Rabu, 26 Maret 2008

Pengembaraan Dua Sejarawan

Oleh: Heri Priyatmoko


Di Indonesia, tidak banyak penulis yang melakukan suatu pengembaraan dari buku ke buku, yang kemudian hasil pengembaraan itu dituangkan menjadi sebuah buku. Mungkin baru P Swantoro dan mendiang Kuntowijoyo. Contoh, hasil coretan tangan sejarawan sekaligus wartawan, P Swantoro “Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu”, (2002). Selanjutnya, Kuntowijoyo dengan buku terakhirnya setelah Pengantar Ilmu Sejarah” (1995), dan “Metodologi Sejarah” (1994, 2003, ed kedua), yaitu “Penjelasan Sejarah (Historical Explanation)”, (2008). Lengkap sudah trilogi kitab Kuntowijoyo tentang ilmu sejarah.

Swantoro

Posisi sebagai sejarawan dan wartawan, membuatnya tak berhenti menimba hal-hal baru di lapangan saja, namun buku tak ubahnya ladang pengembaraan intelektualitas. Swantoro mengakui, pengalamannya dengan buku sudah dimulai sejak masih bocah, sehingga tidak kurang dari 200 buku yang diuraikannya dengan menarik dan sekarang ini mampu tampil seolah-olah sebuah pribadi hidup. Ini semua berasal dari lebih tiga ribu buku miliknya pribadi yang selama puluhan tahun secara tekun di kumpulkan satu demi satu.

Di buku Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu”, Swantoro tidak melakukan sebuah analisis, melainkan bertutur tentang beragam jenis buku yang pernah dibaca oleh penulisnya. Lebih mirip tinjauan buku yang dimuat di surat kabar atau majalah. Yang memukau, jumlahnya ratusan buku. Dengan kemahiran bahasa Belanda, dia tak kesulitan mengupas tuntas buku karangan orang Belanda. Penulis mendongeng sejarah Partai Komunis Indonesia PKI setelah menyimak karya J Th Petrus Blumberger “De Communistische Beweging in Netherlandsch Indie”, dan disusul bukunya Daniel Marcellus G Koch “Om de Vrijheid: De Nationalische Beweging in Indonesie”.

Penceritaan ulang Perang Dipenagara begitu elok hanya bermodal buku S van Praag, “Onrust op Java, De Jeugd van Pangeran Dipanagara; Een Historisch-Litteraire Studie” (1947). Diceritakan Swantoro bahwa separuh isi buku karya Praag itu hasil kutipan penting dari Babad Dipanagara. Praag mengenal namanya setelah Dipanagara mendekam di kamp tawanan Jerman di Westerbok, Negeri Belanda, saat tentara Jerman menduduki negeri itu pada Perang Dunia II.

Swantoro kagumi tokoh WJS Poerwadarminta, PJ Zoetmulder, dan Sartono Kartodirdjo. Poerwadarminta, meskipun hanya seorang lulusan Normalschool, terbukti mampu membuktikan dirinya sehingga bisa tumbuh dan menjadi leksikograf terbaik di Indonesia. Keberhasilan Poerwadarminta menjadi ahli kamus akibat ketidakadilan yang ia alami. Guru lulusan Normaalschool digaji hanya 40 gulden, sementara lulusan Kweekschool, sekolah guru yang juga empat tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, digaji 75 gulden. Karena itu para siswi sekolah guru menjulukinya sebagai sega abang (nasi merah), sedangkan lulusan Kweekschool sebagai sega putih (nasi putih). Rasa rendah dirinya memacu Poerwa mempelajari banyak bahasa khususnya bahasa Belanda dan bahasa lain dan kelak ia menjadi ahli kamus terkemuka (hal 24).

Seperti kata Parakitri dalam Prakata, membaca buku ini ibarat seorang kakek mengajak cucunya berjalan-jalan ke taman bunga, dan menjelaskan sekemampuannya kepada si cucu berbagai macam bunga di taman itu satu demi satu. "Perkelanaan memori" itulah yang menyebabkan buku macam ini tidak ada duanya.

Kuntowijoyo

Selain dijuluki sejarawan ternama, Kuntowijoyo adalah satrawan dan budayawan yang mumpuni. Beliau telah pergi pada 22 Februari 2005 silam Ia hidup untuk 3S, yaitu Sejarah, Sastra dan Susilaningsih (nama istrinya). Di buku terakhirnya, penulis juga sama berkelana mengajak pembacanya menelusuri sekitar 60 buku babon yang sangat berpengaruh untuk perkembangan Ilmu Sejarah di Indonesia. Hanya saja, kalau Swantoro tadi sebatas pada cerita sejarah, Kuntowijoyo lebih menekankan pada seperangkat teori yang dipakai untuk kerja pada penulis buku.

Dengan gaya bahasa yang mudah dicerna, Kuntowijoyo memaparkan satu-persatu karya penulis asing maupun Indonesia. Buku yang ia kaji antara lain, M.C Ricklefs, A History of Modern Indonesia (1982), mahakarya Denys Lombart tiga jilid (1996), karya antropolog Cliford Geertz (1971, 1973, 1974, 1987, dan 2000), buku bengawan sejarah Sartono Kartodirjo (1966, 1972, 1987, dan 1999), Sejarah Nasional Indonesia I-IV dan masih banyak lagi. Penulis membagi menjadi sembilan pokok permasalahan. Adapun di antaranya, hakikat sejarah, periodisasi, kausalitas, analisis struktural, paralelisme, generalisasi sejarah, sejarah dan teori sosial, kuantitatif dan sejarah naratif.

Tidak sia-sia, hasil penjelajahan dari buku ke buku, Kuntowijoyo meramu hakikat penjelasan sejarah yang selama tiga dekade pada abad XX menjadi bahan perdebatan dan ketidaksepakatan di antara kaum positivis dan kaum idealis dalam pendekatan sejarah. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan hangat mengenai historiografi Indonesia.

Kesamaan

Ini buku yang muncul berkat pergulatan mendalam sejarawan dengan buku yang tidak terbatas jumlahnya. Andaikan disejajarkan, ibarat bocah kembar. Kedua buku ini kiranya jarang dalam jenisnya, sebuah buku yang berupaya menuturkan tentang puluhan hingga ratusan buku yang telah dibaca oleh penulisnya. Apalagi, terungkap betapa luasnya pengetahuan kedua penulis sehingga mampu mengajak pembaca untuk menyelami isi buku-buku yang bermutu, meski hanya sekilas informasi yang diberikan oleh penulisnya.

Dengan cerdik, kedua sejarawan berupaya menelaah isi buku dengan ilmu yang mereka peroleh di bangku jurusan sejarah UGM. Mereka searah, sama-sama berkutat dengan peristiwa dan karena itu juga dengan sumber, waktu, tempat, lingkungan, keadaan, serta efek dan interpretasi. Kesamaan lain yang tak terlihat adalah mereka mewarisii sikap keilmuwan sang guru, yaitu Sartono dengan asketis intelektualnya. Meski tubuh rapuh akibat sakit tahunan atau karena umur yang tidak lagi muda, namun semangat untuk berkarya masih terpelihara. Itulah teladan yang sangat sulit dicari bandingannya.

Jawapos, Minggu 16 Maret 2008

Antara Mangkunegara, Paku Buwono & Jokowi

Oleh; Heri Priyatmoko

Kota Solo pada tanggal 17 Februari 2008, genap berumur 263 tahun. Dalam rentang waktu sekian abad itu, ternyata ada pemimpin di Kota Bengawan yang mempunyai karakter serupa dalam membangun kota dan mampu melayani masyarakatnya.

Menurut Jim Laub (1999), servant leader (pemimpin yang melayani) mempunyai karakteristik antara lain: menghargai orang lain dengan mendengarkan dan mempercayainya, memberdayakan orang lain dengan keteladanan, membangun komunitas yang menghargai perbedaan, membangun autentisitas melalui integritas dan kepercayaaan, memberikan perspektif masa depan dan mengambil inisiatif, dan berbagi kepemimpinan untuk membentuk visi bersama.

Keenam karakteristik itu agak sesuai dengan model kepemimpinan Mangkunegara VII (1816-1944) dan Paku Buwono X (1893-1939). Pada hakekatnya, jabatan adalah sebuah tanggung jawab dan dari tanggung jawab ini dituntut agar setiap pemimpin berusaha memberikan yang terbaik kepada orang-orang yang dipimpinnya.

Apabila kita membuka blue print sejarah Kota Solo, akan diketahui bahwa cikal bakal masyarakat Solo merupakan campuran antara masyarakat agraris dan pedagang. Agraris karena daerah di sekitarnya merupakan wilayah pertanian, sedangkan perdagangan karena didukung oleh keberadaan Sungai Bengawan Solo yang menjadi jalur perdagangan (bandar Semanggi, Beton, Nusupan, dan Laweyan). Perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta tahun 1745, akhirnya mengubah Desa Sala menjadi kotaraja. Sejak itu, kehidupan masyarakat Solo sarat dengan dinamika sosial-budaya dan keterbukaan jalur antardaerah Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten). Lambat laun, Solo menjadi kota yang ramai. Pada masa Mangkunegara VII dan Paku Buwono X, pembangunan kota mencapai puncaknya. Kedua raja ini saling berlomba-lomba menyulap wilayahnya demi terpenuhi kebutuhan rakyat.

Dalam bidang olahraga, MN VII membangun lapangan Manahan yang amat luas untuk pacuan kuda dan kolam renang rakyat di Balekambang. Tidak mau ketinggalan, PB X membangun kolam renang di Tirtomoyo Jebres dan Stadion Sriwedari yang merupakan stadion pertama di Indonesia. Di sinilah lahir perkumpulan sepak bola Voetbal Bond Solo (embrio Persis).

Memiliki ruang terbuka untuk taman kota adalah dambaan tiap warga. Kota yang hijau, bersih dan tertata rapi memberikan kenyamanan bagi warganya dalam melaksanakan aktivitas. Masyarakat Mangkunegaran sangat terhibur dengan public space Partini Tuin (Balekambang), Taman Tirtonadi dan Villa Park (Banjarsari). Kemudian, PB X menghabiskan ribuan gulden membangun Kebon Rojo (Taman Sriwedari) yang dilengkapi dengan rekreasi pustaka dan zoologi. Lampu sokle menyala setiap malam selikuran untuk mengudang masyarakat datang ke Sriwedari.

Untuk mencegah banjir, MN VII membuat resapan air dengan menanam ratusan pohon di Balekambang dan mengoptimalkan drainase kota. Sedangkan PB X bekerjasama dengan pemerintah Belanda membangun tanggul untuk mengepung seluruh kota dan juga membuat pintu air di Demangan, agar air Bengawan Solo tidak masuk ke kota. Dua raja tersebut tidak henti-hentinya mendengarkan keinginan rakyat. Di hal pendidikan, MN VII mendirikan HIS Siswo dan sekolah dalang Pasinaon Dalang serta pendidikan lanjutan untuk anak perempuan Van Deventer School.

Selanjutnya, PB X mendirikan HIS Pamardi Putri, Kasatriyan dan sekolah agama “Mambaul’ Ulum”. Guna memfasilitasi kebutuhan rohani, MN VI membangun Masjid Al Wustho dan PB X membangun Masjid Agung. Sangat serius raja-raja ini memikirkan kondisi kesehatan rakyat. Buktinya, Kasunanan mendirikan rumah sakit “Panti Raga” di Kadipala, sedangkan Mangkunegaran membangun klitik “Yatna Nirmala” di sebelah barat keraton.

Sarana perdagangan rakyat untuk menunjang perekonomian kota, juga disentuh. Pasar Pon dan Pasar Legi direnovasi menjadi pasar modern oleh MN VII. Pasar Gede adalah peninggalan PB X yang dibangun atas bantuan arsitek Thomas Karsten tahun 1930. Kedisiplinan warga dalam bekerja dibantu dengan dipasangnya jam di depan Pasar Gede. Waktu itu, pasar merupakan simbol multikultural. Pasalnya, berbagai etnis di Solo (Jawa, China, Arab, dan Eropa) berbaur di pasar. Fasilitas umum seperti listrik, air ledeng dan sarana transportsi turut dibangun saat dua raja ini berkuasa. Tak pelak, rakyat Solo hormat sekaligus bangga pada penguasa.

Sejarah berulang?

Bagaimana dengan kepemimpinan Walikota Jokowi sekarang ini? Agaknya sejarah berulang, model kepemimpinan Jokowi mirip dengan MN VII dan PB X. Banyak hal di jaman dulu yang hampir sama ditemukan di era sekarang. Pembangunan kota dilakukan demi terpenuhinya kepuasan rakyat dan merasa nyaman. Jujur, Jokowi yang telah memimpin Solo selama 3 tahun ini banyak masyarakat yang angkat topi. Ini bukan pujian belaka, tapi penilaian obyektif dari pencapaian-pencapaian yang ia lakukan.

Pembangunan permukiman dan kawasan bisnis baru, berakibat langsung terhadap semakin sempitnya ruang terbuka hijau di kawasan Solo. Langsung saja Jokowi beserta jajarannya tanggap, dengan memindahkan PKL dari area public space Banjarsari, revitalisasi Balekambang dan Taman Sriwedari. Semua ini dilakukan mengingat masyarakat sangat butuh ruang rekreasi dan ekspresi. Lalu, pembangunan City Walk sepanjang jalan Slamet Riyadi sebagai wahana srawung warga.

Alhasil, Pemkot Solo pun menyabet penghargaan terbaik kedua untuk penataan ruang kota besar dari Departemen Pekerjaan Umum (PU), sementara terbaik pertama di raih oleh Kota Padang. Di bidang ekonomi, Jokowi cukup peduli dengan revitalisasi pasar tradisional agar tidak tergerus oleh mal dan supermarket. Roh dari pasar tradisional adalah adanya interaksi sosial dalam bentuk tawar-menawar. Karena itu, di sinilah terjadi kerukunan antaretnis dan warga kota tercipta. Dunia kesenian juga diperhatikan. Misalnya, revitalisasi Wayang Wong Sriwedari dan Balekambang, menetapkan Solo sebagai Kota Keroncong, serta Solo bakal mempunyai dewan kesenian untuk mewadahi dan memfasilitasi kesenian di Solo.

Generasi pendahulu, seperti MN VII dan PB X telah meninggalkan karya dengan muatan sejarah budaya lokal dalam membangun kotanya. Warisan ini perlu dilindungi, dirawat, serta dimanfaatkan, selain juga menjadi sebuah contoh hasil karya masa lalu yang membanggakan. Maka, Jokowi memimpin dengan semangat Solo’s past is Solo’s future, sangatlah tepat.

Memang dibutuhkan kearifan dari pemimpin di Solo, untuk memahami progres semacam apa yang akan ditorehkan di saat ia memimpin Solo agar menyejarah di masa datang. Kenapa Pak Jokowi dikatakan bisa mirip MN VII dan PB X ? Dalam bekerja, beliau tidak mutung karena bingung dan mandeg karena judeg. Ia membangun kota atas dasar suara rakyat, keinginan publik. Dan, itulah yang disebut pemimpin melayani masyarakat. Terima kasih Pak Jokowi. Dirgahayu Kota Solo

Dimuat di Joglosemar, 18 Februari 2008.

Selamat Jalan Sejarawan "Ratu Adil"

Oleh: Heri Priyatmoko


Hidup seorang akademisi jangan seperti pohon pisang. Hanya sekali berbuah, setelah itu mati”, begitulah pesannya. Ada perasaan trenyuh ketika melihat semangat dan produktifitas beliau walau usia senja, tubuh tak bisa lepas dari kursi roda dan membaca harus dibantu kaca pembesar. Apa yang ingin diperlihatkan adalah kerja tanpa henti.

Prof Dr A Sartono Kartodirdjo, Guru Besar Emeritus Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta meninggal dunia Jum'at dini hari, 7 Desember 2007, dalam usia 86 tahun. Almarhum sempat dirawat di RS Panti Rapih Yogyakarta selama lebih kurang satu bulan. Beliau sakit geriatri atau mengalami proses penuaan yang ditandai dengan gejala penurunan metabolisme tubuh, penurunan fungsi pernafasan. Kepergian sejarawan "Ratu Adil" untuk selama-lamanya ini, meninggalkan seorang istri Sri Kadaryati (80), dan dua orang anak Nimpuno (57) dan Roswita (53) serta tiga orang cucu.

Apa yang mendorong Prof. Sartono memilih masuk jurusan sejarah? Suatu hari dalam usianya yang belum genap satu tahun, Sartono dibawa orang tuanya mengunjungi Candi Prambanan. Di sana, Sartono sekeluarga berfoto. Dalam foto terlihat, bayi Sartono digendong ayahnya, Tjitro Sarodjo seorang pegawai pos pada zaman penjajahan Belanda, yang dihimpit ibunya, Sutiya serta dua kakak perempuannya. Seringnya bepergian ke tempat-tempat tersebut, Sartono mulai menginjak usia dewasa terbangunlah kecintaannya pada sejarah.

Ia mulai masuk sekolah, walau matanya mengidap yang mengaburkan penglihatannya. Selama bersekolah hingga lulus Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK -- sekolah guru) ia menonjol dalam mata pelajaran sejarah. Nilainya selalu sepuluh. Ia mengawali kariernya sebagai guru SD Salatiga, Jawa Tengah, 1941. Pecah Revolusi Kemerdekaan, Sartono menjadi Ketua Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia (AMKRI). Berkenalan dengan Sri Kadarjati, sesama guru yang mengungsi dari Semarang, ia lantas menikahinya di Yogyakarta, 1948. Selang dua tahun, ''pengantin revolusi'' ini hijrah ke Jakarta. Sambil mengajar di SMA, pada tahun 1950 pria yang dilahirkan tengah malam di Wonogiri 15 Februari 1921 ini, kuliah di Fakultas Sastra UI dan selesai tahun 1956. Tiga tahun setelah itu, Sartono menjadi dosen di UGM, dan di FKIP Bandung.

Ia fokus mendalami sejarah sebagai ilmu. Sepuluh tahun kemudian, 1966, ia meraih doktor di Universitas Amsterdam dengan disertasi, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia yang mengcounter para sejarawan konvensional. Pasalnya, selama itu ada kecenderungan tak bisa lepas dari hegemoni kaum kuat atau penguasa sehingga sejarah tak beda dari kumpulan biografi atau kisah penguasa. Sartono punya keyakinan wong cilik sekalipun bisa menentukan jalannya sejarah. Maka, petani atau orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi non-faktor, dalam karya Sartono menjadi aktor sejarah.

Anggapan bahwa petani adalah masyarakat yang tanpa sejarah, terpatahkan jua. Keberpihakannya kepada kaum tertindas boleh jadi terpengaruh sejarawan Perancis, Goubert yang tak mau berkonsentrasi pada kiprah Louis XIV, tetapi pada para petani yang hidup di bawah pemerintahannya. Yang memukau dan mengesankan, Sartono berhasil menulis disertasi itu tanpa rasa kemarahan atau rasa berat sebelah. Alhasil, sang promotor, Prof Wertheim angkat topi dan mengatakan karya ini berharga tidak hanya merekontruksi sejarah dalam perspektif ke-Indonesia-an (history within), tetapi terletak dalam memunculkan secara rinci peristiwa sejarah dengan bagus dan jelas, serta keluasan dan kedalaman dalam menempatkan sejarah pada ranah ilmu sosial secara umum. Di kemudian hari pun, disertasi Sartono itu menjadi buku babon historiografi Indonesia.

Berjarak Dengan Kekuasaan

Suatu hari ia ditelepon Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono yang memintanya untuk mengoreksi Buku Putih tentang Peristiwa 1965. Sartono menjawab, tugas sejarawan bukan menyusun buku putih. Namun yang menelepon tampaknya kurang paham dengan sindiran itu dan tetap mengirim petugas mengantar naskah buku itu ke rumah Sartono di Bulaksumur, Yogyakarta.

Sartono memang memberikan koreksi dan berbagai catatan metodologis. Catatan yang paling penting menurutnya "sejarah harus ditulis berdasar fakta". Kritik dan saran Sartono tidak digubris para penyusun buku putih, mereka hanya mau memakai nama Bapak Sejarah Indonesia tersebut demi kelancaran proyek. Ia tak mau mengekor penguasa atau ABS (Asal Bapak Senang). Bila bersedia, sejarah akan bias, tendesi kepentingan yang menyebabkan sejarah dibelokkan. Demi menjaga kekritisannya, ia mengambil jarak dengan kekuasaan dan memilih hidup asketis.

Mazhab Sartono

Siapapun tak bisa menyangkal kemampuan akademis Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Banyak karyanya yang menjadi bacaan wajib bagi peminat dan ahli sejarah. Bekas mahasiswanya sudah banyak yang menjadi ahli sejarah terkenal. Ada yang menyebutnya, Pak Sartono adalah lumbung ilmu para sejarawan. Darinya muncul nama-nama besar seperti mendiang Kuntowijoyo, dan Taufik Abdullah.

Sebab, beliau dalam mendidik murid mempunyai falsafah ”lebih baik menghasilkan seekor singa daripada seratus ekor kambing” yang selalu dipegang teguh. "Mazhab Sartono" telah hadir selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir dalam historiografi Indonesia, mekar bukan saja berkat karya-karyanya sendiri tetapi juga berkat penyuburan yang dilakukan puluhan sejarawan yang langsung dididiknya maupun yang secara tidak langsung mengenalnya namun terpengaruh olehnya.

Dedikasi dan kehidupannya sebagai sejarawan di negeri tercinta ini mengantarkan beliau dianugerahi penghargaan oleh Presiden RI, yaitu Bintang Mahaputera Utama pada tanggal 11 Agustus 1999 dan meraih penghargaan Achmad Bakrie 2005 bidang pemikiran sosial. Karena, sejarawan pengagum Arnold J. Toynbee itu telah merintis penulisan sejarah Indonesia yang ilmiah dengan mengajukan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu yang paling andal dalam studi sejarah. Sekali lagi, Sartono tidak saja berjasa dalam perkembangan historiografi Indonesia, tetapi juga memberi teladan dan inspirasi sosok pribadinya. Selamat jalan profesor, kami lanjutkan perjuanganmu!

Dimuat di Joglosemar 10 Desember 2007.

Humanisme Karsten Pada Kota Solo

Oleh: Heri Priyatmoko


Sejarah sebuah kota tidak hanya bisa ditelusuri dari perjuangan masyarakatnya. Selain melalui kondisi geologi, masih banyak saksi bisu lainnya yang bisa menceritakan perjalanan masa lalu sebuah kota, terutama ketika kota tersebut memasuki masa jaya, yaitu masa pembangunan. Di setiap kota-kota di Indonesia, pada jaman kolonial Belanda, pasti mempunyai tokoh dari kaum Eropa yang dinobatkan sebagai tokoh kunci dalam perkembangan kota itu sendiri. Contoh, ide brilian Simon Stevin diresapi Jan Pietersz Coen dalam mendirikan Kota Batavia tahun 1619.

Lalu, H.T Tillema berhasil membumikan betapa pentingnya higiene dalam pembangunan kampung dan pembangunan sistem pembuangan air di Semarang tahun 1900-an. Kemudian, kehadiran arsitektur hibrid yang menjadi bukti perpaduan budaya Barat dan vernakular di Bandung, tidak lepas atas jasa Ed Cuypers, PAJ Moojen, dan Henri Maclaine Pont. Sedikit penasaran, apakah Kota Solo juga mempunyai “sutradara” pembangunan kota dari golongan Eropa?

Boleh dikata, sejak awal posisi golongan Eropa di Solo tidak menyenangkan dalam hubungan mereka dengan masyarakat dan pemerintah (kerajaan). Ini yang jelas terjadi dalam periode awal kolonial masuk. Sebut saja, interaksi warga kota sangat dibatasi serta diawasi. Betapa tidak, pembangunan Benteng Vastenburg disengaja untuk mengontrol keamanan kota dari pemberontakan. Warga tidak leluasa keluyuran malam, petugas yang berdiri di atas pos benteng, memukul lonceng sebagai jam malam (De Graff, 2002).

Jurang stratifikasi sosial semakin kentara setelah peraturan permukiman penduduk berdasarkan etnis (wijkstelsel) dijalankan. Bahkan, hal administrasi kerajaan pun tak luput dari monitoring. Misalnya, undangan perkawinan dari Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk Paku Buwono X (1839-1939) harus melewati Residen terlebih dahulu (Kuntowijoyo, 2004).

Lain dengan seorang Ir. Thomas Karsten (1884-1945). Meski keturunan Belanda, namun dia laksana orang pribumi (inlander). Dia cukup piawai memadukan unsur Barat dan Jawa dalam menyolek pembangunan fasilitas perkotaan. Keinginannya, dalam setiap membangun suatu bangunan harus ada keserasian dan kenyamanan antara pengguna, lingkungan sekitar dan indera mata manakala memandang. Kesewenang-wenangan arsitektur ia tanggalkan, yang mana kebanyakan arsitek Belanda sekedar ingin memindahkan gaya arsitektur Belanda ke tanah jajahan.

Pada riwayatnya, Karsten merupakan alumni Technisce Hoogesschool di Deff tahun 1914. Bubar lulus, Karsten hengkang dari Belanda menuju Indonesia atas undangan Maclaine Pont untuk bekerja pada biro pembangunan perumahan dan perencanaan kota. Ia melanglang buana, dari kota ke kota. Kota Banjarmasin, Palembang, Semarang, Bogor, Malang, Purwokerta, dan Medan pernah dirias Karsten.

Karya Karsten

Sebagai sebuah daerah yang mulai berkembang jadi kota, Kota Bengawan mengalami penataan yang lebih komprehensif sejak tahun 1920-an. Dukungan dari penguasa lokal yaitu, Paku Buwono X dan Mangkunegara VII memudahkan Karsten untuk berajang kreasi. Nilai-nilai ke-Jawa-an diperoleh Karsten di Institut de Java. Di situ, kepeduliannya terhadap rakyat kecil terbangun. Di setiap rancangan, dia tidak pernah melupakan kepentingan wong cilik. Sungguh sesuatu yang jarang ditemui pada orang-orang Belanda pada waktu itu.

Pasar Gedhe Hardjanagara rakitan apik Karsten pada tahun 1929. Dari para pedagang, pembeli, buruh gendong hingga kaum difabel dapat merasakan kenyamanan Pasar Gedhe. Jalan masuk pasar yang ideal, dua jendela berbentuk pipih vertikal, dan rooster untuk lubang angin tambahan agar kesejukan ruang terpenuhi adalah menandakan Kasten sangat tanggap kebutuhan rakyat dengan kenyamanan pasar.

Bangunan eks. kantor DPU yang terletak di jalan Urip Sumaharjo di sebelah barat Pasar Gedhe adalah ciptaan Karsten. Ada persenyawaan antara bentuk peninggalan gaya Eropa yang terlihat dari dinding yang tebal, kolom-kolom yang besar, dan kemudian dibubuhi aroma khas arsitektur Jawa dengan bahan penutup atap terbuat dari sirap mirip joglo dan limasan. Arsitek berkepala pelontos ini, juga menaruh perhatian pada pembangunan di dalam wilayah keraton. Sebagai bukti, gapura Mangkunegaran di bagian luar dan dalam tidak lain karya Karsten. Pada gapura luar kesannya lebih ringan, sedangkan pada gapura utama bersambung dengan dinding halaman Pura Mangkunegaran. Di pendhapa Mangkunegaran ada hiasan menawan yang disebut Kumudawati, borehan Karsten.

Pavilium Gusti Nurul (Pracimayasa) lahir dari ide Karsten. Bangunan ini perpaduan unsur arsitektur Barat-Timur. Di tempat itu dijumpai meja makan dan sebuah kamar ganti mewah yang diperuntukan permaisuri raja. Agar tampak asri, Karsten menambahkan jendela pada ruang makan yang terbuat dari kaca dengan hiasan motif suasana tradisional. Selanjutnya, eks rumah dinas Residen Surakarta yang berada di ruang publik Villapark Banjasari. Ini dibangun ketika Karsten menjadi penasehat atau konsultan perencanaan Kota Solo.

Penyatuan lingkungan ruang terbuka dengan lingkungan Eropa kemudian menjadi tren. Itulah kecerdasan lain Karsten untuk menyertakan tata ruang dalam ranah sosial kemasyarakatan. Sehingga konsep garden city (kota kebun) yang dikembangkan di wilayah Solo bagian utara, bisa dinikmati para sinyo dan noni maupun rakyat di kala senggang. Tak hanya itu saja, arsitek yang dilahirkan pada 22 April 1884 di Amsterdam itu, juga berperan dalam pembangunan Stasiun KA Balapan, Lapangan Manahan dan Masjid Al Wustha di Mangkunergan.

Simbiosis

Selain Bandung dan Semarang, kota yang dipimpin Pak Jokowi ini sebenarnya termasuk salah satu kota di Indonesia yang beruntung karena masih memiliki salah satu saksi sejarah masa lalunya Karsten yang bisa dibaca lewat bangunan-bangunan tua dengan berbagai langgam arsitekturnya. Melalui salah satu kekayaan itu, setiap orang bisa menelusuri perjalanan sejarah kota dan masyarakat Solo yang begitu disayangi Karsten waktu itu.

Tidak berlebihan ia dipandang sebagai peletak dasar-dasar perencanaan kota "utopis" di Hindia Belanda. Beliau telah menolak pendekatan metode rasionalisasi perumahan gaya Eropa, yang disebutnya tidak akan berhasil diterapkan di Hindia jika tidak mampu berkompromi dengan tradisi budaya lokal. Dalam konteks menanggulangi segregasi sosial, Karsten memperkenalkan metode "simbiose", sebagaimana tercermin di Pasar Gedhe, Villapark, dan arena olahraga Manahan. Sayang, kalau bangunan-bangunan yang bisa menceritakan tentang sejarah kota, kebudayaan lokal dan kemuliaan Karsten pada suatu hari nanti diruntuhkan. Solo disebut kota yang tak pernah tidur. Begitu juga Karsten yang senantiasa terjaga lewat karyanya.

Pentingnya keberadaan warisan Karsten yang sarat humanisme ini, terletak pada kontribusi memorialnya dalam membentuk karakter lingkungan binaan di sekitarnya, namun bukan menuju pada romantisme belaka! Hal penting yang harus diperhatikan Pemkot jika ingin pelestariannya berhasil adalah (1) apa yang perlu dilestarikan? (2) mengapa ingin dilestarikan? (3) dan untuk siapa melakukan pelestarian? Kalau ketiga hal itu belum terjawab, jangan diharap pelestarian heritage di Kota Solo berhasil dengan baik.

Dimuat di Joglosemar 04 Maret 2008

Kamis, 06 Maret 2008

PK Ojong dan Asimilasi Keturunan Tionghoa


Oleh: Haris Firdaus

Pada 24 Maret 1960, PK Ojong, Ong Hok Ham, dan delapan cendekiawan etnis Tionghoa lain di Indonesia menandatangani Piagam Asimilasi. Dalam piagam itu, disebutkan bahwa kesepuluh penandatangan piagam bertekad menjadi “orang Indonesia yang murni dan patriotik” sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, Oktober 1928.

Bagi PK Ojong dan para penandatangan Piagam Asimilasi lainnya, proses asimilasi keturunan Tionghoa harus diartikan sebagai proses peleburan mereka ke dalam penduduk Indonesia sehingga tidak ada lagi istilah “minoritas Tionghoa”. Ketika sebuah peleburan telah terjadi, sebutan “minoritas” dan “mayoritas” memang tidak lagi relevan sebab saat itu yang ada hanyalah “kesatuan sebuah bangsa”.

Kalau kita menganggap bangsa sebagai sebuah “komunitas terbayang”—seperti dikatakan Bennedict Anderson (2001: 8)—maka ikhtiar Ojong untuk mendukung asimilasi sebenarnya mengandung seruan agar warga Tionghoa di Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari “bangsa Indonesia”. Meski secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pribumi, tapi perbedaan itu mesti dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai satu bangsa. Di sisi lain, Ojong juga berharap agar masyarakat pribumi menerima kehadiran warga Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka.

Seruan Ojong agar asimilasi dilakukan sebenarnya sangat relevan sebab bila kita melihat sejarah, pembentukan bangsa Indonesia memang tidak berdasar pada kesamaan fisik atau budaya tapi lebih pada “imajinasi” akan adanya ikatan yang menghubungkan penduduk dari budaya yang berbeda. Maka, perbedaan yang ada dalam hal fisik dan kebudayaan pada hakekatnya bukanlah penghalang terintegrasinya sebuah etnis dengan etnis lainnya.

Kesenjangan antara masyarakat Tionghoa dengan warga pribumi Indonesia sebenarnya berawal dari segregasi yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia memberlakukan pembagian kelas sosial dalam masyarakat dengan menempatkan warga Belanda dan Eropa pada kelas paling atas, warga asing lain seperti Tionghoa dan Arab di lapisan menengah, dan warga bumiputra di level paling bawah (Chrsitanty; 1994: 21-22). Stratifikasi yang berdasar pada tujuan politis inilah yang kemudian membuat sebuah kesenjangan muncul antara warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Ketika Indonesia merdeka, warisan sejarah yang demikian masih dikenang dan karenanya identifikasi warga keturunan Tionghoa sebagai “yang lain” tetap saja muncul. Pada tahun 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, konflik antara warga Tionghoa dan pribumi terjadi di Tangerang dan Kebumen. Saat itu, konflik menjadi sangat serius dan bahkan menimbulkan korban. Konflik itu meletus karena masyarakat pribumi menganggap warga Tionghoa bersikap netral terhadap kolonialisme Belanda dan perjuangan nasionalisme Indonesia. Kenetralan itu pula yang membuat Pemerintah Indonesia waktu menyerukan agar warga Tionghoa menunjukkan sikap mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Konflik dan kesenjangan antara warga Tionghoa dengan masyarakat asli Indonesia itulah yang kemudian mendorong Ojong menggagas asimilasi sesuai pemikiran dia. Berbeda dengan beberapa tokoh asimilasi lain saat itu, Ojong—dan juga Ong Hok Ham—berpendapat bahwa hambatan terbesar dari proses asimilasi justru terletak pada lemahnya orientasi keindonesiaan dari warga Tionghoa sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, warga keturunan Tionghoa harus memperkuat orientasi keindonesiaannya agar bisa mencapai asimilasi yang meliputi aspek biologis, ekonomis, politis, sosial, dan kultural.

Pergaulan Ojong yang luas dengan banyak tokoh nasional Indonesia—seperti Mohammad Hatta, Soedjatmoko, Bahrum Rangkuti, dan lain-lain—membuatnya menyadari bahwa keindonesiaan adalah hal mutlak yang mesti dimiliki warga Tionghoa bila ingin melakukan asimilasi. Pengalaman konflik tahun 1946 menunjukkan bahwa sikap setengah-setengah terhadap keindonesiaan bisa dicurigai sebagai sikap yang memihak musuh.

Dalam hal asimilasi inilah Ojong agak berbeda dengan guru dan idolanya, Khoe Wan Shoe, pendiri dan pengelola Surat Kabar Keng Po dan Mingguan Star Weekly. (Parera; 1985: 80). Kalau Khoe Wan Shoe adalah cendekiawan Tionghoa yang kadang masih melihat warga Indonesia asli sebagai “ancaman”—terutama dalam masalah ekonomi atau mata pencaharian—Ojong sudah sepenuhnya percaya bahwa warga pribumi adalah teman sekaligus saudara yang tak perlu ditakuti.

Meski saat kecil Ojong bersekolah di Holandsch-Chineesche School yang merupakan sekolah khusus anak Tionghoa, ia tidak tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran sempit. Bahkan ketika kemudian dia menyadari pentingnya asimilasi, Ojong mengritik sistem persekolahan masa kecilnya itu karena sistem seperti itu hanya akan menghalangi interaksi antara etnis Tionghoa dan warga pribumi dan memperkecil peluang terciptanya asimilasi.

Ojong yang meninggal pada 31 Mei 1980 merupakan salah satu tokoh Tionghoa yang tidak hanya menyebarluaskan gagasan tentang asimilasi, tapi sekaligus langsung mempraktekkan gagasan tersebut tatkala mengelola beberapa perusahaan media massa. Sebagai wartawan, Ojong juga menyadari bahwa ia harus mendorong integrasi sosial dan menolak konsep segregasi nasional seperti yang diparaktekkan pemerintah kolonial. (Sularto; 2007: 7). Oleh sebab itu, selain usaha kultural dari masyarakat, menurut Ojong, pemerintah juga harus langsung turun tangan secara struktural dalam mendorong terjadinya proses asimilasi.

(Dimuat di Kompas Jawa Tengah, 3 Maret 2008)

Iklan: Menundukkan Puisi Menjadi Suci


Oleh: Haris Firdaus

Sebagai sesama teks, dilihat secara sepintas iklan dan puisi memang berada dalam ruang yang terpisah jauh. Puisi adalah bagian dari produk kesenian yang seringkali dianggap memiliki nilai-nilai tertentu dan jauh dari aroma komersial. Sebaliknya, iklan adalah teks yang memang sengaja dibuat untuk menjual sesuatu. Iklan, seperti kata Budiman Hakim (2006: 218), dibuat bukan untuk mendidik masyarakat, melainkan untuk menjual sebuah barang atau jasa.

Kalau puisi adalah sebuah teks yang diharapkan membawa pembacanya menyusuri imajinasi-imajinasi yang jauh atau memberi perenungan-perenungan yang dalam, iklan diharapkan mampu merangsang khalayaknya untuk membeli sesuatu. Selain itu, perbedaan keduanya juga terletak pada tingkat kesadaran manusia yang ingin disentuh. Puisi diharapkan mampu menyentuh manusia pada sisi terdalamnya, sedangkan iklan dianggap hanya akan menyentuh manusia pada perasaannya yang lebih permukaan.

Pembedaan yang kedua itu, saat ini, lama-kelamaan mulai meluruh. Bukan karena puisi yang mengalami degradasi, tapi karena iklan yang terus mengalami peningkatan secara tekstual. Iklan-iklan yang kita saksikan di media massa saat ini telah banyak yang mengalami metamorfosis dari sekadar promosi yang kering menjadi teks yang kaya imajinasi.

Bahkan di kalangan produsen iklan sudah ada kesadaran bahwa iklan yang baik adalah gabungan dari puisi dan lukisan. (Hakim; 2006: 13). Kesadaran inilah yang agaknya membuat produsen iklan saat ini tak ragu memasukkan puisi atau penyair sebagai bagian dari sebuah iklan.

Di jaman dulu, ketika puisi Indonesia modern baru merintis jalannya, barangkali tak akan terpikirkan untuk menggabungkan iklan dan puisi. Tapi di jaman ini, ketika industri periklanan terus melakukan perluasan terhadap kemungkinan untuk menanamkan pengaruh lebih banyak pada khalayak, penggabungan dua teks itu telah terjadi.

Kita mungkin pernah melihat Rendra membaca puisi dalam sebuah iklan di televisi. Atau, kita mungkin pernah membaca puisi-puisi Joko Pinurbo dalam sebuah iklan. Puisi-puisi Joko Pinurbo seperti “Tiada”, “Citacita”, “Rumah Cinta”, dan “Baju Bulan”, pernah dimuat dalam kolom iklan sebuah perumahan mewah yang ditayangkan di pojok kiri-bawah halaman satu sebuah surat kabar nasional.

Masuknya puisi sebagai bagian dari teks iklan, adalah penanda bahwa konvergensi antara dua dunia—dunia sastra dan dunia periklanan—yang seringkali dianggap tak memiliki relevansi ternyata telah terwujud.

Menembus Alam Bawah Sadar

Dalam puisi yang berjudul “Iklan”, Sapardi Djoko Damono mengabarkan kisah seorang manusia yang terjebak pada pesona iklan: Ia penggemar berat iklan. / “Iklan itu sebenar-benar hiburan,” kata lelaki itu. / “Siaran berita dan cerita itu sekedar selingan.” / Ia tahan seharian di depan televisi. / Istrinya suka menyediakan kopi dan kadang-kadang kacang atau kentang / goreng untuk menemaninya mengunyah iklan.

Puisi itu adalah sebuah kabar tentang dominasi iklan terhadap kehidupan sehari-hari manusia. Kehidupan manusia yang tak bisa melepaskan diri dari libido untuk mengonsumsi, adalah dampak dari kuatnya pengaruh iklan.

Sapardi, dalam puisi itu juga menyebut betapa iklan tak hanya berurusan dengan hasrat mengonsumsi, tapi sudah meresap sangat jauh pada pribadi manusia. Sapardi menulis: Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang / terakhir diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah “Hidup / Iklan!” //

Seakan mengamini Sapardi, Nukila Amal dalam novel sulungnya, Cala Ibi, juga mengisahkan tentang pengaruh iklan pada dorongan bawah sadar manusia. Nukila bercerita tentang seorang perempuan yang tinggal di kota yang terobsesi pada iklan-iklan yang ada di sepanjang kota.

Tokoh perempuan dalam Cala Ibi begitu terobsesi pada papan-papan iklan yang bertebaran di ruas jalan kota sehingga dalam sebuah perjalanan bersama kawan-kawannya, ia memilih keluar dari rombongan dan berjalan sepanjang jalanan kota untuk satu tujuan: membaca iklan!

Melalui kisah perempuan yang berjalan menyusuri kota untuk membaca iklan, Nukila seperti hendak membuat metafora bahwa iklan pada hari ini hampir sama dengan kitab suci yang wajib dibaca. Iklan, melalui teknologi yang makin canggih dalam mengonstruksi realitas, telah masuk pada batin manusia yang terdalam, memprovokasi manusia agar menganggapnya sebagai barang penting yang layak untuk dibaca dan diperhatikan.

Ya, kalau dulu Malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad dan menyerunya untuk membaca firman Tuhan, kini para produsen barang dan jasa menyeru kita untuk membaca iklan.

Mengambil pendapat Peter L Berger (1990: xx) tentang dialektika manusia dan realitas sosial, iklan adalah produk manusia yang telah mengalami objektivasi lalu balik memengaruhi manusia dalam sebuah proses yang oleh Berger disebut sebagai “internalisasi”. Meski pada awalnya iklan adalah hasil dari proses eksternalisasi yang dilakukan manusia, pada titik tertentu ia menjadi objektif—menjadi wujud yang mandiri dan bebas dari campur tangan manusia—lalu pengaruhnya akan terserap oleh manusia yang melakukan interaksi dengannya.

Dalam perkembangannya, eksternalisasi yang dilakukan manusia untuk menghasilkan iklan terus mengalami peningkatan. Penyempurnaan dari metode beriklan terus dilakukan. Penyempurnaan ini, ironisnya, juga berdampak pada menguatnya pengaruh iklan terhadap manusia. Seperti dalam puisi Sapardi dan Cala Ibi, iklan bukanlah sesuatu yang hanya menyentuh keinginan melakukan konsumsi.

Kini, iklan bahkan bisa “diingat sampai mati” seperti dalam puisi Sapardi, atau mampu membuat manusia terobsesi untuk terus-menerus membacanya seperti dalam Cala Ibi. Hari ini, kita memang mendapati sebuah kenyataan bahwa iklan telah “mengejar” puisi dalam hal memengaruhi kesadaran manusia.

(Dimuat Di Humaniora Teroka Kompas, 23 Februari 2008