Minggu, 27 Januari 2008

Gus tf, Pencarian yang Tak Sampai, dan Hasrat yang Fiksi

(Sebuah Pembacaan atas Kumpulan Puisi Daging Akar)

Oleh: Haris Firdaus

Membaca puisi-puisi karya Gus tf dalam Kumpulan Puisi Daging Akar, kita seperti diajak melakukan sebuah pencarian yang panjang. Dalam buku yang berisi 38 sajak dan dibuat dalam rentang waktu 1996-2000 ini, tema dominan yang menyeruak dari bait-bait puisi yang ada adalah sebuah pertanyaan yang mencari. Sebagian besar puisi Gus tf tak mengajak kita “berkhayal” tapi mengusik kita dengan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi manusia dan makna kehidupan.

Eksistensi manusia dan makna hidup. Ya, dua hal besar itulah yang agaknya dicari Gus tf melalui Daging Akar. Dua tema yang selalu saja menjadi kegelisahan para filsuf, penyair, dan pemikir itu seakan hendak diulangi lagi oleh Gus tf melalui puisi-puisinya. Akibat keinginan ini, barangkali, kebanyakan puisinya dalam kumpulan ini adalah puisi yang mengajak “berpikir” bukan “membayangkan”. Tentu saja, ini hanya tafsir pribadi saya ketika melakukan sebuah interaksi dengan Daging Akar.

Salah satu puisi yang berusaha merengkuh makna hidup dan eksistensi manusia adalah puisi pertama dalam kumpulan ini, Daging. Simak bait ini:

Angkasa inilah yang menggelembungkan balon

di kepalaku. Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan

dada yang mengerang. “Siapa Anda? Punyakah Anda secebis

kisah tentang dunia? Tolong.”

Bait pertama Daging adalah sebuah refleksi tentang angkasa dan planet, sebuah metafora tentang alam: tempat manusia hidup. Tempat itu begitu luas, sehingga manusia menjadi gelisah dan “gumpalan planet” menjadi “seperti gumpalan dada yang mengerang”. Sebuah kegelisahan akan tempat, latar, dan ruang di mana si aku lirik hidup tercermin dalam bait pertama Daging. Lalu, setelah kegelisahan itu, akhirnya ia bertanya: “Punyakah Anda secebis kisah tentang dunia?” Sebuah pertanyaan yang—tentu saja—berusaha menjawab kegelisahan-kegelisahan itu.

Keinginan untuk melakukan pencarian dan pencerapan makna juga terlihat dalam puisi berjudul Si Gila. Puisi itu bercerita tentang sebuah keluarga yang “pragmatis” menjalani hidup: tidur, bangun, makan, nonton televisi, dan cari keuntungan. Sebuah hidup yang begitu dingin, begitu biasa, dan sama sekali tak berurusan dengan soal eksistensi dan makna hidup. Tapi, tiap senja keluarga itu selalu melihat seseorang yang turun dari taman kota dan dari pintu pagar ia berteriak: “Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?” Keluarga itu cuma melihat, dan tak ambil peduli. Mereka anggap orang itu sebagai orang gila.

Pencarian makna dan eksistensi dalam puisi ini hanya terwakili oleh kalimat tanya si gila: “Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?”. Bait-bait lain dalam puisi ini justru diisi dengan sikap ketakpedulian terhadap pencarian makna. Agaknya, Gus tf ingin memberi sebuah kontras, sebuah beda antara hidup yang haus makna dengan sebuah hidup yang rutin dan tanpa gairah pencarian.

Pencarian itu juga terlihat dari bait puisi berjudul Darwinis berikut:

Lupakan Adam dan Hawa. DNA pertama butuh

entah berapa mutan jadi entah apa menjelma kera jadi

manusia. Milyaran tahun, Saudara. Pernahkah kau

berpikir tentang sebuah fosil sebelum cecak

sebelum buaya? Kautahu: ia luput ia tak ada.

Pada puisi ini, pencarian yang dilakukan lebih beraroma sains ketimbang filsafat. Gus tf dengan jeli memanfaatkan kontroversi soal Teori Evolusi Darwin untuk digubah menjadi sajak yang lagi-lagi mengajak kita “berpikir”. Aroma pencarian segera terasa meski dalam sajak ini bukan makna hidup yang utuh yang ingin dicari.

Jalan Menuju Pencarian

Dalam sebuah pencarian, tentu ada dua hal mendasar: pertama, kenapa pencarian harus dilakukan. Kedua, bagaimana pencarian itu dilakukan. Dua hal mendasar inilah yang juga akan saya cari jawabannya dari sajak-sajak yang terdapat pada Daging Akar.

Dalam beberapa sajak Gus tf, saya temukan nada asing sebagai manusia. Manusia, dalam sajak penyair kelahiran Payakumbuh ini, adalah semacam sosok yang asing dari sekelilingnya. Ia tak mengenal, ia tak akrab, dan ia tak paham akan kondisi lingkungannya. Dalam puisi berjudul Bukan Bagian, Gus tf menulis:

Suatu ketika — entah bila —

aku bukan bagian dari alam raya. Tentang apakah manusia,

tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja. Tak ada pikiran

tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati. Tak ada

apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.


Keasingan itulah yang menurut saya menjadikan sebuah pencarian harus dilakukan. Pencarian ke luar dan pencarian ke dalam. Manusia harus mengenal lingkungannya sekaligus mengenal dirinya sendiri. Barangkali sudah jadi kodrat bahwa manusia adalah makhluk yang tak bisa bertahan dari keasingan. Maka, pencarian dilakukan. Tapi, dengan apa? Gus tf menjawab dalam puisi berjudul Jalan Akal, 1:

Aku jatuh dari angkasa. Bumi bagiku asing. Selamat datang

jiwa. Inilah ia, jalan akal yang terbentang. Panjang. Adakah

kautemukan pola — yang bernama raga? Entah. Tapi lihat,

Aku dihadang oleh yang hancur, oleh yang kekal,

oleh sesuatu yang terus mengalir....


“Jalan akal” yang terbentang panjang itulah yang agaknya ingin disarankan oleh Gus tf untuk melakukan pencarian, mencoba menemukan makna, dan melawan keasingan yang menghinggapi dirinya. Di sini terlihat bahwa Gus tf tak menyerah begitu saja pada keasingan, pada rimba raya pertanyaan yang mengerumuninya. Ia ingin melawan, ia ingin mencari dan memberi makna pada hampara kekosongan yang ia hadapi. Tapi, hadangan-hadangan dalam melakukan pencarian itu sudah pasti membentang.

Pencarian yang Tak Sampai

Pertanyaan selanjutnya: berhasilkah pencarian lewat “jalan akal” itu? Agaknya, keberhasilan yang penuh tak dapat dicapai. Dalam bait kedua Daging, aroma ketidakberhasilan pencarian itu sebenarnya sudah terasa:

Tidak. Tak ada kisah

tentang dunia. Kecuali dongeng, semacam konon,

yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya. “Ini

bulan, kuserpih dari seratku yang malam. Ini matahari, kubeset

dari kulitku yang siang. Pada keduanya ada gerhana, tempat

kau berpikir tentang tiada.”

Membaca bait itu, kita diberi tahu bahwa kisah tentang dunia yang diharapkan oleh si aku lirik ternyata hanya “dongeng” atau “semacam konon yang diterbangkan oleh sepotong daging”. Apa makna “daging” di sini? Gus tf, dalam pengantarnya, mencoba memberi penafsiran bahwa “daging” yang hadir dalam puisinya adalah semacam materi. Saya ikuti penafsiran itu: daging barangkali semacam materi, sebuah benda nyata yang bisa diraba, atau kebalikan dari “dongeng” dan “konon”. Tapi si daging yang nyata itu ternyata hanya membawa “konon”. Ia tak membawa sesuatu yang pasti. Manusia adalah “daging”: sebuah materi yang nyata. Tapi, ia tetap tak memiliki pengetahuan tentang dunia secara pasti.

Begitulah, pencarian akan makna dunia tempat manusia hidup dan tinggal ini ternyata hanya semacam “dongeng” atau “konon”: sebuah metafora tentang cerita yang tak pasti, antah-berantah, atau tak jelas. Agaknya, Gus tf ingin berkata: hasrat pengetahuan yang ingin menggengam dunia secara penuh adalah sebuah hasrat yang fiksi. Sebuah hasrat yang akan mirip seperti “dongeng” dan “konon”.

Pembacaan saya atas beberapa sajak lain di Daging Akar juga berbuah kesimpulan bahwa pencarian yang dilakukan penyair akhirnya merupakan pencarian yang tak sampai. Hasrat menggenggam makna dunia dan mencerap seluruh makna yang ada, pada akhirnya tetap sebuah hasrat yang fiksi. Barangkali Gus tf belajar dari pengalaman sains. Ilmu yang digelari “pasti” itu ternyata tak habis-habisnya hanya berkutat pada sebuah usaha yang bisa diberi nama sebagai “penafsiran atas dunia”. Ya, sebuah penafsiran, sebuah usaha yang mengandung probabilitas untuk gagal atau benar.

Dalam Jalan Akal, 2 Gus tf menulis:

Mereka temukan engkau sebagai jalan. Jalan tak

putus ke ketiadaan. Seperti aku, seperti mereka, tidur

dan bangun di dua kerajaan. Satu berebut dunia, satu

berebut Tuhan. Engkau dengar? “Dapat! Dapat!”

Entah kapan.

Puisi itu adalah sebuah sinisme Gus tf terhadap mereka yang yakin mampu menemukan “dunia” dan “Tuhan” dengan jalan akal. Teriakan “Dapat! Dapat!” yang diperdengarkan oleh orang-orang yang melakukan pencarian itu, dicemooh Gus tf dengan ucapan “Entah kapan.” Artinya, Gus tf meragukan bahwa orang-orang yang menggunakan “jalan akal” untuk “berebut dunia dan berebut Tuhan” itu akan berhasil. Teriakan “Dapat! Dapat!” barangkali hanya semacam fiksi yang hadir di tengah pencarian itu.

Tapi, bisa jadi saya salah. Mengikuti Gus tf, pembacaan yang coba saya lakukan ini barangkali juga merupakan “pencarian yang tak sampai”. Hasrat saya menafsir bulat-bulat sajak-sajak dalam Daging Akar, barangkali, juga merupakan “hasrat yang fiksi”.

(Dimuat di Majalah Kalpadruma Tahun 2007)

Rabu, 23 Januari 2008

Narasi: Sebuah Catatan

Oleh: Ridha al Qadri

Setiap narasi fiksi mempunyai perhitungan penceritaan dan efek pembacaan tertentu. Pengarang, atau sastrawan, memilih cara-cara penceritaan supaya pembaca masuk dan mengerti dunia yang diciptakan. Kata-kata disusun sebagai medium untuk mengantarkan lapis-lapis makna dan dunia yang dimungkinkan terpahami. Seperti pernyataan Rolland Barthes bahwa “membaca sebuah narasi tidak hanya melalui satu kata ke kata yang lain, melainkan juga melalui satu level ke level lainnya.”

Pada paragraf awal Ronggeng Dukuh Paruk deskripsi alam yang panjang menimbulkan narasi situasi dari alur hidup yang sulit: “Sepasang burung bangau melayang meniti angin....mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air...” Bagian awal dari novel itu narator bukanlah wakil dari pembaca, yang meminjamkan mata dan pendengaran. Pembaca seakan secara langsung mempersepsi gambaran fiktif. Ahmad Tohari tidak menyelipkan subyektifitas. Ia seperti tidak hadir dalam narasi. Pembaca seolah tidak mendengar suara pencerita. Sedang kenyataan yang visual dan yang didengar tertulis atau tampil begitu saja. Sehingga ada yang bergerak dalam pikiran pembaca.

Namun, tiba-tiba sudut penceritaan berubah ketika memasuki bagian kedua. Narator hadir atau eksplisit sebagai salah satu karakter utama dalam cerita, yakni Rasus. Sedangkan pada bagian setting cerita yang lain tidak memungkinkan karakter Rasus muncul sekaligus sebagai narator. Hal ini berlangsung seperti ketika pertemuan dan dialog Kertareja dan Dower. Pada saat itu pengarang telah membelokkan dan mengambil alih sudut penceritaan. Pengarang tidak sebagai tokoh cerita tapi tahu banyak tentang cerita. Dia seperti mengamati dan melaporkan kembali pada pembaca dengan deskripsi dialog dan detail. Di sana suara narator terdengar melalui komentar seperti “Kertareja sedang gelisah” dan “hati Dower makin kacau”. Pada novel Ronggeng Dukuh Paruk secara inkonsisten narator bergantian tidak hadir dalam cerita, menjadi salah satu tokoh, dan sebagai pengarang.

Kewenangan pengarang sebagai narator adalah upaya meyakinkan pembaca pada pengenalan cerita itu mendekati kenyataan. Pada cerita panjang Sri Sumarah, Umar Kayam sebagai pengarang dan narator yang bukan bagian dalam cerita banyak mengerti rentetan sejarah tokoh utama. Bahkan pikiran dan perasaan tokoh mayoritas dapat dikenali dari deskripsi narator, seperti dalam sebuah paragraf ini: “sebagai layaknya seorang perempuan anak priyayi Sri diam saja. Sebab pertanyaan “mengerti” tidak untuk dijawab mengerti, karena ‘mengerti’ adalah mencari untuk mengerti.” Di sana realitas terwakilkan melalui kewenangan pengarang. Narator dan pengarang adalah sama.

Narasi seperti ini lebih menekankan kebutuhan memberi informasi. Informasi Sri Sumarah diletakkan dari kode kultural yang jadi fokus tematik, yakni citra wanita jawa. Narator jadi perantara, mereduksi, dan kadang melebihkan realitas yang dapat diserap pembaca. Akibatnya, realitas fiksi diserap pembaca secara tak langsung. Ruang artikulasi pembaca jadi sempit dan takluk pada pencerita. Referensialitas peristiwa adalah pembekuan tema. Sedang pemaknaan pembaca cenderung tunggal dan satu arah dari perantaraan narator.

Pada narasi lain narator dapat jadi wakil indera pembaca namun pikiran dan perasaan tokoh juga dipresentasikan oleh dialog tokoh sendiri. Ketika Franz Kafka membuka Metamorfosa dengan “Ketika Gregor Samsa bangun suatu pagi dari mimpi-mimpi buruknya” terjadi narasi komunikasi interpersonal yang diteruskan dengan “dia menemukan dirinya berubah di atas tempat tidurnya menjadi seekor kecoa yang menakutkan. Dia menelentang di atas punggungnya yang keras seperti kulit kerang itu...” Pada momen naratif ini pencerita dan tokoh bergantian atau bersamaan menunjukkan kondisi yang ada. Kemudian monolog pendek tokoh “apa yang terjadi padaku?” menguatkan kesadaran atas kondisinya yang menyedihkan. Di sana kebutuhan naratif lebih pada subyektifitas tokoh. Pengalaman tokoh tragis itu sebagai simbol keadaan masyarakat industri modern dilanjutkan monolog panjang Gregor Samsa di tempat tidur: “O Tuhan...pekerjaan yang sangat melelahkan yang pernah kupilih! Selalu bergerak siang dan malam...aku terbebani dengan ketegangan semua perjalanan ini, cemas akan jadwal kereta api, makan yang tidak enak dan tidak teratur, pertemuan dengan wajah-wajah yang selalu berubah yang tak memungkinkan adanya persahabatan yang abadi dan hangat”.

Kenyataan yang lain menunjukkan bahwa bahasa menimbulkan relasi yang unik terhadap narasi. Kalimat-kalimat narator kadang dimaksudkan merujuk keadaan tertentu dengan menggambarkannya secara tak langsung. Rumusan naratif seperti ini adalah meyakinkan ada sesuatu di balik kalimat. Seperti ketika Gao Xingjian tidak memakai kata lelah, dingin, dan lama dalam paragraf awal Gunung Jiwa: “kau menaiki bis yang berkoridor panjang. Dan sejak tadi pagi, bis yang dirancang untuk angkutan kota ini, selama dua belas jam terguncang-guncang di atas jalan-jalan pegunungan yang tak terawat, penuh dengan lubang dan tanjakan, sebelum tiba di desa kecil ini, di Selatan.“ Meski narator seperti punya kewenangan atau banyak tahu terhadap cerita, efek naratif itu memungkinkan ditemukan oleh pembaca banyak hal dibalik kalimat. Strategi tekstual Gunung Jiwa adalah seni narasi yang memberi atau membungkus kesan-kesan inheren dalam kalimat. Pembaca tidak hanya dibawa pada dunia cerita, namun juga efek estetik yang memungkinkan diserap. Narator jadi perantara dunia cerita, namun pembaca diajak membayangkan dan merasakan guncangan selama dua belas jam di pegunungan. Di sanalah sesuatu di balik kalimat muncul di benak pembaca.

Strategi naratif yang lain kadang meletakkan kontradiksi di antara tema dan karakter. Stategi ini terjadi dalam cerpen Sebuah Pertemuan karya James Joyce. Narasi cerita dituturkan oleh seorang anak. Cerita diawali keputusan tiga anak, termasuk narator, untuk membolos dari sekolah esok hari. Ternyata salah satu anak berkhianat dan dua anak yang lain nekat membolos. Di sebuah bagian paragraf narator menuturkan: “...kami mengatur sebuah penyerangan; tetapi serangan itu gagal karena kami setidaknya harus beranggotakan tiga orang untuk melakukannya. Kami marah-marah karena Leo tidak ikut dan mengatakan bahwa dia itu penakut...” Kemudian, setelah dua anak yang merasa pemberani itu lama berjalan, mereka bertemu remaja yang membuat narator ketakutan: “......tetapi jantungku berdetak cepat karena takut kalau-kalau dia akan menangkap tumitku...suaraku terdengar mempunyai logat seperti keberanian yang dipaksakan dan aku malu dengan sikap pengecutku.” Pada narasi itu pengarang melepaskan diri dari kemungkinan jadi narator. Kondisi kontradiktif dan keseluruhan cerita seolah dituturkan tokoh fiktif, atau anak, di dalam cerita itu sendiri.

Jadi, setiap cerita memiliki perbedaan strategi naratif sesuai kebutuhan narator menunjukkan realitas tertentu. Ada kelebihan dan kekurangan masing-masing sudut penceritaan. Demikian, catatan mengenai narasi sementara dihentikan.

Kartasura, 28 Pebruari 2007

(Dimuat di Buletin Sastra Pawon, Solo, Edisi Maret 2007)

Sastra, Rumah, Ruang, Orang

Oleh: Ridha al Qadri

I

Kita mungkin setuju dengan pendapat Gaston Bachelard dalam buku Poetics of Space, bahwa suatu tempat tinggal adalah sebuah kawasan yang terkait dengan pikiran, tindakan, ingatan, dan mimpi (6:1969). Kita mengalami rumah masing-masing. Kesadaran kita terstruktur dari historisitasnya; pertautan mental tiap anggota keluarga, kultur, dan keberadaan di ruang-ruang tempat tinggal. Umumnya, rumah selalu jadi dunia pertama, dan utama, sebelum dunia luar. Rumah seperti terminal, ruang yang didiami bersama, wilayah yang menghubungkan pengetahuan, harapan, persepsi, dan pengalaman penghuninya dalam kosmos.

Sedangkan sastra kadang merekam keadaan-keadaan orang dari dalam rumah itu.

Sebuah puisi Joko Pinurbo menggambarkan salah satu keadaan tersebut; sebuah puisi tentang keinginan seseorang untuk lebih mengenali keluarganya, tapi juga subjek yang menghadapi keterasingan, konflik, dan dilema yang tak terselesaikan. Kondisi itu berupa kehadiran bersama yang disertai kehilangan bersama. Si anak mengaku hendak mencari sang ayah, yang lama tak lagi didengar dengkurnya. Sang ayah mengaku akan mencari sang anak, yang sering pergi dari rumah. Tiba saat berhadap-hadapan, mereka tidak mengenali atau pun mengakui identitas yang lain; ayahnya sendiri, maupun anaknya sendiri. Puisi Pertemuan itu mengisahkan kebiasaan sekaligus kesulitan orang-orang berinteraksi di tengah habitatnya sendiri, karena aktivitas-aktivitas individual yang melalaikan kehadiran orang lain, walau masih bersama teman hidup paling dekat: ayah, ibu, dan anak(87:2005):

Ketika pulang, yang kutemu di dalam rumah

hanyalah ranjang bobrok, onggokan popok,

bau ompol, jerit tangis berkepanjangan,

dan tumpukan mainan yang tinggal rongsokan.

Di sudut kamar kulihat Ibu masih suntuk berjaga,

menjahit sarung dan celana

yang makin meruyak koyaknya

oleh gesekan-gesekan cinta dan usia

Memang seolah tak ada keakraban dan kenyamanan dalam setting “ruang bersama” seperti itu. Terasa ada nada lesu dari persepsi “aku”, yakni representasi atas kejenuhan. Hal-hal yang fisik; ranjang, popok, ompol, celana, baju; memberi ilustrasi pada yang psikis. Selanjutnya, baris-baris dialog antara ayah, anak, dan ibu, mencerminkan situasi yang psikis itu mengenai problem perhatian dalam keluarga; ada rindu, sikap acuh, tingkah konyol, olok-olok, dan saling abai. Berikutnya kita terkesan, bahwa sepertinya rumah jadi tempat yang hanya menyediakan ruang bagi yang kurang nyaman. Interaksi terus menerus bukan membentuk sebuah kedekatan, sebab terjadi pengabaian terhadap teman hidup dalam ruang bersama. Seolah mereka tidak saling kenal. Bahkan, ketika kembali dari satu kepergian, keadaan ruang justru menambah kecewa, karena kurangnya sentuhan atau perhatian penghuni pada interior. Pengabaian terhadap interior dikarenakan absennya tatanan ruang, hilangnya cita rasa estetis terhadap benda-benda.

Adakah rasa memiliki bersama tempat tinggal yang tak dipedulikan penataannya itu? Gambaran akan interior, yang kacau, berantakan, membosankan, semakin merintangi keintiman interpersonal. Meski masih dihuni, “ruang bersama” seperti bukan termasuk kategori kesadaran kolektif, yang saling dimiliki dan memiliki: rumah yang kurang memberi harapan pada perjumpaan.

Pada momen seperti itu subyek mengalami peristiwa tertentu: peristiwa subyek yang di ambang kegagalan romantisme. Subjek mengalami “perpisahan” di dalam ruang bersama. Kepahitan subjek laki-laki ini adalah persepsi bahwa teman hidup paling dekat terasa tidak menawarkan partisipasi pada tiap pertemuan, sebuah perjumpaan tanpa percakapan dari hati ke hati. Tiap kesempatan adalah percakapan yang sepele, sambil lalu, bahkan sia-sia. Tiada upaya pengenalan terhadap keluarga. Dengan demikian, kita rasakan bayang-bayang keterasingan, keterasingan sebab pelupaan terhadap teman hidup di bawah satu atap.

II

Karena sama-sama asing, tragiskah mereka? Persoalannya barangkali karena rasa enggan; kurang memikirkan orientasi bersama dalam ruang milik bersama.

Secara bersamaan, orang mengatur alur hidup dalam rumah dengan menyesuaikan, juga ditentukan, oleh keberadaan kamar-kamar. Dengan sekian ruang, rumah hadir dengan distraksi, maka hadir pula penjarakkan: wilayah kolektif yang terdiri dari sekian teritorial atau pembatasan. Kemudian dengan adanya ruang-ruang tersebut, rumah berpotensi semakin melengkapkan keterasingan itu. Rumah yang terbagi dengan kamar-kamar tertentu memungkinkan orang lebih asyik dengan kesendiriannya masing-masing. Orang kadang menanggung kesepian sendiri dalam ruang rumah, terutama di kamar tidur. Di tempat itu, kamar tidur, jadi semacam sarang, dengan dinding dan pintu sebagai batas serta pelindung. Keterasingan dalam satu rumah ditambah isolasi individu dalam kamar. Kamar adalah alternatif keterasingan di lingkungan tempat tinggal.

Sebuah sajak Toto Sudarto Bachtiar tahun 1955 menggambarkan pengalaman dan perasaan individual di suatu ruang yang privat itu. Sajak berjudul Kamar itu, yang dimuat dalam kumpulan sajak Suara, menandai sikap menyendiri karena kepahitan akan cinta, antara perasaan gembira dan sedih, emosi-emosi berlawanan yang muncul bersamaan: Apa yang lain dari cinta yang kena dera/Cinta tambah besar, sebab sendu tambah menderita/.../ Penuh sakit, penuh tanya di jalan buntu//Dari kamar ini kau akan makin tahu gairah pedih/Dari kamar ini kau makin tahu kebesaran suka(48:1977).

Di kamar itu, sebuah ruang dalam rumah, mungkin jadi tempat marayakan bahagia maupun penderitaan. Pada sebuah sajak Sitor Situmorang dari kumpulan Wajah Tak Bernama, yang ditulis tahun 50-an setelah pulang dari Eropa, berjudul Jam, justru menceritakan kenyamanan soliter dalam kamar (28:1982). Dalam sajak ini penyair cenderung mengalami kamar sebagai tempat mengabaikan dunia, juga kesempatan menikmati kesendirian ketika memori sedikit demi sedikit jadi pudar, yang justru disertai desakan waktu: “Aman sendiri dalam sunyi kamar/...Lupa segala yang di luar...//sunyi pun menyusup dalam pikiran/yang terlihat semua seakan ketiduran,/perabot, dinding dan kenangan bertaburan,/menyatu dalam samar kelupaan.”

Di sajak yang cenderung ingin melukiskan impresi ini, ruang mempengaruhi kondisi pengalaman penyair di ambang ketidaksadaran. Kamar yang memungkinkan untuk menyembunyikan diri dari dunia luar, juga sebuah tempat yang memberi kesempatan untuk menangguhkan, atau meniadakan dunia luar itu. Sitor berada dalam perbatasan identitas budaya asal, Danau Toba, dengan pengalaman di Eropa. Pengalaman di dua dunia itu seperti membentuk ketegangannya. Ketegangan itu berupa ketegangan eksistensial, kondisi yang bisa membentuk keterasingan seseorang. Sedangkan seluruh beban identitas dan pengalaman itu jadi tak berarti di kamar tersebut. Kemudian, kamar jadi tempat untuk keasyikan privat, tempat “aman” dan “sunyi”. Kamar menentramkan seseorang; memberi alasan untuk arti pribadi yang jauh dari ancaman identitas, bebas dari gaduh, lepas dari kontingensi. Kamar memungkinkan momen negativitas.

Kondisi subjektif penyair dalam sajak Jam tersebut menegaskan bagaimana momen kembali berada besama keluarga setelah lama pergi ke negeri yang jauh mengalami permasalahan. Dalam sajak yang ditulis sebelumnya, yakni tahun 1950, Si Anak Hilang, Sitor menggambarkan dilema itu sebagai keakraban keluarga yang telah pudar: Si anak hilang kini kembali/Tak seorang dikenalnya lagi(20:2004). Namun bukan berarti “si anak hilang” menghendaki “tiada pulang”. Kontradiksi yang dialami Sitor, antara kerinduan pada keluarga dengan keasyikan berpetualang, tetap menyisakan kesadaran sebagai anak, sebagai orang yang memiliki asal, yang punya keluarga, seperti kerinduan yang ia gambarkan dalam sajak Danau Toba: Aku rindu pada bahagia anak,...//di sana, di tepi Danau Toba, kelahiranku(82:2004).

Berbeda dengan rumah secara keseluruhan, pengalaman terhadap kamar bersifat individual. Pengalaman terhadap rumah lebih bersifat kolektif. Pengalaman di sebuah kamar bersifat individual. Namun, di sebuah kamar juga berpaut ingatan, kemerdekaan seseorang, dan mungkin, seperti dalam sajak Sitor, ketegangan eksistensial. Kemerdekaan, pada keadaan tertentu, kadang diartikan sebagai tidak mengaitkan diri secara mutlak dengan apa pun; tidak ingin bergantung, tidak mau terus menerus dikuasai, atau terikat dengan selain diri sendiri. Anggapan ini barangkali sebuah laku demi subyektifitas, sebuah niat pemenuhan diri sendiri agar sementara bebas dari pelbagai pengaruh, dan untuk menentukan sendiri sebuah kehendak.

Tetapi, di kamar, kemerdekaan bisa saja dimungkinkan oleh ruang itu sendiri. Ruang yang terbentuk dari batasan-batasannya dapat memutus keterkaitan seseorang dalam kamar dengan dunia di luar kamar. Sebuah sajak Sapardi Djoko Damono, Ruang Ini, yang ditulis di awal tahun 80-an, menggambarkan nihilitas yang terbentuk karena wilayah yang tertutup itu dengan orang yang merasa harus menolak kontingensi(3:2000):

RUANG INI

kau seolah mengerti: tak ada lubang angin

di ruang terkunci ini.

seberkas bunga plastik di atas meja,

asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka

pada halaman pertama

kau cari catatan kaki itu, sia-sia.

Sajak ini, dari kumpulan sajak Ayat-ayat Api, dari pengelompokkan Ayat Nol, merupakan imaji tentang kosong. Orang yang hadir di ruang itu seperti memikirkan suatu eksplanasi, tentang keterangan, sebuah penjelasan, atau suatu pengertian. Ruang seolah tempat menutup diri, tak terikat dengan hal-hal di luar ruang, dan di sana orang itu justru semakin di ambang ketidakberartian. Anggapan tidak adanya “lubang angin”, juga “asbak yang penuh”, dan “bunga plastik”; menyatakan tentang diri yang statis, stagnan, penat, lelah, tiruan, palsu, murung, serta upaya mencari pemenuhan diri terus menerus. Apa yang dialami, hidup yang “sia-sia,” dan yang hendak dicari jalan ke luarnya, justru berhenti pada titik tidak pasti. Penjelasan pun semakin tidak diperoleh, sebab ruang yang diyakini sebagai tempat melepas kepahitan, atau tempat perlindungan, justru menciptakan situasi yang lebih buruk. Maka, di puisi itu, ruang menegasi orang. Di ruang menutup diri itu, orang itu makin kalah.

Tetapi, dari sekian kamar di rumah, rata-rata orang mengalaminya dalam durasi yang lebih lama dibanding ketika di kamar mandi dan toilet. Kamar mandi, juga toilet, memiliki keunikan tersendiri, yakni sebagai ruang untuk singgah sebentar. Namun, durasi yang pendek ini urgen dan sulit dialihkan. Kamar mandi kebanyakan membuat orang menanggalkan identitas yang polos, melihat tubuhnya telanjang, tak ada yang melekat. Tubuh tidak lagi terikat komoditas apa pun. Itulah sebabnya mungkin mesti sebentar. Mungkin orang tak tahan terlalu lama tanpa identitas penutup tubuh. Orang lain pun dilarang masuk ruangan itu. Namun, di kamar mandi, sifat murni orang jadi jelas bagi dirinya sendiri. Orang merayakan tubuhnya sendiri yang asli.

Begitu pula di toilet. Sambil buang hajat, orang cenderung berkhayal atau memikirkan sesuatu. Ruang yang sempit ini memberi proteksi. Juga karena sebentar, pikiran-pikiran orang ketika berada di toilet jarang terkena gangguan. Di sana, orang bebas merenungkan apa saja sambil mengurangi beban hidup: tentang mimpi atau derita. Setidaknya kita mengerti hal itu dari puisi Toilet; puisi yang mungkin dimaksud penyairnya sebagai parodi eksistensial. Di puisi itu Joko Pinurbo memakai metafor pelepasan hajat untuk rasa sakit, angan, dan kontemplasi; mengenai “telur-telur mimpi dan telur-telur maut”; bahwa “toilet itu cermin jiwa, ruang suci,/tempat merayakan yang serba sakral dan serba misteri//bertahun-tahun kita mengembara mencari wajah asli kita,/padahal kita dapat dengan mudah menemukannya,/ yakni saat kita bertahta di atas lubang toilet...”(51:2005).

Bahkan di toilet orang bisa reflektif dan kontemplatif. Orang cenderung solitude ketika berada di toilet, merenungkan “wajah asli” diri sendiri. Di sana, orang lebih suka bicara dengan diri sendiri. Pelepasan hajat, yang biasanyadiawali dan disertai rasa sesak, diakhiri rasa lega. Kondisi ini mirip pengertian katarsis dalam konsep estetika: penyucian rohani dengan lepasnya ketegangan atau kotoran jiwa. Sedangkan kotoran ketika buang hajat itu adalah sisa-sisa yang tidak mungkin diterima jasmani. Awalnya, orang memasukkan makanan ke tubuh, memakan sepenuhnya. Kemudian tubuh harus rela melepaskan sisanya, hal yang bila tidak dibuang justru membuat tubuh sakit. Pada momen ini, tubuh seolah mengalami peralihan sejenak. Barangkali tubuh berada di batas kesadarannya, karena totalitas konsentrasinya adalah hajat. Sering orang berusaha keras melepaskannya. Barangkali hal ini berakibat berkurangnya dominasi tubuh terhadap jiwa dan roh, terhadap “yang serba sakral dan serba misteri”. Tibalah tubuh pada titik maksimum pelepasan kotoran. Pikiran pun sanggup bebas melayang, lepas dari beban, seperti lega ketika terlelap atau berkhayal.

Setidaknya, di banyak kesempatan, sebuah kamar adalah tempat alternatif yang menyediakan ketenangan. Suatu saat, kamar tidur juga tempat paling tenang; ketika yang privat bebas dari intervensi. Ada proses menunda yang eksternal agar tidak merisaukan dunia pribadi. Berada di kamar tidur berarti kesempatan untuk konsentrasi diri, dan berkurangnya gangguan dari yang tak diinginkan. Karena itu, anak-anak Mr.Ramsay menganggap, (jika dalam sajak Jam Sitor Situmorang mendapat rasa “aman”), kamar tidur merupakan “benteng” terakhir, tempat “di mana tidak ada pribadi lain memperdebatkan sesuatu, segala sesuatu”(8-9:1991).

Memang ada rasa aman juga dalam sebuah benteng. Namun rasa aman itu bersifat sementara karena mereka tak selamanya harus di dalam sana. Ketika percakapan keluarga di meja makan selesai, maka anak-anak Mr.Ramsay lekas menuju kamar tidur. Di kamar yang dianggap seperti wilayah pertahanan perang, anak merasa jauh dari pembicaraan sang ayah yang membuat muak. Di novel To The Lighthouse itu, Virginia Woolf memang melukiskan Mr.Ramsay sebagai sosok ayah yang lalim, keras, dan membelenggu pikiran keluarga. Pendapat Mr.Ramsay akan rencana kepergian ke sebuah Mercusuar memupus harapan James Ramsay, sang anak. Kegembiraan pun sirna sewaktu terjadi perselisihan pendapat tentang kondisi hari berikutnya jika mereka akan berangkat ke Mercusuar.

Mr.Ramsay, jika meminjam istilah Theodor W.Adorno, identik dengan authoritarian personality; orang yang memutlakkan otoritas dan kepatuhan. Sifat ini cenderung dikonstruksi oleh kultur dan pandangan hidup. Pada keadaan yang lebih ekstrem, orang lebih suka melawan pemegang otoritas seperti itu. Sebab, sering otoritas dimiliki seseorang dari sistem yang mengatur hidup bersama, dan sistem itu dipaksakan pada orang lain. Sehingga, Cosimo Piovasco di Rondo, tokoh dalam novel fantasi The Baron In The Trees, karangan Italo Calvino, menolak cara hidup bangsawan yang ruwet dan serba ditentukan(1997). Bahkan ia mesti patuh pada tertib makan yang ketat. Dia merasa tak punya otonomi. Dia butuh ekspresi diri, sebuah tindak mementingkan yang privat; rasa kemerdekaan, rasa mementingkan pribadi. Cosimo, yang masih berusia belasan tahun itu, akhirnya memutuskan menjauhi rumah yang penuh aturan dan hukum, meski dipenuhi fasilitas dan pelayanan sebagai putra bangsawan, dan pilih tinggal di sebuah pohon.

III

Bagaimana pun keluarga merupakan teman hidup paling dekat. Pada pengertian itu, sebuah rumah mengikat dan membentuk kebersamaan penghuni; negatif maupun positif. Setiap penghuni saling merasa memiliki rumah mereka. Orang akrab dengan tiap kamar. Kemudian, serentak rumah mempunyai nilai ontologisnya. Nilai itu dibentuk dari fungsionalisasi ruang dan tempat; kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang makan, hingga ruang keluarga. Dari nilai itulah sebuah bangunan, rumah – yang menyediakan sekian kamar – bukan hanya menandai status geografis pertalian keturunan atau kekerabatan. Namun, tempat tinggal juga membentuk pengertian “dekat”; keberadaan bersama yang ditentukan minimnya jarak empiris.

Tapi memang di sebuah “jarak” tidak selalu berlaku hukum kausalitas. Jarak kuantitatif tidak selamanya berarti “dekat” atau “jauh”. Ia bukan satu-satunya ukuran. Kedekatan seorang ayah dengan seorang anak tidak cuma bisa dimengerti melalui kedekatan atau kontinuitas dalam satu ruang empirik saja. Seperti kisah dalam puisi Pertemuan Joko Pinurbo di atas, ruang tidak menentukan kedekatan pikiran yang satu dengan yang lain. “Dekat”, dalam tiap keluarga, cenderung fenomenologis.

Karena itu, masalah kedekatan antar individu dalam sebuah keluarga bisa sering jadi persoalan pelik. Terutama soal beda pikiran. Pengalaman ini bagi Ivan S.Turgenev berakibat pada putusan untuk jauh dari rumah semasa hidupnya di St. Petersburg, pilihan yang dia pikirkan ulang pada tokoh fiktifnya dalam novel Ayah dan Anak.

Ketika Nikolay Petrovich bahagia dengan kedatangan anaknya setelah menempuh belajar di tempat yang jauh dari rumah, dia mulai khawatir jika mungkin tidak lagi saling dekat; maka dia bilang ke anaknya: “kita akan melihat rumah kita...bersama-sama kita hidup dan bekerja! Arkady, kau akan membantuku di perkebunan, jika kau tidak menganggapnya sebagai pekerjaan yang membosankan. Kita akan menjadi sahabat karib, harus saling mengenal lebih baik...”(17:1985). Ada perasaan haru dari kalimat tersebut. Mungkin juga kejujuran orang tua yang tak ingin menyembunyikan harapannya kepada anak. Dia tahu pengalaman hidupnya sampai sebagai ayah tidak identik dengan anaknya setelah dewasa. Orang tua bisa saja tinggal masa lalu bagi anak. Menghadapi kemungkinan buruk demikian, dia butuh suatu pemecahan, dia butuh sebuah kompromi.

Maka, Nikolay Petrovich memikirkan kompromi itu: semestinya mereka sudah berperan ganda, bukan cuma sebagai ayah dengan anak, tapi juga antara teman dengan teman. Dia mencoba kritis pada diri sendiri, juga pada anaknya, ketika bilang “kita akan jadi sahabat karib, harus saling mengenal lebih baik.” Mungkin di sana dia merasa sudah harus mulai menahan diri sebagai orang tua. Dia sadar bahwa sudah tiba waktunya memahami anaknya bukan lagi hanya sebagai anak. Anak adalah dialektik orang tua. Maka sedikit demi sedikit, Nikolay, yang juga punya peran sebagai majikan, mulai mempelajari pikiran-pikiran Arkady mengenai pekerbunan dan nasib pekerja. Pengenalan ayah dan anak pun terjadi. Masing-masing pendapat saling dipelajari. Sang ayah mengenali anaknya bukan lagi sekadar anak. Kadang si anak membagi pengetahuan dan pengalamannya. Begitu pula sebaliknya.

Memang sempat di awal cerita perkataan Arkady menyinggung sang ayah: “sesungguhnya ayah, tak ada bedanya di mana pun seseorang dilahirkan”, tapi di akhir kisah ia memutuskan tinggal bersama ayahnya untuk mengelola perkebunan bersama.

Namun, Turgenev bukanlah Arkady Kirsanov. Semasa hidup, Turgenev merasa bahwa pendapatnya tidak dipedulikan sang ibu. Ia menentang sikap terhadap para pekerja perkebunan keluarganya sendiri. Ia ingin didengar. Ia ingin orang lain mengerti pendapatnya tentang perlakuan yang adil. Berbeda dengan Nikolay Petrovich, ibu Turgenev tak mau mengenali pikiran sang anak. Waktu itu, di sana, tidak terjadi pertukaran ide. Akhirnya sang ibu marah. Mereka bertengkar, sampai Turgenev pilih pergi.

Dari pengalaman Turgenev kita jadi tahu: di tiap jarak usia terdapat beda epistemologis, beda pemikiran. Begitu pula di antara sekian anggota keluarga kita. Orang tidak hanya membawa pengalaman dari rumah ke luar. Orang juga membawa ingatan dari luar ke dalam rumah. Turgenev tumbuh ketika ide-ide humanisme banyak disuarakan di Eropa. Sedangkan orang tuanya masih mewarisi kultur dominasi majikan di Rusia.

Masalahnya adalah ketika sampai seorang anggota keluarga mesti mencari alasan dan tempat “di mana tidak ada pribadi lain memperdebatkan sesuatu.” Itulah mengapa kedekatan dalam ruang bersama belum menjamin pengenalan dan pengertian yang satu dengan yang lain. Ruang belum mensyaratkan keintiman interpersonal, kedekatan pribadi satu dengan pribadi lainnya. Karena sebuah rumah bisa berarti sebagai tempat kerinduan pada yang privat. Rumah senantiasa menunggu seseorang untuk mewujudkan kesendiriannya.

IV

Lalu, apa sesungguhnya yang “privat” itu?

Privat berarti “tersendiri” dan “pribadi.” Seseorang sebagai subjek adalah singular, ia yang memiliki sekian potensialitas. Ia juga memiliki pengalaman yang dimiliki sendiri, dan orang lain belum tentu bisa merasakan pengalaman tersebut. Ada kesendirian epistemik yang sulit dimasuki orang lain secara langsung. Tiap orang telah terdiri dari hal-hal yang membentuk totalitasnya: roh, jiwa, dan tubuh. Dari potensialitas itulah tinggal bagaimana seseorang mewujudkan dalm hidup yang nyata, menjadikannya sebagai praksis. Wilayah praksis merupakan wilayah perwujudan diri, sebuah realisasi diri. Tataran ini merupakan indikasi akan pribadi yang berupaya terus tumbuh atas kodratnya.

Tetapi, yang privat akan selalu menemui konteks tertentu, yang privat selalu ada kaitan dengan banyak hal. Praksis individual selalu menemui hal di luar yang privat. Bahkan sering berbenturan. Misalnya, seorang pria adalah pribadi yang sangat lain dengan seorang perempuan. Mereka sebuah dialektik. Masing-masing mereka adalah konteks bagi pribadi yang lain, seperti Shoba dan Shukumar dalam prosa pendek Jhumpa Lahiri.

Shoba adalah istri yang bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga bersama suaminya. Shukumar, sang suami, sementara tinggal di rumah menyelesaikan disertasi. Mereka tenggelam kesibukan sendiri-sendiri. Lalu, pada beberapa malam mereka dihadapkan pada masalah pemadaman listrik yang membuat mereka iseng untuk saling menceritakan hal-hal yang masih dirahasiakan: “saling menukar pangakuan – bermacam hal kecil yang melukai, atau mengecewakan satu sama lain, dan diri mereka sendiri”(30:2003). Dengan pengakuan-pengakuan itu, ternyata mereka kembali intim. Secara tidak disadari satu sama lain, ternyata banyak tindakan yang dulu ditutupi dari masing-masing pasangan itu. Tindakan itu dapat melukai perasaan yang lain, maka hingga malam itu baru dapat diceritakan.

Ternyata, hingga malam-malam itu, mereka saling dibohongi dan membohongi pada kejadian-kejadian tertentu. Banyak kesalahan masing-masing yang disembunyikan. Dusta telah jadi privatisasi kesalahan. Kemudian, setelah malam-malam itu, muncul perasaan sakit karena dusta yang telah diungkapkan. Kesalahan-kesalahan sebelumnya dianggap milik sendiri-sendiri, dan pasangan hidup yang sesungguhnya tersakiti tidak boleh tahu. Saya teringat kalimat Fyodor Dostoyevsky dalam esai Something about Lying, bahwa “kita berdusta hampir tanpa kecuali demi keramahtamahan.” Dusta bisa dimaksud sebagai sopan santun, atau menjaga perasaan. Maka, ketika tiap dusta atas kesalahan terungkap, konsep privat sebagai “tersendiri” jadi problematis. Kemudian, sedikit demi sedikit muncul salah paham. Dalam cerpen Masalah Sementara itu, Shoba seolah tidak terima atas kekecewaan yang baru disadarinya. Seolah dulu dia tidak berhak tahu tentang kebenaran dari kesalahan suaminya.

Memang, kadang dusta jadi privatisasi kesalahan, atau dianggap sebagai sopan santun. Lalu, mengapa teman terdekat kita kecewa bila suatu hari tahu kebohongan kita?

Masalahnya mungkin bukan atas kesalahan itu, atau bukan karena dusta kita itu sendiri. Masalahnya orang terdekat itu akan merasa bahwa sekian lama tidak begitu paham diri kita. Apa yang membuat kita melakukan kesalahan, atau motif dan perasaan apa ketika tindakan itu terjadi, orang lain tidak tahu sama sekali. Orang yang paling dekat jadi merasa tidak mengenali diri kita sejauh itu; mengenai perasaan dan pikiran kita. Tiba-tiba kita jadi sama-sama terasing di hadapannya. Orang lain telah salah mengenali kepribadian kita, seperti merasa kurang berhak mengerti kepribadian kita. Privatisasi justru menyebabkan keterasingan.

Pada keadaan dan pemahaman seperti itu, yang privat; yang dimiliki sendiri, mengenai perasaan dan pikiran sebagai pribadi; kadang meletakkan batas identifikasi bagi orang lain. Karena dusta, perjumpaan dan pengenalan individu dengan individu menemui kesulitan-kesulitannya. Pengenalan seseorang seolah selalu meleset.

V

Sepertinya, pengenalan memang sesuah proses identifikasi; keterbukaan saling memahami individu yang satu dengan individu lainnya. Kemudian, sebuah perjumpaan setidaknya bukan cuma untuk tukar informasi. Orang lain bukan sekadar instrumen. Perjumpaan menempatkan orang lain sebagai subjek, bukan sekadar objek. Perjumpaan, dalam pengertian filsafat Gabriel Marcel, tidak cukup menyadari “kehadiran”, la présence, pribadi yang singular, tetapi juga mesti “hadir-bersama”, co-présence. Hal ini bisa kita mengerti dari pernyataannya yang dikutip Mathias Hariyadi: “Kehadiran sama sekali bukan berarti suatu kedekatan menurut kategori ruang.....melainkan merupakan suatu pertalian batin antara dua orang atau lebih yang bebas, sehingga masing-masing pihak mampu secara efektif berpartisipasi satu dengan yang lain”(69:1994).

Sebuah pertalian batin menempatkan orang lain tidak cukup sebagai sumber manfaat. Interpersonalitas tidak cukup dengan memaklumi peran-peran praktis antar individu ketika berada di rumah. Interpersonalitas adalah kesediaan untuk terlibat, terikat, dan kerelaan untuk terbuka bagi teman hidup paling dekat. Di sebuah rumah, interaksi antar penghuni adalah upaya menembus ruang-ruang yang membatasi, tanpa mengusik yang privat, tidak membelenggu atau saling asing. Namun, interaksi berarti saling terlibat dan jujur; membaca pikiran, perasaan, dan halangan masing-masing. Bukan dimaksud terlalu mencampuri urusan orang lain, walau pun dia masih segaris darah, atau pasangan hidup, namun sebagai tindakan pengenalan, pengikatan diri, dan partisipasi bersama.

Tetapi, dialektik pribadi yang satu dengan pribadi yang lain senantiasa menciptakan pola-pola khusus. Kadang mereka saling butuh ketetapan, hal-hal yang bisa dimaklumi bersama. Sebab itu, orang sering butuh tatanan dalam keluarga: konstitusi tak tertulis yang mengonstruksi kebersamaan.

Tatanan lahir dari banyak hal. Di suatu masa, tiap tatanan kadang beralih jadi tradisi, atau kultur yang kemudian diyakini dan diwariskan. Tatanan sering seolah hadir dari masa lalu, dan orang di masa kini menerimanya sebagai cara hidup. Tiap masyarakat terdapat tatanan masing-masing. Juga di tiap keluarga. Hukum-hukum itu dimaksudkan untuk sebuah cita-cita; meminimalisir resiko hidup yang belum pasti. Orang sering menerima ketentuan itu. Orang mesti memaklumi ketentuan-ketentuan itu, karena realitas selamanya tak mudah ditaklukkan. Mirip sebuah strategi; ketentuan-ketentuan pemeliharaan hidup itu dijaga melalui pentunjuk, anjuran, petuah, dan nasehat.

Dengan tatanan, sebuah rumah ada sistem kebenaran tersendiri. Salah satunya, semisal, orang Jawa mengenalinya dari penanaman pandangan hidup tentang bagaimana membina hubungan bersama pasangan satu tempat tinggal. Setidaknya perkataan nenek Sri Sumarah, dalam cerita Umar Kayam, mewakili gambaran tersebut; yakni waktu memberi nasehat pada cucunya yang hendak menikah, bahwa cara rumah jadi tenteram “bisa dicapai lewat dapur, tempat tidur, sikap dan omongan sehari-hari...”(11:1975) Di sana berlangsung ritualisasi kamar: mengandaikan ruang-ruang rumah sebagai wilayah pertemuan yang sakral dan tidak main-main bersama teman hidup.

Apa yang dimaksud dari nasehat ini sebenarnya mirip sebuah taktik, kebijaksaan yang mirip strategi. Seorang istri mesti lincah dan pandai, agar suami dan anggota keluarga yang lain “merasa krasan.” Tidak mungkin sang nenek memahaminya tanpa pengalaman. Antisipasi seperti ini jadi semacam praksis pengetahuan: pengertian dan cara membina hubungan interpersonal dalam ruang bersama.

Akhirnya, pengalaman terhadap rumah lebih bersifat kolektif, seperti dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar yang lain. Sajak Malam Dingin ini lebih ingin mengartikan pentingnya relasi penghuni rumah ketika saling berbagi “kepercayaan” saat putus “harapan”, atau saat “malam dingin”: Kita terlalu jauh mengenang/Kapan mendirikan rumah/Dan tinggal betah/Padahal kita tak percaya//Rumah-rumah runtuh pada saatnya/Bagai harapan dan kita/Tinggal lagi/kepercayaan pada hubungan/Orang-seorang pada malam dingin(36:1977).

Meski rumah adalah fana, yang pasti “runtuh pada saatnya”, kita masih mungkin mendapat keteduhan dari orang lain.

Surakarta, 8 Oktober 2007

Penulis

Ridho al Qodri,

anggota redaksi Bulletin Sastra Pawon, Solo

Bacaan:

Gaston Bachelard, The Poetics of Space, translated from French by Maria Jolas (Beacon Press: Boston, 1969).

Italo Calvino, The Baron in the Trees, translated from Italian by Archibald Colquhoun (A Helen and Kurt Wolff Book/Harbrace Paperbound Library: New York and London, 1977).

Ivan S.Turgenev, Ayah dan Anak, (Pantja Simpati: Jakarta, 1985).

Jhumpa Lahiri, “Masalah Sementara” dalam Penafsir Kepedihan, (Akubaca: Jakarta, 2003).

Joko Pinurbo, Pacar Senja (Grasindo: Jakarta, 2005)

Mathias Hariyadi, Membina Hubungan Antarpribadi: Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan, dan Cinta menurut Gabriel Marcel (Kanisius: Yogyakarta, 1994).

Sapardi Djoko Damono, Ayat-ayat Api (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2000).

Sitor Situmorang, Wajah tak Bernama (Pustaka Jaya: Jakarta, 1982)

Sitor Situmorang, Rindu Kelana (Grasindo: Jakarta, 1994)

Toto Sudarto Bachtiar, Suara (Balai Pustaka: Jakarta, 1977)

Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, (Pustaka Jaya: Jakarta, 1975).

Virginia Woolf, To The Lighthouse, (Everyman Library: London, 1991).

(Dimuat di Suara Merdeka pada 21, 28 Oktober dan 4, 11 November 2007)

Puisi-puisi Novel

oleh: Bandung Mawardi

Novel 1

di jalan kecil

menata bahasa dan kisah kecil

tokoh-tokoh masuk kafe

memesan minum dan politik kota

seks dan kerja jadi sisa obrolan

di luar kafe ada lapar dan gelisah

Novel 2

sejarah fiktif

mengenang peristiwa tak biasa

memanggil tahun dan kota

membuat bab-bab dari ingatan

fiksi yang berjalan jauh

tanpa manuskrip dan peta

Novel 3

perempuan

dalam cuaca dingin

terima kabar

dari sedih dan mimpi

perempuan dalam novel

menghuni rumah besar

hidup dengan kata dan peristiwa

Novel 4

berhenti di toilet

membuka pakaian

dan cerita kotor

tubuh tak selamat

dari uang dan iklan

menulis waktu yang pendek

menulis bahasa yang kalah

Novel 5

laki-laki marah dan mabuk

membual sejarah politik

dan lapar yang nakal

perempuan hilang

yang tidak membawa

kalimat dari ayah

laki-laki dan perempuan

tak selamat

pada halaman terakhir

(Dimuat di Seputar Indonesia, 2 Desember 2007)

Ibu Memasak Gurindam


oleh: Bandung Mawardi

Ibu memasak gurindam di dapur. Ayah pergi

dari rumah. Pintu rusak dan kunci hilang.

Piring kotor tak ada yang mencuci. Ibu bingung

mencari doa di lemari. Sejak dulu ayah tak mau mencium ibu.

Tak ada yang minta alasan. Dusta menumpuk di ember.

Baju ayah dan ibu bertemu. Percakapan absen

selama hujan pendek. Ibu tak lupa pergi ke masa lalu.

Membaca malu dan dusta yang terus hamil.

Ayah tak bisa menulis pesan. Kalimat yang terakhir bukan khianat.

Sejak itu ibu dan ayah tidak ingin marah. Ibu menata gurindam

di kamar mandi. Alamat-alamat lama terbaca.

Ibu malas mencari foto-foto jelek. Pintu dapur lupa dikunci.

Ibu takut dengan aib yang lari. Ayah letih mengingat kebun.

Duka dan perut jadi kisah sedih. Ibu makan sendiri.

Gurindam tak bisa habis. Pasar ramai dengan berita dan uang.

Rumah sepi dan miskin. Ibu tak pernah menerima tamu.

Ayah takut pulang. Ibu tua dan mati di dapur.

Gurindam tidak jadi warisan.

(Pemenang Harapan Sayembara Penulisan Puisi Raja Ali Haji Award 2007 – Dewan Kesenian Kepulauan Riau)

HUMOR YANG POLITIS, HUMOR YANG TRAGIS

(Mengingat Yudhis, Menikmati Jokpin)

Oleh: Bandung Mawardi

Jika nanti aku tamat, kibarkan celanaku

yang dulu hilang di atas makamku.

(Joko Pinurbo, “Sukabumi”, 2007)

Joko Pinurbo (Jokpin) layak dibicarakan sebagai penyair penting yang mungkin bisa diletakkan dalam wacana pasca-Afrizal Malna. Penempatan ini memiliki latar belakang dalam proses kreatif, pencapaian estetika, dan pembicaraan dari tukang kritik puisi Indonesia mutakhir. Joko Pinurbo hanya menjadi pembicaran kecil dalam rumusan Angkatan 2000 oleh Korrie Layun Rampan. Pembicaraan kecil itu seakan didesain dengan sadar ketika Korrie membicarkan Afrizal Malna dengan jatah besar dan melakukan pentahbisan sebagai pemimpin literer perpuisian mutakhir. Puisi-puisi Joko Pinurbo dinilai Korrie (2000) memperlihatkan penemuan estetika yang merupakan perkembangan aku lirik ke pengucapan epik dengan penguatan arus kisah dari sifat lirik murni. Pergeseran dan penemuan estetika oleh Joko Pinurbo bahkan cenderung menjadi suatu ikhtiar untuk keluar dari tradisi puisi lirik. Pembicaraan lirik sebagai narasi dalam perpuisian Indonesia belum berhenti karena ada ikhtiar untuk konstruksi besar untuk keberadaan dan pertumbuhan puisi lirik. Penilaian berulang dengan penekanan yang berbeda dinyatakan oleh Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. (2001) yang menyatakan bahwa Joko Pinurbo berusaha untuk melepaskan diri dari tradisi lirik. Perbedaan puisi-puisi Joko Pinurbo dengan tradisi puisi lirik adalah penggunaan anasir naratif untuk menyampaikan penghayatan hidup tanpa kehilangan pesonanya sebagai dunia rekaan yang prismatis.

Mengingat kembali lirik mengantarkan pembaca puisi Indonesia modern pada sosok-sosok penyair yang tekun menempuh alur lirik: Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Pembesaran dan penguatan lirik terjadi pada tahun 1970-an meski Goenawan Mohamad sudah mulai membuka alur besar itu sejak 1960-an. Tiga penyair itu terus menulis puisi sampai usia tua dengan lirik-lirik yang memengaruhi penyair belakangan dan membuat alur sendiri-sendiri. Pengaruh besar lirik itu bisa ditemukan dalam puisi-puisi para penyair mutakhir. Hasif Amini (2003) yang berperan sebagai redaktur puisi Kompas menyebutkan bahwa puisi-puisi mutakhir masih menunjukkan adanya kecenderungan terhadap tradisi lirik. Kecenderungan itu terkadang sebagai penerusan atau ikhtiar membuat alternatif-alternatif lain dengan kekuatan-kekuatan yang berbeda. Representasi kecenderungan puisi lirik itu terbaca dari publikasi puisi dalam media massa dan penerbitan buku pada tahun 1990-an dan 2000-an.

Perpuisian lirik Indonesia bisa dibicarakan dengan mengacu rumusan puisi Sapardi Djoko Damono (1983) yang mungkin masih layak dijadikan sebagai anutan besar lirik: “Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnya, tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung tak bisa dilenyapkan, namun yang utama adalah sebagai objek yang mendukung imaji. Hal inilah yang membedakannya dari kata-kata dalam bukan puisi.” Rumusan itu terus dianut, diterjemahkan, dan ditafsirkan oleh para penyair-penyair mutakhir. Mungkinkah rumusan itu pun menjadi anutan proses kreatif Joko Pinurbo? Pertanyaan ini susah dijawab dengan lugas tanpa menghadirkan proses kreatif dari penyair dan merujuk pada penyair yang membesarkan lirik sebelumnya. Jawaban untuk pencapaian estetika Joko Pinurbo terasa dekat dan mengena ketika kembali menelusuri pada Goenawan Mohamad yang turut menentukan nasib perpuisian lirik mutakhir.

Jawaban yang mungkin eksplisit mengenai pengaruh perpuisian Joko Pinurbo bisa dibaca dalam puisinya yang berjudul “Selamat Malam Jakarta” (1997). Puisi ini dengan terbuka mengisahkan suatu peristiwa penyair yang sadar atas kata. Inilah kutipan pendek dari puisi “Selamat Malam Jakarta”:

Aku mencari Alwi, Beni, Hendry di warung kopi

Semuanya sedang bobo di atas tumpukan puisi.

Maka ngumpet saja aku di kamar mandi

membaca dukaMu abadi.

Aku ingin cepat pulang ke Yogya

menemui kata-kata yang sering kukhianati isinya

Rujukan atas DukaMu Abadi adalah pembacaan terhadap buku puisi awal Sapardi Djoko Damono dengan judul sama yang terbit awal pada tahun 1969. Buku puisi itu dinyatakan Goenawan Mohamad sebagai “Nyanyi Sunyi Kedua” yang menguatkan posisi lirik dalam perpuisian Indonesia modern. Kesibukan membaca itu menjadi petunjuk kuat bahwa Jokpin melakukan penelusuran dan pemahaan lirik yang dibesarkan Sapardi Djoko Damono. Pertemuan Jokpin dengan Sapardi Djoko Damono dalam buku puisi Celana semakin menguatkan adanya pengaruh dan referensial terhadap lirik-lirik Sapardi Djoko Damono dalam proses kreatif awal Joko Pinurbo. Buku Celana memuat “Kata Penutup” yang dituliskan Sapardi Djoko Damono dengan judul esai “Burung dalam Celana Joko Pinurbo”. Sapardi menyebutkan bahwa bahwa semua puisi Joko Pinurbo dalam buku Celana cenderung menggunakan teknik surealis yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar. Penggunaan teknik surealis itu membuat Sapardi Djoko Damono curiga ada konsep-konsep dari psikoanalisa Sigmund Freud. Sapardi Djoko Damono menutup esainya dengan komentar yang konstruktif bahwa Joko Pinurbo dengan teknik surealis berusaha memberikan tanggapan terhadap berbagai masalah sosial dan konflik batin manusia.

Ayu Utami (2005) menjadi pembicara penting untuk mengetahui perbandingan, pengaruh, dan penelusuran puisi-puisi Joko Pinurbo yang direlasikan dengan penyair Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad: “Dalam banyak hal, Goenawan Mohamad mempengaruhi Joko. Perkembangan karya Goenawan Mohamad sendiri tak lepas dari pengaruh sajak-sajak Chairil Anwar. Joko Pinurbo lahir tahun 60-an, ketika Goenawan mulai mengepakkan sayapnya. Goenawan lahir tahun 40-an, ketika Chairil mencapai puncak karyanya. Chairil lahir tahun 20-an, ketika Indonesia diperkenalkan kepada sastra dunia. Mereka adalah tiga generasi penyair Indonesia yang masing-masing berjarak 20 tahun (Chairil Anwar, 1922; Goenawan Mohamad, 1941; Joko Pinurbo, 1962). Ketiganya memiliki keterpukauan akut pada kematian.” Arsitektur perpuisian yang dibuat Ayu Utami itu bisa diterima dengan membuat perhatian tertentu pada tematis dan sistem-pola lirik yang dipakai tiga penyair.

Keterpengaruhan Joko Pinurbo sudah dinyatakan terbuka sejak tahun 1997 dalam sebuah esai “Puisi di Tengah Wacana Kekuasaan” (Horison, No. 11, Th XXXII, September 1997). Joko Pinurbo menuliskan: “Khusunya saya terpikat pada cara Goenawan mengembangkan dan mendayagunakan potensi puitik berupa rima, irama, dan keserbanekaan kata, yang dalam sajak-sajak Amir memang tampak menonjol lewat penyajian latar dan kosakata baru dengan berbagai variasi dan berbagai improvisasi yang memang kaya dan mengagumkan.” Pengakuan terbuka ini tentu menjadi suatu keterbukaan untuk bisa membaca dan menikmati puisi-puisi Jokpin yang tidak lepas dari wacana besar puisi lirik. Pengakuan itu terbatas pada pengaruh-pengaruh konvensi yang akhirnya diolah Joko Pinurbo dengan arsitektur dan konstruksi berbeda. Pengakuan itu berulang pada sebuah tulisan reportase “Joko Pinurbo: Yang Berkobar di Jalan Sunyi” (Koran Tempo, Minggu, 3 Juni 2007). Joko Pinurbo dengan lugas memberi pola relasi yang membuatnya tekun dalam penulisan puisi. Joko Pinurbo mengakui bahwa ada tiga penyair yang menjadi anutan estetika dan kerja kreatif yang dilakoninya: Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad. Jokpin menyebut puisi Chairil serius dala mengolah kata sehingga sangat padat. Jokpin menyebut puisi-puisi Sapardi itu sederhana dengan mencomot peristiwa biasa dan diolah menjadi teks puisi yang luar biasa. Jokpin menyebut puisi-puisi Goenawan itu musikal dan merdu. Jokpin memberi konklusi bahwa pengaruh-pengaruh itu tidak membenamkan dirinya dalam menulis puisi sebab Jokpin memutuskan mengambil sisi yang jarang digarap oleh penyair-penyair itu dan penyair yang lain.

Pembicaraan lain yang ingin memberi deskripsi berbeda terbaca dalam pelbagai tulisan yang mencari hubungan dan pengaruh puisi mbeling dalam puisi-puisi Joko Pinurbo. Nirwan Dewanto (2000) menyebutkan pada tahun 1970-an ada gerakan yang melawan atau membantah kecenderungan lirik. Gerakan itu disebut sebagai gerakan puisi mbeling yang dibesarkan oleh Remy Sylado, Yudhistira ANM Massardi, dan Jeihan. Ciri penting dari puisi-puisi mbeling adalah humor atau parodi yang tidak harus patuh dengan konvensi ketat dalam penulisan puisi. Nirwan Dewanto menilai bahwa humor dan main-main dalam puisi Joko Pinurbo tidak murahan seperti yang bisa ditemukan dalam puisi mbeling. Puisi Joko Pinurbo berwatak subversif. Keunikan puisi-puisi Joko Pinurbo adalah bercerita dengan gamblang dengan aforisma yang mengejutkan. Penilaian berulang dilakukan Ayu Utami (2005) yang menyebutkan: “Joko Pinurbo adalah antitesis ‘aliran Rendra’. Tentu ia bukan yang pertama jika dipertentangkan dengan Burung Merak itu. Di tahun 70-an ada puisi mbeling yang diperkenalkan Remy Sylado alias Japie Tambajong. Itu adalah puisi dan tulisan nakal dengan kata-kata kasar dan dasar yang dengan sengaja mau mengorek estetika sastra yang mapan.” Komentar-komentar itu yang dijadikan sebab (alasan) kecil dalam esai ini untuk mengingat kembali dan mencari relasi (perbandingan) yang mungkin antara Joko Pinurbo dengan Yudhistira ANM Massardi (Yudhis).

Yudhis yang … , Jokpin yang …

Humor (komedi) dalam perpuisian yang dihadirkan dalam puisi-puisi Yudhis layak menjadi referensi penting untuk pembacaan genre itu dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Yudhis hadir dalam masa otoritas lirik menguasai perpuisian pada tahun 1970-an. Yudhis menuliskan puisi-puisi yang berada dalam posisi berbeda (menentang) arus utama lirik. Puisi-puisinya dikenali dengan label kolektif puisi mbeling meski tidak menutup pencapaian estetika individual Yudhis. Puisi-puisi Yudhis pada masa itu berada dala tegangan lirik, puisi mbeling, dan perbedaan pencapaian estetika individual. Posisi Yudhis tidak bisa hanya berada dalam kolektivitas puisi mbeling yang melakukan gerakan besar estetika (kritik). Yudhis berada dalam posisi yang unik meski harus berada dalam tegangan-tegangan itu. Kontroversi yang terjadi adalah pemberian penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta untuk kumpulan puisi terbaik pada Yudhis (1976-1977). Pemilihan itu ditentukan dewan juri yang terdiri dari Goenawan Mohamad, Toeti Heraty, dan Dodong Djiwapradja.

Kerja kreatif Yudhis dalam menulis puisi dikuatkan dengan usulannya terhadap kemungkinan adanya sastra dangdut yang ikut meramaikan perdebatan sastra kontekstual tahun 1980-an. Usulan Yudhis itu menginginkan sastra seperti musik dangdut yang tidak peduli dengan asal-usul atau konsep. Hal penting adalah bicara mengenai apa saja dan bisa diterima siapa saja. Buku “Sajak Sikat Gigi” dinilai Afrizal adalah kemauan mengelakkan konvensi bahwa puisi tidak harus terlalu serius. Puisi perlu dilepaskan dari kebudayaan yang terlalu resmi yang mengungkungnya. Kritik awal terhadap Yudhis dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri (1978) yang menyebutkan bahwa humor dalam puisi-puisi Yudhis tidak mempunyai daya tarik yang dalam dan hanyalah datar bagaikan kedataran sebuah lapangan terbang. Sutardji mengibaratkan bahwa puisi Yudhis hanyalah kesan perenungan banal atau bagaikan mendengarkan celoteh dari nenek cerewet.

H.B. Jassin dalam esai “Beberapa Penyair di Depan Forum” (1976) memberikan penilaian yang menempatkan Yudhis dalam posisi penting ketika membicarakan hubungan dan pengaruh puisi mbeling. Jassin mengatakan bahwa puisi-puisi Yudhis memberikan kesan dibuat oleh anak-anak dengan logika anak-anak (contoh “Sajak Sikat Gigi”). Jassin menilai Yudhis adalah pengamat yang tajam dari masyarakatnya tanpa harus mendramatisir keadaannya. Penderitaan itu dihadapinya dengan analisa yang dengan sendirinya menjadi humor dan dihadapi dengan dewasa dan jauh dari kecengengan (contoh puisi “Biarin!”). Inilah puisi terkenal Yudhis yang ditulis ketika berusia sekitar 20 tahun:

SAJAK SIKAT GIGI

Sesorang lupa menggosok giginya sebelum tidur

Di dalam tidurnya ia bermimpi

Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari

Sikat giginya tinggal sepotong

Sepotong yang hilang itu agaknya

Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebihan

(1974)

Puisi “Sajak Sikat Gigi” tercatat sebagai puisi penting dalam imajinasi humor perpuisian Indonesia modern. Yudhis sanggup dan berhasil melakukan ekplorasi estetika dari peristiwa kecil (biasa) dan diksi-diksi keseharian. Pengolahan sikat gigi sebagai imaji tentu menjadi kejutan besar dalam perkamusan puisi Indonesia modern saat itu. Benda-benda yang mungkin pada saat itu tidak puitis dihadirkan Yudhis dalam konstruksi puisi yang menyimpan kekuatan humor (komedi). Kekuatan itu kelak kerap hadir dalam puisi-puisi Yudhis dengan imaji-imaji berbeda dengan kenaifan dan kenakalan yang kritis dan politis.

Kejutan puisi Yudhis itu berulang dengan imaji lain dan kekuatan lain dalam puisi-puisi Joko Pinurbo. Puisi Jokpin yang memakai imaji celana menjadi pembukaan (pengantar) dari pencapaian estetika mutakhir. Jokpin dengan kerja kreatifnya menuliskan puisi “Celana, 1”, “Celana, 2”, dan “Celana, 3” dengan intensitas dan varian yang kompleks. Sikat gigi yang hadir dalam puisi pada tahun 1974 diikuti kehadiran celana pada tahun 1996. Bisakah dicari hubungan atau pengaruhnya? Inilah puisi penting Jokpin yang ditulis pada usia sekitar 34 tahun:

CELANA, 1

Ia ingin membeli celana baru

buat pergi ke pesta

supaya tampak lebih tampan

dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana

di berbagai toko busana

namun tak menemukan satu pun

yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga

yang merubung dan membujuk-bujuknya

ia malah mencopot celananya sendiri

dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya,

aku sedang mencari celana

yang paling pas dan pantas

buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir

tanpa celana

dan berkelana

mencari kubur ibunya

hanya untuk menanyakan,

“Ibu, kausimpan di mana celana lucu

yang kupakai waktu bayi dulu?”

(1996)

Persamaan yang terbaca dari “Sajak Sikat Gigi” dan “Celana, 1” adalah kekuatan humor (komedi) dari diksi dan narasi yang ditentukan penyair. Perbedaan yang kentara adalah kelenturan Jokpin memainkan diksi dan narasi dalam konteks komedi dan tragedi yang sugestif. Jokpin membuat arsitektur berbeda dari Yudhis dengan mengahdirkan alur peristiwa-peristiwa kecil dan bahasa keseharian. Yudhis dalam “Sajak Sikat Gigi” tidak bisa bergerak jauh dari humor yang nakal dan konklusi (akhir cerita) yang kurang mengejutkan. Yudhis kurang menggarap peristiwa sebagai pusat cerita dan makna. Keberadaan imaji sikat gigi dan peristiwa masih diarahkan dalam kepentingan komedi yang reaksioner.

Jokpin membuat strategi teks puisi yang berbeda dengan menghadirkan kekuatan komedi dan tragedi. Imaji celana bergerak dalam pelbagai wacana dan terjadi sistem pemaknaan yang kompleks. Alur dari peristiwa-peristiwa dalam puisi diakhiri dengan konklusi yang tragis. Komedi yang terasa sejak awal lalu berakhir menjadi tragedi yang berada dalam suatu totalitas kisah manusia dengan celana. Puisi “Celana, 1” menjadi awalan intensitas dan konsistensi Jokpin menuliskan puisi yang reflektif dan kontemplatif meski dalam kepentingan kritik. Jokpin bermain dengan kenaifan, kenakalan, dan kritik yang kuat dengan pengaruh lirik yang digeser jauh dari pusat (arus utama). Puisi Yudhis dan Jokpin berada dalam atmosfir yang mirip ketika arus lirik masih memiliki pengikut yang besar dalam perpuisian tahun 1970-an sampai 1990-an. Yudhis dan Jokpin menjadi penyair yang melakukan gerakan menjauh dari lirik dengan tingkat keberhasilan dan pencapaian estetika yang berbeda.

Tragedi bisa terasa dalam puisi Yudhis “Biarin!” yang membuat dikotomi-dikotomi dengan kritik dan emosional. Puisi ini dalam pelbagai pembicaraan dianggap termasuk dalam puisi main-main. Kekuatan komedi yang ditemukan dalam “Sajak Sikat Gigi” berkurang karena terjadi pemusatan pada persoalan tragedi manusia dalam menilai kekuatan menghadapi hidup dan pembentukan identitas individu-sosial. Inilah kutipan puisi “Biarin!”

kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin

kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin

kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin

kamu bilang nggak punya pengertian. Aku bilang biarin

habisnya, terus terang saja, aku nggak percaya sama kau

Tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana

cuma karena kamu merasa asing saja akanya kamu selalu bilang se-

perti itu

Puisi itu hadir dengan konsistensi berbeda dari “Sajak Sikat Gigi”. Perbedaan-perbedaan intensitas dan konsistensi Yudhis bisa terbaca pada puisi-puisi lain. Kekuatan komedi Yudhis memang dalam taraf tertentu terasa dalam puisi-puisinya meski harus berada dalam kepentingan kritik dan kenakalan yang reaksioner. Pada fase lain Yudhis semakin terlihat menuliskan puisi-puisi kritik (protes) sosial. Kecenderungan besar itu menjadi lanjutan dari isu puisi mbeling yang identik dengan kritik sosial. Kenakalan Yudhis menjadi tipis dan mengarah pada persoalan-persoalan politis. Pada intensitas dan pecapaian estetika itu bisa dikatakan Yudhis masih berjalan dalam pengaruh arus lirik sosial yang dalam tataran tertentu diolah dengan ekplorasi komedi. Perbedaan besar Yudhis dengan Jokpin bisa dijelaskan dengan memakai pernyataan Ayu Utami (2005) yang mengakui bahwa keunikan dan kekuatan yang dimiliki Joko Pinurbo adalah pada alur sajaknya yang lateral, nyleneh, dan tulus. Joko Pinurbo istimewa sebab kenakalannya tidak politis tapi apa adanya. Puisi-puisi Joko Pinurbo adalah puisi yang bercerita.

Yudhis pada fase awal dengan kentara ingin menjauh dari lirik. Ikhtiar itu kurang bisa terbukti karena puisi-puisi yang terhimpum dalam buku Sajak Sikat Gigi dominan dengan pengaruh konvensi-konvensi lirik. Bakdi Soemanto (1999) bahkan berani menunjukkan contoh tiga puisi Yudhis dalam buku Sajak Sikat Gigi yang dipengaruhi konvensi puisi lirik: “Jalan”, “Suara”, dan “Malam”. Pengaruh itu mulai menguat dalam buku puisi Rudi Jalak Gugat sebagai representasi lirik sosial (protes dan kritik sosial). Puisi “Rudi Jalak Gugat” menguatkan identitas Yudhis sebagai penyair dengan kenakalan (humor) politis. Identitas dan pencapain estetika Yudhis itu bisa dibandingkan dengan F. Rahardi dan Adri Damardji Woko yang disebut Afrizal Malna sebagai penyair-penyair yang memasuki (mengusung) dunia pop dan melawan padangan hierarkis dalam sastra. Inilah puisi khas Yudhistira ANM Massardi:

RUDI JALAK GUGAT

I

Anak-anak zaman yang slebor

Merayap di mana-mana

Tangan muda-mudi yang belum dewasa

Menggenggam kayu dan besi

Mereka bergerak memecahkan hari di kota-kota

Paling depan, Rudi Jalak berselendang

Giwang di kuping kanan

Celana blue jeans kemeja komprang

Anak-anak zaman yang slebor

Gentayangan bagai ruh penasaran

Beramai-ramai menghadang masa depan

Di setiap perempatan jalan

“Merangkaklah keangkuhan, jika ogah terempas

Menepilah kesangsian, jika ingin punya arti?”

Mereka membalikkan seluruh nasib yang simpang siur

Satu generasi mengepalkan nurani

Menggugat nyali yang lama dipupuri

Rudi Jalak tak lagi bertanya

Alam sudah tak sabar mengepakkan nurani

Menggugat nyali yang lama dipupuri

Rudi Jalak memimpin seluruh barisan

Membabat angan-angan, mengganyang kebebasan

Cuaca awut-awutan, bencana jadi obyekan

Siapa orang yang tak senewen?

Para guru tak berdaya

Orang tua hanya ternganga

Dan polisi semata saksi

Sedang korban: urusan belakang

(Jakarta kelabakan!)

II

Anak-anak zaman yang slebor

Merangsang berbagai pembicaraan

Tapi mereka tak pernah didengar

Setiap komentar hanya sok pintar

Rudi Jalak dan kawan-kawan

Lalu ditunggangi berbagai tuduhan

Tangan mereka yang belum dewasa

Akhirnya menewaskan seorang pengantar barang

Tidak. Mereka tak juga didengar

Para pimpinan sibuk sendiri di ruang rapat

Lalulintas macet

Toko-toko ditutup serentak

Anak-anak zaman yang slebor

Petentengan di jalan-jalan

Menyedot Whisky plastik seratusperakan

Menghirup tiah hitam dari kanlpot yang sliweran

Rudi Jalak setengah edan

Ikhtiar bergeser dari lirik meski “gagal” yang dilakukan Yudhis berbeda dengan kasus Jokpin. Puisi-puisi Jokpin awal terasa ada pengaruh lirik dan pada fase lanjutan mengalami pergeseran yang jauh dari lirik. Jokpin berhasil menjauh atau membuat versi lain dibandingkan dengan ikhtiar Yudhis. Jokpin pada akhirnya identik dengan kekuatan humor yang tragis dengan intensitas dan konsistensi yang kuat dan memberi pengaruh besar dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Nirwan Dewanto (2003) menyebutkan bahwa puisi-puisi Joko Pinurbo adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes. Joko Pinurbo berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik dan pemakaian kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika. Humor dan sifat main-main puisi-puisi Joko Pinurbo berwatak subversif. Puisi-puisi Joko Pinurbo bercerita dengan gamblang tapi dengan aforisma yang mengejutkan. Permainan bunyi dan repetisi yang dilakukan Joko Pinurbo merupakan parodi terhadap penyair-penyair pendahulunya.

Pada masa awal penulisan puisi Joko Pinurbo masih menunjukkan kecenderungan menulis puisi-puisi lirik. Kecenderungan itu terlihat dalam puisi-puisi awal yang dipublikasikan di media massa dan yang termuat dalam sekian antologi puisi bersama: Tugu (1986), Tonggak 4 (1987), Sembilu (1991), Ambang (1992), dan Mimbar Penyair Abad 21 (1996). Puisi awal Jokpin yang termuat dalam buku stensilan Sketsa Selamat Malam (1986) cenderung menganut pola puisi lirik. Pengaruh itu terbaca dalam puisi “Prajurit di Malam Sebelum Perang” (Desember, 1979) yang ditulis Jokpin ketika usia sekitar 17 tahun.

PRAJURIT DI MALAM SEBELUM PERANG

ya akulah abdimu

dari kandung leluhurku aku telah lahir

kubawa namanya dalam berkatmu

di tengah hutan memancar kesegaran mata air yang berlinang

dengan jari-jari perkasa

kauhembuskan napasku

dan kualirkan darah

dalam tubuhku yang mungil

hingga sungai pun tetap mengalir

dan bocah-bocah yang berbaris di tebingnya

bersorak gembira

lalu ingin kupersembahkan padamu:

setetes darah yang amis

sekerat daging yang tawar

sehelai rambut yang rapuh

sepotong tulang yang lapuk

dan sebaris napas yang cair

korban ini begitu sederhana

……

Pengaruh lirik makin terasa dalam puisi-puisi yang ditulis Joko Pinurbo pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an. Joko Pinurbo yang cenderung dengan puisi lirik bisa dibaca dalam puisi-puisi yang ditulis tahun 1980-an: “Pahlawan Budiman”, “Song of Solitude”, “Surat dari Yogya”, “Malam Doa”, “Kembang Sepasang”, dan yang lain. Kecenderungan terhadap penulisan puisi lirik juga bisa dibaca dalam puisi “Hutan Karet” (1990), “Di Kulkas: Namamu” (1991), dan “Bayi dalam Kulkas” (1995). Pergeseran puisi lirik mulai tampak dalam puisi “Tukang Cukur” (1989). Pergeseseran semakin tampak pada puisi “Kisah Senja” (1994) dan “Di Salon Kecantikan” (1995), dan puisi-puisi lainnya. Puisi-puisi itu yang ditulis pada fase kecenderungan lirik memiliki keunikan dalam pengucapan, diksi, imaji, dan pengisahan. Keunikan itu kelak menjadi konsentarsi besar dalam penulisan puisi Jokpin yang bermula dari imaji celana, kuburan, ranjang, boneka, telepon, rumah, dan yang lain. Puisi ‘Tukang Cukur” layak menjadi embrio (awalan) dari puisi dengan kekuatan humor yang tragis versi Joko Pinurbo.

TUKANG CUKUR

Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur

di kepalaku. Ia membabat rasa damai

yang merimbun sepanjang waktu.

“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar,

hotel, dan restoran. Tetntunya juga sekolah,

rumah bordil, dan tempat ibadah.

Ia menyayat-nyayat kepalaku,

mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“Aku akan mencukur lentik lebut bulu matamu.

Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”

Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.

(1989)

Penerbitan buku puisi Celana (1999) menjadi babak penting dalam proses kreatif Joko Pinurbo. Buku itu menghadirkan puisi-puisi yang cenderung melakukan pergeseran-perbeseran jauh dari lirik yang berkumpul dalam suatu keutuhan pencapaian estetika. Sejak penerbitan Celana terlihat kentara ikhtiar besar Jokpin untuk tekun dengan penulisan puisi versi humor-tragis yang menjauh dari arus besar lirik. Legitimasi terhadap Joko Pinurbo menunjukkan bahwa ada pembaharuan dalam tradisi besar puisi lirik dan keinginan untuk menempuh jalan lain yang berbeda dengan yang sudah ditempuh oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Afrizal Malna. Jokpin layak jadi perhatian besar pasca-Afrizal Malna yang sudah berhasil membuat wacana besar dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Ikhtiar untuk menjauh dari lirik dan mengonstruksi identitas penyair yang dilakukan Jokpin ditempuh dengan pilihan-pilihan dan keputusan dalam kegelisahan. Sapardi Djoko Damono (1999) mengungkapkan bahwa Joko Pinurbo adalah penyair yang tampaknya selalu gelisah dan tidak tenteram dalam proses kreatifnya. Kegelisahan itu kemungkinan terkait dengan teknik dan gaya penulisan. Keputusan dan pilihan besar akhirnya menjadikan Jokpin memiliki identitas berbeda dengan penyair lain dalam keunikan dan kekuatan yang mengagumkan.

Keunikan puisi-puisi Joko Pinurbo adalah narasi yang mengungkapkan kompleksitas tragedi yang dialami manusia dalam kehidupannya. Tragedi itu mengacu pada realitas, peristiwa, dan subjek yang bisa ditemui, dikenali, dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tematik yang dihadirkan Joko Pinurbo terasa dekat dengan realitas dan mengantarkan pembaca pada dunia rekaan yang terbuka terhadap tafsiran. Tematik dalam puisi-puisi Joko Pinurbo dihadirkan dengan kemuraman, kesedihan, kegetiran, ironi, naïf, komedi, dan tragedi.

Pencapaian estetika dengan kekuatan literasi humor (komedi) diakui oleh Cecep Syamsul Hari (1999) yang melakukan perbandingan dengan ketokohan penyair komedi Inggris D.J. Enright. Perbandingan itu mungkin terlalu jauh ketika mengingat alur perpuisian Indonesia modern. Cecep menyatakan: “Sejumlah puisi terakhir Joko Pinurbo memperlihatkan kecenderungan yang dihindari para penyair liris. Puisi-puisinya kaya dengan literasi humor yang cerdas, imajinasinya yang liar, dan bersifat parodi. Membaca puisi-puisinya Joko mengingatkan saya pada penyair parodi Inggris kontemporer D.J. Enright. Memasuki wilayah perpuisian seperti ini bukan sesuatu yang mudah. Enright sendiri menulis ‘Parodi sangat sulit untuk tidak ditulis, tetapi menulisnya lebih sulit lagi.’ Yang membedakan Joko dengan para penyair Indonesia terdahulu yang pernah membuat puisi-puisi serupa adalah cara berpikirnya yang ketat (rigorous). Sesuatu yang menjadi ciri khas filosof.”

Biografi: Penyair, Puisi

Joko Pinurbo dilahirkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Menempuh pendidikan di SD Sukabumi, SMP Maguwa, SMA Seminari Mertoyudan Magelang (1981) dan, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (kini Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta (1987). Joko Pinurbo mengaku mulai gemar menulis puisi sejak di SMA. Puisi-puisinya tersebar di pelbagai media dan buku antologi bersama. Pada awalnya Joko Pinurbo menrbitkan puisi-puisinya dalam bentuk stensilan. Buku-buku stensilan itu adalah Sketsa Selamat Malam (1986) dan Parade Kambing (1986). Kelak lahirlah buku-buku puisi Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), dan Kepada Cium (2007).

Rumusan puisi Jokpin secara eksplisit dinyatakan pada fase belakangan dalam puisi-puisi mutakhir. Rumusan itu memungkinkan pembaca mengetahui sistem kerja dan anutan kreatif Jokpin dalam menulis puisi. Pengakuan terbuka tampak dalam sebuah puisi yang dipublikasikan di Kompas (Minggu, 15 April 2007). Jokpin menulis puisi pendek:

PUISI TELAH MEMILIHKU

Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi

Di antara baris-barisnya yang terang.

Dimintanya aku tetap redup dan remang

Puisi itu seakan mengenalkan sosok Jokpin yang menulis puisi dari ruang lirik yang sunyi dan individualis. Ruang lirik itu melahirkan puisi-puisi lirik dan versi lain (pergeran jauh) yang membuat Jokpin sadar dengan pencapaian estetikanya. Pada buku Telepon Genggam (2003) Jokpin menghadirkan puisi pendek yang menerangkan relasi dirinya sebagai penyair dengan kata (puisi).

SELESAI SUDAH TUGASKU MENULIS PUISI

sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan

mereka harus pergi cari kerja sendiri.

Pengakuan yang lain mengabarkan kisah puitik penyair Jokpin dengan kerja kreatif yang ditekuninya. Jokpin menuliskan puisi persembahan:

KEPADA PUISI

Kau adalah mata, aku airmatamu

Puisi persembahan pada puisi itu dilengkapi dengan puisi persembahan yang lain. Jokpin menulis:

KEPADA SAYA

Anda boleh menulis puisi

untuk atau kepada siapa saja

asal jangan sampai lupa

menulis untuk atau kepada saya.

Siapakah saya? Saya adalah kata.

Membaca puisi-puisi itu membuat pembaca berhadapan dengan proposal yang menjelaskan pamrih penyair dalam menulis puisi. Jokpin dengan estetika puisi humor meneranngkan tanpa menutup diri tentang distorsi dan kemungkinan sikap munafik untuk kerja kreatif menulis puisi. Proposal yang jelas dihadirkan Jokpin sebagai “Kata Penyair” dala buku Telepon Genggam (2003): “Damba saya sebagai penyair sederhana saja: ingin terus menulis selagi bisa menulis. Menulis dalam suasana sebagaimana terlukiskan dalam bait sajak ini: Apa salahnya, sesekali kita berlupa/sesekali kita kembali jadi bocah manja/tidak tahu bencana yang bakal tiba/tidak sempat berpikir tentang dosa (Hartojo Andangdjaja, “Kwatrin Tidak Bernama”, dalam Buku Puisi). Menulis dengan spirit – meminjam judul lagu U2 – I still haven’t found what I’m looking for.Keindahan belum selesai.”

Jokpin dalam pengakuannya menceritakan bahwa dia terbiasa menulis puisi di bawah pohon sawo kecik dan sudut ruang tamu rumahnya (Koran Tempo, Minggu, 3 juni 2007). Ruang kelahiran puisi itu memiliki referensi dengan kisah dalam puisi “Pesan dari Ayah” (2005). Inilah fragmen dari kisah menulis puisi Jokpin:

Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu

puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis

hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan,

lalu Ayah membopong tubuhku yang masih luigu

dan membaringkannya di ranjang ibu

Jokpin dalam puisi-puisi akhir semakin menunjukkan proposal-proposal proses kreatif dengan terbuka. Kisah-kisah dan konsep hadir dalam sekian puisi yang mengarah pada biografi penyair dan biografi puisi tapi masih kuat mengandung humor-humor yang tragis. Puisi “Harimau” mengisahkan laku Jokpin untuk bertemu dengan kata:

HARIMAU

Aku masuk ke relung kata, mau bertemu

dengan bermacam-maca arwah kata.,

malah harimau kata yang kujumpa.

Kuasah pena, kutikam lehernya.

harimauku terluka parah,

penaku nyaris patah

2006

Biografi penyair hadir dalam puisi “Sedang Apa” yang mengisahkan suatu peritiwa yang mesti dijalani dan obsesi yang kelak terjadi.

SEDANG APA

Sedang apa, penyair, malam-malam

Masih sibuk menepa dan memahat kata?

Sedang membuat patung dirimu?

Sedang membuat batu nisan untukmu

2006

Kekuatan cerita dalam puisi-puisi Jokpin perlahan berubah pada fragmen atau aforisma-aforisma. Ada sekian puisi yang bertahan dengan kisah pendek meski tidak merepresentasikan kekahasan Jokpin pada pencapaian estetika yang dominan ada dalam Celana (1999) sampai Kepada Cium (2007). Perubahan itu terjadi mungkin karena kelelahan atau ada keinginan melakukan eksperimen lain yang masih mengusung humor-tragis dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Perubahan besar itu mengabarkan ada anutan estetika berbeda yang dihadirkan Jokpin. Puisi-puisi yang dipublikasikan di Kompas (15 April 2007) menjadi pembuktian dari kecenderungan puisi pendek dan aforisma yang dulunya mulai terlihat dalam jumlah kecil. Puisi-puisi pendek itu ada yang hanya menghadirkan sebuah atau dua kalimat. Puisi-puisi dalam satu kalimat antara lain puisi “Bagkai Banjir”: Rumahku keranda terindah untuknya; puisi “Penjahat Berdasi”: Ia mati dicekik dasinya sendiri. Puisi-puisi dalam dua kalimat antara lain puisi “Cermin”: Aku bercermin pada wajahmu / airmataku berkilauan di kristal matamu; puisi “Jalan ke Surga”: Jalan menuju kantorMu macet total / oleh antrean mobil-mobil curian; puisi “Sukabumi”: Jika nanti aku tamat, kibarkan celanaku / yang dulu hilang di atas makamku. Fase jokpin yang cenderung menulis puisi-puisi pendek itu mulai terlihat dalam puisi “Aku Tidur Berselimutkan Uang” (2002) “Kepada Puisi” (2003), “Batuk” (2004), “Matakata” (2004), “Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita?” (2005), dan “Magrib” (2006). Kontras yang terlihat dari Jokpin adalah dua kecenderungan besar: puisi kisah dan fragmen (aforisma). Humor yang tragis itu terus terasa dengan derajat dan ientensitas yang berbeda. Jokpin mungkin butuh kulakan (belanja) kata dan kisah biar tidak miskin dan pelit. Begitu.

(Pemenang Harapan Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan dimuat dalam buku Tamsil Zaman Citra – Dewan Kesenian Jakarta 2007)

KEPUSTAKAAN

Amini, Hasif. 2003. “Beberapa Patah Kata Pembuka” dalam Puisi Tak Pernah Pergi (Sajak-sajak Bentara 2003). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.

______________________. 1999. “Burung dalam Celana Joko Pinurbo” dalam Joko Pinurbo Celana. Magelang: Indonesia Tera.

Dewanto, Nirwan. 2003. “Pinurbo dan Dinar” dalam Majalah Tempo Edisi 30 Desember – 5 Januari 2003.

Jassin, H.B. 1976. “Beberapa Penyair di Depan Forum” dalam Penyair Muda di Depan Forum. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Malna, Afrizal. 2000. Sesuatu Indonesia. Yogyakarta: Bentang.

Massardi, Yudhistira. 1982. Rudi Jalak Gugat. Jakarta: Indira.

________________ . 1983. Sajak Sikat Gigi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Pinurbo, Joko. 1999. Celana. Magelang: Indonesia Tera.

__________ . 2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang: Indonesia Tera.

__________ . 2002. Pacarkecilku. Magelang: Indonesia Tera.

__________ . 2003. Telepon Genggam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

__________ . 2004. Kekasihku. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

__________ . 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.

__________ . 2007. Kepada Cium. Gramedia Pustaka Utama.

Rampan, Korrie Layun (ed.). 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. 2001. “Catatan Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) 1998-2000” dalam Jurnal Puisi No. 01 Tahun 2001. Depok: Yayasan Puisi.

Suryadi AG, Linus (ed.). 1987. Tonggak 4. Jakarta: Gramedia.

Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian, Penyairku?” dalam Joko Pinurbo Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.