaman video porno. Tidak lama setelah penemuan itu, kamera film langsung dipakai merekam perempuan-perempuan telanjang dalam berbagai pose.

Pada permulaan abad 20, film pertama yang eksplisit mempertontonkan persetubuhan mulai diproduksi. Peredarannya kala itu amat terbatas, hanya pada lingkaran kecil kolektor kaya yang mampu membeli proyektor 35 milimeter. Ketika penemuan kamera dan proyektor 16 milimeter yang jauh lebih murah terjadi, terbukalah jalan bagi lahirnya industri porno bersakala besar, terutama di Amerika Serikat (Agustinus, 2008).

Pesatnya pertumbuhan teknologi yang diiringi dengan pornografi juga bisa dilihat pada maraknya video porno yang direkam menggunakan kamera ponsel. Ketika ponsel yang dilengkapi kamera makin banyak diproduksi, jumlah rekaman video dan gambar mesum juga makin banyak.

Berbagai kasus yang diberitakan media massa bisa menjadi bukti betapa peredaran video dan gambar porno kini terjadi secara lebih massif dan tidak hanya melibatkan perusahaan-perusahaan yang memang membisniskan pornografi. Pornografi bisa melibatkan siapapun: pelajar, mahasiswa, artis, sampai pejabat politik.

Di dunia cyber, pornografi adalah fenomena yang amat mudah dijumpai. Sebuah survei menunjukkan, tatkala pertama kali jaringan internet dioperasikan secara luas, kata paling banyak yang diketikkan di mesin pencari adalah ”seks”, ”porno”, dan alat kelamin dalam berbagai bahasa. Sampai hari ini, meski Undang-Undang Pornografi telah disahkan di Indonesia, situs-situs porno tetap merajai internet.

Survei kecil-kecilan yang belum lama ini dilakukan Enda Nasution membuktikan, frekuensi pencarian kata-kata yang berkaitan dengan pornografi pada Bulan Ramadan tahun ini ternyata tetap tinggi. Penurunan kuantitas hanya terjadi pada masa awal Ramadhan. Setelah beberapa hari awal Ramadan, jumlah orang di Indonesia yang mengetikkan kata-kata yang memiliki relasi dengan pornografi di mesin pencari tetap saja banyak.

Seks Virtual

Alan Bullock (1988) mendefiniskan pornografi sebagai representasi (dalam literatur, film, video, drama, seni rupa, dan sebagainya) yang tujuannya untuk menghasilkan kepuasan seksual. Berbeda dengan sebuah hubungan seksual secara ragawi, pornografi bisa memberi kepuasan seksual pada para penikmatnya tanpa harus disertai dengan kontak fisik.

Semakin sempurnanya teknologi audiovisual yang digunakan untuk menyebarkan pornografi membuat kepuasan seksual yang didapat oleh para penikmat pornografi juga makin meningkat. Di dunia cyber, penemuan-penemuan baru dalam teknologi citra digital memungkinkan hadirnya efek-efek seksual yang makin sempurna dan terus mendekati kenyataan.

Yasraf Amir Piliang (2004: 370) menyebut, manipulasi dan simulasi citra digital bisa menghasilkan representasi tubuh, wajah, organ, suara, dan gerakan yang dapat disempurnakan penampakannya, ditingkatkan kemampuannya, dan dimaksimalkan ketahanannya.

Di internet saat ini, kita tak hanya bisa menemukan jutaan gambar dan video porno yang bisa diakses kapan saja dengan syarat amat mudah, tapi juga berbagai ”layanan seksual” tingkat lanjut seperti chatting secara audiovisual dengan orang-orang yang bersedia melakukan tindakan-tindakan seks tertentu di hadapan kita. Di masa depan, berdasar prediksi yang dibuat Howard Rheinghold (1991), hubungan seksual bahkan bisa dilakukan secara virtual. Rheinghold menyebut hubungan seks virtual itu dengan sebutan ”teledildonic”.

Hubungan seks virtual macam itu, menurut Steven Aukstakalnis (1992), diangankan bisa dilakukan dengan cara melapisi seluruh tubuh manusia ”termasuk organ genital dan zona-zona erotis lainnya” dengan semacam ”pakaian realitas virtual” yang terdiri dari berbagai sensor (perangkat pengirim sinyal ke dunia cyber) dan effectors (saluran pengiriman kembali informasi ke pengguna). Dengan teknologi semacam ini, dua orang bisa melakukan hubungan seksual jarak jauh: mereka bisa saling melihat, mendengar, dan bahkan meraba tanpa harus bertemu secara fisik (Piliang; 2004: 374).

Pendorong

Selain sebagai risiko, pornografi juga berperan sebagai pendorong laju pertumbuhan teknologi komunikasi visual. Seperti disebut Ronny Agustinus (2008), sejarah telah membuktikan bahwa tumbuh kembang teknologi visual selalu mendapat dorongan dari pornografi. Industri pornografi terus mendorong penemuan-penemuan teknologi baru dengan satu tujuan: menyempurnakan servis mereka pada para pelanggan.

Ronny mengatakan, pengembangan teknologi VCD dan DVD, penemuan televisi kabel dan televisi satelit, serta pemercepatan riset teknologi 3G, semuanya didorong oleh industri pornografi. Punahnya teknologi video Betamax, misalnya, bukan hanya karena teknologi ini kurang bisa sesuai dengan komputer, namun juga karena adanya kesepakatan para industriawan porno se-Amerika Serikat untuk menggunakan teknologi VHS. Teknologi baru ini digunakan karena kualitas gambar yang dihasilkannya lebih tajam.

Penemuan teknologi VCD dan DVD disokong sepenuhnya oleh para produsen film biru karena teknologi ini membuat pelanggan mereka bisa mempercepat film untuk sampai pada adegan yang mereka inginkan saja. Sementara itu, televisi kabel dan televisi satelit tak akan muncul di dunia jika para pengusaha pornografi tak merintis teknologi itu dalam bentuk layanan premium di hotel-hotel dan jaringan digital.

Semua fakta ini menunjukkan, pornografi bukan hanya merupakan akibat dari perkembangan teknologi tapi juga merupakan pendorong bagi tumbuh kembangnya teknologi visual. Teknologi dan pornografi, oleh karenanya, ada dalam posisi yang dialektis: keduanya saling memengaruhi, saling memberi kontribusi, dan saling mengisi. Keduanya seolah disatukan oleh sebuah simpul erat, sebuah simpul yang hingga kini tetap sulit untuk direnggangkan.

(Dimuat di Suara Merdeka, 24 NOvember 2008)

Imajinasi Transformatif: Rupa dan Kata

Oleh: Bandung Mawardi

Pencerita seni rupa itu adalah Sindhunata. Pencerita mumpuni dengan sekian buku dalam konstruksi kata dan rupa. Kehadiran buku puisi dan novel menjadi kehadiran kompleks dari permainan tafsir dunia kata dan dunia rupa. Buku-buku Sindhunata adalah ruang untuk interaksi dalam titik temu dan perselingkuhan. Kata dan rupa mungkin untuk hadir bersamaan sebagai manunggaling kata dan rupa atau mungkin untuk berada dalam kamar berbeda secara otonom tapi bisa saling sapa. Buku-buku (novel dan puisi) Sindhunata mengandung pertanyaan dan jawaban atas kemungkinan-kemungkinan imajinasi transformatif dalam rupa dan kata.
Novel Semar Mencari Raga (1996) dengan eksplisit menunjukkan niat dan proses kreatif Sindhunata untuk melakukan transformasi imajinasi dari seni rupa menjadi konstruksi kata. Sindhunata dalam kata pengantar mengakui bahwa novel itu terilhami oleh lukisan-lukisan tentang Semar untuk suatu pameran di Gedung Bentara Budaya (Yogyakarta) pada tahun 1996. Pameran itu menghadirkan lukisan Agung Leak Kurniawan, Djoko Pekik, Eddie Hara, Hamura Hosea, Hari Budiono, Hari Wahyu, Hendro Suseno, Murtianto Antik, Nasirun, dan Suatmaji.
Rupa sebagai ilham memiliki sekian tafsir dalam rentetan imajinasi lalu menjadi suatu totalitas teks cerita. Sindhunata melakukan perjalanan imajinasi dari lukisan-lukisan itu untuk mengonstruksi unsur-unsur cerita dalam medium kata. Proses kreatif dengan mekanisme ini membutuhkan tafsir transformatif dalam tendensi afirmatif atau subversif. Novel Semar Mencari Raga membuktikan kelihaian Sindhunata untuk menciptakan ruang dialog rupa dan kata dalam fragmen-fragmen transformatif.
Lukisan-lukisan dengan tema dan karakter berbeda menemukan ruang imajinatif dalam peletakan di halaman-halaman novel. Tafsir transformatif dengan kata justru menghadirkan totalitas dalam percampuran atau konspirasi imajinasi kata dan rupa. Konstruksi kata dalam novel itu memang tampak mendominasi ketimbang peran lukisan. Dominasi itu tidak mematikan atau meminggirkan lukisan karena ada jejaring untuk membaca dan menikmati interaksi kata dan rupa dengan tatapan mata dan mobilitas imajinasi.
Novel Semar Mencari Raga seperti prolog dari pergulatan kata dan rupa Sindhunata. Pergulatan itu mengantarkan pada intensitas untuk garapan-garapan kolaboratif dalam proses kreatif dan mekanisme transformasi bentuk dan nilai. Sindhunata dengan novel Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram (2000) semakin memasuki ruang intim antara kata dan rupa. Keintiman itu mengarah pada sublimitas teks. Sindhunata dalam novel itu memakai lukisan-lukisan Djokopekik sebagai referensi penting. Sindhunata malah mengakui bahwa kehadiran novel itu mengacu pada sosok Djokopekik dan lukisan-lukisan celeng dari Djokopekik sebagai sumber inspirasi dan imajinasi.
Mobilitas imajinasi Sindhunata tampak lincah dan liar dalam mentransformasikan sekian referensi dalam konstruksi teks. Lukisan-lukisan Djokopekik memang hadir secara material pada halaman-halaman awal novel itu. Kehadiran imajinasi lukisan memang cukup dominan dalam novel dan mengalami interaksi dari referensi-referensi lain. Sindhunata dalam novel itu mengakui memiliki pelbagai referensi cerita dari Ki Timbul Prayitno, Bondan Nusantara, Suparma Suryaganda, dan Hari Budiono. Pola interaksi dalam novel itu semakin kompleks dan inklusif untuk permainan tafsir.
Ruang untuk lukisan dalam novel Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram (2000) kurang mendominasi halaman-halaman novel. Konstruksi novel itu seperti hendak menguatkan klaim sebagai teks (kata) dengan instrumen lukisan dan foto-lukisan dalam porsi kecil dan sedikit. Tafsir atas sosok Djokopekik dan lukisan-lukisan celeng menemukan transformasi menggemaskan karena Sindhunata melakukan mobilitas tematik: politik, mental, tingkah laku, kemunafikan, kekejaman, kejahatan, dendam, nafsu, dan naluri. Sindhunata dengan novel itu seperti mendedahkan risalah mitos dan filsafat dengan narasi liris dan kritis.
Pergulatan intensif Sindhunata sebagai pencerita seni rupa masih melaju kencang dalam ikhtiar mencari dan merumuskan eksperimen-eksperimen estetika. Penerbitan buku puisi Air Kata Kata (2003) membuktikan kapasitas imajinasi transformatif. Buku itu menjadi bukti ketekunan Sindhunata untuk olah imajinasi dengan kata dan rupa. Buku tebal itu memuat puisi-puisi Sindhunata dan lukisan-lukisan dari perupa-perupa ampuh: Djokopekik, Edi Sunaryo, Hari Budiono, Hermanu, Hendro Suseno, Ong Hari Wahyu, Agus Suwage, Nasirun, Arahmaiani, Sekar Jatiningrum, Ivan Sagita, Sigit Santosa, Yuswantoro Adi, Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Sulasno, Ismanto, Agus Suyitno, Alex Luthfi, Yamyuli Dwi Iman, Ugo Oentoro, Eko Nugroho, dan Bambang Toko.
Sindhunata dalam buku itu mengingatkan bahwa lukisan-lukisan dari para perupa itu jangan dipandang sebagai tafsiran, ilustrasi, atau pelengkap untuk puisi-puisi. Lukisan-lukisan itu bisa dinikmati lepas dari puisi. Sindhunata melabeli kemungkinan itu sebagai “karya rupa yang berkata-kata”. Label itu menunjukkan otonomi lukisan dalam buku kata-rupa untuk mobilitas imajinasi.
Kehadiran buku Air Kata Kata dalam khazanah sastra Indonesia modern memang fenomenal karena dualisme dan inklusifitas pelabelan sampai penafsiran. Sindhunata menjuluki buku itu sebagai “buku rupa yang berkata-kata”. Kehadiran rupa dan kata dalam buku itu memang memungkinkan tafsiran-tafsiran otonom tapi ekstase tafsir justru lahir dari pola relasional atau interaksi antara rupa dan kata. Pertemuan kekuatan imajinasi perupa dan penyair dalam konstruksi buku itu memang berada pola konvergensi dan divergensi imajinasi. Pengumpulan dan sebaran imajinasi terjadi sesuai dengan kehadiran bersama antara rupa dan kata.
Rupa dan kata untuk puisi “Kesedihan Putri Cina”, “Wajah Putri Cina”, “Kerinduan Putri Cina”, “Kalung Putri Cina”, “Kesendirian Putri Cina”, dan “Pualam Dingin Putri Cina” mengesankan keintiman imajinasi antara Sindhunata dengan perupa Putu Suta Wijaya. Pola relasional antara rupa dan kata berada dalam jarak dekat. Rupa-kata saling menguatkan sebagai sesama pusat tafsiran. Keintiman ini justru kurang memberi ruang untuk divergensi imajinasi. Sosok Putri Cina dalam kata masih memiliki selubung atau tabir imajinasi. Kondisi itu menjadi cenderung eksplisit dengan kehadiran rupa dalam sosok Putri Cina. Relasi ini menjadi representasi paradoks dalam otonomi antara rupa dan kata.
Transformasi imajinasi Sindhunata menemukan eksperimen lain dalam novel Putri Cina (2007). Sindhunata dalam novel itu melakukan eksplorasi tematik dan karakter tokoh dengan acuan (prototipe) dari sebuah katalog untuk Pameran Lukisan Putri Cina karya Hari Budiono pada tahun 1996. Sindhunata dalam proses penulisan novel itu melakukan interaksi intensif dan kreatif dengan Hari Budiono untuk eksplorasi dan transformasi imajinasi. Sindhunata dalam pengantar novel mengakui proses dialektis: “Kami (Sindhunata dan Hari Budiono) kerap berbincang-bincang. Dan dari perbincangan itu lahirlah antara lain lukisan-lukisannya yang bertema Putri Cina. Lukisan-lukisannya itu telah memberi banyak inspirasi bagi kisah dalam buku ini.”
Novel Putri Cina secara lahiriah menunjukkan fase kerenggangan kata dan rupa. Jejak keintiman lahiriah kata dan rupa sekadar hadir pada sampul buku. Sampul buku itu menghadirkan lukisan Hari Budiono dengan judul “Indonesia: Mei 1998”. Sindhunata dalam novel itu seolah menunjukkan intensitas dalam tendensi kerja kata meski dengan transformasi imajinasi dari percampuran seni rupa dan referensi-referensi lain. Novel dengan tebal 304 halaman itu bersih dari rupa sebagai ilustrasi secara otonom atau pola relasional. Halaman-halaman sesak dengan kata dan letupan-letupan imajinasi yang dalam prosentase tertentu mengacu pada rupa. Sindhunata dengan novel Putri Cina melakukan peluapan imajinasi dengan kata. Rupa secara lahiriah memang tidak ada tapi kehadiran jejak-jejak imajinasi dari rupa masih ada dalam novel itu. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (23 November 2oo8)

Rabu, 12 November 2008

Teknologi dan Cyberspace

Oleh: Bandung Mawardi

Revolusi teknologi sampai hari ini belum sampai babak akhir atau tanda titik. Kuasa teknologi justru tampak dalam keramaian dan kesibukan realitas virtual dengan label cyberspace. Realitas virtual menjadi kiblat baru untuk utopia massif dengan keajaiban-keajaiban. Utopia itu membuat umat teknologi lekas masuk dalam permainan risiko.
Cyberspace menebar sihir sejak tahun 1990-an dengan janji sorga dan kenikmatan tak selesai. Roger Fidler dalam Mediamorfosis (2003) menjelaskan bahwa realitas virtual melahirkan gagasan untuk pembentukan dunia dengan komunitas virtual sebagai sisi lain dari realitas hidup. Realitas virtual memberi kemungkinan-kemungkinan untuk pamrih meluaskan cakrawala dan pengalaman melalui teknologi-virtual sebagai pemenuhan pamrih di luar realitas hidup.
Cyberspace dalam pemahaman optimistik adalah realisasi otoritas dan kontrol individu terhadap arus informasi. Hak individu itu merepresentasikan publik melek-sadar-informasi dalam keterlibatan aktif dan selektif. Cyberspace dalam pandangan pesimistik adalah pemicu disintegrasi sosial dalam realitas hidup. Argumentasi pesimistik itu mengacu pada internet dengan memberi kemungkinan pada individu-pemakai untuk anarkis, sosiopatik, konspirasional, dan paranoid.
Cyberspace masuk ke pelbagai negeri sebagai demam dan gairah tak tertahankan. Revolusi teknologi pun menjadi parodi atau ketidaklumrahan ketika umat teknologi main sebagai konsumen dengan candu dan ekstase melampaui realitas hidup. Kritik-kritik atas realitas virtual kerap terabaikan oleh konspirasi global-massif dengan anutan: cyberspace adalah sorga hidup terjanjikan pada hari ini dan hari esok.
* * *
Janji manis dari revolusi teknologi atas nama cyberspace adalah ikhtiar komunikasi dan informasi dalam dunia global membutuhkan kunci dan sistem sentralistik. Internet menjadi juru bicara ampuh untuk pamrih mempersatukan dunia dengan arahan mengatasi realitas hidup hari ini. Janji itu sejak awal mengandung petaka (dosa) tapi tak tampak dan tak merisaukan umat teknologi.
Kesadaran kritis atas petaka itu didedahkan oleh Mark Slouka dalam War of teh Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality atau Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan (1999) sebagai peringatan dini. Mark Slouka mengartikan cyberspace sebagai ruang simbolis untuk hunian umat manusia tidak dalam kehadiran fisik. Cyberspace adalah kehidupan tanpa batas karena ada mantra dan mekanisme melampaui fenomena dan fakta dalam realitas hidup. Kehadiran cyberspace patut mendapati curiga untuk menghindari hiperealitas tanpa jejak dan sejarah otentik manusia.
Mark Slouka curiga bahwa Cyberspace adalah tanda peringatan untuk sesal ketika manusia rapuh atau kehilangan identitas dan sisi spiritualitas karena permainan hasrat teknologi. Ritual hidup dengan komputer-internet cenderung mengajarkan reduksi atas refleksi atau kontemplasi. Teknologi justru mengantarkan manusia pada petualangan menggairahkan dalam fantasi-imajinasi, permainan, atau impian. Cyberspace menjadi madu dan racun untuk lakon hidup manusia modern.
Mark Slouka dengan kritik-satire mengingatkan bahwa cyberspace sebagai momok kekaburan definisi dan makna realitas, identitas, ruang, komunitas, dan solidaritas. Cyberspace adalah halusinatif atau permainan representasi semu. Pemahaman itu menjadi acuan untuk menilai laku pemakai teknologi ketika masuk dalam cyberspace dengan risiko memiliki jarak atau kehilangan realitas hidup. Cyberspace cenderung menganut aturan isolasi-realitas dan alienasi-realitas. Janji-janji melampaui realitas memang memberi kenikmatan tanpa batas tapi ada mekanisme kehilangan referensi-referensi otentik atas realitas hidup.
* * *
Revolusi teknologi memang kerap melahirkan ketakjuban dan ramai dengan keimanan mutakhir umat teknologi. Telepon, televisi, atau internet adalah revolusi teknologi dengan kisah-kisah menakjubkan untuk perubahan tatanan hidup manusia: kisah absurd tapi realis. Revolusi teknologi selalu meminta iman dengan ketundukan dan dominasi. Fakta itu membuat teknologi kerap menebar sakit dan risiko mengenaskan-melenakan.
Abad XX dan XXI adalah abad televisi, abad telepon, abad internet, abad virtual, abad teknologi-komunikasi, abad cyberspace. Umat teknologi tak henti dan birahi untuk mendapati revolusi hidup. Pamrih menikmati hidup indah dengan teknologi justru melupakan kompensasi dan sisi gelap revolusi teknologi. Yasraf Amir Piliang (2004) dengan kritis mengajukan peringatan bahwa integrasi, nasionalisme, atau solidaritas terus kehilangan realitas sosial dan lekas menjadi mitos karena revolusi teknologi global. Teknologi-teknologi mutakhir justru menjadi indikasi untuk tragedi akhir sosial.
Sebaran kuasa televisi, telepon, atau internet di pelosok negeri menjadi operasionalisasi utopia teknologi untuk memberi sorga dan kenikmatan hidup pada umat manusia. Fakta mutakhir mencengangkan adalah internet. Internet menjelma juru selamat atau penunjuk jalan untuk masuk dalam lakon masyarakat global: politik global, ekonomi global, budaya global, informasi global, atau gaya hidup global. Internet masuk dengan janji perubahan nasib dalam akses informasi dan komunikasi melalui sistem dan konstitusi sesuai imperatif-imperatif ideologi teknologi.
Internet pada hari ini merupakan ritual mumpuni dalam merayakan cyberspace. Internet adalah kisah dengan ketakjuban dan kelenaan. Internet pun menjadi jawaban untuk perkara chatting sampai lakon politik. Internet menggairahkan karena kerap memberi kemudahan dan keajaiban. Internet menggelisahkan karena kesamaran batas akhir kenikmatan atau kontrol otonomi dalam kondisi kecanduan.
Kerepotan dan kemudahan hidup mulai tak karuan untuk batas beda atau batas nilai. Rumah mulai menjadi panggung untuk keramaian lakon televisi, telepon, dan internet. Internet adalah lakon sugestif-imperatif untuk membuat umat teknologi tak usah meninggalkan rumah dalam mengurusi seribu satu perkara hidup. Internet ingin memanjakan manusia untuk terpinggirkan dari kesadaran ruang-waktu dan realitas hidup? Inikah janji sorga cyberspace? Revolusi teknologi komunikasi-informasi dalam konteks cyberspace mungkin mengantarkan manusia tidak dalam pencarian makna tapi pencairan makna secara sembrono.
* * *
Kemabukan diri ketika masuk cyberspace melalui internet menjadi kisah menggelisahkan. Laku mengakses informasi-komunikasi dengan internet memang kelumrahan tapi gairah untuk masuk dalam permainan-permainan manja bisa melahirkan tragedi-realitas. Kesibukan dengan internet membuka pintu untuk isolasi dan alienasi dari relitas hidup. Realitas representasi justru mengantarkan pemakai teknologi masuk dalam cerita bersambung tanpa ada epilog. Kisah itu fakta imperatif dari revolusi teknologi sebagai revolusi hidup.
Televisi, telepon, atau internet belum mati. Teknologi-teknologi itu justru terus melakukan metamorfosa mencapai kesempurnaan untuk memberi manusia janji seribu sorga. Realitas hidup selalu mendapati godaan-godaan melenakan atas nama tatanan hidup mutakhir. Cyberspace mulai jadi kiblat hidup dengan ketakjuban dan keajaiban. Cyberspace telah mengantarkan manusia hadir dalam tegangan realitas-representasi-semu atau realitas hidup. Cyberspace pada hari ini adalah tanda tanya dan tanda seru untuk pamrih manusia menjadi manusia. Begitu.


Dimuat di Suara Merdeka (1o November 2oo8)

Ziarah Imajinasi: Kata dan Kota

Oleh: Bandung Mawardi

Kata mengantarkan manusia untuk menciptakan, menemukan, menghancurkan, atau membunuh kota. Drijarkara (1956) mengingatkan bahwa kota itu kata dan ruang yang mengandung kengerian dan risiko. Kota sebagai kata memang memberi utopia dan janji indah tapi melenakan dan melengahkan. Kota sebagai ruang hidup adalah ruang kompetisi, konfrontasi, dan konflik. Kota dalam kisah dan deskripsi itu lahir dengan narasi kata dan kekuatan imajinasi. Kota itu hidup dan mati karena imajinasi dalam suatu konstruksi teks. Drijarkara menulis arti kota dengan referensi fakta kota-kota di Indonesia
Teks atau tulisan memiliki kekuatan imajinasi. James Joyce menuliskan cerita-cerita mumpuni dan impresionistis mengenai tokoh, kisah, peristiwa, dan suasana kota Dublin. Cerita-cerita James Joyce menggerakan pembaca melakukan ziarah imajinasi dengan semiotika melimpah mengenai kota. James Joyce dengan buku Dubliners mengisahkan fakta dan fiksi kota dengan fasih dan hidup. Dubliners adalah manifestasi kata dan kota mengacu pada pengisahan semiotik dan simbolis.
Kota dengan imajinasi-imajinasi memukau dikisahkan Italo Calvino dalam Invisible Cities. Kisah-kisah dalam teks itu menguraikan kenangan, keinginan, tanda, nama, dan sekian hal. Italo Calvino dengan imajinatif mengantarkan pembaca pada dialog sejarah dan konstruksi kota dalam metafor-metafor lirih, sendu, dan mencengangkan. Pengisahan kota menjadi manifestasi dari kekuatan kata dan keterbukaan ziarah imajinasi.
Kata mengantarkan imajinasi kota. Kata memiliki kemungkinan-kemungkinan dengan konstruksi metafor untuk membuka pintu ziarah imajinasi yang mencengangkan, menegangkan, dan menggairahkan. Metafor memainkan peran sebagai acuan konstruksi kota dalam tegangan fiksi dan fakta. James Joyce dengan fasih dan mumpuni membuktikan bahwa kata mengisahkan dan mengekalkan kota. Metafor menjadi sebuah kunci dalam konstruksi kota secara imajiner dan faktual.
Kata dan kota pun identik dengan sastra Indonesia modern. Sastra modern lahir di kota dan cenderung mengisahkan kota sebagai pusat. Jakob Sumardjo dalam sekian tulisan kerap mengulangi bahwa identitas sosiologis sastra Indonesia adalah kota. Teks-teks sastra lahir dengan ruh kota. Teks-teks itu menjadi acuan dari ziarah imajinasi yang memberi pengaruh pada proses transformasi sosial, ekonomi, politik, dan kultural di Indonesia. Kota-kota dalam teks-teks sastra Indonesia modern memainkan dominasi dengan kecenderungan-kecenderungan streotipe. Kota kerap dikisahkan dengan konstruksi teks dan metafor yang miskin dan klise.
Pilihan-pilihan metafor menjadi penentu kekuatan sebuah teks untuk mengantarkan pembaca dalam ziarah imajinasi. Metafor kota yang liris ada dalam puisi Goenawan Mohamad “Kepada Kota” (1963). Puisi itu dengan lembut mengisahkan kota dalam metafor-metafor liris. Kota sebagai pusat modernitas menemukan kisah lain dalam puisi Goenawan Mohamad. Mobilitas kota dan fakta-fakta besar mengenai kondisi kota menjadi luluh dan lamban. Goenawan Mohamad menulis kota dalam paradoks diam dan tegang: Hindarkan saat-saat senyap: udara mengertap / deru mobil dan huruf-huruf berlampu kerjap. Kota itu menjadi semiotika yang terbuka. Pengisahan itu menemukan konklusi dalam pilihan membaca dan menerima kota: Biarkan kita terjaga / Biarkan bumi semakin bergesa. Konklusi itu adalah siasat terhadap abad yang berlari dan dunia yang berlari.
Kisah (sejarah) kota-kota di Indonesia memang masih menyimpan curiga dan rahasia. Kota-kota itu menemukan bentuk kisah dalam teks sastra, catatan perjalanan, dan buku. Referensi–referensi mengenai kota-kota itu ada dalam kontruksi kata dengan pilihan sebagai fiksi, berita, catatan, atau studi ilmiah. Tome Pires menjadi sosok penting dalam pengisahan kota-kota itu dengan deskripsi dan imajinasi. Tome Pires dengan Summa Oriental adalah referensi mumpuni untuk ziarah imajinasi mengenai kota-kota di Indonesia pada abad XVI.
Kota-kota itu tumbuh dan kentara mengonstruksi diri menjadi kota modern sejak permulaan abad XX. Pertumbuhan kota-kota modern itu membawa nostalgia dan utopia dalam janji suci dan risiko. Kota mulai menjadi perkara merepotkan dalam kerja sastra. Teks-teks sastra hadir dalam dalil dan pamrih pengisahan kota dengan kritik dan afirmasi. Catatan pendek mengenai sastra Indonesia modern membuktikan bahwa ada kekakuan dalam menuliskan metafor dan ajakan untuk ziarah imajinasi yang menggelisahkan dan menggairahkan.
Kekakuan itu pecah dengan lirik-lirik kota yang dituliskan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Rendra, dan Afrizal Malna. Metafor-metafor mutakhir menemukan ruh imajinasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna yang kerap lahir dan bergerak dalam kota. Afrizal Malna biografis tumbuh dan hidup dengan kisah-kisah kota dalam tegangan modernitas. Afrizal Malna membaca dan menulis kota itu dalam puisi. Konstruksi kata dan imajinasi kota dengan tensi tinggi dan bau keras ada dalam puisi-puisi Afrizal Malna.
Afrizal Malna dalam puisi “Liburan Keluarga dan Pipa-Pipa Air” menulis: “Saudara, kota telah dibuat dari bangkai-bangkai sungai.” Metafor-metafor kota dari Afrizal Malna menjadi juru bicara pemikiran kritik modernitas. Kota sebagai pusat modernitas menjadi perkara karena kuman dan kematian sejak mula ada dalam kota. Kata dan kota dalam puisi Afrizal Malna memiliki jalan lain dari streotipe-sterotipe perpuisian Indonesia modern.
Afrizal Malna dengan metafor-metafor mengabarkan sebuah imperium semiotik yang memberi sekian kunci untuk pembaca memilih ziarah imajinasi melalui pintu depan, samping, bawah, atas, atau belakang. Biografi kota dari Afrizal Malna melahirkan impresi-impresi menegangkan dalam teks puisi. Biografi dalam migrasi mengantarkan Afrizal Malna untuk menuliskan sebuah kota dengan kenes dan ironi dalam puisi “Mikropon yang Pecah”: Kota kecil itu kini jadi kata tanpa penghuni …. Orang mengatakan bahasa jadi yatim piatu di kota kecil itu. Afrizal Malna menuliskan kota dengan ironi tentang kehadiran eksistensi, komunikasi, dan interaksi untuk laku hidup manusia. Puisi itu getir.
Ironi kota terus menemukan klimaks dalam pengucapan keras dan reflektif. Afrizal Malna dalam puisi “Bis Membawa Mereka Pergi” dengan fasih mengisahkan kota dengan kengerian dan kebuasan. Afrizal Malna menulis: Kota seperti etalase dihuni jam weker yang buas di situ. Kisah kota dalam klimaks lain dituliskan dalam puisi “Mitos-Mitos Kecemasan”: Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Kota menjadi ruang untuk tragedi dan tumbal modernitas. Ziarah imajinasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna memberi kemungkinan pada pembaca melakukan negasi atau afirmasi karena kata-kata Afrizal Malna. Intensitas pengisahan kota masih bisa ditemukan dalam puisi-puisi akhir Afrizal Malna.
Imajinasi kota memberi kemungkinan kelahiran curiga dan membaca kota dengan miris atau kelaziman. Pertumbuhan kota-kota di Indonesia memang mengandung denotasi-denotasi mencengangkan. Kota ada dengan konstruksi besar dalam alur dan klimaks-klimaks kompleks dan semrawut. Kota dengan konotasi-konotasi tertentu mulai diabaikan dan dilupakan karena pragmatisme menata hidup dan kebebalan dalam membaca imperium semiotik kota.
Kota-kota terus mengalami perubahan dan kata terus mengucapkan kota dengan eksplisit atau implisit. Kata masih mungkin menjadi kunci ziarah imajinasi kota untuk luluh dan remuk dalam fakta atau realitas kota. Puisi masih patut menjadi tukang dongeng dengan metafor-metafor. Afrizal Malna dalam puisi “Pindah ke Kota Lain” menulis: lampu / merah dan tanda jalan tidak bisa menahan perubahan kota …. kami sibuk / mencari kota. tempat puisi membangun / atap bahasa. Ziarah imajinasi kata dan kota selalu belum selesai. Begitu.


Dimuat di Lampung Post (9 November 2oo8)