Rabu, 20 Agustus 2008

Puisi Erotik

Oleh: Bandung Mawardi


Perkara erotik dalam sastra Indonesia modern memiliki referensi dari tradisi dan pengaruh wacana-wacana modernitas dengan representasi dan realisasi pluralistik. Pemahaman erotik dengan referensi berbeda tentu menentukan nilai suatu kontruksi dan interpretasi teks dalam pengertian eksklusif atau inklusif.
Erotik dalam tradisi memiliki mekanisme etik dan simbolisme untuk stabilitas suatu tatanan sosial. Erotik berada dalam tegangan tabu dan ekspresi dengan kriteria-kriteria samar. Erotik menjadi pengetahuan dan realisasi ketika ada pemenuhan terhadap kriteria tertentu dan model tafsir tertentu. Erotik cenderung jadi tabu ketika ada pemahaman protektif atas risiko dari pengetahuan dan realisasi atau ekspresi erotik. Perkara erotik dalam stereotipe tradisi kerap dihadapkan dengan etik.
Pengetahuan erotik itu mulai mengalami instabilitas dengan wacana-wacana modernitas. Pengaruh kentara atas pengetahuan dan praktik erotik itu cenderung berada dalam struktur pikiran dengan mekanisme negasi, afirmasi, atau kompromi. Modernitas memberi kemungkinan-kemungkinan lain untuk pengetahuan dan praktik erotik dalam norma dan konteks berbeda. Erotik dalam pemahaman modernitas menjadi sesuatu dengan dalil dan risiko tertentu ketika dihadapkan pada pengetahuan dan praktik erotik dalam konteks tradisi.
Perkara erotik dalam sastra Indonesia modern hadir dalam konteks perdebatan sastra dan pornografi. Novel-novel populer kerap menjadi kasus besar untuk menilai referensi dan risiko pornografi. Perdebatan itu menguat sejak tahun 1950-an karena fakta pertumbuhan sastra populer melimpah. Perkara pornografi mendominasi dalam perdebatan karena ada sesuatu yang negatif dan patut mendapatkan kritik dan perlawanan. Pemahaman itu melahirkan kesalahan mekanisme untuk membaca dan menilai teks sastra dalam pengertian erotik, pornografi, tabu, seksualitas,nafsu, maksiat, cabul, atau birahi. Erotik bukan sekadar seksualitas atau pornografi. Erotik adalah akumulasi dari representasi dan realisasi kodrat manusia dalam interaksi dan simbolisasi atas sensasi laku-laku hidup.
Goenawan Mohamad (1969) dalam perdebatan pelik mengenai seks dan sastra membuat suatu konklusi reflektif: “Seks adalah suatu risiko dalam kesusastraan Indonesia modern.” Penyebutan risiko itu mengandung pengertian bahwa ada kesusahan menghindari perkara seks dalam sistem antagonistik yang mengacu pada nilai-nilai etik (sosial-agama) dan estetik. Seks dalam sastra Indonesia terus berada dalam alur tradisi dan modernitas dengan kemungkinan pertemuan atau pemisahan sesuai dengan konteks transformasi nilai-nilai sosial dan kultural. Goenawan Mohamad mengajukan contoh tentang seksualitas dalam pengertian erotik pada puisi “La Ronde” Sitor Situmorang: Adakah yang lebih indah / dari bibir padat merekah? / Adakah yang lebih manis dari gelap di bayang alis?
Erotik itu mengandung aura dalam konstruksi imajinasi. Erotik memberi kemungkinan-kemungkinan kenikmatan terdalam dan intensitas tafsir dan reaksi reflektif. Erotik itu berbeda dengan pornografi. Roland Barthes (1981) menjelaskan bahwa pornografi adalah eksploitasi tanpa kepercayaan atau tanpa dimensi absolut. Pornografi adalah naif, tanpa maksud, dan tanpa kalkulasi. Pornografi adalah eksploitasi aurat tanpa aura.
Membaca erotik dalam sastra Indonesia modern bisa menempuh alur puisi Indonesia modern. Kehadiran puisi-puisi erotik memiliki sejarah dan biografi sendiri sesuai dengan latar sosial, kultural, agama, pendidikan, dan ideologi. Chairil Anwar dalam kapasitas sebagai manusia kosmopolitan (pengagum dan pelaku nilai-nilai modernitas) menulis puisi erotik dengan kompetensi bahasa dan pengisahan yang mumpuni. Inilah fragmen puisi erotik Chairil Anwar “Mirat Muda, Chairil Muda” (1949): Mirat raba urut Chairil, raba dada / Dan tahulah dia kini, bisa katakan dan tunjukkan dengan pasti di mana / menghidup jiwa, menghembus nyawa / Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia / rapatkan. Puisi erotik Chairil Anwar adalah puisi dengan kekuatan imajinasi-reflektif.
Puisi “Mirat Muda, Chairil Muda” menjadi reprsentasi dari puisi erotik yang mengacu pada pengetahuan dan laku modernitas. Puisi itu mengandung intensitas interaksi antara lelaki dan perempuan. Intensitas itu menjadi sesuai dengan kriteria sastra erotik dari Steinberg (1954) bahwa ada pengisahan hubungan intim raga (lahiriah) yang diungkapkan secara terselubung. Chairil Anwar menuliskan puisi erotik itu dengan operasionalisasi bahasa yang sensitif dan sugestif tanpa jatuh dalam vulgarisme.
Erotik dengan referensi dan biografi tradisi diungkapkan Subagio Sastrowardoyo dalam puisi “Asmaradana”. Puisi itu menjadi tafsir subversif atas epos Ramayana dengan intensitas laku erotik dalam pergulatan batin Sita. Inilah fragmen puisi “Asmaradana” dalam tafsir erotik atas stereotip tradisi atau cerita wayang: Raksasa yang melarikannya ke hutan / begitu lebat bulu jantannya / dan Sita menyerahkan diri. Tafsir subversif dengan pengisahan fragmen erotik antara Sita dan Rahwana semakin menguat dalam pengakuan Sita atas pengorbanan diri dengan kematian. Inilah babak tragis kisah erotik Sita dan Rahwana: Pada geliat sekarat terlompat doa / jangan juga hangus dalam api / sisa mimpi dari sanggama. Subagio Sastrowardoyo dengan latar sosial dan kultural Jawa melakukan pengisahan erotik secara terbuka tanpa harus tunduk dengan tabu atau interpretasi “resmi” yang mengacu pada tradisi. Perkara puisi erotik identik denggan refleksi dan fiksionalitas yang hadir dengan perlambang atau simbolisme.
Eksplorasi dan intensitas pengisahan erotik dengan konteks tegangan nilai-nilai tradisi dan modernitas hadir dalam prosa lirik Linus Suryadi AG Pengakuan Pariyem (1981). Tokoh Pariyem menjadi lakon dalam kisah keluarga priyayi dengan menganut historisitas dan normativitas pandangan hidup Jawa. Pariyem hadir dalam kisah erotik dengan kepasrahan karena dalil hormat dan cinta. Inilah fragmen erotik dengan acuan mantra Jawa: Ooh rasaku, ooh rasamu / dudu mungsuh dudu satru / jagad wadonmu / jagad lanangku / ngrasuk rasa ngrasuk kalbu. Mantra itu menjadi dalil untuk kesempurnaan laku erotik (seksualitas). Kesempurnaan atas puncak kenikmatan laku seksualitas itu diungkapkan dengan sugestif: Kami pun terbanting bersebelahan / kami pun tergeletak bersandingan / bagaikan nembe makan kangkung / badan kami loyo tanpa kekuatan / Tanpa bicara dan tanpa suara / tumpah rasa: ludeslah kata.
Linus fasih mengisahkan laku erotik itu dengan pengaruh biografi sosial, estetika, filosofi, dan kultural Jawa yang kental. Fragmen erotis dalam Pengakuan Pariyem itu merepresentasikan kompetensi pengetahuan Linus mengenai dunai seks Jawa dan simbol-simbol yang mengungkapkan pandangan hidup dan pandangan dunia Jawa. Laku erotik dalam Pengakuan Pariyem mengandung ambiguitas dalam stereotip priyayi-wong cilik dan gairah tak biasa antara lelaki dan perempuan dengan menafikkan status sosial. Gairah dalam laku erotik menjadi fakta untuk meninggalkan dan menanggalkan status sosial. Laku erotik adalah urusan lelaki dan perempuan karena ingin (hasrat) dan kenikmatan.
Penguatan laku erotik sebagai pegalaman manusia hadir dalam puisi “Saat-Saat Gelap” dari Toeti Heraty. Inilah fragmen lembut suatu laku erotik: saat-saat gelap pertemuan / - yang keramat - / membenam dalam pangkuan / senyap sunyi, titian yang harus dilewati / curam sunyi, semesta yang menjadi saksi / hari cipta terulangi. Laku erotik adalah representasi dan realisasi dari manusia dengan anutan nilai-nilai seksualitas, religiositas, filosofis, intelektualitas, etika, dan estetika.
Puisi-puisi erotik adalah representasi dan realisasi kompentensi bahasa (tulisan) dalam bentuk teks (sastra) yang membuka jalan pada jouissance (puncak kenikmatan bahasa). Bahasa atau tulisan (teks puisi) dalam konstruksi pencapaian kenikmatan oleh Barthes disebut sebagai ars erotica: teknik membuat teks imajinasi untuk menjadi erotik atau erotisasi teks.
Struktur puisi Indonesia modern memang menjadi pilihan “risiko” untuk mengisahkan dan mengonstruksi erotik yang menempuh jalan lain dari struktur sastra lama. Laku erotik dalam Babad Tanah Jawi dan Centhini memiliki kekuatan unik dalam pengungkapan bahasa dan kisah. Kekuatan itu ada dengan referensi dan situasi zaman yang cenderung mementingkan kekuatan semantik dari simbolisasi untuk sistem interpretasi tertentu. Kekuatan itu menjadi taruhan berbeda dalam puisi-puisi Indonesia modern karena kondisi zaman, kompleksitas wacana, dan pamrih estetika. Puisi erotik adalah risiko teks untuk mengisahkan laku manusia dalam jouissance dan aura. Begitu.

Dimuat di Gong Edisi 102 Tahun 2008

Jumat, 15 Agustus 2008

Perempuan, Filsafat, Falosentrisme

Oleh: Bandung Mawardi


Perempuan menjadi pokok dan tokoh yang kerap terlupakan atau terpinggirkan dalam ranah filsafat. Nasib itu ada karena sekian dalil dan pamrih dalam narasi besar dengan klaim bahwa otoritas filsafat itu laki-laki. Sejarah panjang filsafat menjadi sejarah kecil atau fragmen pinggiran untuk perempuan. Sejarah atau fragmen itu perlahan mengalami perubahan dalam keramaian pemikiran filsafat dan sosok filosof pada abad XX.

Jostein Gaarder menjadi sosok representatif mengenai kesadaran terhadap perempuan dalam filsafat. Pengarang novel mumpuni Shopie’s World (1991) itu memberi kontribusi penting dalam kesadaran historis dan empiris bahwa filsafat itu perempuan. Dominasi laki-laki dalam ranah filsafat adalah narasi besar yang membutuhkan interupsi dan kritik. Jostein Gaarder dengan novel filsafat Shopie’s World hendak mengembalikan filsafat pada babak awal atau prolog.

Kesadaran historis yang ingin diungkapkan Jostein Gaarder mengarah pada pemahaman kritis narasi besar filsafat Barat. Jostein Gaarder dengan novel itu mengembalikan kesadaran bahwa filsafat itu perempuan. Filsafat dalam bahasa Yunani adalah philosophia yakni cinta akan kebijaksanaan. Lorens Bagus (2000) dalam Kamus Filsafat mencantumkan penjelasan bahwa philos itu cinta, philia itu persahabatan atau tertarik pada, dan shopos itu kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, atau inteligensia. Shopos menjadi kunci penting untuk kesadaran historis dalam novel Jostein Gaarder dengan memilih tokoh perempuan sebagai pusat cerita: Shopie Amundsend. Tokoh itu menjadi representasi bahwa filsafat itu mengandung pengertian “perempuan”.

Jostein Gaarder (2004) mengingatkan bahwa shopos itu adalah pengetahuan atau kebijaksanaan dengan sifat “perempuan”. Pemahaman historis itu menjadi dalil untuk menciptakan tokoh Shopie dalam novel yang mengisahkan sejarah panjang filsafat barat. Jostein Gaarder menginginkan dengan novel itu pembaca mau mengembalikan kembali atau mengingat bahwa filsafat itu perempuan. Fakta sejarah filsafat dalam dominasi laki-laki membutuhkan refleksi ulang dan pembacaan kritis. Jostein Gaarder sebagai pengarang laki-laki dengan sadar memilih tokoh perempuan dalam novel Shopie’s Worl untuk dalil penting dalam sejarah filsafat Barat.

Filsafat itu perempuan mungkin sekadar kisah kecil dengan pembuktian bahwa sekian buku mengenai sejarah filsafat memang tidak memiliki catatan besar mengenai kehadiran filosof-filosof perempuan. Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku A Short History of Philosophy (1996) dengan kalem dan kritis mengajukan pertanyaan mengenai kehadiran perempuan dalam tiga ribu tahun sejarah filsafat: Mengapa mereka (perempuan) tidak termasuk dalam sejarah filsafat? Apakah filsafat cenderung lazim dengan jenis laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan itu susah menemukan jawaban.

Fakta sejarah filsafat itu mungkin menganut pada pemahaman kalsik atau mitos bahwa laki-laki itu makhluk rasional dan perempuan itu makhluk emosional. Mitos itu menjadi kutukan ampuh yang membuat perempuan kurang menemukan ruang penting dalam filsafat. Fakta sejarah peran perempuan dalam filsafat mulai menjadi pertanyaan kritis untuk lekas menemukan jawaban. M. Atherton dalam Women Philosophers of the Early Modern Period (1994) mengungkapkan bahwa dalam sejarah awal filsafat ada tokoh perempuan dengan nama Hypatia yang memberi kontribusi penting dalam pemikiran filsafat Neoplatonis. Nama itu kerap terlupakan dalam sejarah filsafat Barat.

Sejarah filsafat Barat mengalami perubahan siginifikan dengan kehadiran buku The Second Sex (1949). Buku itu menjadi juru bicara dan refleksi kritis dari sosok perempuan Simone de Beauvoir. Buku itu mendedahkan pemahaman kritis mengenai perempuan dari perempuan dengan membongkar streotipe-stereotip sejarah dan pemikiran filsafat Barat. Simone de Beauvoir dengan telak mengabarkan bahwa perempuan tak bisa disingkirkan atau diabaikan dalam filsafat.

Sosok Simone de Beauvoir menjadi representasi penting kehadiran perempuan dalam pemikiran filsafat eksistensialisme dan feminisme. Kehadiran perempuan dalam filsafat Barat modern semakin menemukan kekuatan dalam pemikiran-pemikiran dari Julia Kristeva, Luce Irigaray, Hannah Arendt, dan lain-lain. Filosof-filosof perempuan itu hadir dengan pemikiran-pemikiran penting dan menentukan iklim filsafat pada abad XX.

Luce Irigaray dengan berani melakukan dekonstruksi filsafat Barat melalui pemikiran-pemikiran kritis dalam konstruksi feminisme. Iragaray menilai bahwa filsafat Barat melanggengkan tatanan maskulin. Filsafat Barat itu mengandung sifat falosentrime. Chris Barker dalam Cultural Studies: Theory and Practice (2000) mengartikan falosentrime sebagai wacana yang terpusat pada laki-laki dengan perspektif maskulinitas. Falus menjadi penanda simbolis universal dan transendental yang menandakan sumber, asal usul diri, dan agensi yang menyatu. Irigaray hendak melawan itu dengan kredo pemikiran dan perlawanan kritis. Kredo itu direalisasikan dalam bentuk woman’s writing (tulisan perempuan) dan womanspeak (ucapan perempuan). Kredo itu menjadi kepentingan perempuan untuk menentukan diri dalam ranah filsafat. Perempuan hadir dengan “tulisan” dan “ucapan”.

Luce Irigaray sebagai pokok dan tokoh menjadi juru bicara penting feminisme abad XX. Chris Barker menjelaskan bahwa kontribusi penting Irigaray antara lain (1) berani mengungkapkan kekhasan feminin; (2) berpisah dari logika identitas dan maskulinitas; (3) merayakan jouissance (kenikmatan seksual perempuan) yang tak terdefinisikan; (4) secara taktis dan berhasil memarodikan dan mengekspos pemikiran falosentrisme.

Filsafat itu perempuan. Pemahaman terhadap fakta historis dan empiris menjadi dalil untuk membaca filsafat hari ini. Perempuan membuktikan diri memiliki peran dan lakon dalam kisah filsafat. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (13 Agustus 2008)

Selasa, 05 Agustus 2008

Belajar Kearifan Sejarah Kota Solo

Oleh: Heri Priyatmoko


Judul Buku : 10 Tahun Kerusuhan Mei: Solo Bangkit

Penulis : Sholahuddin dkk

Penerbit : Harian Umum SOLOPOS

Edisi : Pertama, Mei 2008
Tebal
: viii + 104 halaman

Kepulan asap hitam menyelimuti ruang kota. Si jago merah melalap puluhan bangunan kokoh pusat perbelanjaan. Pemilik toko panik histeris. Mereka tak bisa menyelamatkan harta benda, justru yang “menyelamatkan” adalah penjarah. Bunyi sirine kendaraan militer meraung-raung menghalau perusuh. Suasana benar-benar mencekam. Sementara warga kampung berwajah tegang berjaga-jaga di mulut gang. Itulah panorama sekilas apa yang terjadi di Solo 10 tahun silam. Tepatnya, 14 Mei 1998.

Selanjutnya, insiden “Mei Kelabu” menggugah para akademisi keluar dari kandangnya. Hasil sorotan historis oleh sejarawan sohor Solo, Soedarmono bersama rekannya antara lain, “Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit” (1999), “Perilaku Radikal Di Kota Solo” (2004), dan “Sejarah dan Morfologi Kota Konflik Solo” (2004). Adalah sebuah kesimpulan mengemparkan masyarakat, kota ini lahir sebagai kota konflik! Benarkah?

Fakta sejarah dipampang dan diurai. Tarikan sejarah yang cukup berani, Soedarmono memaparkan fenomena konflik dari sejak jaman “geger pecinan” atau robohnya Keraton Kartasura hingga peristiwa “Mei Kelabu”. Tercatat puluhan kali konflik melanda Kota Bengawan. Proses sejarah kerusuhan yang senantiasa berulang, histoire se repete, kata sejarawan Prancis. Itu kiranya dasar argumentasi Soedarmono di setiap diskusi membedah fenomena “lokal genius” Solo. Warga membakar kotanya dan bersiklus limabelas tahunan, tandasnya. Tesis ini banyak membuat kaum intelek lain sewot, tanda tak setuju. Ada gerangan apakah dosen sejarah UNS ini (maaf) membubuhkan semacam cap bagi kota kelahirannya sendiri? Tampaknya publik mesti jembar dalam menikmati buah kupasan pisau sejarah beliau. Ada pesan teramat dalam bahwa kita sebagai masyarakat Solo harus menghargai dan belajar dari kearifan sejarah. Hanya itu saja mungkin Soedarmono mengingatkan publik Solo.

Datang di sini, tim Solopos yang dimotori Sholahuddin dengan bukunya yang menantang, “10 Tahun Kerusuhan Mei: Solo Bangkit”. Berarti ini buku yang kedua, karena Solopos telah melahirkan buku pendahulunya, “Rekaman Lensa Peristiwa Mei 1998 Di Solo”. Buku terbagi 8 bab. Sebagai prolog, MT Arifin menuliskan “Mencermati perjalanan perubahan nasional: Agenda reformasi yang gamang”. Tersaji dalam bab seputar sebab musabab kemunculan reformasi yang akhirnya menjadi peluru guna menjatuhkan Presiden Soeharto dari takhta selama 32 tahun. Kegelisahan MT Arifin terasa manakala ia mengatakan visi reformasi tereduksi. Pasca tergulingnya Soeharto justru timbul berbagai paradoks yang tidak sejalan apa yang diteriakkan mahasiswa, salah satunya KKN di legislatif.

Wajah keprihatinan anak kampus yang bermuara pada kemarahan atas sebuah orde otoriter tergambar dalam Bab II, “Geliat aksi mahasiswa”. Mahasiswa Solo tak mau ketinggalan memacu gerak reformasi di Bumi Pertiwi. Dies Natalis UNS ke-12 tidak dimeriahkan oleh seminar dan aneka lomba saja, tapi diwarnai bentrokan mahasiswa melawan aparat keamanan. Selain UNS, ratusan sampai ribuan mahasiswa bergabung dari Unisri, UTP, USB, STIES, STSI, STAIN dan universitas lainnya yang ada di Solo, turun jalan menggelar aksi demo. Betrokan terulang dan menelan banyak korban cidera hingga mendapatkan perawatan di RSUD Dr. Moewardi.

Tak mengelak dan wajib termangut setuju, kerusuhan Mei melumpuhkan total titik perekonomian kota. Sirkulasi duit macet, akibat nihilnya transaksi jual-beli. Pekerja dirumahkan karena pabrik dan pertokoan belum beroperasi. Yang paling dirugikan ialah Matahari Departement Store (MDS). Tiga gerai MDS, masing-masing Perbelanjaan Beteng, Plasa Singasaren dan SE Purwosari, ludes dijarah dan dibakar massa. Lalu, bagaimana dengan kondisi ekonomi Solo bubar bakar-bakaran? Oleh Solopos, bab V dibahas bagaimana Solo bangkit dari keterpurukan. Jarak yang direntang Solopos yaitu perjalanan kurun waktu 10 tahun pasca kerusuhan. Denyut nadi kota kembali terasa. Contoh konkrit, apartemen mulai dibangun dan mal menjamur. Akuntan Publik Rachmad Wahyudi dan data laporan Bank Indonesia membenarkan. Salah satu indikatornya adalah laju pertumbuhan ekonomi yang positif sejak tahun 2000 hingga 2005. Dari hasil perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pun mengalami kenaikan. Investor ramai masuk Solo.

Diperbincangkan pula kondisi Solo kotemporer dan mendatang dalam bab VI. Bertaburan bangunan anyar di atas bangunan yang dulu terbakar. Namun, bangunan korban amuk massa ada yang mangkrak belum dibangun. Seperti, SE Purwosari yang dalam perencanaannya bakal digunakan untuk Solo Center Point (SCP) berupa apartemen 23 lantai plus pusat perbelanjaan.

Kini, walau peristiwa amuk massa 14-15 Mei 1998 berlalu sudah, tetapi trauma atas kejadian pahit itu masih dirasakan oleh masyarakat, terutama etnis China. “Sehabis Reformasi, saya trauma melihat bakar-bakaran. Saya lihat rumah di depan saya apinya bulat-bulat. Barang-barang yang ada dirumah saya juga dijarah. Tak berapa lama, saya pasang hidran di depan rumah sebagai antisipasi kalau ada bakar-bakaran lagi”, ujar Sumartono, warga keturunan etnis Tionghoa (hal 93). Memang bisa dipermaklum, manusia sangat berat berjuang untuk melupakan suatu insiden yang menyangkut keselamatan nyawanya.

Sebagai epilog judul bab yang diangkat sangat tepat, “Koreksi diri”. Bahan bab ini, litbang Solopos melakukan jajak pendapat dengan materi meliputi kondisi ekonomi dan politik Kota Solo serta harapan apakah reformasi masih menjanjikan harapan atau tidak. Di mata sebagian besar responden, tak banyak berharap reformasi menjanjikan.

Buku tersebut dokumentasi berharga atas tapak sejarah Solo menyambut kedatangan “tamu” reformasi yang tragik. Foto-foto di dalam buku selain menjembatani pembaca berwisata sejarah “solo membara”, namun juga sengaja dipasang Solopos sebagai wahana perenungan. Sekali lagi, cap negatif Solo kota konflik dan bersumbu pendek akan runtuh seandainya kita bersama mampu intropeksi. Buku ini benar-benar mengajak mengarifi sejarah. Manusia tanpa sejarah ibarat tentara tanpa senjata, dokter tanpa obat, petani tanpa benih, atau tukang tanpa alat. Sebuah buku yang berguna merapatkan manusia bersama sejarahnya sendiri, meski sejarah itu sirna ditelan waktu 10 tahun yang lampau.


Konservasi Kantor BI Solo

Oleh Heri Priyatmoko

GEDUNG
Kantor Bank Indonesia (KBI) Solo mengalami penurunan kualitas. Bangunan yang terletak di selatan Balai Kota itu mengelupas pada bagian dindingnya akibat penyerapan air. Pemimpin KBI Solo, Dewi Setyowati, mengungkapkan rencananya untuk melakukan konservasi. Pemkot melalui Dinas Tata Kota menyambut baik rencana konservasi gedung KBI yang merupakan salah satu bangunan kebanggaan warga Solo.

Dua dekade silam, Solo sungguh kota yang malang. Ia adalah kota yang sebagian besar penduduknya tidak peduli dengan aset-aset sejarah dann segala keunikannya. Kalah oleh arus pembangunan yang cenderung melegalkan aksi vandalisme bangunan bersejarah.

Tidak sedikit artefak yang mestinya dilindungi, justru babak belur dan terpuruk akibat ulah tangan-tangan jahil. Bangunan yang sama-sama produk kolonial, yakni Benteng Vastenburg, berubah menjadi hamparan lapang dan tempat mengembala ternak. Hal ini terjadi sejak zaman Orde Baru. Barak-barak tentara di dalamnya pun musnah: rata dengan tanah! Benteng ini dibangun Baron van Imhoff pada tahun 1745.

Bekas permukiman Eropa di Loji Wetan mengalami kerusakan sekitar 70 persen. Gedung dansa sinyo dan noni Belanda, Societiet Harmony (di belakang benteng), disulap menjadi bank dan ruko. Sedangkan bekas kantor residen (kini Pendapa Balai Kota) tidak luput menjadi korban Agresi Militer I (1948). Sayangnya, bangunan tidak direnovasi kembali dalam wujud semula.
Perbedaan mencolok dapat diketahui dengan melihat foto Solo Tempo Doeloe di Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran.

De Javasche Bank

De Javasche Bank (DJB) atau cikal bakal BI merupakan saksi sejarah sosial ekonomi Kota Solo. Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda ini dicetuskan, mengingat kondisi keuangan di tanah jajahan dianggap memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank.

Pertama kali DJB dibangun di Batavia. Selanjutnya, DJB mulai membuka kantor cabang di luar Batavia, yaitu Semarang dan Surabaya. Presiden DJB, CFW Wiggers van Kerchem, lalu menyatakan pendirian Kantor Cabang Solo adalah suatu kebutuhan. Kondisi sosial ekonomi kota amat dinamis, berkat perdagangan lintas etnis.

Sejurus kemudian, dia mengirim telegram ke kantor pusat agar ide pendirian ini dimasukkan dalam agenda rapat direksi. Melalui prosedur rapat umum pemegang saham luar biasa, dengan Surat Keputusan No 15 tanggal 23 Oktober 1867, maka disetujuilah pendirian Kantor Cabang Solo dan diresmikan pada 25 Nopember 1867.

Ditinjau aspek sosio-kulturalnya, sejarawan lokal menelaah gedung DJB ini sebagai bentuk dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang secara tidak langsung berhasil menembus sistem tradisional raja Paku Buwono. Konsep urban dalam kerangka Eropa menabrak konsep Kuthorojo.

Bangunan yang bernuansa dikotomis antara lain Benteng Vastenburg versus Keraton Kasunanan, Masjid Agung dengan Gereja Gereformeerde, dan gedung DJB melawan Bandha Lumakso. Dalam dimensi kekuasaan politis, artefak kota ini bagian dari jejak konflik kepentingan ketika menginjak pertumbuhan kota yang heterogen.

Respon Positif

Vandalisme bangunan kuno yang terjadi di Kota Bengawan pada masa lampau ini mencerminkan betapa mandul kegiatan konservasi. Lemahnya penerapan aspek legal dan kurangnya pemahaman mengakibatkan banyak peninggalan sejarah menjadi bulan-bulanan investor. Maka, upaya konservasi KBI Solo oleh pemangku kepentingan perlu direspon positif, mengingat tingginya nilai historis yang terkandung dan seni bangunannya.

Bagaimanapun, sentimental budaya kolonial (bangunan atau seni) harus dihilangkan. Sebab, produk dari masa lalu bukan saja memori sejarah, melainkan untuk dijadikan pertimbangan bagi keunikan kota. Hakikat dan salah satu tujuan penting konservasi bangunan lama selain usaha melestarikan adalah untuk proses belajar menghargai dan pengembangan komunitas.

Di Solo, ada komunitas yang fokus mengkaji warisan sejarah. Misalnya Solo Heritage Community, Solo Heritage Society, Kabut Institut, dan Komunitas Pusaka Solo. Sebab itu, mereka mempunyai tanggung jawab kolektif mengawal kegiatan konservasi, sekaligus menginformasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat betapa penting pelestarian heritage.

Dengan upaya ini, diharapkan memancing antusiasme masyarakat untuk peduli mengenal sejarah kotanya, dan ikut pula bertanggung jawab. Melalui penafsiran sejarah dan apresiasi kritis terhadap warisan budaya ini, semoga masyarakat kian tebal menghargai eksistensi heritage. Dengan napak tilas atau membuat historiografi bangunan bersejarah, maka proses apresiasi sedang berlangsung. Semoga saja demikian! (32)