Jumat, 13 Maret 2009

Menyemaikan Balai Soedjatmoko

Bandung Mawardi

Balai Soedjatmoko Solo tahun ini mulai menggeliat untuk menjadi situs wacana dan ruang publik. Situs yang terletak di Jalan Slamet Riyadi Nomor 284 ini mulai diresmikan sejak tahun 2004 oleh Jakob Oetama dengan harapan bisa menjadi ruang untuk persemaian pelbagai aktivitas intelektual, seni, dan edukasi, dan kultural di Solo. Jakob Oetama mengatakan bahwa penamaan Balai Soedjatmoko memiliki niat untuk pelestarian bangunan rumah dan melacak jejak teladan kecendekiawanan Soedjatmoko (1922-1989) yang pernah tinggal di Solo.
Situs itu semula merupakan rumah Prof. Dr. KRT. Saleh Mangundiningrat yakni ayah Soedjatmoko. Rumah tua yang dibangun pada zaman kolonial itu mulai dijadikan sebagai ruang untuk pelbagai aktivitas publik. Pameran lukisan, fotografi, diskusi, pameran buku, dan acara pendidikan mulai digelar dengan melibatkan publik. Pelbagai aktivitas itu memang diorientasikan untuk memberi warna khas Balai Soedjatmoko sebagai ruang publik.
Balai Soedjatmoko pun perlahan menjadi titik penting dalam dinamisasi seni, intelektual, dan kultural di Solo. Penguatan orientasi itu menguat mulai tahun ini dengan pelbagai program untuk memberi legitimasi Balai Soedjatmoko sebagai situs persemaian wacana. Ikhtiar ini dilakukan dengan menggandeng pelbagai tokoh dan institusi di Solo. Balai Soedjatmoko dengan pelbagai fasilitas yang ada ingin menjadi ruang inklusif untuk pihak-pihak yang peduli dengan seni, intelektualitas, dan kultural.
Diskusi tentang pemikiran-pemikiran Soedjatmoko digelar dengan mengundang pelbagai kalangan dengan tema-tema khusus. Diskusi itu direncanakan dilakukan tiap tiga bulan sekali. Diskusi rutin sastra dilakukan tiap awal bulan memakai titel Ngudarasa Sastra dengan tema-tema berbeda. Diskusi ini dikerjakan bersama Bale Sastra Kecapi sebagai pelaksana. Pemutaran film pun dijadwalkan tiap bulan dengan jenis-jenis film pilihan mulai dari film kelas festival sampai dokumenter. Program film ini kerja bareng dengan Rumah Dokumenter. Program-progarm lain pun diadakan secara insindental untuk mengakomodasi perhatian dari pelbagai kalangan.
Balai Soedjatmoko perlahan memainkan peran penting untuk ikut meramaikan Solo yang sudah memiliki situs-situs penting: Taman Budaya Jawa Tengah, Institut Seni Indonsesi di Solo, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Taman Hiburan Rakyat Sriwedari, Taman Balekambang, Museum Radya Pustaka, dan lain-lain. Peran untuk ikut menggairahkan geliat seni, intelektual, dan kultural di Solo tentu membutuhkan kerja bareng dan inklusivitas. Hal itu menjadi dalil dari pihak pengelola Balai Soedjatmoko.
Pelbagai program kerja di Balai Soedjatmoko memang diorientasikan untuk memberi kontribusi pada Kota Solo sebagai Kota Budaya. Keberadaan situs ini tentu jadi tanda untuk mengetahui jejak-jejak historis dan menciptakan utopia kebudayaan di Solo. Balai Soedjatmoko ingin dimiliki oleh publik dengan membentuk komunitas-komunitas sebagai bentuk ikatan intim atas dalil interaksi dan komunikasi. Balai Soedjatmoko seperti meneruskan kerja kultural yang sudah dikerjakan oleh Bentara Budaya Yogyakarta dan Bentara Budaya Jakarta tapi dengan keunikan tersendiri sesuai dengan sosok Soedjatmoko sebagai ikon intelektual. Begitu.

Dimuat di Kompas Jateng (12 Maret 2oo9)

Memerkarakan Janda

Bandung Mawardi

Pada hari itu ada pembaca berita yang tertegun karena melihat foto seorang petinju dan dua perempuan mengepalkan tangan. Dia kaget membaca kalimat di bawah foto itu: DUA JANDA: Chris John tersenyum lebar menerima penyambutan artis Tamara Bleszynski dan Maia Estianti di Bandara Soekarno- Hatta, Cengkareng, Jakarta (Jawa Pos, 4 Maret 2009).
Foto dan berita itu jadi tak biasa. Tamara hadir dalam kapasitas sebagai duta petinju Indonesia dan Maia sebagai duta iklan yang mempersembahkan lagu dengan judul Sang Juara. Kehadiran dua perempuan itu mungkin menggenapi representasi “kemenangan” Chris John dalam mempertahankan gelar juara tinju WBA. Keganjilan muncul karena penyebutan dua artis itu sebagai dua janda. Mengapa sebutan itu mesti muncul? Penyebutan ini jadi wacana yang menantang.
Sebutan janda memang laris di acara gosip. Para penikmat gosip khusuk memikirkan dan membuat opini perihal gosip-gosip artis dalam status janda, akan jadi janda, atau akan tidak lagi janda. Gosip perceraian marak dan sekian artis pun dikenai sebutan janda dengan pelbagai persepsi. Produksi wacana tentang janda menjadi penentu dari sistem pemaknaan terhadap janda dalam pelbagai konteks.
Wacana janda dalam gosip bisa membuat orang haru, menangis, tercengang, kagum, atau prihatin. Artis-artis top seperti berada dalam “parade janda.” Status janda pun diwartakan oleh artis dengan sekian klaim dalam tegangan pesimisme dan optimisme. Artis dengan status janda terkadang tampak lega dan memancarkan spirit untuk menata hidup tanpa suami. Artis janda pun kadang tampak memelas dengan konstruksi diri sebagai korban atau pihak terkalahkan. Resistensi ada tapi kerap dilematis.
Media mengolah wacana janda itu menjadi lakon menggemaskan dan mengenaskan. Wacana dalam media memang memberi pelbagai kemungkinan untuk produksi dan reproduksi makna tanpa batas. Pengarahan pada tendensi-tendensi tertentu jadi permainan otoritas untuk membuat publik mengamini. Wacana janda pun mengalami operasionalisasi yang sistemik dan disebarkan dalam intensitas tinggi sebagai “kebenaran” yang mengatasi “kedustaan”.
Pembongkaran terhadap wacana janda jadi suatu tindakan yang memberi kemungkinan pada publik untuk tidak lekas terlena atau reaksioner. Wacana janda memang membuat “pembaca yang tak bersih” (pinjam konsep Afrizal Malna) harus kritis untuk menelusuri labirin makna. Gosip artis jadi wacana menantang dengan asumsi bahwa ada tendensi status janda dihasilkan dari perceraian dengan pelbagai konflik yang disebarkan pada publik untuk ikut membentuk opini.
Janda adalah status perempuan yang sudah tidak bersuami karena perceraian atau kematian suami. Status janda kerap jadi tanda tanya dan tanda seru dalam kostruksi sosial. Munculah pelbagai sebutan atau idiom tentang janda dengan tendensi-tendensi definisi: janda kembang, janda muda, atau randa kempling. Definisi dari konstruksi sosial jadi perkara pelik ketika ada keinginan untuk melakukan pergeseran makna. Janda pun rentan jadi stereotip.
Wacana janda kadang diolah oleh para artis dengan perayaan argumentasi dan orientasi yang gado-gado. Lihatlah wajah, nikmatilah tutur kata, dan bacalah tingkah artis janda ketika mengucapkan diri atau membeberkan kisah diri di acara gosip. Janda jadi konstruksi dan permainan identitas yang cair. Status jadi mungkin jadi pembebasan diri untuk ekspresi dan dalil untuk menekuni dunia karier hiburan. Spirit pembebasan itu mungkin untuk jadi wacana yang diamini publik sebagai pembuktian laku hidup perempuan. Pembuktian utopia mesti butuh pengorbanan dan kerja keras. Janda adalah risiko tapi juga dalil untuk perubahan.
Status janda pun kerap mengantarkan penikmat gosip pada eksploitasi sedih dan pedih. Dalil haru itu harus jadi berlaku karena operasionalisasi wacana janda dalam kekenesan. Haru itu muncul karena status janda ada karena pihak suami dituduh atau terbukti melakukan perselingkuhan. Biografi diri dengan sekian tragedi jadi ekploitasi tanpa henti. Janda dalam konteks perceraian ini jadi wacana besar yang membuat publik sibuk dan mungkin mau melakukan redefinisi dan reproduksi makna janda.
Wacana janda itu dilematis. Perempuan kadang jadi korban dan kadang jadi subjek untuk tendensi-tendensi tertentu. Publikasi secara eksploitatif atas wacana janda kadang membuat publik sadar tentang pola-pola pemaknaan yang tak permanen. Wacana janda pun bisa memicu artis dan publik untuk melakukan pertaruhan identitas dan harga diri dalam orientasi hidup. Ironi jika identitas janda jadi “kebablasan” untuk perayaan gaya hidup. Ironi ini tampak dari gelagat para artis yang ingin atau merasa jadi “bunga tenar” (pinjam ungkapan Toeti Heraty) demi popularitas dan peruntungan di dunia hiburan. Begitukah?

Dimuat di Suara Merdeka (11 Maret 2oo9)

Senin, 09 Maret 2009

Perempuan dalam Relief

Oleh Heri Priyatmoko

MEMBACA pemikiran Ari Kristianawati dalam Pendidikan Sejarah yang Progender, yang dimuat di rubrik ini (SM, 25/2), mau tidak mau kita akan termanggut setuju. Mufakat dengan pernyataan bahwa sejak zaman Majapahit atau zaman klasik, sejarah memang menjadi milik kaum laki-laki. Historiografi dan politisasi monumentasi sejarah sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang patriarkhis, dengan mengabaikan kekuatan eksistensialis kaum perempuan.

Penemuan manuskrip kuno di Bali yang memuat kisah Sumpah Amukti Palapa milik patih tersohor di Majapahit, Gajah Mada, yang diucapkan di masa Tribuwana Tungga Dewi sungguh menggemparkan. Hal itu jelas dapat meruntuhkan opini tunggal yang selama ini menjadi accepted history, bahwa Gajah Mada mengikrarkan sumpah itu di masa Raja Hayam Wuruk.

Menarik untuk mengetahui bagaimana potret peran perempuan di zaman kerajaan Hindu-Budha, sebab hingga kini belum banyak diungkap. Dalam tulisan ini, saya hendak membahas kiprah perempuan zaman klasik yang sebenarnya dapat ditemukan dalam relief candi sebagai sumber sejarah kuno.

Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, relief merupakan sumber terpenting karena juga merekam aktivitas masyarakat di zamannya. Banyak hal yang membuat relief menguntungkan dunia riset. Selain mengandung unsur seni memahat, ia juga mengungkap teknologi modern yang telah dimiliki nenek moyang kita dan pernak-perniknya.
Wanita Berkesenian

Pada gambar pahat Borobudur dan Prambanan, terlukis wanita yang terampil dalam dunia kesenian. Terdapat beberapa wanita yang digambarkan sebagai penari dan bermain musik kemenak atau cymbal kecil. Ada pula wanita yang mahir memainkan kendang yang diletakkan di jubin.

Selain itu, seperti tertulis dalam riset Satyawati Suleiman yang diumumkan di majalah Analisis Kebudayaan (1992), pada rangkaian relief Candi Panataran terlihat gambar remaja putri yang memainkan gambang bersama petapa. Pada adegan pertama, mereka bermain dengan tenang. Namun di adegan kedua, sang petapa menyerang putri sehingga gambangnya lepas dan jatuh.

Belaian kasih sayang istri terhadap suami dan keluarga juga tergores dalam relief. Kempers, melalui artikelnya Ageless Borobudur (1976), menjelaskan di relief Borobudur tampak wanita memanjakan suaminya dengan cara memijit. Lalu di pahatan Candi Mendut tergambar wanita sedang merangkul suaminya yang terbaring, sementara anaknya mendekati api di bawah tempat nasi.

Karya Krom, Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1931), mengabarkan wanita sebagai anggota dewan hakim desa. Juga ada wanita bangsawan yang dapat memilih sendiri tanah untuk diwariskan kepada keturunannya, bukan kepada anak suami dari wanita lain. Gambar wanita sebagai ratu ditemukan di Candi Borobudur, yaitu Maya: ibu Siddharta Gautama.

Kemudian pada relief Candi Tigawangi dan Candi Jaga terdapat Kunti. Bagaimana busana perempuan zaman klasik dapat diketahui dalam relief itu. Di gambar pahatan Karmawibhangga terlihat wanita-wanita desa yang memakai kain panjang, sedangkan kaum pria memakai cawat.

Perempuan masa kini tak jauh beda dengan perempuan tempo dulu, yang memainkan peran dan tugas utamanya sebagai perempuan sesungguhnya.
Karena itulah, perempuan mestinya berpikir jauh ke masa depan, sehingga generasi yang terlahir dari rahimnya bisa menjadi manusia unggulan yang mampu - meminjam ungkapan Mariatul Kiptiah membentuk peradaban baru yang berkualitas. (32)

(Dimuat di Suara Mereka, 4 Maret 2009)

Jumat, 06 Maret 2009

“Sastra Jawa”

Bandung Mawardi

Pertanyaan tentang nasib sastra Jawa lazim menemukan jawaban dilematis. Sastra Jawa modern memang kerap jadi pertanyaan karena ada jejak-jejak harapan dari masa lalu yang masih tersisa dan mimpi untuk nasib yang lebih baik. Sastra Jawa terus menjadi dilema dengan pelbagai fakta. Dilema itu justru membuat wacana sastra Jawa masih pantas untuk jadi faktor menentukan dalam proses transformasi kebudayaan Jawa.
Suwardi Endraswara dalam makalah Visi dan Misi Sastra Jawa sebagai Ruh Pembentukan Manusia Indonesia Baru yang Berbudi Pekerti Luhur (2001) mengungkapkan bahwa visi sastra Jawa diarahkan pada wawasan yang prospektif untuk membangun moralitas bangsa yang beradab dan berbudi pekerti luhur. Misi sastra Jawa adalah menawarkan alternatif perubahan tata laku untuk menciptakan Indonesia dengan lambaran kebudayaan. Suwardi Endraswara pun optimis bahwa nilai-nilai dalam sastra Jawa mampu mengubah perilaku bangsa. Optimisme itu patut diuji dengan nasib sastra Jawa yang terkesan masih terpinggirkan. Nasib itu mungkin dipengaruhi oleh cara pandang bahwa sastra Jawa mesti menggunakan bahasa Jawa. Cara pandang ini konservatif dan eksklusif.
Arus perubahan jaman tidak mungkin sekadar dihadapi dengan kekolotan atau kekakuan. Transformasi kebudayaan Jawa dalam jaman modern ini mengandung kemungkinan-kemungkinan untuk adaptif dan prospektif. Transformasi itu membuat sastra Jawa harus diartikan dalam pengertian luwes. Sastra Jawa tidak mutlak harus memakai bahasa Jawa. Pengertian ini mungkin mengundang gugatan atau protes. Kalangan sastra Jawa yang tekun menulis sastra dengan bahasa Jawa mungkin menolak dan merasa diciderai oleh pemahaman itu.
Sastra Jawa mutakhir dalam pemahaman kritis memang mulai akomodatif dengan pilihan bahasa dari pengarang. Sastra Jawa dengan bahasa Indonesia jadi kelumrahan jika orang menilai dengan sudut pandang kritis. Pengertian itu juga mungkin jadi dilematis jika dikaitklan dengan wacana sastra Indonesia. Sastra Jawa mutakhir dengan bahasa Indonesia memiliki contoh melimpah dan representatif.
Selama ini dalam wacana sastra Jawa kerap terjebak dalam nostalgia masa lalu dengan mengacu pada sastra Jawa lama. Pengaruh besar dari pandangan ini adalah terjadi ketimpangan untuk melakukan inovasi atau pembaharuan. Beberapa kajian tentang sastra Jawa justru kerap mengambil contoh dari sastra-sastra Jawa lama dengan anggapan sebagai puncak-puncak dari sastra Jawa. Hal itu membuat sastra Jawa mendapat pengesahan untuk mandeg atau berubah dengan lambat.
Penulis dalam tulisan ini ingin percaya atas nasib baik dan optimisme sastra Jawa mutakhir dengan bukti penerbitan pelbagai novel-novel penting dan memberi pengaruh besar dalam transformasi kebudayaan Jawa. Sastra Jawa mutakhir dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai sastra dengan medium bahasa Indonesia tapi secara substansi adalah “sastra Jawa.” Novel-novel dengan substansi “sastra Jawa” antara lain: Canting anggitan Arswendo Atmowiloto, Para Priyayi anggitan Umar Kayam, Pasar anggitan Kuntowijoyo, Pengakuan Pariyem anggitan Linus Suryadi AG, Roro Mendut anggitan Y.B. Mangunwijaya, dan lain-lain. Novel-novel itu memang memakai bahasa Indonesia dan ungkapan-ungkapan dari bahasa Jawa tapi berhak menyandang titel sebagai “sastra Jawa”.
Novel-novel itu mengisahkan pelbagai hal tentang Jawa. pengarang-pengarang novel itu adalah orang Jawa yang memiliki jagat pikir, jagat batin, dan jagat imajinasi dalam latar kebudayaan Jawa. Mereka mengungkapkan Jawa melalui novel dengan kekhasan dan kekuatan atas nama transformasi kebudayaan Jawa. Novel-novel itu menunjukkan kepekaan atas perubahan jaman dan merepresentasikan Jawa yang luwes dan inklusif.
Kuntowijoyo dalam novel Pasar dengan lugas mengungkapkan bahwa pengetahuan sastra dalam masyarakat Jawa sebenarnya menjadi ciri untuk para pejabat, intelektual, dan tokoh masyarakat. Hal itu secara drastis mulai jadi kenangan karena banyak orang meninggalkan pengetahuan sastra dan menekuni pengetahuan-pengetahuan praktis dan pragmatis demi kekuasaan, uang, harga diri, atau status sosial. Novel Pasar sengaja ingin mengisahkan proses pewarisan nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam benturan masyarakat tradisional dan masyarakat modern.
Linus Suryadi AG melalui novel liris Pengakuan Pariyem secara gamblang ingin menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam masyarakat Jawa masih tergantung dengan tatanan patriarkhi. Novel Pengakuan Pariyem juga mengungkapkan sisi-sisi kehidupan orang Jawa dalam anutan nilai-nilai yang terkadang salah dipahami dan diamalkan. Nilai dari ungkapan nrimo ing pandum selama ini masih kerap dipahami secara pasif. Ungkapan itu dalam makna utuh justru mengandung penerimaan yang menuntut orang untuk sadar dengan ikhtiar dan optimis.
Persoalan pandangan tradisional dan modern dikisahkan dengan apik oleh Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting. Novel ini mengungkapkan kehidupan keluarga Jawa yang mengalami banyak konflik dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Jawa mulai dari etika sampai pada ekonomi. Transformasi kebudayaan Jawa tergambarkan dengan luwes dan kritis. Novel Canting memang memakai bahasa Indonesia tapi memiliki ruh sebagai “sastra Jawa.”
Novel Para Priyayi dari Umar Kayam pun dengan unik mengisahkan kehidupan kaum priyayi dengan pelbagai tata nilai kehidupan. Priyayi menjadi pusat kisah dengan mengambil sisi-sisi kultural dan historis. Umar Kayam dengan luwes mengungkap dunia priyayi tanpa tedeng aling-aling untuk sisi terang dan sisi gelap. Novel Para Priyayi menjadi bukti kuat mengenai optimisme nasib “sastra Jawa” yang memakai medium bahasa Jawa.
Novel-novel dengan pelbagai persoalan tentang Jawa itu memang representatif sebagai gambaran tentang proses pertumbuhan “sastra Jawa” dalam pengertian luwes. Orang berhak untuk tidak terima dengan pengertian atau kriteria yang diajukan penulis tentang sastra Jawa dan muatan-muatan dalam novel-novel mutakhir untuk menggambarkan tentang Jawa. Novel-novel itu jelas mengandung semangat dinamis dalam menggairahkan pertumbuhan “sastra Jawa” tanpa harus terjebak dengan kemutlakan memakai bahasa Jawa. Begitu.


Dimuat di Solopos (5 Maret 2oo9)

Senin, 02 Maret 2009

Workshop Semiotika Sastra

Kabut Institut – Bale Sastra Kecapi

Kami mengundang teman-teman (umat sastra) untuk mengikuti dan menikmati Workshop Semiotika Sastra yang bakal diadakan pada tanggal 9 Mei 2oo9 (mulai jam o9.oo WIB) samapai 1o Mei 2oo9 (berakhir jam 15.oo WIB) di Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah, Jalan Ir. Sutami No. 45, Solo. Siapa saja memiliki hak untuk ikut dengan pemenuhan sekian syarat yang gampang dan menggiurkan. Bisakah dan mungkinkah?

Perihal Peserta:
1. Mengirimkan tulisan dengan bentuk bebas (semaumu saja tapi harus keren) tentang semiotika (5ooo-7ooo karakter) yang sudah pernah dipublikasikan atau tulisan baru
2. Mengirimkan biodata komplet dan foto yang paling keren (tidak boleh tidak dan harus)
3. Pengirimkan tulisan dan biodata paling lambat tanggal 18 April 2oo9 dengan alamat email: bandungmawardi@yahoo.co.id dan aku290386@yahoo.com
4. Pengumuman peserta terpilih pada tanggal 20 April 2oo9 di http://kabutinstitut.blogspot.com
5. Mengisi formulir untuk peserta terpilih (bukan formulir mencari jodoh)
6. Peserta terbatas (4o orang) dan gratis alias bebas tiket masuk tapi tidak bebas tiket perjalanan (tanggung sendiri) meski nanti ada upah
7. Berdoalah dan ikhtiar untuk jadi peserta terpilih (jangan pesimis)

Fasilitas:
Buku materi, buletin sastra, sertifikat, penginapan, konsumsi, uang lelah, dan .... apa lagi ya? Fasilitas ini kurang menggiurkan? Jangan serakah!


Rencana Pembicara:
1. ST. Sunardi (Dosen Sanata Dharma dan Penulis Buku Semiotika Negativa)
2. Saifur Rohman (Kritikus Sastra dan Novelis)
3. Afrizal Malna (Penyair dan Esais)
4. Kris Budiman (Dosen UGM, Kritikus Sastra, Pakar Semiotika)

Panitia:
Koordinator: Haris Firdaus (6285725418328)
Sekretaris: Bandung Mawardi (o85647121744)


Catatan Darurat:
Pengumuman ini tidak dilarang untuk disebarkan pada siapa saja dan di mana saja. Penyebaran pengumuman ini menandakan ada gairah untuk mengurusi sastra. Semoga amal ibadah dalam sastra lekas mendapati balasan setimpal. Amin.
Bagi umat sastra yang belum mudeng internet bisa dibantu dengan mencetak pengumuman ini lalu disebarkan dengan kasih sayang dan senyum lembut. Umat sastra harus saling mengasihi dan membantu. Ini pesan klise dari “Resi di Atas Angin”.
Hal-hal yang belum dimengerti bisa ditanyakan pada panitia atau siapa saja yang merasa mudeng. Pertanyaan-pertanyaan boleh diajukan dengan syarat jangan cerewet atau menggoda iman panitia yang semua lelaki. Segala usulan masih bisa diajukan tapi jangan terlalu berharap apalagi memakai ancaman. Begitu.

Ngudarasa Sastra II: “Mazhab Sastra Romantis”

Bale Sastra Kecapi
Balai Soedjatmoko Solo

Kami mengundang teman-teman untuk hadir dan menikmati Ngudarasa Sastra II dengan tema Mazhab Sastra Romantis. Tema ini dipilih dengan alasan ada pengekalan tema-tema romantis dalam sastra tradisi dan sastra modern. Sekian kisah menakjubkan membuat orang takzim untuk menikmati sastra dengan pelbagai dalil. Mazhab Sastra Romantis memiliki pengikut dalam jumlah besar dengan tingkat keimanan dan risiko berbeda.

Publik kerap memiliki ingatan historis atau kenangan atas sekian sastra romantis dari pelbagai khazanah tradisi. Sastra modern pun lahir dan tumbuh dalam persemaian romantis. Puisi dan prosa menjadi representasi dan realisasi untuk pengekalan kisah-kisah romantis. Sastra sampai hari ini masih jadi samudra kisah romantis.

Ngudarasa Sastra II ini membuka diri untuk tanda tanya dan tanda seru mengenai Mazhab Sastra Romantis dari pembicara dan publik. Acara bakal diadakan pada:
Hari/Tgl. : Minggu, 8 Maret 2oo9
Tempat : Balai Soedjatmoko, Gramedia, Jalan Slamet Riyadi No 284, Solo
Jam : 18.3o WIB
Pembicara : Tia Setiadi
(Penyair dan Penerjemah Buku Ciuman Hujan: Seratus Soneta
Cinta Pablo Neruda)
Ridha al Qadri (Direktur Kabut Institut dan Mahasiswa Kajian
Media dan Budaya UGM)
Moderator : Bandung Mawardi (Bale Sastra Kecapi)

Kehadiran teman-teman dalam acara ini bakal jadi spirit penting untuk merayakan sastra tanpa henti. Mazhab Sastra Romantis itu jadi sepele atau penting tergantung pada antusiasme dari pembicara dan teman-teman. Terimakasih.

Koordinator
Bandung Mawardi
(o8564712744)

Blaka

Bandung Mawardi

Blaka? Apakah blaka membuat orang sadar atas konsekuensi? Kata blaka merupakan ungkapan khas Jawa untuk perkara sifat manusia: jujur atau terus terang. Ungkapan ini pun kerap muncul dengan kekomplitan: blakasuta. Sifat blaka tentu mengandung konsekuensi. Orang blaka merepresentasikan kebersahajaan dan kesanggupan mengatakan tentang pelbagai hal dengan jujur. Niat dan orientasi positif dari blaka itu terkadang jadi petaka ketika tak ada kesesuaian dengan tatanan atau situasi etis. Konsekuensi itu kerap dikatakan dengan sebagai jujur ajur (jujur malah hancur). Inikah konsekuensi atas niat dan tindakan jujur?
Arswendo Atmowiloto dengan sederhana membuat kisah dilematis antara blaka dan konsekuensi. Dilema ini ditampakkan melalui tokoh Ki Blaka dan para pengikutnya dalam novel Blakanis (2008). Arswendo Atmowiloto menaruh perkara blaka itu dalam tegangan psikologis, sosiologis, teologis, dan politis. Blaka sebagai sifat positif terkadang menjadi cenderung negatif karena salah tempat, salah situasi, salah subjek, salah objek, salah orientasi, atau salah dalil.
Orang blaka ingin mengungkapkan diri tanpa ada tabir atau menutupi diri dengan kebohongan. Keinginan itu bisa direalisasikan ketika menemukan kesesuaian dalam pelbagai hal. Blaka membutuhkan prosedur untuk mencapai transmisi pesan secara pas dan utuh. Prosedur itu mungkin dipahami sebagai alibi untuk mengatakan sesuatu. Blaka terkadang justru tak etis ketika mengarah pada pengakuan atau penelanjangan diri tanpa tedheng aling-aling. Blaka memiliki makna relatif dalam ukuran dan maksud.
Kultur Jawa kerap membuat pemilahan untuk blaka. Pemilahan dilakukan dengan pertimbangan untuk sadar konsekuensi. Blaka untuk aib tentu jadi pertaruhan haraga diri atau nama baik. Blaka untuk khilaf atau kesalahan tentu membuat perkara jadi terpahamkan dengan baik. Blaka untuk perkara-perkara esoterik susah dilakukan karena melibatkan pertaruhan pengetahuan dan dimensi-dimensi rahasia. Blaka untuk kepentingan harmoni dan menghindari konflik tentu jadi laku etik normatif.
Relativisme dalam konsep dan tindakan blaka itu membuat orang mesti sadar terhadap pemahaman atas pribadi dan orang lain. Blaka jadi makna implikatif ketika seseorang sadar atas pribadi tapi kurang mahfum dengan kondisi atau jagad batin orang lain. Konsekuensi piskologis menjadi titik kritis mengacu pada pola dan prosedur komunikasi. Blaka membutuhkan bahasa dan ekspresi untuk tidak menimbulkan reaksi tanpa kendali. Bahasa dalam pengertian blaka kerap merepresentasikan tingkat kematangan seseorang menerima dan mengolah masalah. Pilihan bahasa dalam kultur Jawa menjadi khas karena keluwesan untuk mengatakan sesuatu dengan labirin kata.
Blaka terkadang menjadi imperatif ketika orang sadar dengan suara hati. Bentuk imperatif itu sebagai ujian untuk pemaknaan eksistensi dan esensi manusia. Blaka membuat orang sadar untuk mencapai keselamatan (slamet), ketentraman hati (tentrem), hidup harmonis (rukun), dan ingat atas kuasa Tuhan (eling). Pencapaian itu merupakan konsekuensi dengan kesanggupan mencairkan tegangan-tegangan untuk pribadi dan orang lain.
Blaka sebagai kearifan Jawa rentan dalam proses transformasi sosial dan kebudayaan pada “zaman tunggang langgang” dan “abad yang berlari” saat ini. Ilustrasi menarik ada pada Dagelan Mataram-Basio dalam lakon Maling Kontrang-Kantring. Dagelan ini mengisahkan tindakan pencurian dengan dalih untuk menafkahi hidup. Pencurian dilakukan untuk memusnahkan lapar dan kemiskinan. Tindakan ceroboh terjadi ketika pencuri masuk rumah orang dalam keadaan gelap. Pencuri itu justru membangunkan pemilik rumah untuk meminjam korek api agar keadaan jadi terang. Pencuri itu pun mengaku ingin mencuri harta dalam rumah. Pemilik rumah justru tercengang dengan keluguan dan sifat blaka si pencuri. Tindakan interogasi dilakukan dengan detil. Pencuri itu dengan blaka mengisahkan kondisi keluarga dan alasan mencuri. Ilustrasi ini terjadi dengan maksud sebagai dagelan tapi satire.
Blaka dalam dagelan itu merupakan sindiran atas lakon zaman. Orang melakukan tindakan pencurian dengan pelbagai dalih. Pencurian dalam pelbagai kelas terus terjadi mulai dari alasan kemiskinan sampai pamrih menumpuk harta. Fakta mutakhir menunjukkan blaka mulai terlupakan dengan tindakan korupsi. Para koruptor di pengadilan kerap memberi keterangan mbulet untuk tidak mengakui tindakan korupsi. Blaka dihindari untuk menutupi aib atau nama baik sebagai pejabat atau “orang terhormat.” Blaka mesti diabaikan untuk tidak mendapati hukuman penjara atau pemecatan?
Pengabaian sifat blaka saat ini justru jadi strategi politis untuk orang mencapai kekayaan (semat), kedudukan (derajat), dan kekuasaan (kramat). Blaka mungkin jadi momok karena mengandung konsekuensi gagal atau beban politis dan etis. Ungkapan zaman edan pun jadi pemakluman. Pamrih mengalahkan blakasuta. Ironi kehidupan? Blaka dalam kondisi ini harus jadi tanda seru tapi tanpa harus melukai atau merusak. Blaka terealisasikan untuk orientasi positif dan konstruktif. Blaka mesti jadi agenda krusial untuk saat ini?
Pelajaran blaka dalam kutur Jawa adalah ketentuan normatif melalui proses pembelajaran dalam keluarga. Blaka sejak awal kerap terpahamkan sebagai etika hidup. Peringatan untuk tidak bohong (goroh) biasa terucapkan orang tua pada anak dalam pelbagai kasus. Pembelajaran etis itu menjadi lambaran hidup seseorang dalam proses homonisasi dan humanisasi. Pembelajaran blaka secara institusional pun ada di sekolah dan masyarakat. Blaka jadi acuan untuk seseorang mengonstruksi identitas diri dengan pelbagai sifat dan karakter.
Apakah proses pembelajaran itu mengalami pelunturan dan kebangkrutan ketika orang mesti berhadapan dengan kalkulasi ekonomi dan politik untuk hidup pada zaman ini? Pertanyaan pelik ini susah menemukan bukti pembenaran sebagai jawaban sah. Blaka menjadi pelik ketika orang membuat putusan-putusan atas nama pelbagai pamrih. Blaka jadi momok untuk ujian sekolah, mencari rezeki, meniti karier, mencapai kekuasaan, mencari jodoh, atau status sosial. Lakon hidup saat ini pun jadi perayaan dusta. Goroh jadi senjata untuk hidup?
Marbangun Hardjowirogo dalam Manusia Jawa (1983) mengingatkan bahwa kultur blaka menjadi dalil untuk mawas diri. Blaka membuat orang meninjau ke dalam (hati nurani) untuk mengetahui perihal benar dan salah atau baik dan buruk terhadap pelbagai tindakan dan konsekuensi. Blaka jadi lambaran etis untuk menguji psikologi orang dalam memikirkan dan melakukan suatu tindakan. Blaka sebagai sikap jujur tentu melahirkan konsekuensi pemunculan dan penguatan kepercayaan dengan alasan-alasan etis, psikologis, dan sosiologis dalam tatanan kehidupan.
Blaka adalah tanda seru. Ironi zaman mungkin jadi langgeng ketika tak ada ikhtiar mengajarkan blaka dengan kearifan kultur Jawa melalui pembelajaran etika Jawa. Blaka itu mengandung konsekuensi. Kesadaran atas konsekuensi positif dan konstruktif tentu jadi dalil sah untuk membuat hidup ini pantas dilakoni. Blaka sebagai tanda seru adalah bentuk peringatan untuk pencerahan hidup.

Dimuat di Suara Merdeka (1 Maret 2oo9)