Senin, 28 Juli 2008

Membaca 1950-an


Oleh: Bandung Mawardi

Frans M. Parera dalam esai “Visi dan Misi Seniman Indonesia Pascarevolusi” (1994) mengabarkan bahwa masyarakat Indonesia pada tahun 1950-an baru saja menyelesaikan revolusi dan “melepaskan diri dari situasi abnormal dengan segala kekerasan dan duka-derita serta romantika persatuan dan kesatuan”. Zaman itu adalah zaman untuk normalisasi. Sebutan-sebutan lain untuk kondisi zaman itu adalah zaman krisis, lesu, impasse, dan kegelapan. Zaman 1950-an adalah zaman demokrasi yang memberikan kebebasan dan kemungkinan gerak untuk politik dan pers yang ditandai dengan sistem multipartai dan pertumbuhan lembaga pers. Demokrasi liberal itu sejak awal mengandung risiko besar yang bebarengan muncul dan menyebabkan hukum progresivitas susah berjalan dengan sempurna. Risiko besar itu pun dialami oleh seniman yang bergerak antara humanisme universal, nasionalisme, dan lokalitas. Seniman hidup dengan pandangan seni, intelektual, dan kebudayaan yang berhadapan dengan proses politik, sosial, dan ekonomi. Seniman memilih, merumuskan, dan merealisasikan atau malah mengalami kekalahan dengan sekian faktor dan alasan.

Pada tahun 1950-an kota menjadi ruang untuk produksi, reproduksi, dan ikhtiar penyelesaian masalah-masalah kehidupan. Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Solo, dan kota-kota lain adalah ruang yang menyimpan kisah-kisah penting untuk keberadaan tanda-tanda zaman, tafsiran, dan realisasi politik, ekonomi, agama, kesenian, pendidikan, pers, dan kebudayaan. Frans M. Parera mengabarkan bahwa pada zaman itu mulai ramai penerbitan majalah seni-kebudayaan, aktivitas seni pertunjukan, dan penerbitan karya sastra. Deskripsi mengenai zaman itu: “Situasi kesenian masyarakat Indonesia ditandai dengan keterpecahbelahan fungsi dan peranannya berhadapan dan berinteraksi dengan pelbagai lembaga sosial lainnya di sektor publik”.

* * *

Soedjatmoko memberi kabar lain mengenai kondisi 1950-an. Soedjatmoko dalam tulisan pengantar “Mengapa Konfrontasi” untuk edisi perdana majalah Konfrontasi (No. 1 Tahun I, Juli-Agustus 1954). Soedjatmoko dalam tulisan itu membuka persoalan dan pertanyaan dengan bahasan sastra Indonesia yang menjadi refleksi zaman dari revolusi sampai pertengahan tahun 1950-an. Penilaian Soedjatmoko yang kontroversial dan jadi pemicu polemik: ada krisis dalam kesusastraan dan kebudayaan di Indonesia.

Zaman krisis! Itulah ungkapan dan fakta yang keluar dari pemikiran Soedjatmoko. Konklusi yang mengejutkan: “Krisis yang kita alami ini, adalah suatu yang lebih pokok sifatnya, yang telah meresap ke dalam masyarakat kita di dalam segala pernyataan dan tindakan jiwa manusia.” Pernyataan-pernyataan kebudayaan diakui Soedjatmoko tidak bisa memecahkan krisis besar itu. Kesusastraan sebagai pemikiran dan praksis kebudayaan yang “berbicara” atau yang “bungkam” adalah cermin dari kondisi masyarakat Indonesia yang tawar, dangkal, dan dalam memahami dan merealisasikan kebangkitan kembali Indonesia.

Fakta masyarakat Indonesia pada tahun 1950-an adalah lenyapnya semangat revolusionernya dan hilangnya pertaruhan total pribadi dan kolektivitas. Kondisi itu membuat masyarakat hidup dengan “gerak-gerik setengah-setengah” dan “sinisme yang lahir dari ketidakpercayaan dan tindak tanduk dari jiwa-jiwa yang kecil.” Soedjatmoko mengusulkan dan hendak melakukan konfrontasi. Konfrontasi! Barangkali itulah jawaban lantang dan urgen atas krisis yang dihadapi. Konfrontasi dalam pengertian Soedjatmoko adalah “dengan arti dan makna revolusi”. Revolusi adalah suatu pencapaian atau jangkauan untuk menentukan nasib sendiri. Konfrontasi harus diadakan untuk diri sendiri dan dunia sekitar. Konfrontasi untuk krisis kesusastraan, kebudayaan, politik, sosial, dan krisis manusia Indonesia.

Uraian Soedjatmoko itu adalah pembacaan terhadap kesusastraan Indonesia modern yang menjadi fase lanjutan kesusastraan revolusi (1940-an). Kabar dari Soedjatmoko itu sejak awal menjadi isu besar yang melibatkan juru bicara penting dan otoritatif sastra pada tahun 1940-an dan 1950-an: H.B. Jassin yang terlanjur mencetuskan kelahiran dan keberadaan Angkatan 45. H.B. Jassin menengarai bahwa kesustraan Indonesia modern pada tahun 1950-an mengalami kemunduran dengan bandingan kondisi-kondisi sebelumnya. Penilaian itu kemungkinan dipengaruhi oleh kepentingan H.B. Jassin untuk menguatkan keberadaan Angkatan 45 dan Chairil Anwar sebagai bukti kesusastraan Indonesia modern. Persoalan krisis atau kemunduran kesusastraan Indonesia modern menjadi perhatian besar ketika ada orientasi besar untuk mengonstruksi kebudayaan Indonesia dengan pelbagai kiblat, paham, jalan, dan ideologi.

H.B. Jassin memerlukan diri untuk menuliskan teks panjang “Kesusastraan Indonesia Tidak Ada Krisis” (1954) yang disajikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. H.B. Jassin menyebutkan bahwa perbincangan mengenai krisis kesusastraan itu mulai jadi bahan perdebatan dari pendapat Sutan Takdir Alisjahbana pada 1951 dengan sebutan impasse dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. H.B. Jassin melakukan sanggahan terhadap tuduhan impasse atau krisis dalam kesusastraan Indonesia dengan argumentasi ada kegairahan penerbitan buku-buku sastra dan kemunculan pengarang-pengarang baru. Argumentasi itu masih berkutat dalam persoalan sastra dan belum menjadi pembicaraan komprehensif dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan. Sanggahan H.B. Jassin tanpa sadar justru memberi suatu pembenaran terhadap polemik panjang mengenai krisis kesusastraan Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer masuk dalam persoalan besar itu dengan sikap kritis. Esai “Mencari Sebab-sebab Kemunduran Kesusastraan Indonesia Modern Dewasa Ini” dan “Offensif Kesusastraan – 1953” memberi informasi dan analisis terkait dengan perhatian kritikus sastra H.B. Jassin dan acara simposium kesusatraan Indonesia modern di Amsterdam yang menghadirkan Wertheim, Jan Romein, A. Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Asrul Sani. Pramoedya Ananta Toer cenderung kurang percaya dengan penilaian-penilaian dari H.B. Jassin dan intelektual atau kritikus sastra terkait dengan kondisi kesusastraan Indonesia modern. Konklusi mengenai masalah kemunduran kesusastraan Indonesia modern adalah “sia-sia dan terlampau terburu-buru”. Kritik Pramoedya itu menuding bahwa H.B. Jassin sebagai faktor penting untuk masalah itu yang menyebabkan “sekelompok pemikir salon” antusias (percaya?) untuk menganggap isu atau masalah itu mendesak untuk dibicarakan. Faktor dan otoritas H.B. Jassin yang mengeluarkan penilaian itu dikatakan Pramoedya Ananta Toer terlanjur “jatuh di bumi yang subur”.

Krisis, kemunduran, kelesuan, atau pesismisme yang ada dalam kesusastraan Indonesia modern dikatakan Nugroho Notosusanto sebagai mitos yang tidak merepresentasikan atau mengungkapkan fakta-kondisi tahun 1950-an awal. Nugroho Notosusanto dalam esai “Situasi 1954” menelusuri dan mencari sebab kelahiran mitos itu. Inilah kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan mitos itu lahir: (1) Pesimisme orang-orang tentang zaman sesudah Pemulihan Kedaulatan; (2) Golongan “old cracks” di kalangan sastrawan yang pada periode 1945 mengalami zaman keemasan tapi pada periode 1950 mengalami kemunduran. Sastrawan-sastrawan itu kemudian menganggap zaman yang lalu adalah zaman gemilang dan menjelek-jelekkan zaman 1950-an yang telah memunculkan tokoh-tokoh baru; (3) Sastra Indonesia modern sejak awal memang sangat berorientasi pada sastra Belanda dengan orientasi universal yang terbatas pada sastra Belanda dan bukan pada sastra dunia.

* * *

Penilaian dari Frans M. Parera, Soedjatmoko, H. B. Jassin, Pramoedya Ananta Toer, dan Nugroho Notosusanto dalam tulisan ini hendak dipertemukan dengan cerpen-cerpen Misbach Yusa Biran. Kondisi tahun 1950-an bisa dibaca dan ditafsirkan melalui cerpen-cerpen Misbach Yusa Biran yang memusatkan perhatian pada seniman dan dunia kesenian-kebudayaan di Pasar Senen (Jakarta). Seniman dan “seniman” adalah perkara yang mengandung sekian pertanyaan dan curiga. Seniman adalah sosok yang hadir dalam cerita-cerita Misbach Yusa Biran. Seniman dan Pasar Senen menjadi catatan penting mengenai kondisi kesenian dan tanda-tanda zaman yang mengabarkan pesimisme. Misbach mengisahkan itu dalam buku kumpulan cerpen Keajaiban Pasar Senen (1971).

Cerpen Misbach Yusa Biran yang berjudul “Robby Alias Saad dan Nandi, Pengabdi Seni” merupakan kisah seniman, kondisi seni sandiwara, dan kondisi sosial-ekonomi. Misbach mengisahkan:

Sudah enam bulan tidak ada pertunjukan sandiwara. Barangkali masa ini bisa disamakan dengan zaman malese di tahun 1932. Tak ada seorang kaya pun yang tertarik hatinya untuk diakui menghargai seni dan sedia memberikan empat-lima ribu rupiah uangnya untuk bikin sandiwara dalam tempo enam bulan ini.

Deskripsi itu menjadi representasi nasib seni sandiwara yang apes. Seniman-seniman teater hidup dengan idealisme seni tanpa memiliki basis ekonomi yang kuat dan perhatian dari pemerintah atau masyarakat kelas menengah-atas. Kreativitas seni seakan memiliki ketergantungan besar dengan partisipasi bersama dalam kondisi zaman yang bimbang dan mencari bentuk. Kisah seniman sandiwara itu adalah bagian dari kisah kesenian yang pesimis menghadapi zaman. Misbach mencatat: “Banyak sangat istilah seni yang lahir untuk menamai masa itu: masa mandul, kering, tandus, musim kemarau, dan lain-lain.” Masa krisis! Krisis yang susah dihadapi dan diselesaikan. Istilah-istilah yang dicatatkan Misbach itu semakin memberi gambaran suram dan pesimisme kesenian- kebudayaan Indonesia tahun 1950-an.

Pesimisme dan seni sandiwara (teater modern) adalah kondisi yang tidak kondusif dan kerap menimbulkan frustasi atau depresi kaum seniman. Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa pesimisme zaman itu disebabkan oleh ketololan masyarakat Indonesia. Bentuk pesimisme yang berbeda dengan dunia Barat. Pesimisme yang menulari teater modern Indonesia terbaca dalam karangan dan proses kreatif Utuy T. Sontani. Pramoedya dalam esai “Berkenalan dengan Utuy T. Sontani” (1953) menuliskan: “Puncak pesimisme di kalangan pengarang Indonesia ada dalam jiwa Utuy T. Sontani. Pesimisme yang disebabkan karena ketololan keliling inilah yang membekukan kegiatan seni dan semangat kerjanya … ” Pesimisme Utuy T. Sontani itu adalah risiko yang mesti diterima dari kondisi zaman, mentalitas masyarakat Indonesia, proses-kerja kreatif seniman, dan pemikiran kaum intelektual-budayawan.

Kondisi krisis atau pesimis itu dihadapi seniman-seniman Pasar Senen yang mayoritas miskin dengan pembayangan dan taruhan besar. Ibnu Saad hadir sebagai tokoh yang ingin menyelesaikan krisis itu dengan kompensasi yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan untuk menjawab tuntutan ekonomi dan eskpresi seni. Ibnu Saad sebagai “seniman oportunis” mengatakan pada seniman-seniman Pasar Senen yang bimbang dan bingung: “Kawan-kawan, kita adalah seniman drama. Maka kita harus memperlihatkan hasil kita dalam lapangan ini. Tetapi kalian tidak punya uang.” Ketiadaan uang adalah masalah untuk niat dan kehendak mengekspresikan diri dalam seni sandiwara. Masalah itu butuh penyelesaian. Nasihat yang keluar dari mulut Ibnu Saad: “Boleh cinta seni, tetapi jangan membabi buta”. Nasihat untuk menggiring seniman mencari penyelesaian dengan manajemen yang curang untuk uang. Nasihat yang lain: “Kita bisa mengabdi seni, tapi jangan kita jadi melarat karenanya.”

Deskripsi mengenai pandangan estetika dan hubungan sosial seni sandiwara pada zaman itu bisa terbaca dalam tuturan Ibnu Saad yang memakai dalih kritik dalam menilai genre seni sandiwara di Indonesia: “Jangan seni, seni, seniii saja, tidak peduli orang mau mengerti atau tidak, ya siapa yang mau nonton? Rugi. Lebih rugi lagi kalau belakangan ketahuan pula bahwa kita sendiri pun tidak paham akan apa yang kita pentaskan.”

Usulan penyelesaian untuk masalah itu mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Ibnu Saad menginginkan pertunjukan sandiwara bisa diadakan dengan dalih amal untuk anak yatim piatu. Strategi yang mesti dijalankan adalah membuat stempel untuk meloloskan kepentingan. Keberadaan stempel itu untuk mensiasati penjualan undangan agar mudah-meyakinkan dan ada keringanan pemotongan pajak. Siasat yang oportunis untuk ekpsresi seni dan uang. Hasil bersih dari pertunjukan yang mungkin kecil bakal diberikan pada rumah yatim piatu sesudah dipotong untuk biaya produksi dan yang masuk kantong seniman. Inilah jurus seniman yang pedagang atau pedagang yang seniman melalui tokoh Ibnu Saad. Kisah itu memunculkan dilema seni dan moral.

Keberadaan lembaga dan manajemen seni sandiwara dalam cerpen itu menjadi reprsentasi kondisi 1950-an. Frans M. Parera mengabarkan bahwa proses identifikasi diri dan otonomisasi lembaga kesenian pada zaman itu susah direalisasikan dan niscaya kalah dengan pengaruh besar atau kooptasi lembaga politik dan lembaga ekonomi. Seniman, manajemen seni, dan lembaga seni adalah kekuatan kecil yang ingin memberi konstribusi dalam pembentukan masyarakat modern Indonesia tapi kerap gagal, kalah, atau salah karena kondisi politik-ekonomi yang hegemonik dalam sistem demokrasi versi Indonesia. Inilah kontradiksi yang sejak lama muncul dalam konstruksi kebudayaan Indonesia modern.

Tokoh Nandi menjadi sosok yang melawan dan bertahan dengan ideologi seni yang tidak ingin mencari keuntungan dengan mengabaikan moral dan nilai-nilai kesenian. Nandi menjadi oposisi yang keras terhadap Ibnu Saad. Usulan penyelesaian yang oportunis itu digugat dan diprotes Nandi dengan suara lantang: “Ini adalah pengkhianatan! Pengkhianatan terhadap seni bagiku adalah sama dengan pengkhianatan terhadap negara, bahkan lebih besar. Karena seni …” Pernyataan yang kritis dan idealis. Seni menjadi perkara besar dan menentukan. Seni adalah ekspresi, keindahan, moral, dan nasionalisme. Begitu?

Peran oposisi Nandi itu lenyap karena pelbagai fakta dan argumentasi. Nandi justru menjadi bagian dari “seni oportunis” Ibnu Saad dan konco-konconya. Ibnu Saad berhasil mengadakan pertunjukan dengan pencapaian penonton yang banyak dan tentu laba yang menggiurkan. Nandi memainkan peran sebagai juru bicara dalam pidato awal pertunjukan yang memikat dan meyakinkan. Pidato yang berisikan kebohongan-kebohongan. Pidato itu berisikan niat bahwa seratus persen uang yang diperoleh untuk amal. Bagian pidato yang penting untuk mengetahui kondisi kesenian dan kebudayaan 1950-an:

Dan atas nama sekalian seniman drama, sekali lagi saya sampaikan hormat dan salam hangat atas perhatian yang telah diberikan kepada kami, para pencinta seni drama yang dengan sesuci hati menyerahkan seluruh apa yang ada pada kami demi kemajuan seni drama pada khususnya dan kebudayaan nasional pada umumnya.

Jargon yang lazim muncul pada zaman itu “seni untuk seni”, “seni untuk rakyat”, “seni untuk revolusi”, dan lain-lain. Kebudayaan nasional yang dikabarkan tokoh Nandi adalah rumusan yang masih menyimpan sekian persoalan. Wacana itu pada tahun 1950-an mungkin menjadi representasi keinginan untuk mengonstruksi kebudayaan nasional yang ditentukan oleh paham politik atau ancangan nasionalisme yang hendak direalisasikan. Kebudayaan nasional pada zaman itu adalah definisi konstitutif yang mengakumulasikan puncak-puncak kebudayaan daerah dan tafsir kebudayaan modern untuk kepentingan identitas nasional. Sastra atau seni sandiwara modern yang mengacu pada Barat hendak dipahami dan diolah dengan jurus-jurus atau sistem tertentu sehingga layak untuk diakui sebagai kebudayaan nasional Indonesia.

Perspektif kebudayaan itu layak untuk dikaitkan dengan keberadaan Surat Kepercayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” Indonesia. Surat yang dirumuskan oleh seniman-budayawan (Chairil Anwar, Asrul Sani, Mochtar Apin, dan lain-lain) sejak tahun 1946 dan dipublikasikan pada awal tahun 1950 yang cenderung menengok ke Barat menjadi ciri yang memengaruhi wacana dan praktik kebudayaan tahun 1950. Isi penting dari Surat Kepercayaan Gelanggang: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Pengakuan dan ikhitar besar untuk konstruksi kebudayaan yang tidak sekadar Indonesia. Pandangan kebudayaan versi Surat Kepercayaan Gelanggang: “Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.”

Deskripsi mengenai rumusan kebudayaan pada tahun 1950-an juga bisa dibaca dalam cerpen Misbac Yusa Biran “Nasihat untuk Para Seniman”. Nasihat diberikan oleh tokoh Bapak Kebudayaan (pejabat di kantor pemerintah) pada tokoh saya dan tokoh Rusli yang niatnya untuk mencari pekerjaan di kantor itu. Tokoh Rusli merupakan seniman yang susah mencukupi kebutuhan hidup dari karangan saja. Tokoh Rusli butuh pekerjaan dan gaji tetap. Niat itu menghasilkan nasihat yang menyindir tapi tidak menyelesaikan masalah. Nasihat Bapak Kebudayaan itu mungkin bisa menjadi representasi penting mengenai kondisi kebijakan kebudayan pejabat dan lembaga pemerintah pada masa itu. Inilah perpektif kebudayaan Indonesia dari tokoh Bapak Kebudayaan:

Saya telah diserahi kerja untuk meneruskan kerja orang yang terdahulu, dan ternyata rencana serta konsep mereka tentang kebudayaan hanya membuat saya terpingkal-pingkal saja. Saya rombak semua, apa boleh buat harus peras keringat karena untuk kebudayaan kita tidak bisa main-main. Kebudayaan adalah jiwa, warna, dan segala-galanya dari suatu bangsa. Bagaimana mungkin hal besar ini hanya diserahkan kepada orang-orang yang hanya biasa kerja rutin, yang kerja untuk menunggu pensiun saja? Omong kosong! Orang dengan kapasitas begitu tak mungkin bisa mencintai kebudayaan, menghargai hasil seni, menghargai seniman, serta bisa ikut mengembangkan kesenian Indonesia yang tengah mencari coraknya ini! Bagaimana mereka bisa menghargai, bahkan untuk hanya sekadar bisa mengerti penghidupan seniman?

Kehidupan seni sandiwara pada 1950-an dikisahkan Misbach Yusa Biran dalam cerpen “….. Dunia Bobrok”. Cerpen yang mengisahkan tokoh Arman sebagai seniman sandiwara di Pasar Senen dan perihal naskah sandiwara. Tokoh Arman adalah sosok yang memiliki hasrat besar menjadi seniman (penulis daram). Hasrat itu kerap dikatakan pada komplotannya di Pasar Senen sehabis menonton pertunjukan sandiwara. Hasrat itu kurang bisa dibuktikan oleh Arman yang membuat komplotannya ragu. Bukti itu baru bisa diajukan sekian waktu lamanya. Suatu hari tokoh Arman membawa seberkas kertas (cerita sandiwara) di Pasar Senen untuk dipamerkan sebagai bukti dari hasrat menjadi penulis naskah drama. Naskah itu berjudul “Dunia Bobrok”. Tokoh Arman memberi penjelasan: “… sandiwara itu absurd: sandiwara aneh, unik, atau yang bukan-bukan; yang kabarnya sedang amat populer di Eropa sekarang. ‘Dunia Bobrok’ hanya dimainkan oleh satu pelaku dan dekornya tumpukan sampah.”

Sandiwara absurd atau teater absurd menjadi suatu persoalan yang penting dalam zaman 1950-an. Naskah “Dunia Bobrok” mengabarkan bahwa ada pengaruh besar aliran dan trend teater Eropa dalam teater modern Indonesia. Ada tulisan menarik dari Iwan Simatupang mengenai teater absurd dan teater modern Indonesia tahun 1950-an dalam esai “Teater Absurd (1)” (1958). Iwan Simatupang menengarai ada kegagapan penilaian terhadap naskah-naskah Utuy T. Sontany (Awal dan Mira, Di Muka Kaca, dan Selamat Jalan Anak Kufur). Penilaian Iwan Simatupang adalah perkara pelabelan naskah Utuy T. Sontany sebagai naskah eksistensialisme. Naskah-naskah Utuy T. Sontany pada masa itu memang memberi kontribusi besar dan ikut menentukan nasib-arah teater modern Indonesia. Persoalan eksistensialisme adalah persoalan lain. Iwan Simatupang kurang percaya dan susah membuktikan bahwa naskah-naskah Utuy T. Sontany mengandung representasi pemikiran filsafat eksistensialisme dan faktor dari teater absurd. Penilaian itu berdasarkan pada amatan dan referensi (Sartre). Iwan Simatupang dalam esai “Teater Absurd (2)” (1958) memberikan informasi, deskripsi, dan analisis keberadaan naskah dan teater absurd di Eropa dengan acuan Ionesco. Esai itu kentara menyarankan ada wacana teater absurd yang mempengaruhi seniman-seniman teater modern di Indonesia seperti yang diakui tokoh Arman.

* * *

Bagaimana ikhtiar seniman mengurusi diri sendiri untuk seni dan hidup. Tokoh Q.R.S. Tanjung menjadi contoh yang diajukan Misbach Yusa Biran dalam cerpen “13 Kopi Kecil dan Asap Rokok”. Tokoh Tanjung mengklaim diri dengan identitas seniman drama. Seniman Tanjung adalah sosok yang merasa tidak betah diam di rumah. Kopi dan rokok adalah syarat mutlak untuk melamun (mencari inspirasi) dan menguatkan identitas diri di hadapan orang lain. Pandangan hidup Tanjung tidak menggubris atau tidak memiliki nafsu untuk berpikir uang melulu seperti yang ada dalam diri pedagang-pedangan di kompleks Pasar Senen. Inilah pernyataan keras seniman Tanjung mengenai kehdiupan seni dan masyarakat Indonesia: “Saya benci orang Indonesia, mereka belum bisa menghargai seni.”

Pernyataan itu hadir dalam proses normalisasi zaman 1950-an yang cenderung mementingkan konstruksi kolektif untuk politik. Individu hidup dengan pengaruh-pengaruh dan kondisi yang belum menentu. Seni menjadi urusan yang masih terpahamkan sebagai rekreasi atau hiburan untuk kelas sosial menengah-atas di kota. Pernyataan seniman Tanjung itu adalah persoalan-persoalan yang dihadapi seniman dalam memosisikan dan memerankan diri. Persoalan internal dalam diri seniman dan dunia seni tentu menjadi penyebab besar selain fakta yang ada dalam masyarakat.

Pernyataan yang sama disampaikan tokoh Rebin dalam cerpen “Lukisan Abstrak dan Batu Cincin”. Tokoh Rebin adalah pelukis abstrak. Inilah pernyataan keras untuk masyarakat dunia seni rupa dan masyarakat Indonesia: “Sangat sulit menjadi pelukis abstrak di Indonesia. Orang-orang negeri ini belum bisa menghargai seni yang tinggi.” Pernyataan itu adalah kemarahan Rebin atas obsesi yang susah dibuktikan untuk menjadi pelukis abstrak dan bisa menjual lukisan dengan harga mahal. Pandangan estetika tokoh Rebin cenderung pragmatis dan komersial. Tokoh Rebin mengesahkan diri sebagai pelukis yang menganut paham Rebinisme. Pengesahan itu dilakukan karena para pelukis menganggap lukisan Rebin tidak menunjukkan anutan paham impresionisme, ekspresionisme, atau kubisme. Paham-paham seni rupa itu adalah persoalan besar yang membuat seniman ingin hadir dengan paham-paham tertentu yang mengacu pada fenomena seni rupa modern Barat. Persoalan paham itu pun dihadapi dalam teater dan kesusastraan Indonesia modern. Pemahaman Rebin mengenai lukisan abstrak dan uang terkesan konyol dan ambisius: “Kalau sudah berhasil sekali, selanjutnya mudah. Enak! Kerjanya mudah. Corat-coret saja sembarangan dan itu bisa dijual mahal-mahal. Malah tambah sembarangan tambah mahal lagi harganya.”

S.M. Ardan dalam pengantar Keajaiban Pasar Senen (1971) menyebutkan cerpen-cerpen Misbach Yusa Biran adalah teks yang mayoritas mengisahkan “seniman pura-pura”. Siapa itu seniman pura-pura? S.M. Ardan memberi definisi: “Mereka adalah orang yang mengaku diri seniman untuk menutupi ke-‘gelandangan’-nya, penganggur-penganggur malas yang di atas kedekilannya memasang etiket mentereng: seniman.” Definisi itu mengandung kritik keras dan menggemaskan. Bagaimana seniman-seniman pada tahun 1950-an merumuskan dan mengonstruksi identitas diri sebagai seniman? Jawaban untuk pertanyaan itu tentu dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan di Indonesia pascarevolusi (1950-an). Kondisi zaman yang membuat orang memilih dan menerima risiko.

Misbach Yusa Biran dalam cerpen “Keajaiban Pasar Senen” mengisahkan sosok seniman dalam deskripsi yang khas. Identitas seniman dituturkan oleh tokoh saya terhadap tokoh Asmar. Kisah itu bermula dari pertemuan tokoh saya dengan tokoh Asmar di Pasar Senen. Tokoh saya melihat Tokoh Asmar yang merenung. Tokoh saya menduga tokoh Asmar mendapatkan dan memikirkan ilham. Tokoh saya ragu untuk memulai percakapan karena takut menganggu dengan alasan: “Mengganggu yang sedang dapat ilham merupakan kesalahan yang sulit dimaafkan oleh seniman.” Tokoh saya lantas membuat deskripsi dan kesimpulan bahwa tokoh Asmar memang “dilahirkan ke dunia untuk jadi seniman.” Kesimpulan itu dikuatkan berdasarkan ciri-ciri tokoh Asmar: badan yang lampai, mata cekung, rambut tipis yang dibiarkan menjalar, dan berjenggot. Inilah gambaran seniman Pasar Senen dari amatan dan kesimpulan tokoh saya:

Barangkali Asmar ini jugalah satu-satunya seniman di wilayah Pasar Senen yang paling seniman tulen: 100 %, 24 karat. Dialah seniman yang paling bohemian, hidup melarat tak peduli baju dan kebersihan badan. Dan lebih dari itu tak mau bekerja apa-apa, kecuali berpikir untuk seni. Tidak mau cari uang, karena katanya ia benci uang. Ada yang bilang bahwa ia mengatakan dirinya sebagai penganut faham optimisme. Artinya ia punya keyakinan bahwa setiap yang masih bernyawa, tentu masih ada rezekinya. Dan memang, sampai hari itu masih hidup, sedang termenung.

Tokoh Asmar dalam cerpen itu ternyata memiliki masalah besar dengan uang. Kemalasan dan ketidaksanggupan mencari rezeki ditutupi dengan identitas seniman. Fakta yang ada adalah tokoh Asmar dalam pemenuhan kebutuhan hidup tergantung dengan kebaikan keluarga dan tokoh saya. Pencitraan diri sebagai seniman diyakini tokoh Asmar bisa jadi jalan yang menyelamatkan hidup.

Ikhtiar menggagalkan niat seseorang menjadi seniman dilakukan oleh tokoh saya dalam cerpen “Andaikan Jumpa Pacar Saya, Tolonglah ….!” Tokoh saya membujuk agar tokoh Burhan (tukang cukur) membatalkan diri untuk jadi seniman. Tokoh Burhan merasa bahwa dengan memelihara jenggot maka layak untuk menjadi seniman. Keyakinan itu diperoleh tokoh Burhan dari pergaulannya dengan seniman-seniman Pasar Senen. Tokoh saya memperingatkan tokoh Burhan: “… orang bukan jadi seniman karena jenggotnya tumbuh. Jenggot tidak mempengaruhi bakat seseorang.” Peringatan itu tidak digubris karena tokoh Burhan yang memiliki hasrat lekas jadi seniman. Tokoh Burhan pun terus terbujuk menjalani hidup sebagai seniman dengan bukti ikut main sandiwara dengan peran sebagai Si Kepala Botak Sebelah. Peran itu dijalani denga kerelaan memotong rambut hanya sebelah. Proses dan pembuktian sebagai seniman dilakukan tokoh Burhan: malam hari datang paling awal dan pulang paling akhir di Pasar Senen, tidak tidur di rumah sendiri tapi di rumah seniman, betah ngobrol dari malam sampai pagi. Risiko dari laku seniman itu adalah kedai cukur tutup terus karena siang hari tokoh Burhan tidur. Tokoh Burhan telah jadi seniman?

* * *

Pengenalan seseorang sebagai seniman-pengarang dikisahkan Misbach Yusa Biran dalam cerpen “Kalau Bung Seniman, Jangan Tinggal di Kampung”. Tokoh saya bertemu dengan seseorang di Pasar Senen. Tokoh saya merasa yakin bahwa dengan melihat cara duduk seseorang itu yang semaunya berarti seniman. Tokoh saya pun merasa bahwa dengan berpakaian lecek sesorang itu pasti mengira dirinya seniman. Pengenalan yang naif. Pertemuan dengan ciri-ciri itu menjadi pengesahan untuk obrolan khas seniman pada malam hari di Pasar Senen. Tokoh saya menanyakan: “Saudara seniman, ya?” Seseorang itu menjawab: “Pengarang.” Pembukaan obrolan yang menentukan posisi dan identitas. Tokoh aku masuk pada pertanyaan yang rawan: “O, pengarang. Mengarang apa? Barangkali saya pernah baca tulisan Saudara di majalah.” Seseorang yang mengaku pengarang itu tak memberi jawaban. Reaksi yang membuat tokoh saya jadi kikuk dan merasa bersalah. Pertanyaan itu biasa tapi menjadi tidak biasa dalam cerpen Misbach Yusa Biran. Tokoh saya sadar dan merumuskan pertanyaan revisi dan penjelasan dengan pemikiran naif. Pertanyaan “yang mana karangan Saudara” pada masa itu (1950-an) dan di tempat itu (Pasar Senen) adalah pertanyaan yang paling tabu diajukan untuk seniman-seniman muda. Tabu itu mengacu pada alasan bawah kemungkin besar seniman tersebut telah jadi seniman sebelum menulis satu karangan pun. Pemikiran tokoh saya adalah representatif mengenai identitas dan definisi seniman.

Perdebatan masalah seni dan cinta dituliskan Misbach Yusa Biran dalam cerpen “Enak Kawin, Mas?” “Bolehlah”. Tokoh Yanto adalah seorang penyair romantis atau penyair cinta-pemuja perempuan. Tokoh Yanto memiliki sikap tenang dalam pergaulan seniman Pasar Senen. Perdebatan terjadi dengan tuduhan dan pembelaan terhadap kemurnian seni (puisi) dan perasaan cinta (pemujaan) terhadap perempuan. Perdebatan yang mempersoalakan pandangan estetika seniman dan keindahan (puisi atau perempuan). Inilah fragmen perdebatan (pengadilan?) seniman-seniman Pasar Senen.

“Aku hanya menghargai keindahan, keindahan dari apa yang kucintai.”

“Dan kau memujanya setinggi langit?”

“Karena ia memang kucintai, dengan cinta dari lubuk hati yang sedalam-dalamnya,” jawab Mas Yanto sambil tersenyum nikmat sekali.

“Dan kau mengkhianati kemurnian seni?”

“Kenapa?”

“Kau memohon belas-kasihannya supaya dicintai dengan jalan memuja-muja melalui seni, melalui sajak. Kau pengemis cinta dan pengkhianat!” kata seorang seniman dengan gaya Pak Jaksa yang melontarkan tuduhannya.

Perdebatan itu merepresentasikan dunia pikir dan perhatian seniman-seniman Pasar Senen terhadap pelbagai tema, isu, persoalan privat atau publik. Perdebatan yang alot dan keras. Perdebatan itu layak mendapatkan perhatian dalam kondisi zaman 1950-an yang ramai dengan perdebatan (polemik) besar politik, ekonomi, dan kebudayaan. Polemik yang ada ketika itu antara lain polemik (sastra dan kebudayaan) antara Soedjatmoko versus Boejoeng Saleh dan Iwan Simatupang versus H.S.

Tokoh Mas Yanto dalam cerpen itu mengajukan sebuah puisi cinta. Puisi yang menjadi alasan untuk perdebatan estetika dan kisah percintaan. Inilah dua bait puisi penyair Yanto: Senyummu penaka citra / Sejuk mengusap hatiku yang kelam / Sejuk meresap antero alam / Kerlip matamu penaka bintang // Surga di tangan kananku … / Seluruh dunia di tangan kiriku / Kalau kau balas saja / senyumku, sayang … Puisi itu layak menjadi contoh kondisi perpuisian 1950-an yang berbeda dengan masa Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin (Angkatan 45). Puisi-puisi tahun 1950-an mengidap kelesuan atau krisis dalam pemikiran Soedjatmoko. Penilaian itu mendapatkan penjelasan kritis dari Iwan Simatupang yang melakukan pembacaan dan pengamatan puisi-puisi 1950-an pasca-Chairil Anwar. Iwan Simatupang menilai puisi pada masa itu dengan konteks kesusastraan, politik, dan kebudayaan yang lesu. Dugaan yang muncul: “… setidak-tidaknya penyair-penyair kita ada mengalami kepayahan dalam pergulatan melepaskan diri dari pitingan kelesuan dan keisengan kini.” Pada masa itu terjadi publikasi besar-besaran puisi di majalah kebudayaan dan sastra. Jumlah itu tidak diimbangi dengan kualitas estetika dan semangat zaman. Puisi-puisi yang ada adalah puisi sampah, iseng, bombastis, dan verbalistis sebagai representasi impase dan kecengengan penyair. Iwan Simatupang menginginkan harus ada ikhtiar untuk melepaskan diri dari impasse, kelesuan, krisis, dan verstarring dengan “menempuh jalan baru”. Hipotesa Iwan Simatupang terhadap kondisi perpuisian masa itu adalah normalisasi (mengusahakan adanya kesederhanaan dan kelangsungan).

* * *

Membaca 1950-an adalah membaca kisah Indonesia yang memproduksi dan mereproduksi wacana untuk konstruksi Indonesia pascarevolusi. Konstruksi Indonesia yang melibatkan pelbagai ide, kritik, polemik, paham, dan perseteruan. Membaca 1950-an adalah membaca Indonesia yang belum menjadi dan belum selesai. Begitu.

Dimuat di Littera Edisi 4 Tahun 1 (Juli – Agustus 2oo8)

Realisme yang Lugu, Cinta, dan Lain-lain


(Membaca Antologi Puisi Pendhapa 5)

Oleh: Haris Firdaus

Penyair yang hanya menyekatkan perhatian pada dirinya sendiri, kata Subagio Sastrowardoyo, tak akan menghasilkan sajak yang cukup berarti. Penyair yang sibuk dengan perasaan, emosi, dan pikirannya sendiri pada akhirnya hanya akan menulis sedu-sedan dan keluh-kesah saja. Sebuah sajak yang cukup berarti dihasilkan ketika seorang penyair menyadari bahwa ia bukan subjek satu-satunya di dunia ini, dan otomatis ia mesti menautkan diri dengan dunia di luar dirinya.

Tapi penautan dengan dunia luar harus “dijaga” agar si penyair tak menjadi juru terang atau pengkhotbah yang membosankan. Dunia di luar penyair—sekali lagi meminjam Subagio—harus dijadikan sebagai alat yang memerluas kecintaan dan perhatian pada diri sendiri menjadi sikap cinta pada kepentingan yang lebih luas. Meski begitu, kecintaan terhadap dunia luar itu tak boleh menjadi sikap “maha tahu” yang kering.

Penyair, seperti pernah disebut Sapardi Djoko Damono, bukanlah mereka yang menjelaskan kebajikan. Penyair sekadar bertugas “mengantar” pembaca pada persoalan lalu meninggalkan pembaca itu sendirian di sana. Memakai cara pandang yang demikian, puisi adalah sebuah ikhtiar menghadirkan pertanyaan tanpa jawaban yang pasti dan muluk-muluk. Tapi yang perlu diingat: “ikhtiar menghadirkan pertanyaan” itu adalah sebuah ikhtiar yang melibatkan estetika. Tanpa estetika, puisi sebaiknya diganti namanya menjadi pamflet.

Cara pandang seperti itulah yang hendak saya pakai untuk membaca Antologi Puisi Pendhapa 5: Temu Penyair Antar Kota yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) pada April 2008 lalu. Antologi ini memuat puisi karya 18 penyair dari berbagai kota: Solo, Karanganyar, Sragen, Brebes, Pekalongan, Kudus, Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, Wonogiri, Yogya, Semarang, Wonosobo, dan Blora.

Pamflet dan Realisme yang Lugu

Pembacaan ini akan saya mulai dengan puisi karya Ciu Cahyono. Puisi Ciu perlu disebut paling awal karena karyanya meruapkan ciri khas yang tegas dan jelas: menjadi pamflet. Ya, puisi Ciu Cahyono yang kebanyakan panjang-panjang itu memang menggunakan kata-kata yang terang, tanpa tedheng aling-aling, sedikit banyak berbau moralis, dan bersemangat dalam memberi petuah. Ciu memang berhasil menautkan kesadaran dirinya dengan kepentingan di luar dirinya tapi ia “terjebak” menjadi “juru terang”: sebuah “profesi” yang seharusnya dihindari ketika kita menulis puisi.

Puisinya yang berjudul “Sajak Bagaimana” memang mengungkap tanda tanya tapi pertanyaan itu tak dihadirkan dengan cara yang estetis. Pertanyaan itu sekadar disampaikan dengan bertubi-bertubi, dengan sedikit modifikasi kata, tapi tetap saja membosankan. Simak petikannya: Bagaimana negeri ini bisa kaya/ Jika korupsi jadi menu utama/ Bagaimana negeri ini bisa adil dan merata/ Jika penguasa dan pengusaha main mata/ Bagaimana negeri ini bisa senatausa/ Jika anak sekolah membolos demi narkoba/ ....//

Menulis “puisi pamflet” tentu saja boleh dan wajar saja tapi penyair yang memutuskan hal itu mesti pandai melakukan “penyiasatan” agar puisinya tak menjadi retorika kosong. Selain Ciu, dalam antologi ini ada penyair lain yang sajak-sajaknya berbau pamflet, yaitu Lebe Penyair. Bedanya, Lebe ternyata lebih bisa memainkan “siasat” agar kata-katanya tak menjadi deretan semangat yang tanpa makna.

Dari beberapa puisi Lebe dalam antologi ini, “Zombi Sajak Pantura” menurut saya adalah yang terkuat. Melalui puisi itu, Lebe mengundang banyak teks lain untuk melakukan dialog dengan diri dan puisinya. Simak bait yang bagus ini: Zombi benua hitam reinkarnasi/ Kepingannya mewujud – dzuriyat:/ Pada Rumi menjelma matsnawi/ Pada Chairil tersampir Deru Campur Debu/ Pada Sutardji tersangkut O Amuk Kapak/ Dan bermuara Zombi Sajak Pantura/...//

Sama dengan Ciu dan Lebe, puisi karya Arif Hidayat juga sedikit banyak meruapkan bau pamflet meski tak menggebrak. Simak “Sedang Menulis Puisi”: Indonesiaku sedang menulis puisi/ seperti menyulam luka/ penuh penghayatan terhadap bencana/ dengan nafas tertahan waktu/ kenangan tentang 350 tahun/ tetapi, buku sejarah itu berdebu/ malam menjadi terbatuk-batuk/ di antara kenangan tanah//...//

Nada dasar dari pamflet adalah realisme yang lugu. Realisme seperti itulah yang juga terasa dalam sajak Asa Jatmiko, “dunia pelacur”, meski di sana tak ada petuah—sesuatu yang memberi nilai lebih pada Asa: pernah, dan mungkin masih/ di rembang petang/ kerlap-kerlip lampu disko/ diiringi irama ndangdut dari tape recorder jangkrikan/ bagai berpasang mata/ memangil-manggil/ “hai asa, mampir dong!/ kita ngobrol/ bersama sebotol oplosan bir dan congyang/ kacang dan tahu susur milikku/ ketrampilan kecil hasil warisan ibuku/ ibuku mewarisinya dari nenekku/ jangan remehkan nenekku/ ia selir seorang mantan bupati pesisir.”//....//

Catur Mulyadi memiliki kemiripan dengan Asa: ia juga menulis dalam nada dasar realis tapi tak selamanya berkehendak memberi khotbah. Catur melukis keadaan kadang dengan cara yang naif, amat polos, apa adanya, dan tidak dibuat-buat: Terisish di pinggir wangan/ Memelas raut wajah/ Di bawah lampu 5 watt/ Dalam ruang/ Cukup berteduh panas dan hujan/ .../ Terbayang lampau/ Gagah dan perkasa/ Semalam seribu bahagia/ Sewaktu seribu langkah/ Sekarang sisa kenang/ Terhanyut rasa bersalah/ ...// (Puisi “Gubug Muda Penghuni Tua”).

Cinta

Selain realisme puisi yang lugu, puisi cinta ternyata juga bertebaran di Antologi Pendhapa 5. Subagio sendiri pernah mengatakan bahwa cinta adalah tema yang terus berulang dalam sajak karena tema itu lekat dengan sikap batin penyair dalam mengungkapkan kesadarannya yang paling dasar. Cuma, justru karena tema cinta selalu berulang itulah maka menulis puisi cinta yang bagus adalah sesuatu yang susah dikerjakan.

Agus Bakar menulis puisi cinta yang penuh penolakan, dengan sekian metafora yang tak terlampau luar biasa: ...Aku tak ingin mencintaimu lagi. Meski dulu aku adalah/ hamparan tanah yang menyerah pada runcing-runcing jarum-jarum hujan./ Tubuhku rela disergap basah; tubuhku rela berbaur/ aromamu. Karena kala itu aku percaya, tanah adalah lautan/ pasrah menerima basah hujan. Dan tak ada lagi yang bisa memahami cinta hujan selain tanah.// ...// (Sajak “Cinta Tak Lagi Sebagai”).

Alfiyan Harfi menulis puisi cinta yang terlalu umum: Aku melihat sungai/ mengalir di wajahmu/ Udara adalah kulitmu/ Dan matamu kulihat/ pada segala yang kulihat:/ Serupa cermin yang murni// Sekali kau berkata padaku/ Lewat bunga yang mekar/ Serupa merah bibirmu/ Serupa keabadian/ yang jatuh ke dalam waktu// ...// (Puisi “Cinta yang Tersembunyi”).

Gunawan Tri Atmojo menulis kisah cinta dengan latar persetubuhan dengan metafora yang ia ambil dari alam. Puisinya “Fragmen Persetubuhan” seolah hendak mencoba mengaitkan cinta, senggama, dan alam meski tak cukup berhasil karena dua yang pertama ternyata jauh lebih dominan. Simak narasi cinta Gunawan yang “penuh nafsu” ini: .../ akulah pengembara di relung sunyi/ pada tubuh perempuanmu aku berhenti/ segala dahaga kutuang ke jurang vagina/ pada tubuhmu air suci berahi/ membabtisku jadi laki-laki// ...//

Berbanding terbalik dengan “Fragmen Persetubuhan”-nya Gunawan, “mawar kesepian”-nya Edhie Prayitno Ige adalah narasi tentang cinta yang sepi dan liris: .../mawar yang kesepian/ tertunduk sendirian/ simpan hati kering, menanti tetesan embun/ : pernikahan//. Puisi ini memakai metafora yang amat lazim—bahkan cenderung klise—dalam perpuisian Indonesia modern: mawar.

Jusuf AN, dalam puisi “Cinta Tanpa Kepala”, mengisahkan tentang kesulitan yang dialami seseorang ketika hendak melupakan kekasihnya. Tema macam ini, saya kira, bukan sesuatu yang baru. Jusuf pun tampaknya tak banyak melakukan “modifikasi” atas tema itu: kamu datang lewat jendela/ kemudian meledakkan kepalaku tiba-tiba/ sementara untuk melupakanmu/ sesukar menghentikan ombak/ seribu kali teriak/ menyisa serak yang sesak// ....//.

Beberapa penyair lain seperti Mutia Sukma, Restu Kurniawan, Rudiana Ade Ginanjar, dan Teguh Trianton juga menulis sajak cinta dalam nada dasar yang tak jauh beda dengan banyak sajak cinta lain: menggunakan kata sebut “kau-aku”, merendahkan diri di hadapan orang yang dicintai, dan cenderung hiperbolis dalam memberi penanda pada subjek yang dijadikan “sasaran” sajak cinta itu.

Lain-lain

Yuswinardi merupakan penyair yang cenderung melakukan eksperimen terhadap puisi. Ia menggunakan benda-benda sehari-hari sebagai sunjek utama dalam sajaknya, menggunakan topografi yang cenderung menyamping, serta terlihat mencoba menggunakan bahasa sajak yang “berbeda”. Tapi salah satu sajaknya, “Televisi”, justru terlihat kedodoran karena bahasa yang digunakannya terlampau “terang”: Mungkin hidup diciptakan dari televisi. Bermacam mimpi berjejalan. Bermacam keajaiban bertubrukan. Bermacam cinta bertemu dan makan malam. ada janji didalam perutnya yang selalu lapar. Ada air mata yang netes bergetar....

Puisi-puisi Bhre Wijaya dan DAW Riyadi meruapkan bahasa-bahasa personal yang liris, dengan nada yang cenderung “gelap”. Keduanya seperti menuturkan banyak hal dalam puisinya tapi yang terlihat sebenarnya cuma rangkaian kisah dan pernyataan personal yang sangat mungkin kita cari relasinya dengan kondisi biografis dua penyair itu.

Sementara itu, dalam puisi “Requiem Untuk Tuhan”, Yunanto Sutyastomo memberi narasi tentang kondisi eksistensi manusia yang lepas dari sebuah dasar yang paling elementer: Tuhan. Dengan lembut dan penuh suasana muram, Yunanto mengisahkan “requiem” itu: Kini bergegas pulang/ Terkejar gerimis malam/ Tertinggal requiem di kota/ Meninggalkan Tuhan yang terlelap//.

Dimuat di Litera Edisi Juli-Agustus 2008

Kisah Kapal Rajamala

Oleh: Heri Priyatmoko

Kesamaan koleksi apa kita bisa temukan manakala menginjakkan kaki di Museum Radya Pustaka dan Museum Keraton Kasunanan Surakarta? Jawabannya ialah kepala perahu Rajamala. Benda yang dianggap keramat oleh pegawai museum ini memang bikin pengunjung merinding. Logis bila banyak anak kecil yang datang takut mendekat karena itu berwujud kepala raksasa dengan mata terbelalak dan berwarna merah darah serta ditambah aroma sesaji kembang setaman yang ditaruh di sampingnya.

Kepala kapal Rajamala menyimpan sejuta kisah sejarah. Dengan mengawali kajian dari kepala kapal Rajamala, sebenarnya kita bisa merangkai kepingan sejarah Bengawan Solo, sejarah masyarakat Solo hingga sejarah Pesanggarahan Langenharja yang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Studi tentang kesejarahan sungai legendaris Bengawan Solo ada beberapa pihak yang telah melakukannya. Misalnya, TS Raffles (1817:17-18), PH van der Kemp (1894:128-129), JJ de Hollander (1895:263), FH van Naerssen (1943:623), M.T Arifin (2005) dan terakhir laporan Ekspedisi Bengawan Solo Kompas (2007). Namun, telaah mereka tersebut tidak banyak mengupas kesinambungan sejarah antara Rajamala, Bengawan Solo dengan keberadaan Pesanggarahan Langenharja.

Pada abad XVIII, dari Bandar Beton, Nusupan, Semanggi dan Mojo saban tahun pada musim penghujan 24 perahu besar milik keraton mengarungi Bengawan Solo menuju Gresik untuk mengangkut garam. Di antara perahu milik keraton, terdapat satu perahu khusus keraton bernama Kiai Rajamala yang dibuat pada masa Paku Buwono (PB) IV. Nama ”Rajamala” sendiri diadopsi dalam folklore mengenai Kerajaan Kicakapura. Rajamala adalah nama dari telur kura-kura jelmaan Dewi Watari, seorang putri cantik yang menjadi pengawal Resi Indradewa. Secara khusus, perahu Rajamala digunakan untuk sarana jalan-jalan penguasa Keraton Kasunanan dan hajatan penting saja. PB IV (1788-1820) menggunakan Rajamala hilir mudik ke Gresik menjemput putri Pamekasan, Madura, untuk dilamar sebagai permaisuri. Perjalanan terakhir Rajamala ke tanah seberang dilakukan PB VII (1830-1858) saat menjemput putri dari Bangkalan, Madura, putri Sultan Tjakraningrat.

Kota Solo di awal abad XX kerab dilanda banjir, karena belum dibangun tanggul dan turbin air oleh penguasa tradisional (Mangkunegara dan Paku Buwono) yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Banjir digunakan PB IX (1861-1939) bersama kerabat keraton untuk berpesta lumban (bermain air) dengan menggunakan Rajamala. Di atas kapal, raja membagi-bagikan makanan kepada orang-orang yang tertimpa bencana banjir. Istilah pembagian barang ini disebut udik-udik. Fenomena unik sewaktu banjir akibat luapan air sungai yaitu terciptanya keramaian pesta air. Masyarakat Kota Solo tidak takut. Pasalnya, pihak keraton telah antisipasi untuk menolong korban banjir dengan membentuk badan yang mengurusi. Ada juru silem, juru mudi, dan juru pembelah.

Bengawan Solo sering kali untuk ajang pesta besar seperti adanya orang nikah (temanten) yang diarak dengan kapal secara beriring-iringan. Kapal tersebut dihias dengan lengkung-lengkung janur kuning, bendera dan plisir gula kelapa mengombak air. Tidak lupa pula alunan gamelan yang ditabuh di atas kapal sungguh menambah semaraknya suasana. Masyarakat pun yang tinggal di tepi sungai sangat gembira melihat arak-arakan yang tidak mesti mereka jumpai setiap saat. Tempat biasa mangkal Rajamala di Bandar Nusupan dan Langenharja.

Kata ”Langenharja” diambil dari nama sebuah desa di salah satu Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Desa itu berjarak tujuh kilometer dari Keraton Surakarta. Pembangunan pesanggrahan dimulai sejak PB IX berkuasa. Tepatnya pada hari Rabu Kliwon tanggal 16, bulan Pasa, Wuku Wugu, Rabiulakhir tahun 1800 Jawa dengan candra sengkala, “sirna ilang murtining rat. Darsiti Soeratman (1989) menjelaskan, dahulunya kawasan pesanggrahan tersebut merupakan tanah pangrembe yaitu tanah milik raja yang dipersiapkan untuk memberikan hasil tertentu misalnya padi, rumput dan lainnya.

Bangunan Pesanggrahan Langenharja berarsitektur Jawa, model joglo dan limasan. Posisi pesanggrahan menghadap ke arah timur, persis seperti bangunan Keraton Surakarta. Dalam kosmologi Jawa, arah timur adalah tempat terbitnya matahari yang dipercayai sebagai lambang dari segala sumber kegiatan manusia di dunia. Adapun susunan bangunan pesanggrahan tersebut, meliputi plataran luar yang dihiasi dengan pohon beringin berjajar dua yang dilingkari dengan semacam bingkai; probosono digunakan untuk menerima tamu-tamu kehormatan raja; bangsal keprajuritan untuk istirahat prajurit keraton; dalem agung sebagai tempat kegiatan bersifat kenegaraan; ruang kaputren khusus ditempati permaisuri, selir dan putri raja; sanggar pemujaan, ruangan semedi keluarga raja; dan masjid untuk sarana beribadah abdi dalem.

PB IX menuju ke pesanggrahan, selain naik kereta dan menunggang kuda sendiri, beliau naik Rajamala menyusuri pinggiran Bengawan Solo dengan kawalan beberapa abdi dalem, abdi hourderas, dan panewu juru silem. Kala itu, Pesanggrahan Langenharja difungsikan sebagai tempat rekreasi aristokrat kerajaan dengan mengadakan pertunjukan Dombo Sawala (perkelahian antar sesama binatang). Binatang yang sering diadu ialah harimau melawan domba (berok) dan anjing melawan babi. Untuk dihadapkan pada harimau, kambing diberi taji dan kalung buntal, yaitu rangkaian daun-daun yang warna-warni.

Kemudian pada malam hari, raja menghibur diri memanggil abdi dalem Jogo Swara. Tugas abdi dalem ini, membaca buku dengan dilagukan (nembang). Biasanya, abdi dalem Jogo Swara posisi nembang di depan raja yang menikmati sambil tiduran. Konon, cara itu bisa menyembuhkan rasa capek raja.

Dewasa ini, tampaknya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo belum berambisi mengangkat atau mempromosikan Pesanggarahan Langenharja untuk kegiatan riset dan sebagai tujuan wisata. Pernah nama Pesanggarahan Langenharja sesekali disorot oleh media cetak maupun elektronik saat digunakan untuk salah satu lokasi pembuatan Sinetron Saur Sepuh dan Wiro Sableng: Kapak Naga Geni 212 yang moncer di era 1990-an.

Pesanggarahan yang dikategorikan sebagai benda cagar budaya ini tidak banyak diketahui masyarakat luas. Sudah saatnya pemangku kepentingan memanfaatkan dan mengembangkan Pesanggarahan Langenharja untuk obyek penelitian dan pariwisata. Tidak hanya kalangan sejarawan saja yang dapat berkecimpung asyik di sini, melainkan para arkeolog dan arsitek perlu berbaur memanfaatkan Pesanggarahan Langenharja demi tercapainya kelestarian bangunan itu sendiri.

Dimuat Kompas 14 Juli 2008

Onghokham dalam kenangan

Oleh: Heri Priyatmoko

Judul : Onze Ong: Onghokham dalam Kenangan

Penyunting : David Reeve et. al

Penerbit : Komunitas Bambu

Terbit : Pertama, Desember 2007

Tebal : xvi + 358

Sejarawan di Indonesia yang kali pertama mempelopori penulisan persoalan sejarah di media adalah Ong Hok Ham atau Onghokham (1 Mei 1933-30 Agustus 2007). Kliping tulisannya di Majalah Tempo (1976-2001) sudah diterbitkan dengan judul “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang” merupakan fakta konsistensi Ong di dunia tulis-menulis. Begitu juga dengan karyanya, “Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong”.

Ia juga salah satu sejarawan yang berani mengkritik penguasa Orde Baru yang otoriter dan militeristik, meski lewat opini yang disamarkan dengan mengambil peristiwa sejarah periode kolonial. Keberanian Ong diakui sejarawan lain dan para sahabatnya. Lain halnya dengan mendiang Prof. Sartono Kartodirjo, Begawan Sejarah Indonesia. Ketidaksenangan dengan penguasa lebih diperlihatkan pada upaya diam, tanpa reaksi keras. Contoh, beliau undur diri dari tim penulisan Sejarah Nasional Indonesia edisi terakhir.

Mungkin sudah menjadi semacam “keumuman” di Indonesia, di mana ada tokoh yang mumpuni dan terkenal meninggal dunia, sekadar untuk mencurahkan atawa melampiaskan kenang-kenangan maka dibuatlah buku yang berisi kumpulan tulisan baik dari keluarga, teman atau penggemar. Buku yang berjudul “Onze Ong: Onghokham dalam Kenangan” ini, merupakan kumpulan artikel dari mantan murid, sahabat, hingga kerabat. Buku yang disunting David Reeve, JJ Rizal dan Wasmi Alhaziri ini diluncurkan berbareng acara 100 hari peringatan meninggalnya Onghokham.

Pilihannya untuk mengucapkan "selamat tinggal" kuliah dan tumpukan teori hukum di Fakultas Hukum di Universitas Indonesia (UI) pada 1955 merupakan kreativitas dan keberanian Onghokham. Padahal saat itu Fakultas Hukum UI menjadi fakultas favorit dan berwibawa. Mungkin karena pada masa itu belum banyak advokat yang terang-terangan bicara soal kejujuran advokat dan pada saat yang sama berani menyuap polisi, jaksa dan hakim seperti saat ini. Ia lebih suka mendalami ilmu di Jurusan Sejarah dan skripsinya lalu dibukukan Runtuhnya Hindia Belanda”, (Gramedia, 1987). Dan itu menjadi rujukan bagi peminat sejarah Indonesia periode 1930 dan 1940-an.

Berkat kecerdasan dan keseriusan, sejarawan berdarah Tionghoa ini berhasil menyelesaikan gelar doktor di Yale University, Amerika Serikat tahun 1975. Dan tidak ala kadarnya bersekolah, Ong melahirkan disertasi bermutu. Tidak tedeng aling-aling Benyamin White, guru besar pada Institut Studi Sosial, Belanda, memberikan pernyataan tegas, "kalau orang mau belajar sejarah petani Indonesia, dia mutlak harus membaca dua buku, yaitu disertasi Sartono Kartodirdjo, “The Peasant’s Revolt of Banten in 1888” dan Onghokham “The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the 19th Century”. Menurut White, kedudukan Ong sejajar dengan Sartono dalam studi tentang sejarah petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Tiga tema fokusnya, petani, priyayi, dan kolonialisme.

Gourmet

Selain pandai mengolah arsip sejarah, ternyata Ong piawai memasak makanan dan seorang gourmet (ahli mencicipi makanan). Untuk kepentingan kuliner, dengan naik bus kota Ong sering keluar-masuk ke pasar. Glodok, Petak Sembilan, Pasar Ikan Muara Karang, Pasar Senen dan Pasar Blok M, tempatnya berbelanja. Ia senantiasa membikin pesta kecil di rumahnya dengan mengundang para artis, kolega, dan muridnya. Dalam hal penampilan, dia low profile. Tetapi untuk acara yang berhubungan dengan urusan perut, Ong tidak mau kalah dengan pejabat, tampil necis memakai jas walau tak diundang. Ada ungkapan, makan untuk hidup, namun oleh Ong dibalik, hidup untuk makan. Sederetan makanan yang tak luput digarap dan dicicipinya antara lain rijstafel, martabak, lumpia-hok-hay, sio bak-Malang, mi jangkrik, dll.

Ketika seminar ingat wisky, di kala ngajar ingat barang belanjaan di pasar, bahkan sewaktu sakitpun ingat barang yang masih di dalam kulkas. Cerita lucu diungkap oleh sahabatnya, AB Lapian (sejarawan maritim). Saat Ong inap di Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2001 silam, dia membuat geli penjenguk. Meski divonis dokter gejala stroke, sempat-sempatnya mendiktekan surat wasiat yang ditulis oleh AB Lapian. Kurang lebih isinya, kalau dia betul menerima ajal, maka ikan bandeng di deep freeze untuk si A, dan botol-botol minuman keras untuk si B. Sudah menghadapi maut tapi masih memikirkan isi lemari es dan koleksi alkohol (hal 11).

Dalam buku terbitan Komunitas Bambu tersebut, Onghokham mendapat seperangkat gelar sebagai seorang sejarawan, intelektual publik, koki, penggila pesta, dan antiquarian. Ditemukan ada kekeliruan dalam buku ini. Tidak terteranya nama penulis Goenawan Mohamad di daftar isi. Penulis di kolom Catatan Pinggir Tempo ini menulis dengan judul “Ong” (hal 131-134) dan di daftar isi dicantumkan nama Hamish McDonald, padahal dalam isi asli buku menulis berjudul “Teman Ria” (hal 135-143). Tulisan Goenawan Mohamad diunduh dari Catatan Pinggir Majalah Tempo Edisi 28/XXXIIIIII/03-9 September 2007. Kekeliruan penyunting saat menyatakan ada 52 tulisan dalam buku kenang-kenangan ini, sesungguhnya ada 53 tulisan yang ditulis oleh 54 penulis. Memang dalam mewujudkan buku ini waktunya sangatlah pendek, maka bisa dipermaklum.

Dimuat di Majalah Sinergi (terbitan Jakarta)

Bulan Juli 2008

Jumat, 25 Juli 2008

Nostalgia dan Utopia Kota Solo

Oleh: Bandung Mawardi.

Joko Widodo dalam suatu wawancara di harian nasional pada awal 2008 mengatakan bahwa dia ingin membantu mengubah Solo menjadi kota yang berkarakter. Keinginan itu ingin direalisasikan dengan menjadikan Solo sebagai kota dengan identitas budaya yang memiliki karakter. Joko Widodo sebagai wali kota Solo berusaha membuktikan hal itu dengan kebijakan-kebijakan dan ancangan program. Pemerintah kota Solo telah melakukan revitalisasi pasar tradisional, revitalisasi Balekambang, penataan PKL, tamanisasi, pembangunan city walk, dan pelaksaan pelbagai festival seni budaya yang menunjukkan keseriusan untuk membangun Kota Solo dengan kebijakan-kebijakan yang populis dan kultural.
Keinginan pemerintah kota menjadikan Solo sebagai kota yang berkarakter dan memiliki identitas budaya perlu memperhatikan pelbagai fakta sebagai pertimbangan untuk penentuan kebijakan. Marco Kusumawijaya (2004) seorang pengamat masalah kota mengatakan bahwa identitas kota yang berkarakter bukan sesuatu yang bisa sekadarnya. Identitas kota harus terus-menerus dibentuk, diaktualisasi, dan diperkuat secara fungsi, artistik, dan kultural. Identitas kota bukan sesuatu yang dicari-cari, melainkan harus berdasarkan fakta atau “bahan” yang ada secara historis dan empiris.
Kota Solo sebenaranya memiliki fakta historis dan empiris. Kota Solo dalam sejarah merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa dan secara empiris Kota Solo adalah kota yang masih memiliki akar dan nilai-nilai tradisi yang kuat dalam pertumbuhan sebagai kota modern. Kota Solo mungkin untuk menjadi kota yang berkarakter dan memiliki identitas sebagai kota budaya jika kebijakan-kebijakan pemerintah kota sadar atas pertimbangan budaya. Pemerintah kota harus menyadari untuk tidak mengambil kebijakan yang hanya berpihak pada kepentingan ekonomi dan invenstasi yang sering merugikan aspek kebudayaan dan kepentingan publik.
Gagasan Joko Widodo dalam konsep membangun Kota Solo layak diapresiasi secara positif dan optimis. Gagasan itu adalah “Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”. Gagasan itu mengandung komitmen bahwa kota Solo ingin menjadi kota yang dinamis dalam perubahan zaman tanpa harus meninggalkan sejarah. Fakta sejarah menjadi dasar penting untuk menentukan kota sebagai kota yang berkarakter dan memiliki identitas budaya.
Kebijakan pemerintah kota untuk menguatkan keinginan menjadikan Solo sebagai kota budaya adalah pemunculan visi dan slogan “Solo Kotaku, Jawa Budayaku” dalam peringatan HUT Kota Solo yang ke-262 pada 17 Februari 2008. Kebijakan yang mengundang polemik adalah pengesahan dan pemberlakuan penggunaan aksara Jawa untuk papan nama kantor pemerintahan, sekolah, dan pusat perbelanjaan. Kebijakan itu sebenarnya ingin menegaskan niat pemerintah kota untuk mempertahankan dan melestarikan budaya Jawa secara populis.
Kota Solo yang terus berubah dalam pembangunan fisik sering menimbulkan kekhawatiran jika tidak diimbangi dengan pembangunan nilai atau mentalitas kebudayaan. Solo termasuk kota yang mengalami perubahan cepat sebagai kota modern dengan adanya bangunan dan fasilitas-fasilitas modern. Beberapa mall, hotel, sekolah internasional, pusat hiburan, dan lain-lain telah berdiri di Kota Solo yang ikut memberi pengaruh dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Kota Solo. Rencana pendirian beberapa apartemen di Kota Solo juga akan memberi pegaruh besar secara positif dan negatif. Pemerintah kota diharapkan menyadari efek dan cara mengimbangi pemebangunan kota secara fisik.
Pembangunan mentalitas kota Solo untuk menjadi kota budaya tentu membutuhkan partsisipasi aktif dari berbagai pihak dan tidak saja tergantung pada pemerintah kota. Partisipasi yang bisa diberikan oleh masyarakat adalah kesadaran untuk mentransformasikan visi “Solo Kotaku, Jawa Budayaku”. Kesadaran itu tentu akan memberi pengaruh besar dalam pembentukan Solo sebagai kota budaya. Visi itu hendaknya bukan sekadar slogan tapi kesadaran bersama yang dibuktikan dengan pelbagai bentuk dan cara.
Perhatian pemerintah kota dan partisipasi masyarakat Kota Solo adalah kunci dari keinginan menjadikan Solo sebagai kota budaya. Keinginan itu harus bisa dibuktikan dan tidak sekadar dibayangkan. Pembuktian itu memang berat dan butuh kerja keras dan kebersamaan anatar pemerintah dan masyarakat. Membayangkan itu mungkin menyenangkan tapi bisa terjebak dengan masa lalu dan lengah untuk menghadapi masa depan. Solo sebagai kota budaya bukanlah hanya dalam bayangan masa lalu tapi harus dibuktikan mulai sekarang untuk menentukan masa depan. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (24 Juli 2oo8)

Puisi Bandung Mawardi


Buku, Ibu, Ayah

buku tebal dan rusak

karena rayap dan hujan

kalimat-kalimat salah

terkapar dan telanjang

tanda baca lari mencari ibu

siapa membaca

ketika ayah mati

dalam kamar mandi?

Orang, Maut, Rumah

jalan kecil dan hujan deras

orang-orang berjalan membawa maut

dengan suara keras dan kasar

rumah-rumah tertutup

tak ada rumah

untuk sembunyi dan bicara pelan

Perempuan, Anjing, Kamar

kata pengantar pendek

dari perempuan hamil

untuk anjing kurus di depan pintu

piring dan gelas kotor

di meja dalam kamar pengap

laki-laki tak mau pulang

Kisah, Kata, Nama

kisah di halaman rumah

pertemuan tak biasa

percakapan pendek

perempuan dan laki-laki

dari tiga abad yang lalu

perempuan menangis

minta kata

lelaki marah minta nama

Penyair, Perempuan, Puisi

penyair mati

bunuh diri dalam kata

perempuan pergi

membawa puisi cacat

yang lahir dari marah

Dimuat di Minggu Pagi (6 Juli 2oo8)

Minggu, 20 Juli 2008

Nasib Pengajaran Sastra


Oleh Bandung Mawardi

Nasib pengajaran sastra di Indonesia hari ini masih merana. Suwardi Endraswara (2ooo) menyebutkan bahwa pengajaran sastra mulai tidak sehat sejak tahun 1975. pengajaran sastra Indonesia sudah terkena infeksi berlarut-larut karena di dalamnya terhinggapi kanker ganas. Pengajaran sastra di sekolah memang menjadi persoalan pelik yang belum menemukan obat mujarab. Pelbagai perubahan system dan kurikulum belum sanggup memberi jaminan dan janji untuk perubahan signifikan. Perhatian dari pelbagai praktisi pendidikan, akademisi sastra, kritikus sastra, atau pengarang dalam pelbagai acara seminar atau publikasi tulisan juga belum mampu memberi solusi yang progresif.

Ikhtiar besar dilakukan oleh Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional) pada tahun 1999 dengan mengadakan pertemuan ilmiah nasional yang membahas tema “Sastra Masuk Sekolah”. Program itu dimaksudkan untuk menganalisis penyakit dalam pengajaran sastra dan mencari strategui untuk proses penyembuhan. Hasil dari pertemuan itu belum bisa direalisasikan dengan utuh karena harus menghadapi hambatan klasik pada system dan sterotip pengajaran sastra di sekolah.

Pembongkaran stereotip pengajaran sastra bias dimulai dari guru sebagai sosok pengajar dengan kompetensi dan otoritas tertentu. Perkara-perkara penting untuk disadari oleh guru dalam pengajaran sastra antara lain memberi pemahaman terhadap murid bahwa sastra itu sebagai pengalaman dan sastra itu sebagai bahasa (Rahmanto, 1988: 34).

Sastra sebagai pengalaman adalah stimulus pada murid untuk bias meleburkan diri dalam proses apresiasi sastra. Pengalaman menjadi kunci agar murid memiliki pandangan bahwa sastra itu bukan sesuatu yang asing dalam laku kehidupan. Sastra sebagai bahasa adalah kompetensi murid untuk mengekpresikan diri dalam konstruksi bahasa dengan pertimbangan estetika dan linguistic. Belajar sastra menjadi proses belajar dalam prkatik bahasa. Pemahaman inilah yang membuat relasi sastra dan bahasa berada dalam “keintiman yang romantis.”

Pengajaran sastra di sekolah memiliki basis penting dalam bentuk apresiasi sastra. Apresiasi adalah proses membaca dan menilai sastra yang memberi stimulus pada murid untuk menggemari, menikmati, menilai, mengkritisi, mereaksi, dan memproduksi. Apresiasi sastra menjadi proses utuh untuk memberi kemungkinan dan keterbukaan pada murid sebagai apresiator-penikmat dan kesanggupan untuk menulis.

Sistem pengajaran sastra memerlukan pembenahan besar dengan kepentingan untuk pencapaian proses dan hasil maksimal. Sistem itu mengacu pada kurikulum dan strategi guru dalam pengajaran sastra. Suwardi Endraswara (2oo2) dalam sekian tulisan mengenai pengajaran sastra kerap mempersoalkan kebobrokan dan kelemahan pengajaran sastra dengan istilah-istilah keren dan provokatif: “terkena infeksi”, “terjangkit virus kronis”, dan “suram”. Kondisi-kondisi itu merepresentasikan kondisi pengajaran sastra di Indonesia masih bermasalah dan belum menemukan “jalan pencerahan” atau “obat mujarab”.

Strategi guru dalam pengajaran sastra memainkan peran penting untuk merealisasikan idealitas pengajaran sastra. Raymond Rodriges mengajukan suatu strategi terapan yang mungkin bias diadopsi dalam pengajaran sastra dengan cara diskusi kelas, diskusi kelompok, bermain peran, dramatisasi adegan, presentasi ke media, menelaah nilai sastra, menulis kreatif, dan tinjauan kesusastraan. Strategi pengajaran sastra itu memang berat untuk bias direalisasikan oleh guru tapi mungkin dilakukan dengan niat bahwa ada proses pembaruan dalam pengajaran sastra dengan perhitungan risiko: gagal atau berhasil.

Strategi pengajaran sastra pada hari ini harus memperhitungkan nilai relevansi dan iklim sastra yang memungkinkan murid bias belajar dalam antusiasme dan desain konstruktif. Teks-teks sastra yang kerap menjadi referensi primer dalam pengajaran sastra selama ini tentu menimbulkan kemalasan dan kejenuhan. Pembacaan dan penilaian terhadap teks-teks sastra Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66 mungkin terkesan kuno dan kurang menimbulkan gairah.pengajaran mengenai hal itu mesti dilakukan sebagai basis pengetahuan apresiasi dan sejarah sastra dalam porsi tertentu. Guru mesti peka dalam pemilihan teks-teks sastra untuk pengajaran sastra sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan mutkahir dan pertimbangan aktual – faktual. Teks-teks sastra mutakhir yang mungkin bisa memberi kontribusi untuk realisasi strategi pengajaran sastra antara lain Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman el Shirazy), Laskar Pelangi (Andrea Hirata), Celana Senja (Joko Pinurbo), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (Seno Gumira Ajidarma), dan lain-lain.

M. Atar Semi (2oo2) menjelaskan bahwa pendidikan yang menjawab masa depan adalah pendidikan yang memberikan kebebasan pikiran, perasaan, dan imajinasi untuk talenta dan realisasi tanggung jawab dalam laku kehidupan. Pengajaran sastra mesti menempati posisi penting untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas dalam ekspresi kultural.

Pengajaran sastra di Indonesia sejak lama berada dalam posisi dilematis. Pengajaran sastra selama ini kuran menjadi prioritas dalam pendidikan di Indonesia karena narasi besar yang menjadi stereotip. Narasi besar itu adalah murid belajar di sekolah dengan pencapaian sesuatu dengan konsentrasi pada ilmu-ilmu mainstream dalam desain untuk pekerjaan, harga diri, dan status sosial. Sastra susah dan kalah untuk masuk dalam narasi besar itu karena sastra adalah narasi pinggiran dengan orientasi edukatif, kreatif, estetika, filosofis, dan kultural. Begitu.

Dimuat di Solopos (2o Juli 2oo8)