Kamis, 19 Juni 2008

Sastra dan Ilmu Sosial (2)

Oleh: Bandung Mawardi


Kehadiran sosiologi sastra menjadi bukti besar dari persinggungan atau pertemuan sastra dan ilmu social yang mendapatkan banyak reaksi (pro-kontra) dan penerapan. Sosiologi sastra yang tumbuh definitif pada abad XX membuktikan dan membuka kemungkinan simbisosme positif-konstruktif antara sastra dan ilmu sosial (sosiologi). Kritik sastra dengan pendekatan sosiologi sastra menjadi pusat perhatian yang menjelaskan hubungan sastra, pegarang, teks, pembaca, dan yang lain. Pelbagai teori-teori sosial kerap dipakai sebagai basis dan acuan dalam analisis sosiologi sastra: teori Karl Marx, Georg Lukacs, Lucien Goldman, Terry Eaglaton, Mikhail Bakhtin, Louis Althusser, Frederick Jameson, Antonio Gramsci, dan lain-lain.

Pengenalan sosiologi sastra dalam kesusastraan Indonesia modern mulai menguat sejak penerbitan buku Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978) yang disusun Sapardi Djoko Damono dan tim dari Universitas Indonesia. Sapardi Djoko Damono dalam buku itu menyebutkan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sastra adalah berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Batasan-batasan itu dipertemukan dalam konklusi sederhana bahwa sosiologi dan sastra memilki persamaan fokus: manusia dan masyarakat. Kehadiran buku itu diikuti dengan penerbitan buku-buku lain (teori dan kritik sastra) yang ikut memberi penjelasan wacana teori dan praktik sosiologi sastra: Faruk HT Pengantar Sosiologi Sastra (1993) dan Nyoman Kutha Ratna Paradigma Sosiologi Sastra (2003).

Wacana menarik yang muncul dari pertanyaan besar relasi sastra dan ilmu sosial adalah kehadiran “satra interdisipliner”. Pembicaraan dan perdebatan mengenai sastra dan ilmu sosial menemukan kemungkinan jawaban dalam sastra interdisipliner yang mempersoalkan persinggungan dan pertemuan antara sastra dan ilmu sosial. Sastra memilki relasi dengan ilmu sosiologi, antropologi, sosiologi, sejarah, komunikasi, dan yang lain. Penerapan kritik sastra mutakhir mulai menunjukkan intensitas dalam praktik sastra interdisipliner. Teks-teks sastra dibaca dan dianalisis dengan memakai teori-teori yang berasal dari ilmu-ilmu sosial.

Sastra dan ilmu sosial dalam wacana dan praktik menemukan suatu kemungkinan jawaban untuk suatu persinggungan dan pertemuan. Kehadiran sastra interdisipliner membuka interaksi dan komunikasi antara sastra dan ilmu sosial. Relasi dan simbiosisme yang ada adalah bentuk dari pertumbuhan ilmu sastra dan ilmu sosial yang melakukan pembaruan dan dekonstruksi. Teks sastra layak menjadi suatu acuan mengenai persoalan-persoalan dalam ilmu sosial tanpa harus tersisihkan atau dipertentangkan dengan kajian ilmu sosial. Kehadiran teks sastra bukan dominasi dari kepentingan ilmu sastra tapi menjadi suatu keterbukaan wacana pengetahuan antropologi, sosiologi, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial yang lain.

Muh. Arif Rokhman (2003) menyebutkan bahwa penerapan perspektif sastra interdisipliner memungkinkan suatu suatu keuntungan: (1) studi sastra tidak mengasingkan dirinya dari studi-studi sosial dan kemanusiaan yang parktis; (2) sastra sejajar dengan penelitian antropologi, sosiologi, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial yang lain; (3) teks sastra menjadi potret kehidupan karena bisa dilihat dari sisi-sisi lain mengacu pada pendekatan dari disiplin ilmu sosial; (4) sastra interdispliner menjadi pengayaan untuk ahli ilmu sosial dalam memahami manusia dan kemanusiaan; dan (5) studi sastra dimungkinkan bisa dilakukan oleh ahli sastra dan ahli dari ilmu-ilmu sosial. Sekian kemungkinan dan keuntungan itu tentu memerlukan suatu implementasi yang elaboratif dan kritis.

Studi sastra yang merepresentasikan suatu ikhtiar untuk mempertemukan pengetahuan sastra dan ilmu sosial dengan kadar tertentu bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Jakob Sumardjo Masyarakat dan Sastra Indonesia (1979), Faruk HT Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi (1995), Sapardi Djoko Damono Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), Goenawan Mohamad Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas (2000), Heddy Shri Ahimsa-Putra Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra (2001), Ignas Kleden Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (2004), dan lain-lain.

Buku-buku itu dengan pelbagai teknik membicarakan sekian perkara dengan pertimbangan pengetahuan sastra dan ilmu sosial. Membaca sastra bukan dipahami sebagai membaca dunia sendiri atau dunia tertutup. Membaca sastra adalah membaca dengan keterbukaan dan kemungkinan. Pengetahuan sastra dan ilmu sosial justru memberi kesanggupan interpretasi untuk membuka kemungkinan mayor dan minor yang mencerahkan.

Studi sosial yang merepresentasikan relasi sastra dan ilmu sosial bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Bennedict Anderson, Niels Mulder, dan Rudolf Mrazek. Bennedict Anderson dalam memerkarakan sosial dan politik Jawa (Indonesia) menunjukkan sensitivitas membaca dan menganalisis dengan acuan teks sastra untuk penguatan narasi dan imajinasi sosial. Studi atas Jawa dan Indonesia menjadi sesuatu yang lain karena Bennedict Anderson melakukan tamasya teks sastra dam sosial dengan gairah dan lincah. Teknik membaca yang dilakukan Bennedict Anderson merupakan pilihan sadar dan kreatif untuk bisa menerapkan pengetahuan sastra dan ilmu sosial dalam suatu konstruksi yang harmonis.

Niels Mulder juga memiliki kegairahan dan kelincahan untuk melakukan studi sosial (antropologi) dengan memakai acuan pengetahuan sastra dan ilmu sosial. Niels Mulder memakai sekian teks sastra untuk mengetahui dan menganalisis perubahan sosial dan kebudayaan di Indonesia. Teks sastra sebagai acuan memungkinkan suatu pembacaan imajinatif yang membuat teori-teori sosial tidak kering dan kaku. Pengetahuan sastra dan sosial dalam studi Niels Mulder menjadi kisah mesra dalam membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menghindari dominasi dan kooptasi antara sastra dan ilmu sosial.

Rudolf Mrazek melakukan studi yang menarik mengenai teknologi dan nasionalisme di Indonesia yang mempertemukan ilmu sosal dan sastra. Teks-teks sastra menjadi referensi penting yang memungkinkan deskrispi dan analisis mengenai situasi zaman dan tanggapan terhadap perubahan sosial dan kebudayaan. Sekian teks sastra menjadi hidup dengan interpretasi dari Rudolf Mrazek yang membuat perangkat-perangkat dalam studi sosial menjadi lentur dan inklusif. Studi dari Rudolf Mrazek menjadi representasi bahwa dalam mengungkap dan menarasikan sejarah Indonesia memerlukan pengetahuan terhadap teks sastra sebagai referensi dan interepretasi terhadap perubahan zaman.

Bennedict Anderson, Niels Mulder, dan Rudolf Mrazek dengan sadar memahami teks sastra dalam sistem interpretatif tertentu yang memberi klaim atas kepentingan membaca dan menilai teks sastra untuk studi sosial. Paul Ricoeur dalam wacana hermeneutika mengajukan pemahaman bahwa teks sastra mengandung kekuatan untuk merekonstruksi realitas dan memungkinkan membuka suatu pengajuan atas sebuah dunia dalam transformasi makna dan realitas. Tulisan-tulisan Bennedict Anderson, Niles Mulder, dan Rudolf Mrazek eksplisit merepresentasikan kemungkinan untuk pembacaan dan pemaknaan yang signifikan atas realitas tanpa harus mengaburkan atau menguburkan peran antara sastra dan ilmu sosial.

Sastra dan ilmu sosial di Indonesia tanpa sadar sejak lama berada dalam hubungan kurang romantis karena alasan grogi, gengsi, atau spesialisasi. Hubungan kurang romantis itu melahirkan akibat ada “musim kemarau” atau krisis dalam kritik sastra dan perbincangan ilmu sosial. Kehadiran wacana sastra interdispliner menjadi provokasi yang patut diladeni oleh kalangan sastra dan ilmu sosial. Praktik sastra interdisipliner bisa menjadi kisah romantis dalam nostalgia dan utopia. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (15 Juni 2oo8)

Senin, 09 Juni 2008

Sastra dan Ilmu Sosial (1)

Oleh: Bandung Mawardi

Umar Kayam adalah seorang pengarang yang memiliki latar belakang pendidikan sosiologi. Umar Kayam adalah doktor lulusan dari Universitas Cornell Amerika Serikat. Pengetahuan sosiologi membuat Umar Kayam berada dalam tegangan epistemologi ketika menulis cerpen atau novel. Para Priyayi (1992) menjadi teks yang diperdebatkan orang dengan anggapan itu adalah tek sastra (novel) atau risalah sosiologi. Dick Hartoko mengatakan bahwa Para Priyayi itu bukan novel tapi buku sosiologi. Pelabelan Dick Hartoko itu menjadi suatu petunjuk tentang pembedaan dan tarikan garis batas sastra dan ilmu sosial yang jadi perdebatan panjang dengan dalih-dalih besar atau kecil.

Umar Kayam menyadari posisi “mendua” dalam penulisan cerpen atau novel dengan konstruksi pengetahuan sosiologis yang dimiliki dan kerap dimanifestasikan dalam tulisan-tulisan ilmu sosial. Perhatian besar terhadap ilmu sosial itu menjadi bayang-bayang yang memengaruhi proses penulisan teks sastra. Pengakuan di balik penulisan Para Priyayi mungkin bisa dijadikan argumen yang menentukan pelabelan novel. Umar Kayam (Prosa, No. 1, 2002) mengatakan: “Para Priyayi ini seperti sebuah flashback kehidupan saya. Saya ingat masa kecil, pertumbuhan saya, keluarga besar saya, lingkungan zaman kecil saya. Ingatan-ingatan itu semua yang melahirkan rangsangan untuk novel tersebut.” Pengakuan itu hendak mengklaim dan menguatkan bahwa Para Priyayi sejak awal memang dikonstruksi sebagai tek sastra (novel).

Ketegangan dalam proses kreatif dan penulisan sastra memang dialami oleh Umar Kayam yang menyebutkan bahwa ada kesusahan untuk memisahkan cara berpikir ilmu sosial dalam praktik sastra. Umar Kayam menyadari ada relasi yang mungkin jadi seteru atau sekutu mengenai sastra dan ilmu sastra. Kesadaran kritis itu membuat Umar Kayam berada dalam tegangan intelektual-kreatif. Umar Kayam mengakui bahwa dirinya selalu dihantui ilmu sosial. Posisi dan pengalaman itu justru membuat Umar Kayam kritis terhadap ilmu sosial dan cenderung memihak pada sastra. Umar Kayam mengatakan: “Saya selalu mengritik bahwa ilmu sosial itu belum mengerti tentang kehidupan. Lantas, siapa yang tahu kehidupan? Tidak ada. Harusnya seorang penulis karena seorang penulis menulis tentang kehidupan.”

Pengakuan dan pengalaman Umar Kayam melahirkan tanya mungkinkah terjadi simbiosisme sastra dengan ilmu sosial? Pertanyaan besar itu terus jadi perdebatan oleh pelbagai orang dari sastra dan ilmu sastra. Seorang juru bicara yang memiliki kompetensi penting dalam perdebatan dan tanya besar itu adalah Ignas Kleden. Tulisan-tulisan mengenai sastra dari Ignas Kleden (2004) dengan representatif melakukan ikhtiar pembicaraan yang analitis mengenai sastra dan ilmu sosial. Ignas Kleden mengatakan bahwa yang membedakan teks sastra dengan teks-teks yang lain adalah kehadiran makna referensial (makna yang lahir dari hubungan antara teks dan dunia luar-teks) dan makna tekstual (makna yang lahir dari hubungan-hubungan di dalam teks sendiri). Teks sastra adalah dialektis yang dengan keberadaan makna referensial dan tekstual sanggup menghasilkan pencapaian yang spesifik. Perbedaan mencolok antara teks sastra dengan ilmu pengetahuan (sosial) adalah produksi makna. Sastra memproduksi makna referensial dengan cara mereduksikan makna tekstual. Ilmu pengetahuan memproduksi makna tekstual dengan mensuspendir makna referensial. Sastra berada dalam pamrih konotasi dan ambivalensi. Ilmu pengetahuan berada dalam pamrih menjadi denotasi yang bisa ditentukan isi dan batas-batasnya.

Pemikiran itu bisa dijadikan acuan untuk menilai keberadaan Umar Kayam dan teks Para Priyayi. Teks itu lahir dari keinginan pengarang untuk menceritakan pengalaman masa kecil, keluarga, dan kondisi zaman yang kental dengan pengetahuan sosial dan kebudayaan. Pengetahuan itu memberi pengaruh dalam batas-batas tertentu untuk instrumen atau justru “substansi” yang menentukan konstruksi cerita. Penentuan jatah, cara penulisan, dan pilihan bahasa menjadi taruhan seorang pengarang yang hendak menulis novel dengan bayang-bayang ilmu sosial. Umar Kayam sanggup membuat pembedaan dan pemilahan itu yang dibuktikan dengan pengisahan literer dalam Para Priyayi. Umar Kayam tidak terperosok dalam kepentingan pragmatis mengajukan risalah sosiologi yang diintervesikan melalui novel.

Persoalan yang berpusat pada Umar Kayam dan Para Priyayi melibatkan wacana pelik yang kerap dibicarakan dan diperdebatkan oleh orang sastra atau orang ilmu sosial. Ignas Kleden menyebutkan bahwa dalam pandangan fungsional sastra dianggap sebagai suatu fungsi dari perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Relasi itu membuktikan bahwa sastra tak bisa mengelak atau pisah dengan acuan wacana-praktik sosial dan kebudayaan. Ignas Kleden cenderung memahami bahwa relasi itu (sastra, masyarakat, dan kebudayaan) adalah relasi simbolik. Relasi itu bakal menentukan kepentingan sastra dengan ilmu pengetahuan (sosial). Ignas Kleden memberi penjelasan yang mengacu pada pemikiran Raymond Firth (Symbols: Public and Private): ilmu pengetahuan sosial berusaha mengungkapkan perkembangan masyarakat dengan cara menyatakan dan menjelaskan. Sastra pun melakukan itu dengan strategi literer simbolik yang menjadikan simbol sebagai ekspresi yang niscaya mengandung ambivalensi.

Persoalan pelik yang masih memerlukan jawaban adalah pandangan lama yang menyebutkan bahwa sastra itu memberi fiksi dan ilmu (sosial) memberi fakta (data). Pandangan lama itu kurang bisa dipertahankan ketika menyadari ada proses pertumbuhan atau “pertemuan” antara sastra dengan ilmu pengetahuan. Pandangan itu layak didekonstruksi meski bakal mengalami kesulitan dan pembenahan paradigma. Pembahasan komprehensif mengenai persoalan itu dilakukan Ignas Kleden (1998) dalam esai panjang “Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi (Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial)”. Ignas Kleden mengakui ada kesusahan untuk mempersoalkan fakta dan fiksi tapi ada suatu pengajuan jawaban alternatif yang mungkin representatif. Ignas Kleden mengacu pada pemikiran Leo Lowenthal dari Mazhab Frankfurt yang menekankan perbedaan sastra dan ilmu sosial dalam persoalan representasi kenyataan. Representasi manusia dalam ilmu sosial adalah representasi berupa tipe, tipologi, atau model. Representasi manusia dalam sastra adalah representasi berupa individu. Catatan yang diberikan Ignas Kleden dalam pemikiran itu adalah penerapannya cenderung berlaku pada tek-teks sastra realis. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka, 8 Juni 2oo8

Minggu, 08 Juni 2008

Keluarga dalam Televisi

Oleh: Haris Firdaus

Sebagian besar program televisi di negara kita menghadirkan representasi keluarga sebagai lembaga yang bermasalah. Televisi kita, melalui sinetron dan infotainment, banyak menghadirkan cerita-cerita tentang keluarga yang memiliki konflik antar anggotanya. Konflik dalam intern lembaga keluarga itu dibumbui dengan caci maki, dendam kesumat, bahkan kekerasan fisik.

Pada tahun 2006, RCTI menayangkan sebuah sinetron berjudul Ratapan Anak Tiri yang diilhami oleh film berjudul sama tahun 1973. Pemakaian judul “Ratapan Anak Tiri” adalah strategi marketing agar sinetron tersebut digemari. Pihak produser saat itu berasumsi bahwa judul “Ratapan Anak Tiri” masih dekat dalam benak penonton televisi Indonesia karena film Ratapan Anak Tiri memang sangat populer meski pertama kali diputar sekitar 33 tahun yang lalu.

Kepopuleran film yang menggambarkan keluarga sebagai entitas yang penuh konflik itu, menandakan penonton televisi di Indonesia sebenarnya sudah lama berkenalan dengan program siaran yang merepresentasikan keluarga sebagai sebuah lembaga yang penuh masalah. Kisah tentang penyiksaan anak oleh ibu tirinya adalah kisah yang terekam dalam memori kolektif masyarakat kita dan memiliki dampak yang cukup siginifikan.

Sampai saat ini, sinetron-sinetron paling mutakhir di beberapa stasiun televisi swasta kita masih saja mengintrodusir konflik dalam keluarga sebagai cerita utama atau salah satu bagian cerita. Meski tren sinteron sudah berganti dari sinteron remaja ke sinteron misteri lalu sinetron anak, konflik keluarga hampir selalu menjadi bumbu drama dalam tayangan itu—kalau tidak menjadi cerita utama.

Lihatlah sinteron macam Cahaya, Kasih, atau Namaku Mentari. Meski cerita utamanya bukan mengenai konflik dalam sebuah keluarga, perselisihan antar anggota keluarga hampir selalu hadir dalam tiap episodenya. Keluarga, dalam sinetron-sinteron itu, bukanlah sebuah lembaga penuh harmoni di mana anggotanya hidup dengan saling menghormati. Keluarga, dalam sinetron-sinetron itu, adalah lembaga penuh konflik dengan manifestasinya berupa caci maki, balas dendam, atau kekerasan fisik.

Dalam tayangan infotainment, hal yang sama juga terjadi. Program infotainment di televisi kita lebih sering menghadirkan perceraian, perebutan hak asuh anak, atau konflik antara orang tua dan anak.

Kita mungkin belum lupa bagaimana infotainment menayangkan hampir setiap hari konflik antara Saiful Jamil dan Dewi Persik. Proses perceraian keduanya yang panjang dan penuh dengan tuduhan dari kedua belah pihak, hampir tiap hari kita bisa saksikan. Dalam kasus tersebut, keluarga sekali lagi direpresentasikan sebagai lembaga yang bermasalah dan penuh konflik.

Realitas Tangan Kedua

Dalam literatur Ilmu Komunikasi, istilah representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam isi media massa. Representasi berkaitan dengan dua hal penting. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tertentu itu ditampilkan apa adanya atau tidak. Kedua, bagaimana representasi itu ditampilkan. (Eriyanto, 2005: 113).

Dalam tayangan media massa, rawan terjadi kesalahan representasi atau misrepresentasi. Meski sebuah informasi yang disajikan media diklaim sebagai fakta, tapi informasi itu tidak pernah benar-benar sama atau malah bisa bertentangan dengan realitas sosial. Di televisi, meski realitas dihadirkan dengan teknologi audiovisual, misrepresentasi juga tak bisa dihindari.

Sebagai bagian dari media massa, televisi tidak pernah bisa menghadirkan realitas sesuai dengan kenyataan yang sejernih-jernihnya. Penggambaran realitas dalam televisi, mau tidak mau, adalah penggambaran yang memiliki jarak dengan realitas sesungguhnya. Dalam bahasa Ilmu Komunikasi, realitas televisi adalah realitas tangan kedua (second hand reality).

Representasi atas lembaga keluarga di televisi, oleh karenanya, juga tidak mungkin mencerminkan realitas yang sama persis dengan yang terjadi di masyarakat. Informasi yang hadir dalam infotainment dan gambaran dalam sinetron tentang konflik keluarga pun sebenarnya tidak pernah benar-benar mencerminkan realitas yang terjadi. Selalu ada jeda antara keduanya berupa dramatisasi dan pembingkaian realitas oleh media.

Secara sosiologis, keluarga merupakan satu satuan antargenerasi yang terbentuk karena kelahiran atau adopsi dan terlibat dalam kegiatan membesarkan anak. (Bintoro, 2005: 210). Dalam masyarakat kita, keluarga adalah sebuah lembaga yang masih memiliki nilai “sakral”. Berkeluarga berarti membangun sebuah hubungan yang tidak hanya berdimensi duniawi saja, tapi juga ada kaitan dengan sisi teologis seseorang.

Pada masyarakat Jawa, seorang istri disebut sebagai “garwa” (kependekan dari sigaraning nyawa) yang berarti “belahan jiwa”. (Bintoro, 2005: 210). Penyebutan seperti itu tentu saja tidak hanya berhenti sebagai penyebutan lisan saja. Sebutan garwa mengandung makna bahwa pasangan yang kita ikat dalam sebuah hubungan pernikahan adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita.

Filosafi garwa itulah yang dijungkirbalikkan oleh sinetron dan infotainment. Kedua program itu justru seolah berlomba menghadirkan konflik-konflik antar anggota keluarga sebagai bumbu dramatis atas tayangan yang mereka jual.

Tertinggal dan Berdampak Negatif

Untunglah, masih ada tayangan yang merepresentasikan keluarga sebagai lembaga yang penuh harmoni. Film seri Keluarga Cemara, misalnya. Dalam film—yang sudah tidak ditayangkan lagi—itu, para anggota keluarga bahu-membahu mengatasi berbagai kesulitan yang menimpa mereka. Dalam bentuk yang berbeda, acara reality show seperti Mama Mia dan Supermama juga merepresentasikan keluarga sebagai lembaga yang penuh kasih sayang.

Dalam dua tayangan yang sempat merebut simpati pemirsa itu—mengalahkan berbagai sinetron yang penuh konflik keluarga—dihadirkan hubungan antara orang tua dan anak yang penuh kasih sayang. Anak dan orang tua tampil tidak sebagai dua manusia yang berkonflik, tapi justru sebagai dua individu yang saling dukung mencapai tujuan bersama.

Sinergi antar anggota keluarga dalam mencapai peningkatan status keluarga dan keberhasilan anak-anak dalam keluarga tersebut—seperti yang kita lihat dalam Keluarga Cemara, Mama Mia, dan Supermama—merupakan karakter yang umum terdapat pada lembaga keluarga dalam masyarakat modern. (Wahib, 1981: 216).

Jadi, tayangan-tayangan televisi yang masih saja mengumbar konflik dan kekerasan dalam sebuah keluarga sebenarnya merupakan tayangan yang tidak lagi sesuai dan bahkan tertinggal dari realitas masyarakatnya. Tayangan seperti itu, bisa juga berdampak negatif pada masyarakat, terutama anak-anak.

Aktivitas menonton siaran televisi yang merepresentasikan keluarga sebagai lembaga yang bermasalah, lama-kelamaan akan menanamkan kecurigaan pada lembaga keluarga. Kecurigaan itu, bisa berakibat buruk: memicu terjadinya konflik yang sesungguhnya antar anggota keluarga.

(Dimuat di Majalah GONG Edisi 100/2008)

Mengingat Kembali Pancasila

Oleh: Bandung Mawardi


Pancasila. Masihkah ada perhatian untuk Pancasila pada hari ini? Pancasila seakan terlupa dan kurang memiliki arti dalam pelbagai peristiwa dan kisah di Indonesia. Soekarno dulu (1Juni 1945) menghendaki bahwa Pancasila bisa menjadi weltanschauung yang memungkinkan rakyat Indonesia bisa hidup bersama dengan prinsip kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Prinsip-prinsip itu dikatakan Soekarno sebagai Pancasila dan diterima sebagai dasar negara Indonesia.

Pancasila patut dibaca dan ditafsirkan kembali pada hari ini ketika ada sekian fakta yang tragis. Hak dan kebebasan beragama mulai terancam dengan diskriminasi dan represi. Kasus Ahmadiyah menjadi bukti melemahnya pluralisme dan realisasi dari nilai-nilai Pancasila. Tindakan pelarangan terhadap Ahmadiyah merepresentasikan ketidakmampuan membaca dan menafsirkan Pancasila secara inklusif.

Kontroversi terhadap Ahmadiyah melibatkan pelbagai kepentingan yang mengatasnamakan agama dan kekuasaan. Kontroversi itu melahirkan risiko kekerasan, tindakan represif, dan ketiadaan proteksi dari pemerintah. Pelbagai pihak melakukan aksi dan reaksi dengan argumentasi-argumentasi yang cenderung berseberangan antara klaim kebenaran agama dan klaim konstitusional. Kasus Ahmadiyah adalah kasus yang kentara membuktikan ada pelemahan kepercayaan terhadap Pancasila sebagai acuan hidup bersama di Indonesia.

Mohammad Hatta dalam pemahaman tentang Pancasila menyebutkan bahwa Pancasila terdiri atas fundamen politik dan fundamen moral (etik-agama). Fundamen itu merepresentasikan kondisi bangsa Indonesia yang mejemuk tapi memiliki keinginan untuk persatuan dan kesatuan. Konsekuensi dari keberadaan fundamen moral atau etik-agama adalah kesadaran atas pluralisme dan multikulturalisme yang inklusif. Pancasila secara substansial menjadikan sikap keberagamaan (religiusitas) sebagai basis primer tapi tidak menghendaki suatu dominasi dan ekslusivitas.

Pancasila mungkin terlupa dalam kisah korupsi di Indonesia yang mencengangkan dan memprihatinkan. Korupsi terus terjadi dengan kerugian besar dalam hal keuangan negara. Implikasi dari kerugian itu adalah hak rakyat atas kesejahteraan menjadi tumbal karena uang negara terkuras oleh para koruptor. Korupsi di Indonesia terjadi dalam pelbagai lini tanpa ada ketakutan terhadap hukum dan etika sosial. Kekuasaan masih jadi godaan besar untuk tindakan korupsi yang mengakali dan merugikan hak dan kepentingan rakyat.

Pancasila patut untuk dibaca dan ditafsirkan kembali untuk menjadi acuan etis pejabat dan jajaran birokrat. Kesadaran etis itu mulai menghilang karena pertarungan kepentingan kekusaan dan godaan untuk menikmati uang melimpah untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kisah tragis yang terjadi di Indonesia adalah korupsi terus menjadi penyakit yang susah disembuhkan. Korupsi itu terjadi dalam kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang tak menentu dan krisis.

Persoalan kesejahteraan rakyat kerap menjadi momok dan tragedi. Tanggung jawab negara atas kesejahteraan rakyat susah direalisasikan dengan melihat fakta pengelolaan sumber daya alam dan aset negara. Pelbagai sumber daya alam di Indonesia yang memungkinkan realisasi kesejahteraan gagal dibuktikan karena ada kepentingan investasi kapitalisme global dan penguasaan oleh pihak-pihak asing. Hasil dari pertambangan, hutan, atau laut justru mengalir ke kantong asing dan pejabat dalam porsi besar.

Pancasila tentu gagal ditafsirkan dan direalisasikan dalam kasus pengelolaan sumber daya alam dan aset negara untuk kesejahteraan rakyat. Fakta tragis justru dialami oleh rakyat yang mesti menangggung beban dan risiko. Rakyat susah dan kehilangan hak atas kesejahteraan dan keadilan sosial karena tidak tanggung jawab atas kasus lumpur Lapindo, kemiskinan di kompleks pertambangan, dan penggusuran untuk proyek. Kesejahtreraan dan keadilan adalah teka teki yang belum bisa menemukan jawaban atau solusi ampuh.

Kisah tragis mutakhir adalah kenaikan harga BBM. Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM menjadi momok besar yang menimbulkan keresahan dan persoalan kompleks. Penolakan yang dilakukan oleh pelbagai pihak menemui kegagalan karena perbedaan pertimbangan dan argumentasi. Pemerintah tetap melakukan pencabutan subsidi dan menaikkan BBM dengan dalih menyelamatkan kondisi perekonomian bangsa. Argumentasi pemerintah menjadi pembenaran tapi kurang relevan dengan beban berat yang harus ditanggung oleh rakyat.

Kasus kenaikan harga BBM justru menimbulkan risiko besar. Kompensasi BLT menjadi kebijakan yang sembrono karena tidak memperhitungkan efek sosial, ekonomi, dan politik. Pembagian BLT yang tidak merata atau salah sasaran justru membuat rakyat mengalami represi dan depresi psikologis dan sosiologis. Kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga pelbagai barang dan jasa merupakan risiko besar tanpa ada antisipasi dan solusi yang meringankan. Pertanyaan kritis yang patut diajukan atas kenaikan harga BBM adalah adakah realisasi nilai-nilai Pancasila untuk pemenuhan hak kesejahteraan rakyat?

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM terus mendapatkan resistensi dan kritik. Demonstrasi menolak kenaikan BBM yang dilakukan oleh mahasiswa justru dihadapi dengan represif dan kekerasan. Kasus penyerbuan dan penganiayaan aparat polisi terhadap mahasiswa di kampus Universitas Nasional Jakarta menimbulkan polemik dan kontroversi. Komnasham menengarai ada tindakan pelanggaran HAM dalam kasus Unas. HAM mulai jadi taruhan atas kebijakan pemerintah. Kasus itu merepresentasikan bahwa nilai-nilai Pancasila belum mungkin direalisasikan dalam perlindungan hak atas nilai kemanusiaan, moralitas, keadilan, ekonomi, dan hukum.

Pesimisme atas peran Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia pada hari ini menjadi taruhan dengan risiko besar. Pesimisme itu ada karena keberadaan pelbagai fakta tragis yang tidak merepresentasikan dan merealisasikan nilai-nilai dalam Pancasila. Begitu.


Dimuat di Pelita (5 Juni 2oo8)

Kolonisasi Budaya dan Proyek Identitas

Oleh: Heri Priyatmoko


Berangkat dari realitas sosial dan faktual, masyarakat Solo adalah masyarakat yang majemuk, multietnis. Tidak berlebihan jika di Kota Bengawan banyak tinggalan budaya yang bersifat kasat mata (tangible) maupun tidak kasat mata (intangible).
Entah mengapa, dalam mengemukakan unsur kebudayaan Jawa di Solo, para sarjana atau
pengkaji budaya biasanya mengabaikan satu unsur penting, yakni pakaian. Lebih spesifiknya kebaya. Dalam kajian mereka, warisan budaya berupa bangunan, kesenian, bahasa atau norma-norma lebih penting. Se-pertinya ’’putri Solo’’ tidak memandang kebaya sebagai identitas dan tidak memiliki sejarah.

Kebaya selama ini mengalami pasang-surut pamor bila dipandang sebagai identitas. Setelah membaca buku Outward Appereances (LKiS, 2005) Henk Schulte Nordholt (edt) akan dipahami bahwa pakaian memiliki arti penting dalam kehidupan sehari-hari. Cara berpakaian dianggap dapat membantu memahami perkembangan suatu masyarakat dan identitasnya.

Kesan apa yang terlintas dibenak Anda saat melihat perempuan Solo berkebaya? Yang pasti feminin, kejawaan, dan santun. Namun selain itu, tergantung apakah si pemakai tua, muda, kaya, miskin, serta konteks tempat dan waktu, termasuk periode sejarah. Kebaya adalah cermin dari status, gender, memiliki nilai simbolik dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Bercerita kebaya dalam ruang sejarah tidak hambar. Ada sejuta kisah di dalamnya.

Pada tahun 1918 di gedung pertemuan ”De Harmonie” (klub malam) diselenggarakan pesta bertopeng. Partini, putri Mangkunegara VII, mengikuti acara tersebut bukan dengan berpakaian kebaya, tapi justru memakai busana Mandarin. Ia mendapat pinjaman dari istri Kapiten der Chinezen, Nyonya Bee Kwat Koen. Meskipun golongan ningrat, menurut Partini, baju Mandarin lebih pas menempel di tubuhnya ketimbang kebaya. Putri raja ini bangga dengan seluruh baju bordir benang emas dan pada leher baju ada kancing berlian.

Apresiasi Kebaya
Kebaya kita sempat ”terjungkir”. Bermula pada seorang perempuan pribumi mengenakan kebaya yang berwarna atau indigo, setelah menjadi nyai berganti memakai kebaya putih berenda ala noni Belanda. Pada saat itu kebaya putih berenda lebih mahal dibanding kebaya perempuan pribumi.

Kebaya jenis ini menjadi lambang status baru bagi seorang wanita Jawa yang masuk dalam lingkaran masyarakat Indis (agar istilah ’’nyai’’ tidak berat sebelah, sebaiknya baca tulisan Hayu Adi Darmarastri (2007) dan JJ Rizal (2006)).

Kemunculan politik etis (salah satunya edukasi) di Solo membawa perubahan pada penggunaan kebaya. Dari awal, pakaian tradisional dihargai, namun selanjutnya berubah sebab adanya politik diskriminasi busana oleh pemerintah Belanda di bangku sekolah.. Di sisi lain, faktor praktis (bersepeda atau duduk di kursi) adalah alasan logis untuk berganti pakaian gaya Eropa. Memang kebanyakan wanita di pedesaan masih bertahan dengan busana asli. Tapi kaum pria yang tak bisa menghindar hanya memakai ikat kepala dan kain ikat di pinggang.

Kalau sekarang kita mengamati pakaian wanita secara umum, harus dicatat bahwa porsinya terbalik. Kini putri Solo yang terkenal mlakune kaya macan luwe itu senang memakai rok (dari bahasa Belanda -’’Rok’’), gaun (dari bahasa Inggris - ’’Gown’’) dan blus (dari bahasa Belanda-Prancis - ’’blouse’’). Kebaya hanya kita jumpai atau dipamerkan sewaktu perhelatan dan resepsi resmi. Untuk kesesuaian zaman, tahun 1970an, Ratna Busana mengubah gagasan pakaian nasional dengan memunculkan konsep ”kebaya modern”.

Pada saat ini perempuan mulai mengenakan kebaya, terutama kebaya encim. Tidak dengan kain batik, melainkan dengan rok, celana, celana jin, dan hotpants. Tren ini muncul kembali di era 2000-an.

Dinamika perubahan berpakaian kebaya dapat dipahami dari proses historis; bukan dipahami sebagai proses yang secara kebetulan. ”Jangan nilai orang dari pakaiannya”. Ungkapan ini kurang cocok bagi orang Jawa. Mereka lebih yakin ”ajining raga ana ing busana”.

Sebagai kata akhir, mungkin boleh dikemukakan bahwa walau mengalami terbit-tenggelam, ia bagian dari pusaka kita yang harus dijaga. Ada kebanggaan karena kain kebaya dipandang sebagai pakaian nasional dan mempunyai implikasi dominasi atau bahkan kolonisasi terhadap 200 suku lainnya di Indonesia.

(Dimuat SUARA MERDEKA, 21 Mei 2008)

Menggali Potensi Wisata Arsip Di Kota Solo

Oleh: Heri Priyatmoko


Pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mencari kepuasan, mendapatkan kenikmatan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menunaikan tugas, menikmati olahraga atau istirahat, dan berziarah. Sedangkan, wisatawan ialah orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dari kunjungannya itu. Hingga sekarang terdapat puluhan definisi lain tentang pariwisata. Semua definisi mayoritas mencerminkan kepentingan masing-masing. Perbedaan kepentingan ini yang menyebabkan adanya berbagai jenis pariwisata (James J. Spillane, 1990). Biasanya kalau berbicara masalah tempat wisata, yang ada di benak kita adalah obyek yang indah dan menarik, seperti pantai, gunung, hutan dan candi.

Meski tidak memiliki obyek itu, Kota Solo atau Surakarta mencitrakan diri sebagai Kota Wisata, tidak berlebihan. Memang, Kota Bengawan yang sudah berumur dua abad lebih ini, memiliki objek lain yang marketable. Sebut saja, wisata sejarah (bekas peninggalan Keraton Pajang dan Kartasura, Keraton Mangkunegaran dan Kasunanan), wisata belanja (Pasar Klewer, batik Kauman dan Laweyan), wisata ziarah (Astana Pajimatan, Kyai Pabelan dan makam Ki Gedhe Sala), wisata old town (permukiman etnis Cina-Balong, Arab-Pasar Kliwon, Jawa-Kauman dan Eropa-Loji Wetan), dan wisata kuliner (nasi liwet, srabi, cabuk rambak dan gudeg ceker), serta wisata budaya (sekaten, kirab suro dan malam selikuran).

”Harta karun”

Dari sekian tawaran, menu selain itu yang belum dilirik dan digali oleh masyarakat dan Pemerintah Kota berupa wisata arsip. Lantas, dimana saja obyek wisata arsip itu berada? Pertama, Sasono Pustoko di Keraton Kasunanan. Pada dasarnya, Sasono Pustoko adalah lembaga yang didirikan tahun 1920-an untuk mengurusi pengoleksian serat dan naskah yang dihasilkan oleh aristokrat dan pujangga keraton. Karya sastra yang terkoleksi di antaranya, Serat Rarya Saraya yang berisi catatan perjalanan K.P.A Kusumadiningrat ke pelosok desa. Keterangan tentang lagu-lagu permainan (dolanan) anak ada di dalamnya. Kemudian, Serat Murtasiyah yang berisi ajaran bagi seorang istri dalam melaksanakan kewajibannya terhadap suami. Koran langka yang tidak mudah ditemukan di tempat lain, ada di sana. Misalnya, De Nieuwe Vorstenlanden, Darmo Kando, Bromontani, dan Ik Po.

Kedua, Rekso Pustoko di Pura Mangkunegaran. ”Belajar dapat ditempuh dari membaca buku dan pengalaman praktis”, itulah pitutur KGPAA Mangkunegaran IV ketika mendirikan Rekso Pustoko tepatnya pada 11 Agustus 1867. Menukil kata reksa (merawat) dan pustaka (buku), cita-citanya mendirikan Rekso Pustoko selain untuk mengurusi buku-buku koleksi Pura Mangkunegaran, juga menjadikannya sebagai sentra budaya baca sejak dini di kalangan keluarga besar Mangkunegaran dan abdi dalem. Sampai hari ini, kiranya cita-cita KGPAA Mangkunegaran IV itu sepertinya telah terwujud. Pasalnya, baik oleh pelajar atau mahasiswa, wisatawan, budayawan, atau sejarawan masih menggunakannya sebagai tempat menimba ilmu dari beragam kekayaan data di dalamnya.

Koleksi yang ditonjolkan di perpustakaan ini seperti buku Pawukon, Babad Pacinan 1741-1743, Babad Kartasuro 1675, Babad Kemalon 16 Safar 1724, dan Kitab Suci Alquran dalam huruf Jawa. Masih terdapat puluhan ribu koleksi buku-buku kuna dari berbagai macam bahasa, mulai dari Jawa, Belanda, Prancis, Inggris dan Jerman. Ada juga foto-foto Solo tempo dulu. Contoh, Stasiun KA Balapan Solo, Taman Balekambang, Pacuan Kuda Manahan, Pasar Legi, dan Van Devender School (kini SMPN 10 Solo), serta foto stasiun bus yang di tahun 1867 dinamakan Stasiun Kota

Ketiga, perpustakaan Radya Pustaka di kompleks Taman Sriwedari (Kebon Rojo). Ada sekitar 3.000 buku kuno, di antaranya Babad Mataram dan Ramalan Jayabaya yang bertuliskan huruf Jawa. Buku sebagian masih berbentuk naskah huruf Jawa kuno, sebagian lagi telah dialihbahasakan dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Keberadaan buku-buku kuno dalam lemari kaca itu seolah memaksa kita untuk sejenak menengok masa lalu. Bukan sekadar bernostalgia, melainkan membuka ruang kesadaran agar manusia selalu mengambil hikmah dari segala kejadian di masa silam. Selain berburu buku, hal yang bisa kita rasakan manakala berkunjung ke Radya Pustaka, tidak lain mengenang jejak kebesaran pujangga terbesar dan terakhir di Jawa, Ronggowarsito.

Nama Ronggowarsito senantiasa dikenang sebagai pujangga mumpuni yang karya-karyanya tetap abadi hingga sekarang. Dari tangan pujangga asal Keraton Surakarta ini lahir berbagai karya sastra bermutu tinggi yang sarat nilai kemanusiaan. Buku-bukunya membahas falsafah, ilmu kebatinan, primbon, kisah raja, sejarah, lakon wayang, dongeng, syair, adat kesusilaan, dan sebagainya. Namun sebagian masyarakat Jawa, terutama rakyat jelata, sering mengidentikkan Ronggowarsito dengan karangan-karangan yang memadukan kesusastraan dengan ramalan yang penuh harapan, perenungan dan perjuangan.

Karya-karya besarnya yang terkenal sampai saat ini adalah Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut ”zaman edan”. Ada kitab Jaka Lodhang yang memuat ramalan akan datangnya zaman baik, dan Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak. Ronggowarsito boleh saja tinggal sebuah nama, tapi buah pemikirannya tak pernah musnah. Dengan menembus perbedaan ruang dan waktu, banyak telaah Ronggowarsito yang relevan di masa sekarang. Contohnya saja masalah keadilan sosial, krisis moral, kemiskinan, serta upaya menghapus penjajahan gaya baru di era globalisasi ini (Dicky Risyana, 2005).

Keempat, Monumen Pers Nasional. Gedung seluas 2998 m2 ini terletak di Jl. Gajah Mada 59 Surakarta. Pada tempo dulu lebih dikenal dengan nama ”societeit”, yang dipergunakan untuk tempat pertemuan para priyayi keraton. Tempat ini pula merupakan saksi sejarah Kongres Pertama Persatuan Wartawan Indonesia pada tanggal 9 Februari 1946. Di sana, ada koran dan majalah terbitan tahun 1916-1945. Sebut saja Panorama, Matahari, De Locomotief, Mataram, Tjaja Hindia, Djawa Tengah Review, Sinpo, dan Hoakiao. Bagi peminat sejarah, itu ”harta karun” karena merupakan bukti sejarah. Bahkan, ada guyonan mendiang sejarawan Kuntowijoyo, untuk membedah masa lalu: Doraemon punya kantong ajaib, sedangkan manusia punya arsip.

Kelima, Lokananta. Sejatinya, Lokananta ialah nama gamelan para dewa di kahyangan. Nama itu diadopsi untuk perusahaan rekaman piringan hitam pertama milik negara yang berdiri pada 29 Oktober 1956. Tugas Lokananta, sebagai unit pelaksana teknik jawatan RRI, merekam dan memproduksi (menggandakan) piringan hitam untuk bahan siaran bagi 27 studio RRI seluruh Indonesia. Piringan hitam itu berisi gamelan Jawa, Bali, Sunda, dan musik daerah lainnya, lengkap dengan pesindennya. Juga musik keroncong, lengkap dengan penyanyinya. Lokananta mengoleksi puluhan ribu piringan hitam langka bisa menjadi daya tarik tersediri.

Dalam piringan tersebut, ada rekaman Bung Karno tatkala membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Juga pidato Bung Karno ketika membuka KTT Non-Blok I tahun 1955 di Bandung. Ada lagu Indonesia Raya tiga stanza yang sempat diperdebatkan. Bagi peminat musik klasik, tempat ini adalah ”surganya”. Untuk peminat sejarah, koleksi tersebut merupakan dokumen sejarah yang terdengar.

Warisan

Demi kepentingan masa depan arsip, Pemerintah Kota Solo perlu melakukan penyuluhan tentang fungsi arsip dan kesadaran pelestarian dan pemeliharaan arsip. Orientasinya, agar salah satu warisan sejarah yang berharga itu diketahui dan dinikmati generasi berikutnya. Boleh meniru masyarakat Jakarta dengan membentuk Masyarakat Peduli Arsip (MAPA). Toh, fungsi warisan sejarah merupakan penjabaran dari Pasal 32 UUD 45 tentang Kebudayaan Bangsa.

Warisan tersebut berkaitan dengan sasaran pariwisata dalam pembangunan nasional yang terdiri beberapa butir. Pertama, mengembangkan potensi kepariwisataan menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan memperbesar penerimaan devisa. Kedua, memperluas kesempatan lapangan kerja, terutama bagi masyarakat setempat dan mendorong pembangunan daerah. Ketiga, pariwisata diarahkan untuk memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa di samping untuk meningkatkan kegiatan ekonomi..

Keempat, usaha pengembangan kepariwisataan ditujukan pula untuk meningkatkan kualitas kebudayaan bangsa, memperkenalkan kekayaan warisan. Kelima, dalam rangka pembangunan kepariwisataan kita perlu meningkatkan langkah-langkah yang terarah dalam pengembangan objek wisata serta kegiatan promosi dan pemasarannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri (Suara Merdeka, 29 November 2007).


Promosi

Menyadari Kota Solo tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat digali secara instant, maka pariwisata merupakan pilihan strategis untuk dikembangkan secara lebih serius. Orientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menggali pajak dan restribusi, kiranya perlu dievaluasi agar lebih masuk akal. Perlu kiranya hal ini dibarengi dengan kiat meningkatkan kesejahteraan agar masyarakat memiliki kemampuan lebih baik, selanjutnya berdampak terhadap kemampuan mereka memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Menciptakan atmosfer atau iklim usaha yang kondusif yang dapat menumbuhkembangkan setiap bentuk usaha di kalangan masyarakat kecil.

Dengan kepemilikan obyek potensial itu, seharusnya Pemkot tanggap peluang. Jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, obyek tersebut sulit tertandingi, baik segi kuantitas maupun macam koleksinya. Masyarakat dan Pemkot bolehlah bangga dengan kepemilikan aset wisata arsip ini meski sebenarnya wisata arsip yang sudah dipromosikan oleh Badan Arsip Daerah (BAD) Propinsi Jawa Tengah beberapa tahun lalu. Hanya saja letak kelemahan Kota Solo adalah kurangnya fasilitas yang menunjang, sedangkan di Badan Arsip Daerah (BAD) Propinsi Jawa Tengah sudah mempunyai fasilitas lengkap yaitu Depo Penyimpanan Arsip Statis, Tempat Pengolahan Arsip, tempat Penyimpanan Arsip Dinamis dan fasilitas pendukung lainnya.

Memang sebaiknya setiap daerah memiliki produk unggulan. Misalnya, Jawa Timur dengan produk unggulannya wisata candi dan Yogyakarta dengan wisata budaya. Masing-masing produk wisata itu memiliki pasar yang berbeda-beda, sehingga wajar bila kota lain berhasil mendapatkan agregasi wisatawan yang lebih luas dan lebih banyak. Untuk mendapatkan wisatawan sebanyak-banyaknya, Solo jelas perlu lebih strategis membangun pariwisatanya.

Pemkot jangan lagi jual ruang publik atau tanah untuk kebutuhan investor (maraknya mal dan hotel), tapi juallah potensi ini. Masing-masing segmen pasar menghendaki produk dan tema yang berbeda-beda. Penjumlahan masing-masing pasar akan menghasilkan total pasar yang jauh lebih besar. Produk-produk pariwisata kita jelas memerlukan sentuhan-sentuhan baru, bahkan kita perlu produk-produk baru agar tak terkesan monoton dan tak terurus. Diharapkan dengan adanya produk baru (menu wisata arsip), kepariwisataan Solo semakin menggeliat. Wisata arsip dapat memberikan nuansa lain terhadap dunia pariwisata di Solo. Maka, Pemkot selekasnya mempromosikan menu wisata ini dengan strategi pemasaran Kota Solo yang handal. Karena itu, pembinaan secara terpadu dalam melakukan promosi pariwisata berpedoman kepada Sapta Dharma Depparpostel, yang mencakup: (1). Penghasilan utama devisa, (2). Profesionalisme SDM, (3). Pemberdayaan ekonomi rakyat, (4). Pembudayaan wisata nusantara, (5). Peluruhan seni budaya, (6). Pelestarian keindahan alam, (7). Keterpaduan daya upaya.

Harapan ke depannya, wisata arsip mampu menjadi bagian dari tulang punggung kemajuan Solo untuk sektor perekonomian. Potensi wisata arsip ini, di samping membangun industri pariwisata yang kelak menjadi warisan berkesinambungan (sustainable heritage) bagi generasi mendatang, tapi yang lebih utamanya sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat betapa pentingnya kesadaran dan kelestarian arsip. Lalu, wisata arsip juga menjadi karateristik Kota Solo dalam program pariwisata. Saatnya, Pemerintah Pusat (terwakili ANRI dan Depbudpar) dan Pemerintah Kota Solo bergandeng tangan menampilkannya ke permukaan.

(Mendapat juara nomor 3 kategori mahasiswa di lomba karya tulis Hari Kearsipan yang diselenggarakan Arsip Nasional RI Tahun 2008)

Selasa, 03 Juni 2008

Kepustakaan Pancasila

Oleh Bandung Mawardi

Warisan besar Orde Baru adalah kepustakaan mengenai Pancasila. Ada ratusan buku yang terbit pada masa Orde Baru mulai dari buku pelajaran sampai buku kajian ilmiah. Pancasila menjadi fokus kajian yang melibatkan sekian ahli dan sarjan dengan pelbagai kepentingan. Kehadiran buku-buku mengenai Pancasila kental mengandung muatan kepentingan kekuasaan yang membutuhkan legitimasi dan indoktrinasi.

Rezim Orde Lama memiliki tafsir dan realisasi atas Pancasila yang mungkin kalah massif dan populer ketimbang Orde Baru. Pancasila yang semula identik dengan sosok Soekarno perlahan menjadi identik dengan Soehrato dan Orde Baru karena perlakuan yang sakralistik-politis terhadap Pancasila. Buku-buku yang terbit pada masa Orde Baru eksplisit memusat pada tafsir resmi dari penguasa dan hanya segelintir buku yang melakukan kajian kritis dan ilmiah tanpa embel-embel kepentingan penguasa.

Penerbitan buku Bung Karno dan Pancasila: Menuju Revolusi Nasional (editor Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, 2002) hendak menjadi suara lain dan ingatan kembali terhadap peran Soekarno dan Pancasila dalam perjalanan Indonesia. Buku itu kentara memberi interupsi dan revisi pada keruntuhan rezim Orde Baru yang meninggalkan pesimisme atas Pancasila karena pelbagai dosa sosial dan politik. Orde Baru gagal dalam proyek tafsir dan realisasi Pancasila. Buku itu memuat teks dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, materi-materi kuliah pancasila, dan kertas kerja dari sekian tokoh mengenai Pancasila (Prijono, Muhammad Yamin, Drijarkara, dan Notonagoro).

Pamoe Rahardjo menjelaskan bahwa nasib Pancasila pada zaman Soekrano dengan zaman Soeharto berbeda dan kontradiktif. Contoh kontroversial adalah ketiadaan restu politik dari Orde Baru untuk memperingati hari kelahiran Pancasila (1 Juni). Soeharto justru menghendaki untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober) sebagai bukti kesanggupan Pancasila dalam melawan dan mengalahkan komunisme.

* * *

Buku yang mendokumentasikan tafsir dan pemikiran Soeharto terhadap Pancasila terbit pada tahun 1976 dengan judul Pandangan Soeharto tentang Pancasila. Buku itu memuat kutipan-kutipan dari pidato-pidato Soeharto dalam pelbagai acara yang mengesankan bahwa pandangan Soeharto itu adalah “sabda yang sahih”. Soeharto mengatakan: “Pancasila bagi kita adalah masalah hidup matinya bangsa Indonesia.” Pernyataan lain yang lugas dari Soeharto: “Kita tidak akan memerosotkan Pancasila hanya menjadi semboyan kosong atau bahan propaganda murah.” Terbuktikah?

Pandangan-pandangan Soeharto itu berbeda tafsir dan kepentingan dengan Soekarno dalam pidato-pidato atau kuliah-kuliah mengenai Pancasila pada masa Orde Lama. Soekarno dalam materi kuliah “Pancasila sebagai Dasar Negara” (Bung Karno dan Pancasila: Menuju Revolusi Nasional) mengemukakan bahwa Pancasila itu adalah dasar negara atau weltanschauung dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Soekarno menghendaki Pancasila bisa menjadi identitas, pandangan hidup, dan kepribadian Indonesia untuk melawan imperialisme. Pandangan itu berbeda dengan Soeharto yang memosisikan Pancasila untuk membasmi dan melawan komunisme.

* * *

Buku-buku mengenai Pancasila yang terbit pada masa Orde Lama dengan Orde Baru memang berbeda dalam perkara isi dan kuantitas. Pembaca yang ingin melakukan studi atas Pancasila bakal kerepotan untuk bisa menemukan referensi dalam bentuk buku dari masa Orde Lama. Referensi yang melimpah justru ada pada masa Orde Baru:, Notonagoro Pancasila Secara Ilmiah Populer (1971) dan Pancasila Dasar Falsafah Negara (1974), Roeslan Abdulgani Pengembangan Pancasila di Indonesia (1977), Mohammad Hatta Pengertian Pancasila (1978), Darmodiharjo Pancasila Suatu Orientasi Singkat (1979), Mubyarto Ekonomi Pancasila: Gagasan dam Kemungkinan (1981), Deliar Noer Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (1983). Slamet Soetrisno Pengantar Filsafat Pancasila (1984), A.M.W. Pranarka Sejarah Pemikiran Pancasila (1985), Arief Budiman Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Sosial di Indonesia (1989), Paulus Wahana Filsafat Pancasila (1993), Oetojo Oesman dan Alfian Pancasila sebagai Ideologi (1993), P. Hardono Hadi Hakikat dan Muatan Pancasila (1994), Paulus Wahana Filsafat Pancasila (1993), Oetojo Oesman dan Alfian Pancasila sebagai Ideologi (1993), P. Hardono Hadi Hakikat dan Muatan Pancasila (1994), Darji Darmodiharjo Santiaji Pancasila (1995), dan lain-lain. Buku-buku mengenai Pancasila pada masa Orde Baru rata-rata termasuk buku laris karena kerap digunakan sebagai bahan pelajaran, kuliah, dan penataran yang mengacu pada kebijakan politik Orde Baru.

* * *

Buku dalam konteks politik bisa menjadi juru bicara yang ampuh untuk kepentingan kekuasaan. Buku-buku mengenai Pancasila yang terbit pada masa Orde Baru mayoritas menjadi pembenaran terhadap tafsir tunggal dan memainkan peran strategis dalam legitimasi kekuasaan. Pancasila pasca-Orde Baru membutuhkan tafsir realistis dan pluralistik untuk suatu kepercayaan terhadap kehidupan kolektif sebagai bangsa dan negara.

Siapa masih mau menulis dan menerbitkan buku mengenai Pancasila? Siapa masih mau membaca buku-buku mengenai Pancasila? Pertanyaan-pertanyaan itu patut diajukan dengan melihat kondisi riil dan antusiasme terhadap Pancasila yang rendah. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka, 1 Juni 2oo8