Selasa, 25 November 2008

Risiko Teknologi dalam Pornografi

Oleh Haris Firdaus

PERKEMBANGAN teknologi komunikasi, terutama komunikasi visual, selalu diiringi dengan pertumbuhan pornografi. Sejarah membuktikan, pornografi merupakan salah satu risiko paling purba dari teknologi. Namun, catatan historis juga menunjukkan bahwa industri porno memiliki andil sebagai pendorong pertumbuhan teknologi visual baru. Teknologi dan pornografi, oleh karenanya, bertalian secara amat erat.

Penemuan kamera film pertama pada 1890, misalnya, segera disusul dengan pembuatan rekaman video porno. Tidak lama setelah penemuan itu, kamera film langsung dipakai merekam perempuan-perempuan telanjang dalam berbagai pose.

Pada permulaan abad 20, film pertama yang eksplisit mempertontonkan persetubuhan mulai diproduksi. Peredarannya kala itu amat terbatas, hanya pada lingkaran kecil kolektor kaya yang mampu membeli proyektor 35 milimeter. Ketika penemuan kamera dan proyektor 16 milimeter yang jauh lebih murah terjadi, terbukalah jalan bagi lahirnya industri porno bersakala besar, terutama di Amerika Serikat (Agustinus, 2008).

Pesatnya pertumbuhan teknologi yang diiringi dengan pornografi juga bisa dilihat pada maraknya video porno yang direkam menggunakan kamera ponsel. Ketika ponsel yang dilengkapi kamera makin banyak diproduksi, jumlah rekaman video dan gambar mesum juga makin banyak.

Berbagai kasus yang diberitakan media massa bisa menjadi bukti betapa peredaran video dan gambar porno kini terjadi secara lebih massif dan tidak hanya melibatkan perusahaan-perusahaan yang memang membisniskan pornografi. Pornografi bisa melibatkan siapapun: pelajar, mahasiswa, artis, sampai pejabat politik.

Di dunia cyber, pornografi adalah fenomena yang amat mudah dijumpai. Sebuah survei menunjukkan, tatkala pertama kali jaringan internet dioperasikan secara luas, kata paling banyak yang diketikkan di mesin pencari adalah ”seks”, ”porno”, dan alat kelamin dalam berbagai bahasa. Sampai hari ini, meski Undang-Undang Pornografi telah disahkan di Indonesia, situs-situs porno tetap merajai internet.

Survei kecil-kecilan yang belum lama ini dilakukan Enda Nasution membuktikan, frekuensi pencarian kata-kata yang berkaitan dengan pornografi pada Bulan Ramadan tahun ini ternyata tetap tinggi. Penurunan kuantitas hanya terjadi pada masa awal Ramadhan. Setelah beberapa hari awal Ramadan, jumlah orang di Indonesia yang mengetikkan kata-kata yang memiliki relasi dengan pornografi di mesin pencari tetap saja banyak.

Seks Virtual

Alan Bullock (1988) mendefiniskan pornografi sebagai representasi (dalam literatur, film, video, drama, seni rupa, dan sebagainya) yang tujuannya untuk menghasilkan kepuasan seksual. Berbeda dengan sebuah hubungan seksual secara ragawi, pornografi bisa memberi kepuasan seksual pada para penikmatnya tanpa harus disertai dengan kontak fisik.

Semakin sempurnanya teknologi audiovisual yang digunakan untuk menyebarkan pornografi membuat kepuasan seksual yang didapat oleh para penikmat pornografi juga makin meningkat. Di dunia cyber, penemuan-penemuan baru dalam teknologi citra digital memungkinkan hadirnya efek-efek seksual yang makin sempurna dan terus mendekati kenyataan.

Yasraf Amir Piliang (2004: 370) menyebut, manipulasi dan simulasi citra digital bisa menghasilkan representasi tubuh, wajah, organ, suara, dan gerakan yang dapat disempurnakan penampakannya, ditingkatkan kemampuannya, dan dimaksimalkan ketahanannya.

Di internet saat ini, kita tak hanya bisa menemukan jutaan gambar dan video porno yang bisa diakses kapan saja dengan syarat amat mudah, tapi juga berbagai ”layanan seksual” tingkat lanjut seperti chatting secara audiovisual dengan orang-orang yang bersedia melakukan tindakan-tindakan seks tertentu di hadapan kita. Di masa depan, berdasar prediksi yang dibuat Howard Rheinghold (1991), hubungan seksual bahkan bisa dilakukan secara virtual. Rheinghold menyebut hubungan seks virtual itu dengan sebutan ”teledildonic”.

Hubungan seks virtual macam itu, menurut Steven Aukstakalnis (1992), diangankan bisa dilakukan dengan cara melapisi seluruh tubuh manusia ”termasuk organ genital dan zona-zona erotis lainnya” dengan semacam ”pakaian realitas virtual” yang terdiri dari berbagai sensor (perangkat pengirim sinyal ke dunia cyber) dan effectors (saluran pengiriman kembali informasi ke pengguna). Dengan teknologi semacam ini, dua orang bisa melakukan hubungan seksual jarak jauh: mereka bisa saling melihat, mendengar, dan bahkan meraba tanpa harus bertemu secara fisik (Piliang; 2004: 374).

Pendorong

Selain sebagai risiko, pornografi juga berperan sebagai pendorong laju pertumbuhan teknologi komunikasi visual. Seperti disebut Ronny Agustinus (2008), sejarah telah membuktikan bahwa tumbuh kembang teknologi visual selalu mendapat dorongan dari pornografi. Industri pornografi terus mendorong penemuan-penemuan teknologi baru dengan satu tujuan: menyempurnakan servis mereka pada para pelanggan.

Ronny mengatakan, pengembangan teknologi VCD dan DVD, penemuan televisi kabel dan televisi satelit, serta pemercepatan riset teknologi 3G, semuanya didorong oleh industri pornografi. Punahnya teknologi video Betamax, misalnya, bukan hanya karena teknologi ini kurang bisa sesuai dengan komputer, namun juga karena adanya kesepakatan para industriawan porno se-Amerika Serikat untuk menggunakan teknologi VHS. Teknologi baru ini digunakan karena kualitas gambar yang dihasilkannya lebih tajam.

Penemuan teknologi VCD dan DVD disokong sepenuhnya oleh para produsen film biru karena teknologi ini membuat pelanggan mereka bisa mempercepat film untuk sampai pada adegan yang mereka inginkan saja. Sementara itu, televisi kabel dan televisi satelit tak akan muncul di dunia jika para pengusaha pornografi tak merintis teknologi itu dalam bentuk layanan premium di hotel-hotel dan jaringan digital.

Semua fakta ini menunjukkan, pornografi bukan hanya merupakan akibat dari perkembangan teknologi tapi juga merupakan pendorong bagi tumbuh kembangnya teknologi visual. Teknologi dan pornografi, oleh karenanya, ada dalam posisi yang dialektis: keduanya saling memengaruhi, saling memberi kontribusi, dan saling mengisi. Keduanya seolah disatukan oleh sebuah simpul erat, sebuah simpul yang hingga kini tetap sulit untuk direnggangkan.

(Dimuat di Suara Merdeka, 24 NOvember 2008)

Imajinasi Transformatif: Rupa dan Kata

Oleh: Bandung Mawardi

Pencerita seni rupa itu adalah Sindhunata. Pencerita mumpuni dengan sekian buku dalam konstruksi kata dan rupa. Kehadiran buku puisi dan novel menjadi kehadiran kompleks dari permainan tafsir dunia kata dan dunia rupa. Buku-buku Sindhunata adalah ruang untuk interaksi dalam titik temu dan perselingkuhan. Kata dan rupa mungkin untuk hadir bersamaan sebagai manunggaling kata dan rupa atau mungkin untuk berada dalam kamar berbeda secara otonom tapi bisa saling sapa. Buku-buku (novel dan puisi) Sindhunata mengandung pertanyaan dan jawaban atas kemungkinan-kemungkinan imajinasi transformatif dalam rupa dan kata.
Novel Semar Mencari Raga (1996) dengan eksplisit menunjukkan niat dan proses kreatif Sindhunata untuk melakukan transformasi imajinasi dari seni rupa menjadi konstruksi kata. Sindhunata dalam kata pengantar mengakui bahwa novel itu terilhami oleh lukisan-lukisan tentang Semar untuk suatu pameran di Gedung Bentara Budaya (Yogyakarta) pada tahun 1996. Pameran itu menghadirkan lukisan Agung Leak Kurniawan, Djoko Pekik, Eddie Hara, Hamura Hosea, Hari Budiono, Hari Wahyu, Hendro Suseno, Murtianto Antik, Nasirun, dan Suatmaji.
Rupa sebagai ilham memiliki sekian tafsir dalam rentetan imajinasi lalu menjadi suatu totalitas teks cerita. Sindhunata melakukan perjalanan imajinasi dari lukisan-lukisan itu untuk mengonstruksi unsur-unsur cerita dalam medium kata. Proses kreatif dengan mekanisme ini membutuhkan tafsir transformatif dalam tendensi afirmatif atau subversif. Novel Semar Mencari Raga membuktikan kelihaian Sindhunata untuk menciptakan ruang dialog rupa dan kata dalam fragmen-fragmen transformatif.
Lukisan-lukisan dengan tema dan karakter berbeda menemukan ruang imajinatif dalam peletakan di halaman-halaman novel. Tafsir transformatif dengan kata justru menghadirkan totalitas dalam percampuran atau konspirasi imajinasi kata dan rupa. Konstruksi kata dalam novel itu memang tampak mendominasi ketimbang peran lukisan. Dominasi itu tidak mematikan atau meminggirkan lukisan karena ada jejaring untuk membaca dan menikmati interaksi kata dan rupa dengan tatapan mata dan mobilitas imajinasi.
Novel Semar Mencari Raga seperti prolog dari pergulatan kata dan rupa Sindhunata. Pergulatan itu mengantarkan pada intensitas untuk garapan-garapan kolaboratif dalam proses kreatif dan mekanisme transformasi bentuk dan nilai. Sindhunata dengan novel Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram (2000) semakin memasuki ruang intim antara kata dan rupa. Keintiman itu mengarah pada sublimitas teks. Sindhunata dalam novel itu memakai lukisan-lukisan Djokopekik sebagai referensi penting. Sindhunata malah mengakui bahwa kehadiran novel itu mengacu pada sosok Djokopekik dan lukisan-lukisan celeng dari Djokopekik sebagai sumber inspirasi dan imajinasi.
Mobilitas imajinasi Sindhunata tampak lincah dan liar dalam mentransformasikan sekian referensi dalam konstruksi teks. Lukisan-lukisan Djokopekik memang hadir secara material pada halaman-halaman awal novel itu. Kehadiran imajinasi lukisan memang cukup dominan dalam novel dan mengalami interaksi dari referensi-referensi lain. Sindhunata dalam novel itu mengakui memiliki pelbagai referensi cerita dari Ki Timbul Prayitno, Bondan Nusantara, Suparma Suryaganda, dan Hari Budiono. Pola interaksi dalam novel itu semakin kompleks dan inklusif untuk permainan tafsir.
Ruang untuk lukisan dalam novel Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram (2000) kurang mendominasi halaman-halaman novel. Konstruksi novel itu seperti hendak menguatkan klaim sebagai teks (kata) dengan instrumen lukisan dan foto-lukisan dalam porsi kecil dan sedikit. Tafsir atas sosok Djokopekik dan lukisan-lukisan celeng menemukan transformasi menggemaskan karena Sindhunata melakukan mobilitas tematik: politik, mental, tingkah laku, kemunafikan, kekejaman, kejahatan, dendam, nafsu, dan naluri. Sindhunata dengan novel itu seperti mendedahkan risalah mitos dan filsafat dengan narasi liris dan kritis.
Pergulatan intensif Sindhunata sebagai pencerita seni rupa masih melaju kencang dalam ikhtiar mencari dan merumuskan eksperimen-eksperimen estetika. Penerbitan buku puisi Air Kata Kata (2003) membuktikan kapasitas imajinasi transformatif. Buku itu menjadi bukti ketekunan Sindhunata untuk olah imajinasi dengan kata dan rupa. Buku tebal itu memuat puisi-puisi Sindhunata dan lukisan-lukisan dari perupa-perupa ampuh: Djokopekik, Edi Sunaryo, Hari Budiono, Hermanu, Hendro Suseno, Ong Hari Wahyu, Agus Suwage, Nasirun, Arahmaiani, Sekar Jatiningrum, Ivan Sagita, Sigit Santosa, Yuswantoro Adi, Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Sulasno, Ismanto, Agus Suyitno, Alex Luthfi, Yamyuli Dwi Iman, Ugo Oentoro, Eko Nugroho, dan Bambang Toko.
Sindhunata dalam buku itu mengingatkan bahwa lukisan-lukisan dari para perupa itu jangan dipandang sebagai tafsiran, ilustrasi, atau pelengkap untuk puisi-puisi. Lukisan-lukisan itu bisa dinikmati lepas dari puisi. Sindhunata melabeli kemungkinan itu sebagai “karya rupa yang berkata-kata”. Label itu menunjukkan otonomi lukisan dalam buku kata-rupa untuk mobilitas imajinasi.
Kehadiran buku Air Kata Kata dalam khazanah sastra Indonesia modern memang fenomenal karena dualisme dan inklusifitas pelabelan sampai penafsiran. Sindhunata menjuluki buku itu sebagai “buku rupa yang berkata-kata”. Kehadiran rupa dan kata dalam buku itu memang memungkinkan tafsiran-tafsiran otonom tapi ekstase tafsir justru lahir dari pola relasional atau interaksi antara rupa dan kata. Pertemuan kekuatan imajinasi perupa dan penyair dalam konstruksi buku itu memang berada pola konvergensi dan divergensi imajinasi. Pengumpulan dan sebaran imajinasi terjadi sesuai dengan kehadiran bersama antara rupa dan kata.
Rupa dan kata untuk puisi “Kesedihan Putri Cina”, “Wajah Putri Cina”, “Kerinduan Putri Cina”, “Kalung Putri Cina”, “Kesendirian Putri Cina”, dan “Pualam Dingin Putri Cina” mengesankan keintiman imajinasi antara Sindhunata dengan perupa Putu Suta Wijaya. Pola relasional antara rupa dan kata berada dalam jarak dekat. Rupa-kata saling menguatkan sebagai sesama pusat tafsiran. Keintiman ini justru kurang memberi ruang untuk divergensi imajinasi. Sosok Putri Cina dalam kata masih memiliki selubung atau tabir imajinasi. Kondisi itu menjadi cenderung eksplisit dengan kehadiran rupa dalam sosok Putri Cina. Relasi ini menjadi representasi paradoks dalam otonomi antara rupa dan kata.
Transformasi imajinasi Sindhunata menemukan eksperimen lain dalam novel Putri Cina (2007). Sindhunata dalam novel itu melakukan eksplorasi tematik dan karakter tokoh dengan acuan (prototipe) dari sebuah katalog untuk Pameran Lukisan Putri Cina karya Hari Budiono pada tahun 1996. Sindhunata dalam proses penulisan novel itu melakukan interaksi intensif dan kreatif dengan Hari Budiono untuk eksplorasi dan transformasi imajinasi. Sindhunata dalam pengantar novel mengakui proses dialektis: “Kami (Sindhunata dan Hari Budiono) kerap berbincang-bincang. Dan dari perbincangan itu lahirlah antara lain lukisan-lukisannya yang bertema Putri Cina. Lukisan-lukisannya itu telah memberi banyak inspirasi bagi kisah dalam buku ini.”
Novel Putri Cina secara lahiriah menunjukkan fase kerenggangan kata dan rupa. Jejak keintiman lahiriah kata dan rupa sekadar hadir pada sampul buku. Sampul buku itu menghadirkan lukisan Hari Budiono dengan judul “Indonesia: Mei 1998”. Sindhunata dalam novel itu seolah menunjukkan intensitas dalam tendensi kerja kata meski dengan transformasi imajinasi dari percampuran seni rupa dan referensi-referensi lain. Novel dengan tebal 304 halaman itu bersih dari rupa sebagai ilustrasi secara otonom atau pola relasional. Halaman-halaman sesak dengan kata dan letupan-letupan imajinasi yang dalam prosentase tertentu mengacu pada rupa. Sindhunata dengan novel Putri Cina melakukan peluapan imajinasi dengan kata. Rupa secara lahiriah memang tidak ada tapi kehadiran jejak-jejak imajinasi dari rupa masih ada dalam novel itu. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (23 November 2oo8)

Rabu, 12 November 2008

Teknologi dan Cyberspace

Oleh: Bandung Mawardi

Revolusi teknologi sampai hari ini belum sampai babak akhir atau tanda titik. Kuasa teknologi justru tampak dalam keramaian dan kesibukan realitas virtual dengan label cyberspace. Realitas virtual menjadi kiblat baru untuk utopia massif dengan keajaiban-keajaiban. Utopia itu membuat umat teknologi lekas masuk dalam permainan risiko.
Cyberspace menebar sihir sejak tahun 1990-an dengan janji sorga dan kenikmatan tak selesai. Roger Fidler dalam Mediamorfosis (2003) menjelaskan bahwa realitas virtual melahirkan gagasan untuk pembentukan dunia dengan komunitas virtual sebagai sisi lain dari realitas hidup. Realitas virtual memberi kemungkinan-kemungkinan untuk pamrih meluaskan cakrawala dan pengalaman melalui teknologi-virtual sebagai pemenuhan pamrih di luar realitas hidup.
Cyberspace dalam pemahaman optimistik adalah realisasi otoritas dan kontrol individu terhadap arus informasi. Hak individu itu merepresentasikan publik melek-sadar-informasi dalam keterlibatan aktif dan selektif. Cyberspace dalam pandangan pesimistik adalah pemicu disintegrasi sosial dalam realitas hidup. Argumentasi pesimistik itu mengacu pada internet dengan memberi kemungkinan pada individu-pemakai untuk anarkis, sosiopatik, konspirasional, dan paranoid.
Cyberspace masuk ke pelbagai negeri sebagai demam dan gairah tak tertahankan. Revolusi teknologi pun menjadi parodi atau ketidaklumrahan ketika umat teknologi main sebagai konsumen dengan candu dan ekstase melampaui realitas hidup. Kritik-kritik atas realitas virtual kerap terabaikan oleh konspirasi global-massif dengan anutan: cyberspace adalah sorga hidup terjanjikan pada hari ini dan hari esok.
* * *
Janji manis dari revolusi teknologi atas nama cyberspace adalah ikhtiar komunikasi dan informasi dalam dunia global membutuhkan kunci dan sistem sentralistik. Internet menjadi juru bicara ampuh untuk pamrih mempersatukan dunia dengan arahan mengatasi realitas hidup hari ini. Janji itu sejak awal mengandung petaka (dosa) tapi tak tampak dan tak merisaukan umat teknologi.
Kesadaran kritis atas petaka itu didedahkan oleh Mark Slouka dalam War of teh Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality atau Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan (1999) sebagai peringatan dini. Mark Slouka mengartikan cyberspace sebagai ruang simbolis untuk hunian umat manusia tidak dalam kehadiran fisik. Cyberspace adalah kehidupan tanpa batas karena ada mantra dan mekanisme melampaui fenomena dan fakta dalam realitas hidup. Kehadiran cyberspace patut mendapati curiga untuk menghindari hiperealitas tanpa jejak dan sejarah otentik manusia.
Mark Slouka curiga bahwa Cyberspace adalah tanda peringatan untuk sesal ketika manusia rapuh atau kehilangan identitas dan sisi spiritualitas karena permainan hasrat teknologi. Ritual hidup dengan komputer-internet cenderung mengajarkan reduksi atas refleksi atau kontemplasi. Teknologi justru mengantarkan manusia pada petualangan menggairahkan dalam fantasi-imajinasi, permainan, atau impian. Cyberspace menjadi madu dan racun untuk lakon hidup manusia modern.
Mark Slouka dengan kritik-satire mengingatkan bahwa cyberspace sebagai momok kekaburan definisi dan makna realitas, identitas, ruang, komunitas, dan solidaritas. Cyberspace adalah halusinatif atau permainan representasi semu. Pemahaman itu menjadi acuan untuk menilai laku pemakai teknologi ketika masuk dalam cyberspace dengan risiko memiliki jarak atau kehilangan realitas hidup. Cyberspace cenderung menganut aturan isolasi-realitas dan alienasi-realitas. Janji-janji melampaui realitas memang memberi kenikmatan tanpa batas tapi ada mekanisme kehilangan referensi-referensi otentik atas realitas hidup.
* * *
Revolusi teknologi memang kerap melahirkan ketakjuban dan ramai dengan keimanan mutakhir umat teknologi. Telepon, televisi, atau internet adalah revolusi teknologi dengan kisah-kisah menakjubkan untuk perubahan tatanan hidup manusia: kisah absurd tapi realis. Revolusi teknologi selalu meminta iman dengan ketundukan dan dominasi. Fakta itu membuat teknologi kerap menebar sakit dan risiko mengenaskan-melenakan.
Abad XX dan XXI adalah abad televisi, abad telepon, abad internet, abad virtual, abad teknologi-komunikasi, abad cyberspace. Umat teknologi tak henti dan birahi untuk mendapati revolusi hidup. Pamrih menikmati hidup indah dengan teknologi justru melupakan kompensasi dan sisi gelap revolusi teknologi. Yasraf Amir Piliang (2004) dengan kritis mengajukan peringatan bahwa integrasi, nasionalisme, atau solidaritas terus kehilangan realitas sosial dan lekas menjadi mitos karena revolusi teknologi global. Teknologi-teknologi mutakhir justru menjadi indikasi untuk tragedi akhir sosial.
Sebaran kuasa televisi, telepon, atau internet di pelosok negeri menjadi operasionalisasi utopia teknologi untuk memberi sorga dan kenikmatan hidup pada umat manusia. Fakta mutakhir mencengangkan adalah internet. Internet menjelma juru selamat atau penunjuk jalan untuk masuk dalam lakon masyarakat global: politik global, ekonomi global, budaya global, informasi global, atau gaya hidup global. Internet masuk dengan janji perubahan nasib dalam akses informasi dan komunikasi melalui sistem dan konstitusi sesuai imperatif-imperatif ideologi teknologi.
Internet pada hari ini merupakan ritual mumpuni dalam merayakan cyberspace. Internet adalah kisah dengan ketakjuban dan kelenaan. Internet pun menjadi jawaban untuk perkara chatting sampai lakon politik. Internet menggairahkan karena kerap memberi kemudahan dan keajaiban. Internet menggelisahkan karena kesamaran batas akhir kenikmatan atau kontrol otonomi dalam kondisi kecanduan.
Kerepotan dan kemudahan hidup mulai tak karuan untuk batas beda atau batas nilai. Rumah mulai menjadi panggung untuk keramaian lakon televisi, telepon, dan internet. Internet adalah lakon sugestif-imperatif untuk membuat umat teknologi tak usah meninggalkan rumah dalam mengurusi seribu satu perkara hidup. Internet ingin memanjakan manusia untuk terpinggirkan dari kesadaran ruang-waktu dan realitas hidup? Inikah janji sorga cyberspace? Revolusi teknologi komunikasi-informasi dalam konteks cyberspace mungkin mengantarkan manusia tidak dalam pencarian makna tapi pencairan makna secara sembrono.
* * *
Kemabukan diri ketika masuk cyberspace melalui internet menjadi kisah menggelisahkan. Laku mengakses informasi-komunikasi dengan internet memang kelumrahan tapi gairah untuk masuk dalam permainan-permainan manja bisa melahirkan tragedi-realitas. Kesibukan dengan internet membuka pintu untuk isolasi dan alienasi dari relitas hidup. Realitas representasi justru mengantarkan pemakai teknologi masuk dalam cerita bersambung tanpa ada epilog. Kisah itu fakta imperatif dari revolusi teknologi sebagai revolusi hidup.
Televisi, telepon, atau internet belum mati. Teknologi-teknologi itu justru terus melakukan metamorfosa mencapai kesempurnaan untuk memberi manusia janji seribu sorga. Realitas hidup selalu mendapati godaan-godaan melenakan atas nama tatanan hidup mutakhir. Cyberspace mulai jadi kiblat hidup dengan ketakjuban dan keajaiban. Cyberspace telah mengantarkan manusia hadir dalam tegangan realitas-representasi-semu atau realitas hidup. Cyberspace pada hari ini adalah tanda tanya dan tanda seru untuk pamrih manusia menjadi manusia. Begitu.


Dimuat di Suara Merdeka (1o November 2oo8)

Ziarah Imajinasi: Kata dan Kota

Oleh: Bandung Mawardi

Kata mengantarkan manusia untuk menciptakan, menemukan, menghancurkan, atau membunuh kota. Drijarkara (1956) mengingatkan bahwa kota itu kata dan ruang yang mengandung kengerian dan risiko. Kota sebagai kata memang memberi utopia dan janji indah tapi melenakan dan melengahkan. Kota sebagai ruang hidup adalah ruang kompetisi, konfrontasi, dan konflik. Kota dalam kisah dan deskripsi itu lahir dengan narasi kata dan kekuatan imajinasi. Kota itu hidup dan mati karena imajinasi dalam suatu konstruksi teks. Drijarkara menulis arti kota dengan referensi fakta kota-kota di Indonesia
Teks atau tulisan memiliki kekuatan imajinasi. James Joyce menuliskan cerita-cerita mumpuni dan impresionistis mengenai tokoh, kisah, peristiwa, dan suasana kota Dublin. Cerita-cerita James Joyce menggerakan pembaca melakukan ziarah imajinasi dengan semiotika melimpah mengenai kota. James Joyce dengan buku Dubliners mengisahkan fakta dan fiksi kota dengan fasih dan hidup. Dubliners adalah manifestasi kata dan kota mengacu pada pengisahan semiotik dan simbolis.
Kota dengan imajinasi-imajinasi memukau dikisahkan Italo Calvino dalam Invisible Cities. Kisah-kisah dalam teks itu menguraikan kenangan, keinginan, tanda, nama, dan sekian hal. Italo Calvino dengan imajinatif mengantarkan pembaca pada dialog sejarah dan konstruksi kota dalam metafor-metafor lirih, sendu, dan mencengangkan. Pengisahan kota menjadi manifestasi dari kekuatan kata dan keterbukaan ziarah imajinasi.
Kata mengantarkan imajinasi kota. Kata memiliki kemungkinan-kemungkinan dengan konstruksi metafor untuk membuka pintu ziarah imajinasi yang mencengangkan, menegangkan, dan menggairahkan. Metafor memainkan peran sebagai acuan konstruksi kota dalam tegangan fiksi dan fakta. James Joyce dengan fasih dan mumpuni membuktikan bahwa kata mengisahkan dan mengekalkan kota. Metafor menjadi sebuah kunci dalam konstruksi kota secara imajiner dan faktual.
Kata dan kota pun identik dengan sastra Indonesia modern. Sastra modern lahir di kota dan cenderung mengisahkan kota sebagai pusat. Jakob Sumardjo dalam sekian tulisan kerap mengulangi bahwa identitas sosiologis sastra Indonesia adalah kota. Teks-teks sastra lahir dengan ruh kota. Teks-teks itu menjadi acuan dari ziarah imajinasi yang memberi pengaruh pada proses transformasi sosial, ekonomi, politik, dan kultural di Indonesia. Kota-kota dalam teks-teks sastra Indonesia modern memainkan dominasi dengan kecenderungan-kecenderungan streotipe. Kota kerap dikisahkan dengan konstruksi teks dan metafor yang miskin dan klise.
Pilihan-pilihan metafor menjadi penentu kekuatan sebuah teks untuk mengantarkan pembaca dalam ziarah imajinasi. Metafor kota yang liris ada dalam puisi Goenawan Mohamad “Kepada Kota” (1963). Puisi itu dengan lembut mengisahkan kota dalam metafor-metafor liris. Kota sebagai pusat modernitas menemukan kisah lain dalam puisi Goenawan Mohamad. Mobilitas kota dan fakta-fakta besar mengenai kondisi kota menjadi luluh dan lamban. Goenawan Mohamad menulis kota dalam paradoks diam dan tegang: Hindarkan saat-saat senyap: udara mengertap / deru mobil dan huruf-huruf berlampu kerjap. Kota itu menjadi semiotika yang terbuka. Pengisahan itu menemukan konklusi dalam pilihan membaca dan menerima kota: Biarkan kita terjaga / Biarkan bumi semakin bergesa. Konklusi itu adalah siasat terhadap abad yang berlari dan dunia yang berlari.
Kisah (sejarah) kota-kota di Indonesia memang masih menyimpan curiga dan rahasia. Kota-kota itu menemukan bentuk kisah dalam teks sastra, catatan perjalanan, dan buku. Referensi–referensi mengenai kota-kota itu ada dalam kontruksi kata dengan pilihan sebagai fiksi, berita, catatan, atau studi ilmiah. Tome Pires menjadi sosok penting dalam pengisahan kota-kota itu dengan deskripsi dan imajinasi. Tome Pires dengan Summa Oriental adalah referensi mumpuni untuk ziarah imajinasi mengenai kota-kota di Indonesia pada abad XVI.
Kota-kota itu tumbuh dan kentara mengonstruksi diri menjadi kota modern sejak permulaan abad XX. Pertumbuhan kota-kota modern itu membawa nostalgia dan utopia dalam janji suci dan risiko. Kota mulai menjadi perkara merepotkan dalam kerja sastra. Teks-teks sastra hadir dalam dalil dan pamrih pengisahan kota dengan kritik dan afirmasi. Catatan pendek mengenai sastra Indonesia modern membuktikan bahwa ada kekakuan dalam menuliskan metafor dan ajakan untuk ziarah imajinasi yang menggelisahkan dan menggairahkan.
Kekakuan itu pecah dengan lirik-lirik kota yang dituliskan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Rendra, dan Afrizal Malna. Metafor-metafor mutakhir menemukan ruh imajinasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna yang kerap lahir dan bergerak dalam kota. Afrizal Malna biografis tumbuh dan hidup dengan kisah-kisah kota dalam tegangan modernitas. Afrizal Malna membaca dan menulis kota itu dalam puisi. Konstruksi kata dan imajinasi kota dengan tensi tinggi dan bau keras ada dalam puisi-puisi Afrizal Malna.
Afrizal Malna dalam puisi “Liburan Keluarga dan Pipa-Pipa Air” menulis: “Saudara, kota telah dibuat dari bangkai-bangkai sungai.” Metafor-metafor kota dari Afrizal Malna menjadi juru bicara pemikiran kritik modernitas. Kota sebagai pusat modernitas menjadi perkara karena kuman dan kematian sejak mula ada dalam kota. Kata dan kota dalam puisi Afrizal Malna memiliki jalan lain dari streotipe-sterotipe perpuisian Indonesia modern.
Afrizal Malna dengan metafor-metafor mengabarkan sebuah imperium semiotik yang memberi sekian kunci untuk pembaca memilih ziarah imajinasi melalui pintu depan, samping, bawah, atas, atau belakang. Biografi kota dari Afrizal Malna melahirkan impresi-impresi menegangkan dalam teks puisi. Biografi dalam migrasi mengantarkan Afrizal Malna untuk menuliskan sebuah kota dengan kenes dan ironi dalam puisi “Mikropon yang Pecah”: Kota kecil itu kini jadi kata tanpa penghuni …. Orang mengatakan bahasa jadi yatim piatu di kota kecil itu. Afrizal Malna menuliskan kota dengan ironi tentang kehadiran eksistensi, komunikasi, dan interaksi untuk laku hidup manusia. Puisi itu getir.
Ironi kota terus menemukan klimaks dalam pengucapan keras dan reflektif. Afrizal Malna dalam puisi “Bis Membawa Mereka Pergi” dengan fasih mengisahkan kota dengan kengerian dan kebuasan. Afrizal Malna menulis: Kota seperti etalase dihuni jam weker yang buas di situ. Kisah kota dalam klimaks lain dituliskan dalam puisi “Mitos-Mitos Kecemasan”: Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Kota menjadi ruang untuk tragedi dan tumbal modernitas. Ziarah imajinasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna memberi kemungkinan pada pembaca melakukan negasi atau afirmasi karena kata-kata Afrizal Malna. Intensitas pengisahan kota masih bisa ditemukan dalam puisi-puisi akhir Afrizal Malna.
Imajinasi kota memberi kemungkinan kelahiran curiga dan membaca kota dengan miris atau kelaziman. Pertumbuhan kota-kota di Indonesia memang mengandung denotasi-denotasi mencengangkan. Kota ada dengan konstruksi besar dalam alur dan klimaks-klimaks kompleks dan semrawut. Kota dengan konotasi-konotasi tertentu mulai diabaikan dan dilupakan karena pragmatisme menata hidup dan kebebalan dalam membaca imperium semiotik kota.
Kota-kota terus mengalami perubahan dan kata terus mengucapkan kota dengan eksplisit atau implisit. Kata masih mungkin menjadi kunci ziarah imajinasi kota untuk luluh dan remuk dalam fakta atau realitas kota. Puisi masih patut menjadi tukang dongeng dengan metafor-metafor. Afrizal Malna dalam puisi “Pindah ke Kota Lain” menulis: lampu / merah dan tanda jalan tidak bisa menahan perubahan kota …. kami sibuk / mencari kota. tempat puisi membangun / atap bahasa. Ziarah imajinasi kata dan kota selalu belum selesai. Begitu.


Dimuat di Lampung Post (9 November 2oo8)

Minggu, 02 November 2008

Sumpah Pemuda: Catatak Kaki Sejarah

Oleh: Bandung Mawardi

Judul : Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol
Kebangsaan Indonesia
Penulis : Keith Foulcher
Penerjemah : Daniel Situmorang dan Iskandar P. Nugraha
Penerbit : Komunitas Bambu (Jakarta)
Terbit : 2008
Tebal : xxxviii+114 Halaman

Sumpah Pemuda menjadi momentum untuk Indonesia pada tahun ini dengan acuan konteks sejarah dan kondisi perpolitikan mutakhir. Panggung politik Indonesia ramai dengan wacana dan gerakan dengan sekian dalil dan pamrih. Kaum muda hadir dalam wacana partai politik, parlemen, dan presiden. Inilah musim semi untuk kaum muda.
Partai politik membuka pintu dan menggoda kaum muda dengan menu-menu politik menggiurkan. Kaum muda pun masuk tanpa sungkan dan menempatkan diri dalam posisi sebagai pemikir, juru bicara, caleg, atau suporter. Wacana politik kaum muda itu merupakan sambungan dari fragmen-fragmen sejarah Indonesia pada awal abad XX. Politik kaum muda adalah perkara darurat pada hari ini.
* * *
Buku ini sengaja hadir sebagai peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda. Keith Foulcher menghadikran buku ini dengan sorotan politik bahasa dan kritik politisasi sejarah. Perjalanan panjang Sumpah Pemuda (1928-2008) selalu menunjukkan kontroversi atas politisasi dan ideologisasi dari penguasa. Keith Foucher mengungkapkan bahwa Sumpah Pemuda sampai hari ini masih menjadi momentum politis.
Keith Foulcher dalam pengantar mengungkapkan: ”Sumpah itu telah ditahbiskan sebagai upaya mendukung perjuangan masa kontemporer dan interest politik masa kini.” Sumpah Pemuda mengalami politisasi sejak masa kolonialisme, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Politisasi itu tampak dalam pamrih revolusi, integrasi, nasionalisme, atau pembangungan. Keith Foulcher membaca pamrih-pamrih politis itu dengan acuan perubahan teks dan implikasi dalam tafsir dan pemaknaan politik.
Buku ini memuat fragmen-fragmen sejarah politik Indonesia modern. Keith Foulcher menemukan ada kesengajaan atau kealpaan dalam menerima teks Sumpah Pemuda untuk kalimat urutan tiga. Teks Sumpah Pemuda 1928: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Teks itu kerap mengalami perubahan menjadi: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.”
Fakta perubahan itu mengantarkan Keith Foulcher masuk dalam teka-teki Sumpah Pemuda dengan konteks rezim politik dan implikasi politik bahasa terhadap pamrih penguasa. Kalimat ketiga dalam Sumpah Pamuda kentara menunjukkan spirit pluralitas tanpa ada represi politis untuk membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa sentralistik. Konsensus itu mengacu pada pluralitas bahasa etnis dan kuasa bahasa Belanda pada kaum muda tahun 1920-an.
* * *
Referensi-referensi mumpuni dihadirkan untuk melakukan pembacaan dan penafsiran terhadap nasib Sumpah Pemuda. Keith Foulcher menemukan teks-teks pidato dan berita-berita koran pada tahun 1950-an memberi kontribusi penting dalam ulah perubahan teks Sumpah Pemuda. Perubahan kalimat itu mereprsentasikan tipologi kekuasaan dan lakon politik sesuai dengan desain penguasa secara sistemik dan ideologis.
Formula keliru “satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa” muncul sebagai alat ideologi oleh rezim Orde Lama untuk menumbuhkan kesadaram nasionalisme, revolusi, dan integrasi. Soekarno melakukan pengeramatan Sumpah Pemuda untuk membasmi separatisme dan gerakan-gerakan kontra-revolusi. Keith Foulcher memahami kisah itu sebagai strategi politik untuk membuat klaim Sumpah Pemuda sebagai simbol kunci secara historis dan empiris. Simbol itu dikonstruksi dengan otoritas kekuasaan untuk menjadi indoktrinasi dan alat kontrol politis.
Rezim Orde Lama cenderung memakai Sumpah Pemuda sebagai legitimasi untuk laku politik secara eksplisit. Politisasi itu memuncak pada tahun 1960-an dengan menjadikan Sumpah Pemuda sebagai simbol untuk kampanye-kampanye politis atas nama revolusi dan nasionalisme. Soekarno memang memiliki otoritas untuk memunculkan tafsir politik terhadap Sumpah Pemuda sesuai dengan perhitungan dalil dan pamrih. Soekarno menjadi sosok penting untuk cerita perubahan Sumpah Pemuda sebagai simbol politik.
Rezim Orde Baru turut melanggengkan formula “satu bangsa, satu tanh air, satu bahasa” dalam desain politik sistemik. Bahasa mulai menemukan pemaknaan politik dan ideologi mumpuni. Pemahaman kalimat ketiga Sumpah Pemuda menjadi acuan untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan politik bahasa dengan perangkat aturan, struktur, dan institusi. Bahasa Indonesia pun menjadi simbol politik oleh Orde Baru atas pamrih stabilitas politik dan pembangunan.
Imperatif dari penguasa Orde Baru melahirkan fenomena-fenomena politis dengan peringatan Sumpah Pemuda sebagai peringatan hitoris-politis dan kontekstualisasi misi-visi pembangunan. Soeharto dengan strutur birokrasi mumpuni membuat agenda-agenda strategis: publikasi buku-buku tentang Sumpah Pemuda, sakralisasi politis Sumpah Pemuda dalam ritual resmi, pemunculan Bulan Bahasa, atau intervensi dalam agenda Kongres Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia pada masa Orde Baru adalah perkara menentukan untuk otoritas penguasa dan realisasi penundukkan terhadap rakyat. Jargon-jargon bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa Indonesia untuk kesuksesan pembangunan, atau bahasa adalah simbol persatuan dan kesatuan menjadi indoktrinasi secara efektif dan efisien. Laku politik Orde Baru terhadap Sumpah Pemuda itu dipahami Keith Foulcher sebagai pelepasan simbol sejarah politik menuju politisasi sejarah dan kontekstualisasi politik pragmatis.
* * *
Keith Foulcher dengan kritis menilai Sumpah Pemuda adalah catatan kaki terhadap sejarah. Peran sebagai catatan kaki itu rentan dengan intervensi, manipulasi, atau distorsi. Rezim Orde Lama dan Orde Baru dengan genit dan sistemik melakukan politisasi Sumpah Pemuda untuk pencapaian pamrih kekuasaan. Intervensi penguasa jadi penentu penerimaan dan pemakluman perubahan teks Sumpah Pemuda.
Keith Foulcher curiga bahwa intervensi itu memusat pada pamrih politik dan tidak sekadar pelupaan atau kesalahan dalam ranah linguistik. Apakah Sumpah Pemuda sebagai simbol nasionalisme dalam alur sejarah Indonesia masih pantas (sekadar) menjadi catatan kaki terhadap sejarah?

Dimuat di Seputar Indonesia (2 November 2oo8)