Kamis, 25 September 2008

Merayakan Semiotik dan Menafsirkan Budaya

Oleh: Bandung Mawardi

Judul : Semiotika Budaya dan Dinamika Sosial Budaya
Penulis : Benny Hoedoro Hoed
Penerbit : Komunitas Bambu dan FIB UI
Terbit : 2008
Tebal : xv+172 halaman

Benny Hoedoro Hoed adalah sosok penting dalam dunia intelektual Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan penerbitan buku Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya (2001) yang menghimpun 25 tulisan dari sekian penulis dengan pelbagai disiplin ilmu sebagai persembahan pada Benny Hoedoro Hoed ketika pensiun dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Abdullah Dahana dalam kata pengantar buku itu mengingatkan suatu pameo: old scholar never dies. Pameo itu dimaksudkan agar Benny Hoedoro Hoed yang memasuki masa pensiun tidak mengartikannya sebagai akhir untuk pengabdian dalam dunia intelektual di Indonesia.
Pameo itu dibuktikan oleh Benny Hoedoro Hoed dengan penerbitan buku Semiotika Budaya dan Dinamika Sosial Budaya. Buku ini membuktikan intensitas Benny Hoedoro Hoed untuk membaca dan menulis mengenai semiotik dalam perspektif teoritis dan terapan. Semiotik bagi Benny Hoedoro Hoed menjadi suatu pendekatan dalam menganalisis pelbagai persoalan dan fakta-fakta perubahan sosial dan kebudayaan. Kehadiran buku ini membuktikan bahwa semiotik sampai hari belum kehilangan aura karena sekian orang masih mengakui relevansinya dalam pelbagai studi sosial, sastra, politik, dan lain-lain. Sekian intelektual Indonesia masih intens untuk melakukan kajian mengenai semiotik: Faruk HT, Kris Budiman, Tommy Christomy, Yasraf Amir Piliang, Manneke Budiman, Benny Hoedoro Hoed, dan lain-lain.
Benny Hoedoro Hoed dalam Bagian I (Kajian Budaya dalam Teori) memberi pembukaan dengan pendefinisan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semua yang hadir dalam kehidupan ini bisa dilihat sebagai tanda dan menjadi sesuatu yang harus diberi makna. Definisi itu mulai dicarikan acuan pada pemikiran Ferdinand de Saussure (1916) yang melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk dan makna. Penjelasan lanjutan atas pemikiran itu dilakukan oleh Roland Barthes yang melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur dan terstruktur dalam kognisi manusia.
Sosok lain yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Pierce (1931-1958) yang melihat tanda sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu. Penjelasan lanjutan dari pemikiran Charles Sanders Pierce itu dilakukan oleh Danesi dan Perron yang menyebutkan bahwa manusia sebagai homo culturalis. Definisi dari sebutan itu adalah manusia sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya (meaning-seeking creature).
Definisi-definisi itu menjadi basis dalam pembahasan semiotik oleh Benny Hoedoro Hoed tanpa harus lekas membuat vonis bahwa semiotik itu ilmu atau bukan ilmu. Penundaan dan penghindaran vonis itu dilakukan dengan membahas perbandingan pemikiran semiotik dari Roland Barthes dan Jacques Derrida. Dua tokoh ini merupakan keturunan strukturalisme Ferdinand de Saussure dengan pemaknaan yang dinamis. Pemaknaan yang dikembangkan Barthes dan Derrida memiliki arah dan konsentrasi berbeda. Barthes cenderung mengembangkan semiotik sebagai teori dan proses konotasi yang dimiliki masyarakat budaya tertentu. Derrida justru mengembangkan semiotik dalam ranah teks bahwa tanda yang terabadikan dalam tulisan terbebas dari kungkungan manusia.
Pembahasan komparatif dilakukan Benny Hoedoro Hoed dalam perspektif semiotik pragmatis Charles Sanders Pierce yang menemukan lanjutan pada pemikiran Danesi dan Peron. Pemikiran semiotik yang mensitesiskan semiotik struktural dan semiotik pragmatis dilakukan oleh Umberto Eco. Pemikiran semiotik Eco itu dikenal sebagai semiotik komunikasi (melihat tanda sebagai alat untuk berkomunikasi yang melibatkan pengirim dan penerima tanda) dan semiotik signifikan (memfokuskan perhatian pada produksi tandanya sendiri).
Bab 2 dalam buku ini memberi penjelasan mengenai dasar teori dan perkembangan strukturalisme, pragmatik, dan semiotik. Pembahasan dalam bab ini menguraikan kembali pemikiran-pemikiran Ferdinand de Saussure dan penjelasan tambahan mengenai pengembangan yang dilakukan oleh Jean Piaget, Roland Barthes, Jacques Derrida, Michel Foucault, Roman Jakobson, Umberto Eco, dan lain-lain. Penjelasan dari pemikiran-pemikiran sekian tokoh itu menjadi acuan penting untuk terapan semiotik dalam studi dan tafsir kebudayaan yang didedahkan Benny Hoedoro Hoed.
Pembahasan pada Bab 3 dan Bab 4 terkesan teoretis dan rumit karena Benny Hoedoro Hoed menunjukkan perspektif ketat. Bab 3 merupakan analisis perbandingan antara pemkiran Derrida dengan strukturalisme Ferdinand de Saussure dalam perspektif linguistik. Bab ini menunjukkan kompetensi dan otoritas Benny Hoedoro Hoed yang telah mengalami pergulatan panjang dan intensif dalam studi semiotik. Bab 4 mulai ditunjukkan pembahasan teoritis dan contoh terapan mengenai bahasa dan sastra dalam perspektif semiotik dan hermeneutik.
Bagian II dalam buku ini (Kajian Budaya dalam Dinamika Masyarakat) merupakan kompilasi tulisan dengan hubungan renggang. Bagian II ini seakan terpisah dengan Bagian I dalam pembahasan teori dan terapan semiotik. Pengecualian terasa pada tulisan “Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini “ dan “Tubuh dan Busana Ditinjau dari Kacamata Semiotik” yang kentara melakukan penerapan analisis semiotik. Bab-bab lain “Dekonstruksi, Globalisasi, dan Kreativitas”, “Transformasi Budaya di Perdesaan”, “Etika dan Ekonomi Kehidupan Modern” merupakan representasi dari keluasan perhatian dan kajian Benny Hoedoro Hoed terhadap pelbagai perubahan sosial dan kebudayaan.
Kehadiran buku ini merupakan pembuktian antusiasme intelektual dari Benny Hoedoro Hoed pada usia tua untuk memberi kontribusi dalam kahzanah studi semiotik dan kebudayaan di Indonesia. Haryatmoko dalam “Prakata” menilai bahwa kunci keberhasilan Benny Hoedoro Hoed dalam membuat paparan dan analisis yang komprehensif mencakup tiga hal: (1) penguasaan linguistik dan familiaritasnya dengan mentalitas pemikiran Prancis; (2) kemampuan penulis untuk memberikan contoh-contoh relevan untuk membantu menyederhanakan konsep-konsep pelik ke model-model skematis yang memberi pola pemikiran; dan (3) kemampuan penulis menerapkan dan mengembangkan pelbagai teori dalam analisis budaya dan politik.
Penilaian itu memberi klaim bahwa buku Semiotika Budaya dan Dinamika Sosial Budaya patut mendapat perhatian dan menjadi buku acuan untuk para peneliti dalam studi semiotik dan kebudayaan. Kehadiran buku ini hendak mengabarkan bahwa semiotik merupakan sesuatu yang tetap relevan dan penting dalam wacana intelektual hari ini di Indonesia. Benny Hoedoro Hoed mengingatkan: “Semiotik memberikan kemungkinan kepada kita untuk berpikir kritis dan memahami bahwa tidak ada satu otoritas yang berwenang memberikan makna atau penafsiran atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya kita.” Begitu.

Dimuat di Suara Pembaruan (21 September 2oo8)

Selasa, 16 September 2008

Imagi Wajah dalam Sinematografi

Oleh: Ridha al Qadri


Setiap film terdiri dari sekian gambar, atau tanda dan imaji, yang diorganisasikan melalui teknik sinematografi. Di satu pihak, objek-objek yang ditangkap oleh kamera mempunyai pola, alur, dan gerak tersendiri. Di lain pihak, kamera juga selalu digerakkan: alih sudut pandang dan pengaturan jarak gambar.
Apa yang kita sebut konsep sinematografi adalah ketika jenis-jenis imagi dan tanda saling dikombinasikan satu sama lain dalam sebuah film. Imaji sering diibaratkan sebagai gambar “tiruan” dari kenyataan. Sebuah film tidak cuma dibuat dari satu gambar saja, melainkan disusun dari perpaduan beberapa macam gambar yang terus bergerak. Tipe-tipe imagi, atau variasi-variasi gambar itu, merupakan elemen penting di mana gerak-imaji memperoleh ragam identitasnya.
Gilles Deleuze dalam jilid pertama buku Cinema (London, Continuum: 2005) menyebutkan, bahwa terdapat tiga macam tipe imaji dalam sinematografi: imaji-persepsi, imaji-afeksi, dan imaji-aksi. Tiap tipe imaji ini memiliki karakteristik masing-masing, dan saling bertukar fungsi satu sama lain. Adapun seluruh benda atau objek atau manusia dalam film membentuk signifikansi tertentu ketika kamera mendekatkan pandangan pada tipe imaji tertentu itu.
Namun, yang sering problematik dari sekian imaji sebuah film adalah seperti apa sebuah wajah ditampilkan.
Film dan Tipe Imaji
Kita dapat mengingat saat Fahri dan Maria, dalam film Ayat-ayat Cinta, berdiri di atas sebuah jembatan dan di depan mereka terbentang lanskap; sungai dan langit. Di sana, gerak kamera seakan-akan tidak terlalu fokus pada sosok dua orang tersebut. Malah kamera memberi ruang yang agak luas terhadap dinamika latar di sekitar mereka. Pembicaraan berlangsung lamban, lebih banyak kesunyian. Justru pandangan kita dipenuhi dan digerakkan oleh dunia yang mengitari mereka.
Di bagian film seperti ini, imaji yang dicerminkan dari dunia lebih banyak menyediakan cerapan bagi indera. Impresi seperti itu tidak terlalu mengundang emosi. Pada saat seperti itu, imaji merupakan kumpulan objek yang sekedar menyiapkan kesan inderawi bagi penonton. Sensasi inderawi penonton adalah maksud dari tipe imaji-persepsi ini.
Pada momen berikutnya, mungkin saja gerak kamera akan menangkap gambar seseorang yang sedang melakukan sesuatu. Dalam setting kamar, misalnya, barangkali seorang aktor sedang berinteraksi dengan beberapa benda atau orang lain. Imaji ini disebut imaji-aksi. Gilles Deleuze membedakan dua signifikansi peristiwa dari imaji ini yang bisa dikonstruksi dalam film, yakni “dari situasi ke aksi” dan “dari aksi ke situasi”.
Dalam film Telegram, yang diangkat dari novel Putu Wijaya, sang tokoh utama menghadapi situasi bingung setelah menerima kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Suasana hidupnya jadi kurang menyenangkan. Tokoh itu, yang tinggal di Jakarta, diminta pulang ke Bali. Kondisi ini menimbulkan bermacam pikiran dan tindakan pada sang tokoh. Inilah imaji-aksi dari situasi ke aksi.
Atau kita lihat kembali ketika Robert Langdon, tokoh dalam The Da Vinci Code, berusaha melakukan sesuatu setelah cemas melihat jenazah kurator Jaques Sauniere yang dibunuh. Di sana, tindakan sang aktor diniatkan karena ipengaruh keadaan yang sedang dihadapi. Atau seperti posisi beberapa tokoh dalam film Vertical Limit, yang mesti cepat memutuskan untuk bertindak setelah panik melihat longsoran salju terlihat dari lereng gunung ke arah mereka.
Sedangkan untuk contoh dari aksi ke situasi: tokoh Ajeng dalam Mereka Bilang, Saya Monyet? ketika menulis sebuah cerpen yang menimbulkan rasa tidak nyaman antara ia dan ibunya. Hal ini dikarenakan, cerpen itu mengisahkan kembali aib keluarga, bahwa Ajeng diperkosa kekasih ibunya. Iklim keluarga menjadi tegang. Yang menarik dari film ini, antara episode masa lalu dan episode masa kini ditampilkan silih berganti. Meskipun peristiwa-peristiwa itu dihadirkan tidak linear oleh alur waktu, justru dengan begitu, peralihan antara imaji-imaji yang muncul memberi banyak penjelasan yang tak terkatakan dari dialog.
Atau dalam film Saw II, ketika seorang perempuan memasukkan kedua tangan pada kotak kaca. Awalnya ia hendak mengambil penawar racun. Ternyata, kotak kaca itu terdapat jebakan, semacam pisau, yang menyanyat kedua tangannya. Di sana kita lihat: wajah berair mata, isak tangis, dan jerit panjang kesakitan. Di ruang yang lain, orang-orang yang tak melihat peristiwa tersebut makin cemas walau cuma mendengar jerit itu. Bahkan ada yang menampakkan wajah mual karena mengerti arti jerit itu.
Wajah dalam Film
Tiap film memungkinkan tiap tipe imaji itu bergantian hadir seiring gerak peristiwa. Seluruh tipe imaji itu saling melengkapi dan kadang tumpang tindih. Pada sebuah momen, kamera mungkin akan mengurangi jarak pandang ke objek atau aktor tertentu. Deleuze menyebutnya untuk menekankan arti imaji sebagai emosi. Gambar seperti itu bertujuan membangkitkan interes pada diri penonton. Imaji-afeksi ini terjadi bila close-up kamera hendak menekankan semacam rasa dari gejala objek yang direkam.
Ketika Bruce Willis bermain di film Tears of The Sun, terasa sekali bagaimana wajahnya dikondisikan secara berbeda dengan aktingnya dalam 4 film Die Hard. Pada film pertama, banyak sekali momen bagi kamera untuk mendekati wajah Bruce Willis, sebagai Letnan dengan misi penyelamatan di wilayah perang saudara Nigeria, yang sering menampakkan raut muka ragu sekaligus peduli pada kemanusiaan. Wajah itu tidak sering marah seperti wajah yang tampil dalam Die Hard. Selain itu, nyaris tak terlihat senyum dan tawa liar sang aktor.
Dengan demikian, wajah memiliki bahasa tersendiri, walau di sana tiada sesuatu yang tertulis. Wajah mempunyai peran khusus jika ide cerita film memerlukan pengartian khusus. Dalam bahasa Deleuze: “kadang, sebuah wajah memikirkan sesuatu”.
Dengan kata lain, ekspresi wajah merupakan perluasan dari praktik komunikasi. Informasi mengenai sifat dan pikiran sebuah karakter makin mungkin dimengerti jika wajah itu menunjukkan kualitas-kualitas yang memang harus diperankan. Persoalannya akan lain jika muncul pertanyaan: demi arti apa gerak wajah yang diperbesar oleh gerak kamera itu?
Wajah Komikal
Memang tidak semua wajah dengan ekspresi sedih tidak mengundang penonton untuk tidak tertawa. Film-film komedi menunjukkan hal tersebut. Kenyataannya, kita tak begitu sedih melihat ekspresi sakit dari wajah Mr. Bean sewaktu sekian detik close-up kamera. Justru kita merasa sulit menahan geli pada wajah yang cemas itu. Kita juga tak terlalu tegang saat mengamati ketakutan tokoh-tokoh dalam Scarie Movie. Dalam film komedi, ekspresi wajah yang takut dicairkan oleh gerak kamera yang menangkap sisi komikal dari imaji. Dari imaji-imaji demikian, identitas imaji wajah tak selalu meyakinkan.
Bahkan, ekspresi wajah yang menderita, ketika didekati kamera belum tentu membangkitkan emosi menderita pula pada diri penonton. Penonton mudah simpati dan empati. Wajah sedih Fahri waktu dipenjara, dan juga wajah cemas Aisya, justru membuat penonton yakin bahwa mereka pasti bahagia. Atau setidaknya menjelang bahagia.
Maka, dalam film, kekuatan imaji wajah adalah gambar yang sanggup membolak-balik arti persepsi penonton. Pada imaji-persepsi dan imaji-aksi, distorsi makna kurang mengundang penyimpangan sensitifitas dan interpretasi penonton. Namun, beranikah para aktor dan sineas kita menjelajahi sekian kemungkinan itu? Sebab, sebaik apa pun peran Sujiwo Tedjo sebagai wartawan dalam Telegram, sangat sulit kita melupakan wajah itu, yang tetap berambut gondrong itu, bahwa kenyataannya dia seorang seniman. Atau, kelamnya sisi psikologis yang diderita tokoh dalam Mereka Bilang, Saya Monyet?, ternyata kurang tercermin dari wajah cantik yang nyaris tampil selalu stabil itu.

Dimuat Suara Merdeka (Minggu: 14 September 2008)


Bacaan:
Gilles Deleuze, Cinema 1: The Movement-Image, translated from French by Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam, Continuum, London, 2005.

Menulislah dari Sekarang!

Oleh: Heri Priyatmoko

MENARIK tentang yang disampaikan M Abdul Rohim dalam artikelnya ”Meninggal Tanpa Karya” (06/09). Hanya segelintir orang yang mau menciptakan sebuah karya. Hidup seseorang tidak akan ada artinya manakala tidak memiliki hasil karya. Kalau telah meninggal, tidak akan dikenang oleh orang lain.

Sederet kalimat tersebut akan semakin berkekuatan andai saja dipadukan dengan petuah arif mendiang begawan sejarah Indonesia, Sartono Kartodirdjo saban mengawali perkuliahan di ruang kelas. ”Hidup jangan seperti pohon pisang. Hanya sekali berbuah, setelah itu mati,” itulah pesannya. Apa maksudnya?

Beliau mengkritik kaum intelektual pada umumnya yang selesai merampungkan skripsi, tesis, maupun desertasi. Mereka anggap itu sudah tuntas tugasnya (dalam berkarya). Kegelisahan yang dirasakan Sartono tidak berlebihan.

Banyak dari mereka yang lulus kemudian memasukkan kembali pena ke laci tanpa berkeinginan kuat berkarya secara intens. Padahal, mereka hidup di alam kemerdekaan, bebas menuliskan pendapat. Sungguh bertolak belakang dengan kehidupan Pramoedya.

Betapa tidak, walau karyanya yang paling dini, ”Di Tepi Kali Bekasi” dirampas Dinas Penerangan Belanda dan hidup tersiksa di bui, tapi dia tak kapok untuk terus menulis. Tanpa karya, nama Pram tenggelam ditelan zaman. Beruntung kau, Pram.

Dalam berkarya, kita tidak harus melahirkan buku ilmiah. Sebab, menulis catatan pribadi juga penting. Manusia yang telah mati, bila tanpa meninggalkan tulisan, sejarahnya cuma bisa dilacak lewat foto, nisan, atau cerita lisan, meski itu tak banyak membantu. Maka, ini sepakat dengan seruan Ramadhan KH, penulis buku biografi yang sudah makan asam garam.

Dia selalu mendorong setiap orang untuk menuliskan riwayat hidupnya. Pasalnya, setiap orang sebenarnya memiliki pengalaman hidup yang menarik, baik yang bersentuhan dengan banyak orang maupun yang hidup menyendiri. Manusia tidak mampu menghindari penyakit amnesia sejarah, lupa masa lampaunya. Maka, catatan pribadi itu saksi.

Hal itu dapat menolong anak-cucu kita atau orang lain manakala merekontruksi masa lalu kita.
Berkat catatan, nama Kartini, Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahib abadi di hati sanubari pembaca. Begitu pula di Barat.

Anne Frank, Samuel Peppys (prajurit Angkatan Laut Inggris di abad 17), dan Virginia Wolf (penulis novel Mrs Dalloway), jadi beken gara-gara catatan hariannya. Usia kita semakin menua, berarti waktu kian pendek. Jangan sia-siakan, ayo menulis dari sekarang! (80)

Suara Merdeka, 13 September 2008

Merawat Kali Pepe

Oleh Heri Priyatmoko

SUNGAI atau kali yang mengalir di tengah-tengah kota bisa jadi hal yang menyenangkan, namun dapat pula menyebalkan. Jika difungsikan dengan baik seperti di kota-kota besar di Eropa, tentu sungai dapat memberikan penghasilan dan penahan banjir. Tapi bila ditelantarkan, justru menjadi bumerang.

Solo adalah kota yang memiliki beberapa sungai kecil; yaitu antara lain Sungai Pepe, Sungai Wingko, Sungai Premulung, Sungai Jenes, dan Sungai Anyar. Masyarakat Solo secara turun-menurun menganggap Kali Pepe sebagai bagian dari memori kolektifnya. Sungai tersebut ikut menentukan sejarah Kota Solo.

Anak sungai Bengawan Solo itu mengalir dari utara ke tenggara melalui beberapa kelurahan. Antara lain, Kelurahan Sumber, Gilingan, Penggawan, Kestalan, Ketelan, Keprabon, Stabelan, Kepatihan Kulon, Kepatihan Wetan, Kampungbaru, Sudiroprajan, Kedunglumbu, Gandekan Tengen, Kampungsewu, dan Sangkrah.

Bila mengkaji Kali Pepe dalam perspektif sejarah, kita akan menemukan banyak kisah yang berserak. Kuntowijoyo (2000) menulis, pemilihan lokasi Keraton Surakarta di Desa Sala pada abad XVIII didasarkan atas pertemuan Kali Pepe dengan Bengawan Semanggi yang disebut tempuran.

Masyarakat Jawa percaya bahwa tempuran memiliki kekuatan magis. Lagi pula, pada periode itu di tempuran tersebut merupakan pusat jalur perdagangan.
Tempo dulu, Kali Pepe menjadi urat nadi perdagangan di Pasar Gedhe. Empat bandar yang disinggahi kapal pengangkut barang. yaitu Nusupan, Semanggi, Mojo, dan Beton, mesti melewati Kali Pepe untuk bongkar muat di Pasar Gedhe.

Dari kawasan itulah, terbentuk permukiman etnis di tepian sungai, seperti komunitas Arab di Pasar Kliwon, etnis Madura di Sampangan, orang Eropa menempati benteng perdagangan Groote Modigheijd (sekarang kantor Telkom), dan Bali di Kebalen, serta China di Kampung Pecinan.

Kampung Pecinan yang kita jumpai di Kali Pepe dilengkapi dengan sarana peribadatan klenteng; dan gambaran itu tak jauh beda dari pecinan di Semarang.

Waswas Banjir

Secara geografis, Solo merupakan dataran rendah yang di kepung sungai. Logis jika penduduknya selalu waswas terhadap ancaman banjir yang bersiklus tahunan. Pada akhir abad XlX, Solo digenangi air yang datang dari selatan kota sebanyak 2.000 kubik per detik, dan 800 kubik per detik air kiriman Kali Pepe dari arah utara kota kerajaan. Lantas, Mangkunegoro, Paku Buwono, dan Pemerintah Belanda bekerja sama membangun kanal dan dam (Soedarmono, 2004).

Meskipun kota sudah dilengkapi sistem drainase yang baik, sayangnya tidak menjamin terbebas dari banjir. Daun kalender menunjuk angka 14 Maret 1966, Kali Pepe tak kuat menampung guyuran air hujan yang tak henti selama dua hari. Akibatnya, Solo bak lautan. Air banjir setinggi tugu jam di depan Pasar Gedhe. Beberapa tanggul yang membetengi kota jebol saking derasnya luapan air Sungai Bengawan.

Puluhan perkantoran terlumat banjir dan perekonomian kota lumpuh total. Kali Pepe dituding sebagai salah satu ìbiang keladiî penyebab banjir 1966.
Berpikir betapa pentingnya Kali Pepe berkait dengan bahaya banjir, Pemkot selanjutnya memprioritaskan perbaikan dan perawatan sungai.

Pada 1991 diadakan normalisasi Kali Pepe. Orientasinya, menata lingkungan di sepanjang kali itu agar tidak kumuh, melancarkan aliran sungai sehingga dapat mengurangi genangan banjir, dan menciptakan lingkungan Solo Berseri (bersih, sehat, rapi, dan indah). Pemkot lalu membuat talud, keduk walet, dan pertamanan.

Satu tahun silam, Solo menangis lagi gara-gara banjir. Kali Pepe yang dulu nyawa kehidupan yang penting bagi penduduk, tidak mampu menahan derasnya arus Sungai Bengawan. Tak pelak, rumah-rumah warga di Sangkrah, Gandekan, Kampungsewu dan sekitarnya, tergenang air.

Memang, semua itu bukan salah mutlak Kali Pepe. Namun, secara tidak sadar tindakan warga yang menjadikan Kali Pepe di kala musim kemarau sebagai ìasbak raksasaî, apakah itu tidak bisa dituding sebagai penyebab banjir pula.

Persoalan memelihara sungai adalah persoalan cinta. Tanpa cinta segalanya menjadi percuma. Cinta terhadap Kali Pepe harus dilakukan tidak hanya oleh pejabat kota, melainkan juga penduduk di sekitar atau yang dilalui Kali Pepe.
Kebetulan, akhir-akhir ini Pemkot sedang getol mempercantik wajah kota.

Ruang publik direvitalisasi, PKL direlokasi, dan dilakukan pembangunan city walk. Tetapi, alangkah baiknya jika Kali Pepe juga menjadi prioritas perawatan dan program resik-resik kutho digalakkan kembali.

Selain mengingat vitalnya Kali Pepe untuk melindungi kota, namun mencintai sungai bukan sekadar soal lingkungan hidup, ekosistem, dan banjir yang traumatik. Mencintai sungai adalah masalah keselarasan dengan alam. Toh, ia anugerah Tuhan yang teramat besar jasanya bagi Kota Bengawan.(68)

Suara Merdeka, 10 September 2008
__

Museum Sebagai Sarana Edukasi

oleh Heri Priyatmoko

Di Indonesia, Kota Solo populer sebagai kota wisata budaya dan seni, setelah Bali dan Yogyakarta. Namun, sebetulnya Solo pantas pula menawarkan diri sebagai kota wisata museum. Berbagai museum ada di sini. Sekarang di Solo terdapat lebih dari tujuh museum dengan jenis-jenis yang berbeda. Museum-museum ini dikelola oleh berbagai pihak, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota, instansi pemerintah/swasta, dan kelompok/perorangan.
Ada Museum Radya Pustaka, Museum Batik Danarhadi, Museum Kasunanan, Museum Mangkunegaran, Museum Dullah, Lokananta, dan Monumen Pers. Baru saja diresmikan Museum Samanhudi di Laweyan, melengkapi khasanah permuseuman di Solo. Semua itu belum termasuk live museum (museum hidup). Contoh, di Kauman dan Laweyan yang terdapat rutinitas membatik. Di sini, pengunjung bisa melihat cara membatik. Mereka bisa bercakap-cakap dengan buruh dan pungusaha, bertanya berapa upah buruh, bahan membatik, sampai cara pemasarannya.
Kota Bengawan merupakan sebuah kota yang memiliki periode sejarah yang lengkap dan menarik, mulai dari periode kerajaan hingga dewasa ini. Saban periode meninggalkan jejak historisnya berupa barang dan cerita. Museum Samanhudi adalah satu-satunya saksi sejarah Kota Solo era pergerakan nasional. Banyak warganya yang belum mengetahui siapa Samanhudi dan bagaimana partisipasi Kampung Laweyan pada zaman pergerakan menentang kolonialisme. Pada riwayatnya, Kiai Haji Samanhudi (1868-1956), pendiri Sarekat Dagang Islamiyah (SDI).
SDI adalah sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Solo. Perkumpulan ini cikal-bakal dari Sarekat Islam, organisasi yang menggetarkan Belanda karena memiliki ribuan pengikut di berbagai kota. Sejarawan Prof Takashi Shiraishi dalam bukunya yang bertajuk Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926, mengupas partisipasi Laweyan dalam kancah nasional dan sejarah Serikat Islam dengan tokoh sentral Samanhudi.
Pendirian Museum Samanhudi yang diprakasai oleh Yayasan Warna Warni patut diacungi jempol, sebab berusaha ingin mengenalkan sejarah tokoh nasional tersebut kepada generasi sekarang. Lokasi yang dipakai untuk museum ini dulunya bekas gudang batik. Di museum dipajang gambar, foto, dan dokumen tentang revolusi batik, politik, pendirian Serikat Islam, peran pemerintah kolonial terhadap Serikat Islam, Samanhudi dan Serikat Islam, serta Samanhudi pada masa tua. Gambar atau foto yang dipampang antara lain foto Samanhudi bersama keluarga, dan sejumlah tokoh pergerakan nasional. Tidak ketinggalan foto KH Samanhudi pada puncak kejayaannya sebagai saudagar batik.
Semangat Yayasan Warna Warni yang dimotori oleh Krisnina Akbar Tandjung ini sangat baik. Namun, semangat mendirikan museum mesti dilandasi juga oleh pemahaman bahwa mendirikan sebuah museum berarti mendirikan pula sebuah institusi pendidikan. Museum dan pendidikan bak dua sisi mata uang, tak dapat dipisahkan. Menurut museolog Prioyulianto Hutomo (2008), nilai dasar yang menjadi fondasi museum yaitu, melalui pendidikan, masyarakat disadarkan akan tingginya nilai yang dikandung dalam koleksi museum dan memberi mereka kesempatan untuk memperluas wawasan.
Sarana Edukasi
Pendidikan untuk segala usia perlu digalakkan dengan sasaran utamanya siswa sekolah. Mereka ibarat benih padi yang mesti dipupuk, dengan semangat kesejarahan tentunya. Kegiatan edukasi di museum bentuknya bisa beraneka rupa. Pegawai museum memberikan kepada siswa berupa paket edukasi, koleksi keliling, kelas budaya, bercerita, slide berseri, atau taman bermain yang berhubungan dengan koleksi. Mereka juga perlu merancang materi yang diarahkan untuk mengembangkan tiga area pembelajaran secara bersamaan meliputi, kognitif (berkaitan dengan daya pikir), afektif (emosi), dan psikomotorik (gerakan fisik).
Desain materi berupa aktivitas yang menumbuhkan rasa ingin tahu. Artinya, pelajaran yang diberikan dapat mengarahkan siswa untuk bertanya, mencari jawaban atas pertanyaannya, dan menciptakan pertanyaan baru serta memperoleh pengetahuan baru. Kegiatan ini selayaknya dilakukan tanpa meninggalkan unsur bermain. Pasalnya, dunia anak-anak adalah dunia bermain. Tapi, bentuk-bentuk aktivitas bagi siswa harus berbentuk permainan edukatif. Pengertian permainan edukatif, menurut Andang Ismail, adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dan dapat merupakan cara yang mendidik.
Permainan edukatif bisa meningkatkan kemampuan berpikir, berbahasa, dan bergaul dengan orang lain. Selain itu, anak dapat menguatkan anggota badan, menjadi lebih terampil, dan menumbuhkan serta mengembangkan kepribadiannya. Permainan edukatif dirancang oleh pihak pengelola museum. Guna menyukseskan program tersebut, pengurus museum mesti menggandeng para ahli. Misalnya, sejarawan, arkeolog, pendidik, dan ahli psikologi anak.
Karena itu, sebagai langkah awal guna memasyarakatkan potensi museum-museum di Solo, setidaknya Pemkot dan pengelola museum bekerjasama dengan membuat event yang berlokasi di sekitar museum. Seperti lomba mengarang tentang isi museum, menulis artikel museum, dan lomba menggambar benda-benda koleksi museum. Orientasinya, mereka biar mengenal isi museum dan ikut merasa memiliki museum. Lagipula, mengingat tidak tersambungnya secara riil museum dengan sistem pendidikan nasional. Walau museum secara struktural di bawah Depdiknas, namun siswa jarang sekali dibawa ke museum dalam rangka meningkatkan materi pendidikan. Padahal, ilmu yang diperoleh di museum seringkali tidak ada dalam buku pelajaran sekolah.
Solo sebagai Kota Budaya pernah tercoreng gara-gara peristiwa pencurian dan pemalsuan arca di Museum Radya Pustaka. Latar belakang kisah itu terjadi lantaran minimnya kesadaran akan peninggalan benda bersejarah. Maka, seiring jumlah museum bertambah, Pemkot mesti mempromosikan dan sekaligus mendukung komunitas-komunitas pecinta sejarah yang bermunculan di Solo yang ikut mempromosikan kekayaan museum sebagai ajang rekreasi dan edukasi. Museum bukan gudang atau pasar barang antik (arena jual-beli), tapi ia adalah etalase ilmu pengetahuan sekaligus obyek wisata pendidikan dan budaya.

JOGLOSEMAR, 13-09-2008

Senin, 08 September 2008

Sutardji, Puisi, Takdir

Oleh: Bandung Mawardi

Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dengan kalem menuturkan bahwa pemberian sekian penghargaan dan gelar kehormatan membuat dirinya malu karena merasa belum bisa berbuat apa-apa. Semua itu adalah takdir. Tuturan itu hadir karena SCB menjadi seorang penerima penghargaan Achmad Bakrie 2008 dalam bidang kesusastraan. Penghargaan itu diberikan karena kontribusi besar SCB dalam kesusastraan Indonesia modern. SCB justru mengaku belum bisa berbuat apa-apa. Kelakar yang genit. SCB sekadar percaya bahwa itu takdir. SCB mungkin hendak mengakui bahwa dirinya dan puisi itu takdir. SCB tidak sekadar menguak takdir tapi menciptakan takdir atas puisi.
Pengakuan SCB mengingatkan penulis pada Nietzsche dalam Ecce Homo. Nietzsche dalam bab “Mengapa Aku adalah Takdir” dengan arogan mengakui: “Aku tahu takdirku.... Aku bukan seorang manusia, aku sebuah dinamit”. SCB memiliki kemiripan dengan pengakuan Nieztsche karena SCB dengan berani hadir dengan pembaharuan estetika puisi Indonesia modern. Kehadiran itu memakai kredo ampuh untuk keimanan atas realisasi pencapaian estetika. SCB menobatkan diri sendiri sebagai “dinamit” yang membuat ledakan besar dalam perpuisian Indonesia modern. Ledakan itu adalah O Amuk Kapak sebagai takdir penyair dan puisi. SCB sejak awal mulai membuat takdir dan menciptakan kesempurnaan takdir itu dalam perbenturan dan konfrontasi besar dengan pembaca dan kondisi zaman. Orang-orang pun sejak itu mulai menaruh perhatian untuk ikhtiar memahami SCB dan puisi-puisinya. Sampai hari ini SCB belum selesai terpahami. SCB berlaku seperti Nieztsche yang selalu menanyakan: “Sudahkah aku dipahami?”
Pertanyaan itu dalam kasus SCB terus menemukan sekian jawaban dari A. Teeuw, Dami N. Toda, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Umar Junus, Goenawan Mohamad, Rachmat Djoko Pradopo, Harry Aveling, Arief B. Prasetyo, Ignas Kleden, dan deretan nama yang masih panjang. Orang-orang itu ingin memahami SCB dalam sekian perspektif dan pamrih. “Sudahkah aku (SCB) dipahami?” pertanyaan itu sampai hari ini terus menemukan jawaban.
Dami N. Toda dengan eksplisit mengakui takdir SCB itu dalam esai “Peta Perpuisisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”. Eksekusi dari Dami N. Toda: Chairil adalah mata kanan dan Sutardji adalah mata kiri dalam perpuisian Indonesia modern. Takdir itu hadir dalam polemik panjang mengenai kredo dan puisi-puisi SCB. Dami N. Toda adalah pembela militan untuk SCB dengan kepercayaan bahwa puisi-puisi SCB membuktikan suatu pembaruan atau ledakan bom estetika. Kredo SCB menjadi alasan untuk takdir bahwa ada kebenaran estetik menantang alur besar perpuisian Indonesia modern. Kebenaran yang direalisasikan SCB: “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian ... Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”
Kehadiran kredo dan puisi-puisi SCB menentukan gairah kritik sastra mulai tahun 1970-an dengan pelbagai label dan teori. Dami N. Toda menjadi sosok penting dan menentukan untuk SCB mirip dengan peran H.B. Jassin untuk Chairil Anwar. Dami N. Toda terus menulis tentang SCB sampai menjelang ajal dengan publikasi esai-esai (kritik sastra) penting dalam kesusastraan Indonesia modern. Peran lain nampak pada sosok Umar Junus yang tekun mengaji SCB dengan kritis. Umar Junus (1981) pun mengakui takdir SCB dan menilai bahwa kredo dan puisi-puisi (yang) mantra SCB itu menciptakan misteri atas misteri puisi. SCB hadir dengan pamrih emansipasi kata dari tirani dan permainan bahasa dengan kontradiksi-kontradiksi memukau.
Kesibukan tukang kritik mengurusi puisi-puisi SCB membuat Ajip Rosidi gerah. Ajip Rosidi menuduh bahwa sekian tukang kritik terlena dan latah untuk masuk dalam pembicaraan puisi-puisi SCB dengan konsep mantra yang dicantumkan SCB dalam kredo. Ajip Rosidi sekadar menjadi interupsi karena tidak mengeluarkan keringat deras untuk membuat kondisi kritik sastra dan puisi mencapai ekstase.
A. Teeuw dengan analitis menunjukkan kontradiksi-kontradiksi dalam buku Tergantung Pada Kata (1980). A. Teeuw secara genit memberi judul untuk bab SCB dengan ungkapan kotradiktif “Terikat dalam Pembebasan Kata”. Judul itu adalah vonis utuh A. Teeuw mulai dari asumsi sampai konklusi. Keraguan A. Teeuw kentara dalam konklusi serba mungkin: SCB itu perombak, puisi-puisi SCB itu seperti fashion, SCB itu gejala pinggiran, atau SCB itu tukang semai epigon. A. Teeuw sekadar sanggup membuat ramalan naif tanpa ada rasa percaya: “Apakah dia tetap kucing yang dengan sendirinya menghilang ngiaunya dari dunia manusia ataukah kucingnya dimanusiakan dan ngiaunya dibahasakan?”
Arus puisi dengan ruh modernitas bergulir sejak Pujangga Baru dan meledak dalam puisi-puisi Chairil Anwar menemukan penantang ampuh yakni SCB. Kredo puisi SCB adalah kekasih dan musuh untuk laur-alur perpuisian Indonesia modern. SCB hadir dengan puisi-puisi dalam tegangan tradisionalitas, modernitas, dan posmodernitas. Puisi-puisi SCB menjadi ledakan dalam kesadaran bahasa dan olahan estetik untuk membuka kemungkinan-kemungkinan struktur dan sistem makna. Kehadiran puisi-puisi SCB itu pun mengingatkan publik atas diri Chairil Anwar melalui revolusi dan pemberian ruh hidup atas potensi bahasa.
Perkara bahasa dalam revolusi Chairil Anwar dan SCB itu membuat Rachmat Djoko Pradopo mempan kena rayuan dengan publikasi penelitian Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern (1985). Penelitian itu menempuh jalan kecil karena cenderung akademis, formalistik, dan struktural. Penelitian itu sejak awal percaya bahwa Chairil Anwar dan SCB adalah pembaharu dalam perpuisian Indonesia modern. Kekuatan dua penyair itu ada dalam permainan dan pengolahan bahasa. Hal itu menjadi dalil baku Rachmat Djoko Pradopo yang kaku dan kikuk: “Pembicaraan atau analisis puisi itu yang terpenting adalah analisis kebahasaannya. Kepuitisan atau nilai estetis sajak itu terutama ditentukan oleh bahasa atau penggarapan bahasanya.”
Takdir SCB belum selesai dalam tulisan-tulisan tukang kritik sebagai malaikat pencatat kebaikan atau keburukan. SCB sebagai takdir masih mendapatkan perhatian dalam esai-esai mutakhir. Polemik SCB mulai tahun 1970-an mayoritas belum berubah dalam perkara-perkara baku kredo dan pencapaian estetika. Kehadiran O Amuk Kapak jadi lahan tak pernah selesai digarap dan terus menumbuhkan sesuatu untuk dipanen. Buku-buku puisi lain dari SCB selalu jadi penantian tanpa akhir. SCB dengan genit menonton resah dan marah pembaca dan tukang kritik. Radhar Panca Dahana menilai bahwa kegenitan SCB itu menemukan klaim dalam kelakar bahwa O Amuk Kapak adalah puncak. Pertanyaan atas kelakar itu: Apakah SCB mau dan sanggup mencipta puncak-puncak lain?
Takdir yang diciptakan SCB memiliki usia panjang dan aura memukau. Pembacaan dan penilaian Arief B. Prasetyo (2002) atas puisi-puisi SCB menunjukkan kuasa SCB dalam rumah puisi Indonesia modern. Arief B. Prasetyo merasa pukau SCB itu sejak bocah ingusan sampai ketika sanggup menjadi pembaca puisi yang kritis. Kepercayaan publik bahwa puncak SCB adalah O Amuk Kapak seakan menemukan penguatan pada kecurigaan Arief B. Prasetyo: “Jangan-jangan, justru lantaran telanjur menanggung beban sejarah di pundaknya, Sutardji kelak cuma akan menyulut batang mercon basah dengan buku puisi barunya. Itulah momen mengenaskan ...” Arief B. Prasetyo melabeli kuasa SCB sebagai “ikon mitologis” dalam khazanah perpuisian-kepenyairan modern Indonesia. Label keren dan mengerikan.
Ignas Kleden dalam esai “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (2007) membuat pembacaan lain dengan kritis. Ignas Kleden menilai kredo puisi SCB itu bukan teori tapi rencana kerja, program, desai, atau tekad. SCB bekerja menulis puisi untuk mencari kebenaran kredo itu. SCB membuktikan itu dengan sekian risiko dan kontradiksi. Ignas Kleden mengakui bahwa SCB patut mendapatkan catatan-catatan penting karena sanggup melakukan dekonstruksi dalam konteks bahasa, sastra, dan kebudayaan. SCB memukau dan menggairahkan.
Sekian pembacaan dan penilaian atas puisi-puisi SCB adalah bukti antusiasme dan kerepotan publik dan tukang kritik sastra. SCB sebagai penyair ampuh pun menerima ganjaran-ganjaran besar atau “kutukan indah” dari pelbagai orang dan lembaga. Berita-berita mutakhir menyebutkan bahwa SCB mendapatkan acara-acara fenomenal: perayaan usia ke-66 tahun (14-19 Juli 2007) di TIM (Jakarta); Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (10 Desember 2007); peringatan 67 tahun SCB di Pekanbaru (Riau) dengan penerbitan buku puisi Atau Ngit Cari Agar dan peresmian bulan Juni sebagai “bulan Sutardji”; penerima penghargaan Achmad Bakrie 2008 untuk kesusastraan. SCB adalah takdir membawa berkah. Keren!
SCB suatu hari memberi ajaran: “Menulislah puisi dengan gembira!” atau “Hormat penuh untuk puisi.” Hari ini publik patut percaya bahwa SCB adalah takdir dan puisi adalah takdir. Begitu.

Dimuat di Lampung Post (7 September 2oo8)

Akibat Gusuran Lapangan

Oleh: Heri Priyatmoko

Jam dinding yang menempel di pos ronda menunjukan pukul 17.30. Terlihat Mbah Mariko duduk nglangut di wedangan lik Paidi. Itulah kebiasaan Mbah Mariko saban-saban menanti buka puasa. Wedang teh buatan lik Paidi pancen kondang ginasthel (legi panas tur kenthel) dan wedang jahenya juga tidak kalah mareme. Dari arah selatan Paimin datang.
Janur gunung Min, kamu lama tidak pernah nonggol, ke mana saja?, sapa Mbah Mariko. Iya Mbah, kemarin sibuk di kelurahan menangani lomba pitulasan, sahut Paimin. Lik Paidi, tolong bikinkan wedang jahe ya, pesan Paimin. Sekalian Di, buatkan saya wedang teh, Mbah Mariko ikut. Lik Paidi yang sejak tadi ngipasi areng, bergegas memenuhi kehendak mereka.
Gimana acara lombanya, sukses apa tidak? tanya Mbah Mariko yang bola matanya menatap umbul-umbul dan bendera Merah Putih yang belum dicopot oleh warga. Berapa tahun ini lumayan kacau, Mbah, timpal Paimin. Lumayan kacau bagaimana maksudmu?
Kampung ini kesulitan mengadakan lomba yang dapat dinikmati bersama. Seperti, panjat pinang, tarik tambang, balap sarung, dan sepak bola. Dulu sewaktu masih ada lapangan, semua merasa riang dan bahagia melihat kocaknya permainan lomba. Tapi sekarang, tiada lagi ruang itu.
Kesedihan Paimin itu dipahami Lik Paidi yang kebetulan juga warga asli Kelurahan Tipes, Solo. Betapa beruntungnya mereka yang tinggal di pedesaan yang masih mempunyai lapangan. Selain terlaksananya lomba, warga terhibur dan ditemukan pula kebersamaan serta kedamaian antartetangga. Kini, terjadi masalah di banyak wilayah perkotaan ketika publik kehilangan atau kekurangan ruang untuk berekspresi.
Tempo dulu warga menyambut HUT RI dengan gelaran lomba, baik tua-muda, laki maupun perempuan, sore hari berbaur di lapangan Tipes, kenang Lik Paidi sambil menekuri sandal japitnya. Mereka tiada bisa merasakan itu, sebab lapangan rumput tersebut disulap menjadi bangunan bisnis Makro. Problem yang satu ini yang sekarang menjadi tren.
Suara adzan Magrib terdengar samar. Paimin langsung menikmati wedang jahenya. Kawasan Tanah Abang, Jakarta lebih kasihan lagi, Mbah. Masyarakat di sana hendak main bola harus memakai bantaran sungai. Mereka berani ambil resiko. Ketika bola tercebur ke sungai, mereka pun mesti siap berenang menyelamatkan bola.
Di Manado juga. Anak-anak banyak yang kecewa karena tempat bermain di tepian Sungai Kapuas terancam oleh pendirian kompleks perbelanjaan megah Pontianak Town Square. Paimin memang hobi mlancong ke luar kota, sehingga bisa dengan lancar bercerita. Sarana mereka terlindas oleh keserakahan investor yang ambisius mendirikan bangunan komersil tanpa menghiraukan kepentingan umum.
Iya Min, anak-anak singkong yang berbaju lusuh dan tanpa alas kaki kaya Parjo, Gunadi, Taryono lan sak tunggalane kae ora bakal iso bal-balan maneh, ujar Mbah Mariko membenarkan. Menjamurnya lapangan in door adalah sebagai jawaban atas susutnya lapangan. Namun, apakah itu semua bisa dijangkau oleh masyarakat bawah?
Lapangan elemen kota yang multifungsi. Selain tempat olahraga, refresing, tapi juga arena bersosialisasi dengan sesama dalam suasana santai. Di situlah latensi konflik dapat dihilangkan, mengingat Solo mendapat citra yang merugikan sebagai kota konflik dan bersumbu pendek.
Terlanjur banyak kota-kota di Indonesia yang penghuninya kekurangan public space. Yang berlalu biarlah berlalu. Ini sekadar refleksi sejarah saja, dengan tujuan biar kita tidak terjebak dalam lubang yang sama. Pemkot seharusnya membiarkan pembangunan tanpa mengorbankan hak rakyatnya. Inilah cermin kegagalan Pemkot dalam memenuhi hak warga kota. Ironis.



Dimuat di Suara Merdeka 06 September 2008

Jumat, 05 September 2008

Keluarga, Sastra, Media

Oleh: Bandung Mawardi

Keluarga menjadi perhatian pengarang sejak Balai Pustaka (1920-an) sampai hari ini. Kisah keluarga bisa dibaca dalam novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Di Tengah Keluarga, Keluarga Permana, Para Priyayi, Canting, Nayla, dan lain-lain. Kisah-kisah keluarga dalam teks sastra itu terus mengalami ketegangan antara pewarisan nilai-nilai lokal, agama, modernitas, dan godaan-godaan mutakhir. Keluarga berada dalam kondisi mapan, sehat, rusak, sakit, pecah, atau mati dengan pelbagai persoalan ekonomi, ideologi, agama, politik, dan lain-lain.
Keluarga dalam teks-teks sastra itu adalah kish-kisah tertentu yang mereprsentasikan situasi perubahan kondisi keluarga di Indonesia. teks-tek sastra itu bisa menjadi acuan untuk membaca dan menafsirkan ulang kondisi keluarga hari ini. Novel Salah Asuhan (Abdul Moeis) mengisahkan keluarga dalam tegangan tradisi dan modernitas ketika Indonesia masih repot menghadapi kuasa kolonialisme. Keluarga Permana (Ramadhan KH) mengisahkan keluarga dalam situasi sosial Indonesia yang ingin membentuk diri dengan pencapaian-pencapaian ekonomi dan politik. Kisah kecil mengenai keluarga itu menjadi representasi kelengahan dan kelemahan institusi keluarga dalam proses transformasi sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Kisah keluarga yang mengejutkan hadir dalam novel Nayla (Djenar Maesa Ayu). Novel Nayla mengisahkan keluarga dalam kondisi kesemrawutan dan krisis besar pada “dunia dan abad yang berlari”.
* * *
Keluarga sebagai institusi sosial mengalami transformasi dari keluarga tradisional ke keluarga modern. Transformasi itu membawa risiko-risiko besar untuk mencari-menemukan sesuatu dan kehilangan sesuatu. Keluarga tradisional yang meyakini ikatan kuat darah dan nilai-nilai berubah ke arah yang rentan untuk pecah. Keterpecahan itu sekadar menyisakan label keluarga karena individu-individu ada dengan pilihan bebas untuk peran dan nasib. Individu-individu dalam keluarga menemukan kebebasan dan menerima risiko untuk kesadaran kolektif keluarga yang mulai rentan.
Keluarga-keluarga artifisial tercipta karena diinginkan dan memberi kompensasi tertentu. Keluarga itu lahir dari televisi, komunitas, partai politik, pengajian, dan lain-lain. Kehadiran “keluarga” itu seakan menjadi intitusi tandingan yang memakai referensi dan sistim liberal dibandingkan keluarga yang asal. Pilihan untuk menikmati kehidupan “keluarga” itu menjadi persoalan untuk pengalaman identitas individu-kolektif yang ambivalen dan dilematis.
Francis Fukuyama dalam buku Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru (2005) menjelaskan suatu perubahan nasib keluarga dengan acuan pandangan klasik: “Sebagian besar teori sosial klasik dari awal abad ke-19 bertolak dari asumsi bahwa ketika masyarakat menjadi modern, peranan keluarga akan semakin tidak penting dan digantikan oleh ikatan-ikatan sosial yang semakin bersifat pribadi.” Hal itu mungkin berlaku di Eropa yang mengalami pelbagai revolusi politik, sosial, ekonomi, media, dan komunikasi. Mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Pertanyaan yang bisa terjawab: pergantian peranan keluarga itu sudah terjadi.
* * *
Apa kabar keluarga hari ini? Keluarga Indonesia mengalami godaan besar dalam fakta-fakta sosial terkait dengan media. Keluarga telah menjadi komoditi untuk kepentingan-kepentingan besar yang bisa terbaca dari sekian fakta-fakta media. Melihat acara-acara televisi hari ini adalah melihat permainan yang cenderung manipulatif ketika keluarga menjadi komoditi. Keluarga hadir dengan pencitraan media yang memiliki orientasi sensasional dan komersial.
Berita-berita keluarga-keluarga artis yang pecah (konflik, kekerasan rumah tangga, perceraian, selingkuh) menjadi tontonan dan kisah yang meminta penonton untuk mengonsumsi, memikirkan, dan intervensi. Sinetron-sinetron tak pernah absen dengan menghadirkan kisah-kisah keluarga yang konflik, rusak, dan pecah karena urusan uang, cinta, warisan, kedudukan, harga diri, dan lain-lain. Kisah-kisah keluarga dalam sinetron-sinetron berhadapan dengan keluarga-keluarga riil yang duduk berkumpul di depan televisi. Keluarga yang menonton televisi tanpa sadar mengalami keberjarakan individu dan mungkin abai terhadap eksistensi keluarga faktual. Kisah keluarga yang memiliki kuasa adalah sinetron dan keluarga yang menonton berada dalam posisi tunduk.
Kisah-kisah keluarga dalam televisi menemukan eksplanasi dalam media cetak (koran, majalah, tabloid) yang memberikan porsi besar untuk pemberitaan artis, sinetron, dan acara-acara televisi. Keluarga terus digoda dan diarahkan oleh kuasa media untuk menjadi keluarga dalam jalan besar industrialisasi dan komersialisasi. Keluarga sebagai komoditi memberikan pengaruh dan risiko besar untuk perubahan keluarga-keluarga Indonesia.
* * *
Kisah keluarga Indonesia mengalami kejutan-kejutan besar yang menyimpan “kuman” dan “teka-teki’. Keluarga kehilangan identitas asal dan berjalan jauh hendak memiliki identitas-identitas mutakhir. Kuman yang mungkin ada adalah krisis keluarga untuk melakukan penguatan individu dan kolektivitas dalam arus hidup yang berkelimpahan nilai, doktrin, informasi, mimpi, dan gosip. Krisis itu mungkin risiko dari tegangan dan akumulasi proses pembentukan identitas individu dan sosial. Peter L. Berger menyebut proses sosiologis pembentukan identitas itu dalam rumusan: eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.
Sosiologi keluarga modern terus berhadapan dengan pola perubahan yang kompleks dan cepat. Identifikasi dalam konstruksi dan menguatkan identitas diri-kolektif dalam keluarga sudah beralih ke kiblat sinetron, iklan, acara gosip (infotainment), dan lain-lain. Hal-hal yang diinginkan dan dimiliki cenderung pada identitas parsial. Substansi identitas keluarga menjadi perkara yang kurang terpikirkan karena ada alasan-alasan untuk adaptif dalam waktu singkat dengan rasionalisasi dan estetisasi.
Keluarga-keluarga yang menjadi perhatian publik mulai menampakkan fenomena krisis nilai dan identitas. Keluarga artis terus dihadirkan dengan keentengan hidup yang hedonis dan glamour. Nilai-nilai keluarga diolah dengan pola yang srampangan. Konflik keluarga artis hendak mengabarkan bahwa identitas keluarga gagal dikonstruksi karena godaan-godaan karier, publisitas, sensasi, dan uang.
* * *
Keluarga dalam sastra dan televisi adalah keluarga dengan tafsir dan realisasi yang terbuka untuk nostalgia dan utopia. Kisah keluarga yang mengejutkan datang dari penyair Afrizal Malna dalam puisi “Keluarga Indonesia dalam Ambulans” (1995). Ungkapan itu hendak mengabarkan bahwa ada situasi krisis, sakit parah, dan kondisi darurat yang dialami oleh keluarga-keluarga di Indonesia. Ungkapan Afrizal Malna itu hendak memperingatkan bahwa ada garis tipis antara kehidupan dan kematian keluarga. Begitu.

Dimuat di Surabaya Post (24 Agustus 2008)

Selasa, 02 September 2008

Pram: “Penantang Abadi”

oleh: Bandung Mawardi


Judul : Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai
dan Wawancara dengan Pramodeya Ananta Toer
Pengarang : August Hans den Boef dan Kees Snoek
Penerjemah : Koesalah Subagyo Toer dan Kees Snoek
Penerbit : Komunitas Bambu
Terbit : 2008
Tebal : x+176 halaman


Buku Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir menjadi pengulangan dari pembicaraan mengenai biografi dan teks-teks sastra Pramoedya Ananta Toer. August Hans den Boef dan Kees Snoek menjadi juru bicara Pram dalam suatu pesona biografi kesusastraan dan politik. Pesona itu justru membuat buku ini kurang memberikan sesuatu yang lain (greget) untuk pembaca.
August Hans den Boef mengungkapkan kisah di balik publikasi esainya dengan dramatis: “Ketika saya mendengar dari Kees Snoek bahwa Pramoedya meninggal dunia, maka saya pun sibuk mencari sigaret kretek di Amsterdam, tetapi baru di Den Hag saya menemukannya. Sambil menikmati sigaret kretek itu, saya mulai mengaktualkan esai yang versi aslinya saya tulis tahun 1992”. Kisah itu hendak memberi penguatan bahwa esai yang ditulis August Hans den Boef memiliki nilai lain karena peristiwa kematian Pram dan peniruan laku merokok sigaret kretek seperti kebiasaan Pram untuk mencari dan menemukan efek tertentu.
Pengalaman unik muncul dari laku August Hans den Boef yang mengaku merasakan kesenangan ketika membaca kembali novel dan cerpen Pramoedya. Kesenangan itu menular dalam esainya yang membahas sekian buku Pramoedya dengan suatu kesadaran bahwa “saya bukan pembaca Indonesia”. Kesadaran itu mengesankan bahwa pembacaannya berbeda dengan pembacaan yang dilakukan oleh orang Indonesia, Amerika, Australia, Jerman, atau Perancis. Perbedaan itu karena faktor bahasa, kultural, politik, ideologi, atau sistem sastra.
August Hans den Boef percaya bahwa dalam membaca dan menilai buku-buku Pram tentu melibatkan kecenderungan dua faktor: politik dan teknik sastra. Kecenderungan itu ingin dikritisi dalam batas tertentu dengan pembuktian sebuah esai panjang yang masih menunjukkan pembacaan dalam kecenderungan politik dan teknik sastra. Esai August den Boef menghadirkan biografi Pram dalam politik dan sastra secara kronologis. Pembicaraan itu dikuatkan dengan penilaian terhadap buku-buku Pram yang erat mengungkapkan biografi Pram dan biografi Indonesia. Pembabakan biografi dan tulisan-tulisan Pram dalam esai itu kentara hendak mengesankan suatu pembacaan komprehensif dengan deskrispi dan analisis mumpuni.
Penempatan esai August Hans den Boef Penulis Kronik Rakyat Kecil – Tentang Karya Pramoedya Ananta Toer pada bagian pertama memang layak dengan konsekuensi terjadi pengulangan pada bagian kedua dalam tulisan Kees Snoek mengenai wawancara dengan Pram Satu-satunya Harapan Saya adalah Ingin Menyaksikan Akhir Semua ini. Tulisan Kees Snoek pun kentara mengandung pesona terhadap biografi politik dan sastra Pramoedya. Pertanyaan-pertanyaan untuk Pram memakai teknik yang hati-hati dengan pertimbangan menghindari sensitivitas dan sikap reaksioner terhadap tema-tema biografi dan politik. Teknik itu justru mengurangi eksplorasi atas kemungkinan menemukan informasi baru atau perubahan pemikiran Pram atas hal-hal tertentu. Hal itu membuat hasil wawancara Kees Snoek mirip dengan publikasi wawancara-wawancara yang dilakukan orang lain. Barangkali hal itu terjadi karena keterlambatan penerbitan dalam edisi bahasa Indonesia. Penerbitan buku ini dalam edisi Belanda pada tahun 1990.
Kisah di balik penulisan dan publikasi wawancara dari Kees Snoek pun mirip dengan kisah August Hans den Boef. Kees Snoek mengaku: “Sekarang Pramoedya telah tiada, waktunya sudah tepat untuk publikasi baru dari wawancara tersebut.” Pengakuan itu mengesankan suatu kepentingan momentum suatu publikasi tulisan untuk menemukan kesesuaian atau efek tertentu. Pengakuan Kees Snoek yang lain: “Beberapa bagian wawancara yang pada terbitan pertama, dalam bahasa Belanda, dihilangkan sepertinya sekarang telah ‘memenangkan kepentingannya’ sehingga akhirnya bagian-bagian tersebut masih diperlihatkan kepada pembaca”. Pengakuan itu kurang menjadi kejutan lagi karena pada tahun-tahun lalu telah terbit sekian buku dan publikasi esai dengan motif yang mirip.
J.J. Rizal (2008) menulis bahwa Pram adalah pengarang yang “terbakar pesona revolusi”. Hal itu berlaku pada August Hans den Boef dan Kees Snoek yang menulis dengan tendensi “terbakar pesona Pram”. Pesona itu dikuatkan dengan pengakuan dua penulis dalam kata pengantar bahwa Pram adalah “wajah berbeda dari Indonesia”. Pesona itu justru membuat tulisan August Hans den Boef dan Kees Snoek kurang mengandung greget. Pesona itu lumrah karena kebesaran tokoh Pram dan perspektif orang Belanda terhadap seorang Indonesia yang memiliki biografi kontroversial dalam sastra dan politik. Biografi kontroversial itu mungkin menjadi alasan penting untuk pesona dan kelahiran suatu tulisan dari pembaca-pembaca Belanda.
Tulisan August Hans den Boef dan Kees Snoek menjadi juru bicara ampuh untuk pengisahan bahwa selama ini Pram adalah korban dari kepentingan kekuasaan Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Posisi sebagai korban itu adalah pembenaran untuk perlawanan dan bantahan dengan perspektif Pram dalam pelbagai kasus dan peristiwa masa lalu. Perspektif Pram itu justru membuat kontroversi terus bersambung dan meminta perhatian untuk percaya dan memihak perspektif dari Pram atau orang lain.
Pram dalam buku ini adalah sosok yang dimenangkan dengan pencapaian tertentu untuk sastra di dunia internasional dan revisi terhadap biografi politik. Kemenangan Pram dari kekalahan-kekalahan tentu memberi konklusi atas optimisme dan pembuktian kebenaran atau keadilan dalam konteks sejarah kekuasaan dan kesusastraan. Perkara kemenangan itu berbeda dengan pandangan Ignas Kleden (1999) mengenai biografi Pram dan tokoh-tokoh dalam teks sastra Pram: “Tokoh-tokoh Pramoedya memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan untuk tidak menang.” Penilaian dari Ignas Kelden itu sopan ketimbang perspektif August Hans den Boef dan Kees Snoek.
Kehadiran buku Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir memberi kontribusi untuk kepustakaan mengenai Pram. Buku ini mengandung harapan untuk bisa memberikan perspektif yang tendensius terhadap Pram tapi kurang kritis dan argumentatif. Harapan dari penulis dalam buku ini ingin mirip dengan pengakuan Pram: “Saya berharap bahwa pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani”.
Membaca Pramoedya Ananta Toer adalah membaca pokok dan tokoh yang tak sepi dari kontroversi dan polemik. Goenawan Mohamad (2005) bahkan menyebut Pram sebaga “penantang abadi”. Pramoedya Ananta Toer adalah simbol perbenturan dan pertautan antara ide dan kekuasaan. Selamat membaca dan menilai dengan sekian perspektif dan kritik. Begitu.

Dimuat di Lampung Post (24 Agustus 2008)

Godaan Puisi dalam Politik Indonesia

Oleh: Bandung Mawardi

Kondisi politik Indonesia mulai masuk dalam dunia kata dan dunia imajinasi. Perdebatan dalam wacana pemimpin tua dan muda menjadi ramai dengan sekian pernyataan dan pertanyaan politik dengan konstruksi bahasa imajinatif. Puisi menjadi pilihan untuk merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan dengan pertimbangan efek estetika dan sosial-politik.
Berita mengejutkan muncul dari Tifatul Sembiring (Presiden PKS) yang membacakan “Mega Pantun” di Bandung (Senin, 2 Agustus 2008) untuk memberi tanggapan balik dan tantangan pada Megawati Soekarnoputri. Pantun itu lahir dari tegangan perdebatan politik mengenai pilihan presiden 2009 dalam konteks kaum muda dan kaum tua. Kehadiran pantun itu menjadi sesuatu yang unik dan menggelitik sebab tradisi politik Indonesia sejak Orde Baru selalu terkungkung dalam bahasa-bahasa formal dan retorika kaku.
Tifatul Sembiring mengungkapkan bahwa pembacaan pantun itu untuk merespon semua capres. Pantun itu sekadar sebagai hiburan (Kompas, Selasa, 3 Agustus 2008). Tifatul dengan eksplisit hendak mengambil posisi beda dari perdebatan panas antarcapres dengan pernyataan-pernyataan politis. Penempatan pantun sebagai hiburan tentu menjadi fenomena menarik dalam perpolitikan Indonesia. Tifatul memberi kesadaran kritis bahwa dalam arus dan alur politik Indonesia itu membutuhkan hiburan. Hiburan itu dalam pengertian Tifatul adalah pantun politik.
Inilah petikan pantun politik dari Tifatul Sembiring: Anak balita bertopi merah / Topi terbuat dari bahan katun / Daripada ibu jadi pemarah / Lebih baik kita berbalas pantun // Jadi pemimpin mesti telaten / Sambangi rakyat yang tak berbaju / Kalau ibu nak jadi presiden / Monggo kerso silakan maju // Buat apa pergi ke seberang / Airnya susu banyak berbatu / Buat apa melarang orang / Dah terbayang kursi RI satu. Apa pantun ini patut dibaca dan sekadar ditafsirkan sebagai hiburan? Tifatul Sembiring memang genit untuk masuk dalam perdebatan politik yang penuh godaan dan risiko untuk wacana pilihan presiden 2009. Pantun itu lebih dari sekadar hiburan sebab ada substansi mengenai ide, kritik, dan kepentingan politik.
Mengapa Tifatul memilih bentuk pantun? Pertanyaan ini patut diajukan untuk mengetahui peran pantun itu dalam konteks estetika dan politik. Pantun memang memiliki sistem longgar untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran. Pantun dengan konvensi-konvensi estetika (sampiran dan isi) memungkinkan seseorang dengan lihai memainkan bahasa dan imajinasi. Tifatul dengan canggih memilih bentuk pantun itu untuk pengungkapan terbuka dengan tingkat sensitivitas politik yang tinggi. Pantun mungkin jadi juru bicara ampuh untuk Tifatul ketimbang dia membaca teks pidato atau menulis risalah politik untuk publik. Pantun satu sisi menjadi representasi pandangan politik dan di sisi lain menjadi kesadaran estetis pemain politik untuk sadar bahasa dan imajinasi.
Fenomena puisi (pantun) masuk politik memang sesuatu yang masih ganjil untuk konteks Indonesia. Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, 2001) mengingatkan bahwa puisi dan politik berada dalam ambivalensi yang sama. Puisi dan politik berjumpa dalam serba kemungkinan. Ignas Kladen memberi suatu pemahaman historis bahwa politik mulai zaman Bismarck adalah seni kemungkinan (the art of the possible) dan puisi mulai zaman Aristoteles adalah dunia kemungkinan (the wordl of the possible). Pembayangan Ignas Kleden atas kondisi Indonesia adalah politik sebagai seni kemungkinan bisa menemukan dirinya kembali dalam puisi sebagai dunia kemungkinan.
Pantun politik Tifatul adalah lanjutan dari fragmen politik mutakhir. Kesadaran estetika dan imajinasi dalam lakon politik Indonesia mulai eksplisit melalui iklan-iklan politik dan agenda-agenda politik-kebudayaan. Fenomena mengejutkan mulai kentara pada penampilan iklan politik Sutrisno Bachir (Ketua Umum PAN) menjelang puncak peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Iklan politik itu eksplisit menghadirkan kesadaran estetika dengan pemakaian referensi puisi “Diponegoro” dari Chairil Anwar. Kutipan penting untuk ruh iklan politik itu: “Sekali berarti, sudah itu mati.”
Ungkapan itu menjadi acuan untuk interpretasi politis: “sekali berarti” adalah sebuah penegasan bahwa esensi kehidupan adalah perbuatan, kehendak untuk mencipta, dorongan untuk memberi yang terbaik, serta semangat untuk menjawab tantangan zaman. Tafsir itu hendak mencitrakan sosok dan pandangan Sutrisno Bachir mengenai kondisi Indonesia. Sutrisno Bachir dengan taktis memakai ungkapan “Hidup adalah perbuatan” sebagai aporisma politik yang estetis dan imajinatif dalam konteks politik. Iklan politik itu jadi bukti kontribusi Sutrisno Bachir dalam konstruksi politik Indonesia mutakhir dengan referensi puisi Chairil Anwar dan kesadaran atas imajinasi politik.
Pencitraan Sutrino Bachir dalam iklan politik merupakan realisasi dari kerja sama dengan tim produksi dari Rizal Mallarangeng. Sentuhan-sentuhan estetika itu mungkin berasal dari Rizal untuk memberi karakteristik kuat dan implikatif. Iklan politik itu memang sanggup menjadi pusat perhatian publik dan memberi kesan progresif dalam penggarapan iklan sesuai dengan wacana kebudayaan visual mutakhir. Iklan politik dengan referensi puisi mulai mendapatkan perhatian besar dari pemain politik dan publik.
Kesadaran estetis dan imajinasi politik pun kentara dalam iklan politik Rizal Mallarangeng yang memutuskan untuk maju sebagai calon presiden. Aporisma terkenal dari Rizal adalah “If there is a will there is a way” (Jika ada kemauan selalu ada jalan terbuka). Rizal dengan sadar memilih karakter estetik untuk menjadi jembatan dalam komunikasi dengan publik. Kesadaran itu mulai mengesankan kekuatan dan identitas intelektual dalam pemakaian bahasa Inggris. Rizal cenderung menampilkan diri sebagai sosok intelektual yang patut untuk mejadi pemimpin di Indonesia. Pemakaian bahasa Inggris itu mungkin terasa paradoks dengan kondisi masyarakat literasi Indonesia yang terbiasa masuk dalam wacana politik dengan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memang belum lazim untuk jadi pilihan komunikasi politik dengan publik.
Citra intelektual Rizal mungkin pengaruh selama studi dan menjadi pengajar di Amerika Serikat. Pengaruh itu semakin kentara dengan referensi puisi yang dihadirkan Rizal dalam advertorial di koran nasional. Advertorial dengan judul “Surat buat Semua” mencantumkan kutipan puisi dari penyair Robert Frost dari Amerika. Proses atau jalan politik yang ditempuh Rizal dalam perpolitikan Indonesia ingin menemukan pembenaran dengan acuan ungkapan terkenal dari Robert Frost: “This ia a road less-traveled bay.” Rizal dengan kutipan puisi itu membayangkan bahwa ada pertemuan imajinasi dan kondisi riil dalam politik Indonesia.
Sutrisno Bachir dan Rizal Mallarangeng memosisikan diri sebagai pemaian dengan referensi puisi. Posisi itu berbeda dengan Tifatul Sembiring yang berani menjadi pemain dengan pantun politik. Tifatul memang selama ini tidak dikenal sebagai penyair tapi kehadiran pantun politik itu membuktikan kesanggupan dan kesadaran Tifatul bahwa politik butuh imajinasi atau permainan bahasa yang estetis. Pemain (capres) lain yang belum tampil terbuka dengan iklan politik atau puisi adalah M. Fadjroel Rachman dan Ratna Sarumpaet. M. Fadjroel Rachman memang seorang penyair, esais, dan novelis. Kompetensi sastra itu itu belum jadi juru bicara ampuh dalam komunikasi politik meski Fadjroel Rachman sebelum pencalonan diri sudah menerbitkan buku kumpulan puisi Catatan Bawah Tanah (1993) dan Sejarah Lari Tergesa (2004). Ratna Sarumpaet sebagai seniman yang intens dalam teater dan sempat mengurusi Dewan Kesenian Jakarta juga belum hadir dengan puisi untuk komunikasi politik dengan publik.
Politik Indonesia menjadi ramai dan imajinatif dengan puisi. Pemakaian bahasa dengan bentuk puisi bisa melawan (menandingi) kodifikasi bahasa politik Indonesia yang selama ini cenderung kaku, formal, dan prosais. Politik menjadi pelangi dan reflektif karena puisi memberi hak untuk sekian interpretasi dengan tegangan teks dan realitas. Begitu.

Dimuat di Pikiran Rakyat (23 Agustus 2oo8)