Rabu, 20 Februari 2008

Puisi Biografi

Oleh: Bandung Mawardi

Kenangan, Fiksi, Biografi

Orang-orang tak mau membuat kenangan
dari bahasa-bahasa miskin
yang bunuh diri di ruang tamu.
Lelaki berlari jauh membawa fiksi
dan biografi kotor untuk ingatan
pada kelelahan memberi kisah-kisah panjang.




Kisah, Sejarah, Tangisan

Orang yang mau bertanya salah
selalu kembali ke belakang rumah
minta doa dan mimpi.
Perempuan datang pesan kisah-kisah lain
dengan sejarah dan tangisan.




Nostalgia, Puisi, Iklan

Pertemuan menyimpan nostalgia malu
dari puisi dan iklan-iklan murahan.
Siapa membuka kamar
yang kehilangan buku-buku bekas?
Lelaki membuat gelap dan kabut
dengan tubuh kurus
dalam tabrakan referensi.



Perempuan, Biografi, Lelaki

Perempuan lupa mengatakan sedih
atau khilaf yang datang pada malam hari
ketika mengantarkan biografi lelaki.



Orang, Kitab Suci, Televisi

Jangan berhenti di jalan besar!
Orang-orang mau percaya pada
pembohong-pembohong yang berdiri
dengan kitab suci palsu dan televisi.


Perempuan, Puisi, Prosa

Perempuan itu jadi malu
membaca puisi dan prosa
yang tidur di dalam kamar.
Lelaki percaya untuk menuliskan hidup
dalam kalimat yang tak lekas mati.



Fiksi, Kisah, Doa


Lelaki dan perempuan bertemu
membuat fiksi panjang. Membaca dan menulis
kisah dan khayal yang berjalan dalam doa kecil.


Dimuat dalam majalah GONG edisi 97/IX/2oo8

Kamis, 07 Februari 2008

Puisi-puisi Pigura

Oleh: Haris Firdaus


Sebuah Pigura Tua Tanpa Potret

Ayah sangat menyukai pigura tua tanpa potret

yang ia gantung di kamar mandi. Pigura itu

mengingatkan ia pada cinta pertamanya.

Cinta pertamanya membawa ayah pada cerita

fiksi dan bau deodoran remaja. “Kalau sudah begitu,

ayah lebih suka memandang kehidupan lewat

halaman tabloid porno.”

Pigura itu sering mendengarkan ayah membaca

puisi di kamar mandi. Puisi yang dibaca ayah

membawa sepi dan musim kemarau ke kamar

mandi. “Pigura itu seharusnya diisi dengan buku

dan kenangan cetakan lama yang tak lagi dicetak

ulang,” kata ayah.

2007

Dalam Pigura Bekas di Toko Loak,

Aku Menemukan Kita dan Masa Lalu

Aku menemukan kita dan masa lalu

dalam pigura bekas di sebuah

toko loak tengah kota

saat anak-anak sibuk bermimpi

menyusuri masa lalu dengan mesin

yang dikeluarkan Doraemon

dari kantong ajaibnya.

Mereka melewati lorong yang

setengah terang warna-warni

dan setengah gelap,

sambil bercanda tentang apakah

yang dilakukan ibu mereka

kala mereka menangis saat dulu

masih bayi.

“Kalau kau jadi Doraemon,

akankah kau juga mengeluarkan

mesin waktu itu demi masa lalu kita

yang penuh bau asam, tapi juga

semacam bahagia?”

Kau diam, dan anak-anak itu

masih sibuk berdebat tentang

jawaban dari khayalan mereka.

“Ibu mungkin mengayun-ayunkan

kita dalam ayunan dari kain lusuh

yang biasa ia gunakan buat

menggendong kita,” kata salah

seorang anak, sok tahu.

“Kalau kau jadi anak-anak,

akankah kau berdebat tentang

seandainya kita masih bersama

menyusuri pohon cemara dan

memetik daun-daun hijau, sambil

sesekali saling pandang

dan malu-malu?”

2007


Negara yang Membangun Pigura

dari Kertas Palsu

“Kita tinggal di negara yang membangun

pigura dari kertas palsu yang berkualitas

buruk, Nak,” kata ayah suatu kali.

Tapi di sekolah, guru-guru memajang dan

memamerkan pigura-pigura itu dengan

bangga.

Saya pandangi wajah-wajah mereka

suatu kali, lalu saya temukan mereka

adalah juga foto-foto tua yang kusam

dan diselubungi nyamuk warna hitam.

“Merekalah yang sebenarnya menyelubungi

nyamuk warna hitam itu,” ayah mengingatkan.

***

Para guru itu mungkin datang dari sebuah dongeng

tentang para budak yang diperintahkan raksasa

buat membodohi anak kecil yang ingin belajar

membaca.

Mungkin pula, mereka datang ke negeri ini

lewat sebuah pesan singkat dari handphone

yang tersambung lewat internet ke sebuah

warung kopi di mana para peronda sedang

berjaga ditemani kopi pahit hidup mereka.

“Malam itu, negara tidak ikut minum kopi, Nak.

Ia sudah capek karena siang tadi kelelahan

membuat pigura.”

2007




Pigura dan Ibu yang Berjaga

Aku senantiasa berjaga untuknya

demi semacam rahasia dari pigura

masa lalu

Dan tangan ibu tak henti-hentinya siaga

di dekat pigura tua bergambar ayah

yang gemuk.

Matanya seperti menangkap

bau bulan yang lama tak diciumnya.

“Bisakah kau cuci semua perabotan

masak kita, Nak? Hari ini aku akan masak

jauh lebih banyak karena ia bersama kita.”

***

Hari ini, ia akan datang untuk

merasakan sup ayam kesukaannya

yang di surga tak tersedia,

lalu segera pergi.

Apakah di surga ada pigura bergambar

ibu yang cantik? Apakah di sana ayah

juga akan berjaga seperti kau yang berjaga?

“Tentu. Ia akan berjaga jauh lebih lama

dan memasak jauh lebih banyak

dari biasanya.”

2007



(Dimuat dalam Buletin Sastra Litera Edisi 1 Februari 2008