Senin, 20 April 2009

Daftar Peserta Workshop Semiotika Sastra

(Kabut Institut – Bale Sastra Kecapi)


1. Munawir Aziz (Pati)
2. Vicky M. Rosyad F. (Semarang)
3. I.G. Jali (Yogyakarta)
4. Humaidi (Yogyakarta)
5. Muhamad Sulhan (Yogyakarta)
6. Kerwanto (Semarang)
7. Azzah Nur Laila (Semaranga)
8. Ganjar Hwia (Jakarta)
9. Miftakhul Anam (Purwokerto)
10. M. Izzul Ma’aly (Kudus)
11. Nurcholis Anwar (Yogyakarta)
12. Juma Darmapoetra (Yogyakarta)
13. Umi Nafsiatul Lathifah (Jember)
14. Dian Karyati (Yogyakarta)
15. Nesia Putri Amarasthi (Yogyakarta)
16. M. Sanusi (Yogyakarta)
17. Susilo Adi Setyawan (Solo)
18. Budiawan Dwi Santoso (Solo)
19. Andi Dwi Handoko (Solo)
20. Purnawan Andra (Solo)
21. Aji (Kudus)
22. Adi Purnomo (Kudus)
23. Miratul Muawanah (Kudus)
24. Misbah Khoiruddin Zuhri (Semarang)
25. M. Abdul Rohim (Kudus)
26. Wahyu Arya Wiyata (Tangerang)
27. Zakki Amali (Kudus)
28. Arif Saifudin Yudhistira (Solo)
29. M. Abdullah Badri (Semarang)
30. Mukhlidah Hanun Siregar (Jakarta)
31. Teguh Trianton (Purwokerto)
32. Aji Setiawan (Sragen)
33. Hubeb Muhajir (Pati)
34. Ahmad Hasan (Yogyakarta)
35. Imam Fahrurozi (Yogyakarta)
36. Muhhibuddin (Yogyakarta)
37. Imam Nawawi (Yogyakarta)
38. Wisnu Martha Adiputra (Yogyakarta)
39. Zainal Mawahib (Kudus)
40. Khafif Amrizal (Semarang)

Catatan:
1. Peserta terpilih yang membatalkan niat dan ingin mengundurkan diri mesti lekas konfirmasi pada panitia paling lambat 2 Mei 2oo9 sebab peserta cadangan masih antri.
2. Fasilitas untuk peserta: buku materi, buletin sastra, sertifikat, penginapan, konsumsi, uang lelah, dan lain-lain.
3. Kami menyediakan penginapan untuk peserta luar kota yang datang pada 8 Mei 2oo9. Peserta mesti konfirmasi dulu pada panitia.
4. Peserta berhak mengajukan diri untuk presentasi tulisan agar dibuatkan forum-forum kecil oleh panitia.
5. Peserta mesti menghormati peraturan selama acara dilaksanakan oleh panitia tapi boleh ada usul dan kritik.
6. Peserta boleh membawa buku, buletin, penelitian, atau esai terbitan sendiri atau komunitas untuk dipertukarkan dalam acara sebagai taktik silahturahmi.
7. Peserta memiliki hak untuk memberi hadiah pada panitia dalam bentuk apa pun untuk dokumentasi acara.
8. Informasi yang belum jelas bisa ditanyakan pada panitia.


Lampiran Acara:

Sabtu (9 Mei 2oo9)
o8.oo – o9.oo : Registrasi dan Pembukaan
o9.oo – 12.oo : Sastra dan Prosa
12.oo – 13.oo : Istirahat dan Makan Siang
13.oo – 16.oo : Wacana Semiotika
16.oo – 19.oo : Istirahat dan Makan Malam
19.oo – 22.oo : Diskusi Puisi dan Politik (Acara Selingan)
Binhad Nurrohmat dan Halim HD


Minggu (1o Mei 2oo9)
o8.oo – o9.oo : Sarapan dan Obrolan Ringan
o9.oo – 12.oo : Semiotika dan Kritik Sastra
12.oo – 13.oo : Istirahat
!3.oo – 16.oo : Semiotika dan Puisi
16.oo ..... : Penutupan

* Acara bisa mengalami perubahan mendadak dengan alasan-alasan tertentu.

Jumat, 17 April 2009

Pohon di Solo Tempo Doeloe

Oleh Heri Priyatmoko

SRI Murni Rahayu melalui Surat Pembaca ’’Beda Kota Semarang dari Solo’’ (14/04), mengungkapkan ketakjuban manakala memasuki Kota Solo yang dimulai dari mulut kota paling barat, Kartasura. Dia menulis, melihat kanan-kiri perjalanan kita disuguhi suasana alam yang menawan. Tidak kelihatan semrawut dengan angkot-angkot.

Begitu memasuki Jalan Slamet Riyadi dan ke mana saja perjalanan dalam kota, dihadapkan dengan jalan-jalan yang lebar dan panjang. Meski di jarak tertentu ia dihadapkan dengan traffic-light dan hati-hati dengan becak yang kadang-kadang nyelonong begitu saja, tapi suasana nyaman ada di sepanjang perjalanan keliling kota, karena tidak dibisingkan angkot-angkot berebut penumpang untuk mengejar setoran.

Tanpa ragu bisa disimpulkan sistem penataan Kota Solo sangat baik. Terutama tata ruang kota, pengaturan angkot, pengelompokan pedagang kaki lima (PKL) dalam kota dan pasar tradisional. Bahkan, Sri Murni Rahayu membandingkan gambaran Kota Semarang dengan Kota Solo. Tapi agaknya ia sungkan untuk menyatakan Kota Solo lebih unggul satu langkah dari Kota Lumpia.

Dalam artikel ini, akan dibedah fenomena sejarah kondisi Solo tempo dulu dengan menggunakan objek pohon. Pada 1900, Solo merupakan kota taman yang sejuk, nyaman, dan dibayangi oleh pohon-pohon asam jawa.

Kuntowijoyo (2000) menulis, seorang pelancong yang memasuki kota dari sisi barat kota menyaksikan pohon-pohon tersebut di sepanjang jalan, dari Kampung Kleco sampai pusat kota.

Kota memiliki jalan yang lebar dan bagus. Rumah penduduk yang indah dibangun di bagian selatan sepanjang jalan utama, di kampung Purwasari. Warga betah jalan kaki menyusuri Purwosari Weg (kini Jalan Slamet Riyadi) karena idhum berkat kerimbunan dedaunan pohon di kiri kanan jalan.

Padahal, saat itu sudah marak transportasi dokar dan trem kota. Mereka tidak khawatir kehausan di tengah jalan, lantaran saban rumah di pinggir jalan telah disediakan kendi berisi air yang ditaruh di plengkung (gapura depan rumah).

Peran Penguasa
Solo sebagai kota pohon tidak lepas dari peran tiga penguasa, yaitu Paku Buwana, Mangkunegara, dan Tuan Residen. Ketiga pembesar mengatur kota ini acap kali dibuat pusing oleh kehadiran tamu tak diundang, yaitu banjir.

Setiap kali hujan deras, sistem drainage kota belum memadai dan Solo daerahnya cekung dikepung enam sungai, maka banjir pun senantiasa menyapa. Sebab itu, penanaman serta perawatan pohon untuk resapan air ialah sesuatu yang vital. Lalu, bagaimana pohon di mata keraton?

Pohon tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan estetika dan lingkungan, tapi kaya makna filosofinya. Menurut Inajati Adrisijanti (2002), pohon beringin hanya boleh ditanam di alun-alun (Dewadaru dan Jayadaru).

Pohon beri-ngin ini kala itu kerap digunakan oleh penduduk untuk berteduh ketika sedang bermain di alun-alun, bahkan hingga sekarang pun masih dipakai tempat berteduh. Kemudian di halaman dalem adalah sawo kecik, jambu dersana, atau pepohonan selain beringin.

Kedatangan Ir Thomas Karsten memberi sentuhan baru dalam tata kota. Dia membangun Villapark (Banjarsari), perumahan yang dilengkapi pertamanan untuk pegawai perkebunan (onderneming), dengan menggunakan konsep Garden City sebagai landasan.

Dalam buku Djokja en Solo karangan MP van Bruggen (1998), didokumentasikan secara apik foto-foto tempat liburan di Solo yang kiri-kanannya dipenuhi pohon, misalnya Taman Sriwedari. Kala itu, para kawula memang termanjakan oleh keberadaan taman kota yang dibangun Mangkunegara VII dan Paku Buwana X.

Antara lain, Taman Tirtonadi, Minapadi, Kebon Rojo (Sriwedari), dan Taman Jurug. Bagi mereka, sungguh kenikmatan tiada tara duduk mengelar tikar di bawah pohon rindang sembari merasakan tusukan angin sepoi-sepoi segar di kulit ari dan mendengar suara cicit burung. Kenyamanan warga itu terekam dalam novel sejarah.

Misalnya, karangan Kamadjaja (1950), ’’Solo di Waktu Malam’’, RM Soewidji ’’Kisah Di Pinggir Jalan Slamet Riyadi’’, dan Dimyanti (1950) ’’Di Pinggir Bengawan Solo’’. Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu ciri Kota Solo adalah keberadaan vegetasi.

Epilog
Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi) membawa kotanya untuk bergerak cepat. Ruang publik didandani dan bermacam gebrakan dimunculkan guna mendukung pariwisata Solo. Misalnya, mendirikan wisata kuliner Gladag Langen Bogan (Galabo) dan Ngarsapura Night Market.

Semangat Jokowi mencolek kota dengan slogan Solo’s past is Solo’s future tidaklah keliru. Sayang, upaya penghijauan sebagai kesadaran lingkungan dirasa masih kurang.

Bila merunut kisah sejarah kodisi sekaligus pariwisata Solo tempo doeloe yang dipaparkan di atas, kita ketahui bahwa penguasa Solo ternyata dalam membangun kota selalu tidak meninggalkan atau melenyapkan pohon.

Mereka sadar, pohon selain difungsikan untuk penangkal banjir (menyerap air), daunnya yang rindang bagus untuk kesejukan kota, dan tentunya pohon dipelihara agar justru tidak menjadi bumerang di kala musim hujan disertai angin ribut. (35)

Dimuat di Suara Merdeka, 16 April 2009

Perempuan dalam Dapur

Oleh Heri Priyatmoko

GARA-gara urusan dapur perempuan, orang Belanda datang ke Nusantara dan akhirnya menjajah kita. Begitulah guyonan yang pernah terlontar dari mulut mendiang sejarawan Universitas Indonesia, Onghokham. Maksud Ong, sapaan akrab beliau, tujuan awal orang Belanda berlayar ke Nusantara adalah mencari rempah-rempah atau bumbu dapur perempuan.

Masuk akal juga lelucon ini. Namun, dalam kisah canda Ong tersebut, sebetulnya memunculkan satu perdebatan. Apakah memasak itu sebagai kekuatan atau kutukan bagi perempuan?

Dalam esai ini, penulis ingin membedah fenomena sejarah untuk menunjukkan aktivitas perempuan dalam dapur adalah kekuatan. Perempuan punya andil besar di sini. Pasalnya, tidak sedikit laki-laki yang sampai sekarang masih memandang pekerjaan dapur sebagai ‘‘kodrat‘‘ kaum perempuan.

Bahkan, meminjam ungkapan Henny Irawati, dengan memasak enak berarti istri menjaga agar suami tidak mencari ‘‘daging segar‘‘ di luar rumah. Pikat lelaki melalui perutnya! Terjemahan kasarnya, masak yang lezat, maka suami akan betah di rumah.

Bila mengikuti tiga ‘‘ur‘‘ yang melegenda (dapur, sumur, kasur), memasak menjadi tugas perempuan, dan otomatis mengharuskan perempuan pandai membuat sambal atau mengukur garam. Ini sudah lazim sejak zaman kerajaan. Kita bisa melacatnya dari sumber-sumber sezaman, seperti Serat Centhini.
Mata-mata
Di dapur umum, ternyata perempuan memiliki jasa besar. Pada masa revolusi Indonesia, siapa pula yang bertanggung jawab atas penyediaan makanan untuk para pejuang kalau bukan perempuan! Satu lagi peran perempuan yang patut diacungi jempol, yakni menjadi mata-mata atau kurir. Mata-mata adalah unsur penting dalam mendukung gerakan militer, baik untuk menghindar maupun menyerang basis pertahanan musuh.

Misal di Sumatera Utara. Orang yang menjalankan kegiatan mata-mata dikenal dengan sebutan seko.

Hasil sorotan historis Supriyatno (2006) meriwayatkan, seko disusupkan ke daerah musuh untuk mengamati atau mencari tahu kekuatan militer Belanda. Semuanya dilakukan tanpa pamrih. Para seko hampir setiap hari masuk ke dapur umum tentara Belanda, tanpa diketahui tentara Belanda siapa sejatinya mereka.

Kerja kemanusiaan perempuan dapat pula diintip di era kini. Saat banjir atau bencana alam melanda di berbagai daerah di Indonesia, terlihat ibu-ibu sibuk bekerja di dapur umum.

Di tempat itu, mereka secara bergiliran memasak untuk melayani konsumsi puluhan hingga ratusan orang korban bencana saban hari.
Ninuk MP, dalam esainya yang menantang Memahami Dapur Umum sebagai Gerak Politik Perempuan (2002), menelaah bahwa kaum ibu berhasil menjungkirbalikkan seluruh ide yang digunakan Orde Baru untuk memenjarakan mereka di sangkar emas bernama ‘‘rumah‘‘, atau berkutat di seputar dapur saja. Kalau neraca sejarah boleh menimbang, kegiatan perempuan di dapur tidak boleh dipandang sebelah mata.

Sebab, mereka memiliki kekuatan dasyat, bahkan baik dan buruk gizi kita ada di tangan mereka!

Suara Merdeka, 01 April 2009

Memelihara Pohon

Oleh: Heri Priyatmoko

Meski sudah satu jam tembang-tembang keroncong mengalun merdu dari radio, tetap saja tidak bisa menghibur hati Anto. Wajah Anto yang bulat itu tidak bisa menyembunyikan sebuah kegelisahan.
Mawardi, si pemilik warung, datang membawa satu gelas wedang jahe untuk pembeli setianya ini. Satu sesepan tipis, bibir Anto sekedar menyentuh, karena masih panas.
”Tumben hari ini tidak sumringah. Apa tadi habis kena semprot juragan?” Mawardi awali pembicaraan.
”Tidak. Saya trauma dengan hujan dibarengi angin kencang kemarin,” jawab Anto.
Daun kalender menunjuk angka 25 Maret 2009. Pukul 20.30 suasana Kota Solo mencekam. Hujan badai disertai angin kencang seperti puting beliung dan petir menyambar-nyambar. Sejumlah pohon dan baliho tumbang. Di Jalan Bayangkara Tipes, sebuah mobil yang sedang melintas tertimpa pohon tumbang. Kondisi mobil rusak parah, namun pengendaranya selamat.
”Saat hujan deras kemarin, saya lewat Jalan Bayangkara dua kali karena harus mengantar barang pesanan ke rumah juragan malam itu juga. Bersamaan pohon tumbang, saya berada dalam jarak 10 meter dari lokasi kejadian. Coba bayangkan, siapa yang tidak gemeter?” ujar Anto serius diikuti anggukan Haris, rekan kerja yang duduk di sebelahnya.
Sembari menyodorkan mie rebus telur kepada Haris, Mawardi menyatakan, ”Hujan dan angin ribut adalah fenomena alam yang biasa. Tekanan udara yang berbeda-beda di beberapa wilayah membuat hujan tidak merata dan menimbulkan tiupan angin yang kencang. Namun angin kencang kemarin telah menumbangkan pepohonan besar yang mengancam jiwa manusia. Berarti, kita perlu waspada dan bersiap diri”.
Menurut pengamat perkotaan Nirwono Joga (2007), warga kota berhak mendapatkan hak atas keamanan dan keselamatan publik, hak atas kesehatan lingkungan, hak atas fasilitas kota yang baik, dan hak partisipasi umum. Hak atas keamanan dan keselamatan publik mendapatkan rasa aman di jalanan dan ruang publik kota, perlindungan bencana lingkungan, dan jaminan keamanan teknis konstruksi terbangun.
”Sudah saatnya Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surakarta mengantisipasi dan mengurangi kerusakan dan korban akibat pohon tumbang. Kalau tidak, ancaman pohon tumbang roboh bakal bikin warga paranoid manakala memarkir kendaraan, terjebak kemacetan, atau melintas di jalan yang dipenuhi pepohonan besar di saat hujan lebat,” kata Haris.
DKP, lanjut dia, harus memiliki unit reaksi cepat yang tanggap dalam memberikan pertolongan darurat dan menyingkirkan pohon tumbang. Pasalnya, malam itu atau paginya setelah insiden, justru masyarakat sekitar yang menyingsingkan lengan baju menyingkirkan pohon tumbang.
”Tentunya bila ada pohon yang tak sesuai standar keamanan dan keselamatan atau membahayakan publik, segera dipotong atau direnceki dahannya. Pohon yang sakit dirawat, pohon keropos atau hendak tumbang ditebang,” kata Anto.
Lagi pula kita harus jujur mengakui bahwa kita bangsa yang lemah dalam pengawasan dan sekaligus pemeliharaan. Sekarang tugas DKP mesti ditambah lagi dengan kebiasaan untuk memeriksa dan memelihara pohon. Kita tidak boleh hanya berserah diri kepada nasib. Sekadar menyalahkan alam sebagai penyebab, terkesan lucu. ”Sebab, itu bukan ciri-ciri orang modern,” Mawardi melengkapi.
Rindangnya pepohonan memang mampu melindungi ubun-ubun kita dari sengatan sang surya sehingga memberi keteduhan. Tapi bila kita lengah, malah kita yang menjadi korban. Unek-unek Anto keluar sudah. Kepalanya gela-gelo mengikuti ritme tembang Jembatan Merah-nya Gesang yang laras itu. Mungkin itu pertanda hatinya plong.

Dimuat di Suara Merdeka, 30 Maret 2009




Kamis, 16 April 2009

Teater: Penonton dan Menonton

Bandung Mawardi

Jeihan suatu hari menanggap wayang kulit semalam suntuk di studio Pasirlayung. Jeihan memanggil dalang terkenal dari Pekalongan. Teman-teman diundang untuk menonton wayang. Penonton dengan kultur kota tak sanggup (bisa) menonton sampai pagi. Penonton wayang tersisa: Jeihan, Jakob Sumardjo, dan pegawai Jeihan. Pagelaran wayang kulit dengan dalang dan sekian niyaga itu tinggal mendapati penonton tiga orang. Pagelaran masih mengandung gairah dan greget karena dalang sadar masih ada penonton.
Kisah itu ada dalam buku biografi Jeihan: Ambang Waras dan Gila (2007) anggitan Jakob Sumardjo. Peristiwa itu ditafsirkan Jakob Sumardjo dengan sedikit kelakar: Jeihan sebagai penanggap dan penonton menentukan nasib pagelaran wayang kulit. Jakob Sumardjo mengartikan: “Kehadiran seorang Jeihan cukup mewakili penonton sedesa!” Kelakar itu mendapati tambahan penjelasan bahwa untuk menunjukkan antusiame menikmati pagelaran mereka kerap teriak dan tertawa keras. Tindakan itu dilakukan untuk membuktikan bahwa mereka tidak tidur ketika menonton di belakang kelir.
Kisah tiga orang menonton pagelaran wayang kulit sampai usai adalah parodi biografi penonton. Jejak tradisi memiliki catatan bahwa pagelaran wayang kulit pada masa lalu mendapati legitimasi kuat karena ada penonton massal. Kehadiran penonton adalah unsur untuk totalitas peristiwa seni. Makna pagelaran mendapati tafsir dan laku pluralistik oleh penonton. Catatan lama mengabarkan bahwa penonton bebas memosisikan diri di depan atau di belakang kelir. Kebebasan tampak dalam pilihan pose tubuh dan ruang. Penonton memiliki hak untuk duduk di kursi, lesehan, berdiri, atau tiduran. Pegelaran wayang memberi spirit demokratisasi dan emansipasi untuk penonton. Hak penonton pun tampak dalam cara menikmati pagelaran dengan makan, minum, merokok, atau melakukan tindakan-tindakan lain.
Spirit penonton itu menjadi bab penting untuk membaca lakon penonton hari ini dalam seni pertunjukan tradisional atau modern. Peristiwa seni dengan kehadiran penonton memiliki konvensi, etika, dan implikasi. Penonton mesti melakukan interaksi dan transaksi secara teknis dan simbolis. Konvensi, etika, dan implikasi untuk penonton terbentuk dari kalkulasi estetika, sakralitas, sosial, dan komersial. Kalkulasi itu memiliki acuan dan realisasi dalam kadar-kadar berbeda sesuai dengan pembentukan kulturl penonton seni pertunjukan tradisional atau modern. Pembedaan itu pun kerap rancu karena posisi dan spirit penonton. Kerancuan mungkin terjadi dengan percampuran-kombinasi karena batas tipis dalam pengalaman ruang dengan pelbagai kriteria.

Nama dan problema
Studi tentang penonton memang berada dalam ranah pinggiran dan masih sepi dari pembicaraan. Alia Swastika dalam Biografi Penonton Teater Indonesia: Yang Retak dan Bergerak (2004) menghadirkan studi kecil secara reflektif dan provokatif. Alia Swastika dalam studi kecil itu memilih kasus pertunjukan Waktu Batu # 2 (Ritus Kecemasan dan Wajah Siapa Terbelah) dari Teater Garasi di Gedung Societet Militer Yogyakarta pada 16-17 Juli 2003. Penonton adalah nama dan problema. Alia menelusuri biografi penonton mulai dari penampakan tubuh-ekspresif sampai pada resepsi-interpretasi.
Penelusuran pun bergerak dari ruang geografis asal penonton, ruang luar gedung pertunjukan, ruang tunggu, dan ruang pertunjukan. Penonton memainkan diri dalam ruang-ruang itu dengan pelbagai ekspresi dan imajinasi. Penonton ketika berada dalam ruang ketika pertunjukan berlangsung memiliki konvensi dalam kekangan dan kebebasan. Interaksi penonton dengan penyaji menjadi representasi posisi dan transaksi. Penonton dalam pertunjukkan teater kontemporer tentu memiliki “disiplin tubuh” dengan intruksi atau konsensus semu. Ruang dan posisi duduk untuk penonton teater adalah fakta dengan sekian gugatan dan kepasrahan. Penonton sebagai nama dan problema hadir dalam kompleksitas tanya dan jawab.
Nasib penonton adalah nasib peristiwa seni pertunjukan. Ungkapan ini mungkin patut menjadi konklusi untuk dalil dan pamrih peristiwa seni pertunjukan. Dua petikan lakon penonton wayang kulit dan teater kontemporer itu jadi acuan perbedaan dan kemungkinan nasib penonton untuk esok hari. Penonton wayang kulit dengan penonton teater tentu memiliki titik temu dan titik pisah mulai dari definisi sampai kontras dalam realisasi diri dengan sekian referensi dan orientasi.
Penonton teater sebagai problema merupakan konsekuensi dari eksistensi dan realisasi seni pertunjukan modern. Perhatian dan studi terhadap penonton memang memiliki jalan besar tapi samar. Pelacakan terhadap peran penonton dalam jejak literatur di Indonesia memang kurang melimpah. Jejak historis penonton secara parsial hadir dalam buku kecil Ikhtisar Sejarah Teater Barat (1986) garapan Jakob Sumardjo. Penonton pada teater abad XIX di Amerika mencakup kelas sosial, tuntutan penonton, menu pertunjukan, konsekuensi pertunjukan, dan durasi pertunjukan. Jejak historis itu adalah catatan kaki dari konsentrasi dan pemusatan wacana teater pada naskah, sutradara, dan aktor.
Jejak dan proses realisasi perhatian atas penonton dalam teater Indonesia mutakhir memiliki catatan-catatan kecil. Danarto dengan provokatif mengajukan pemikiran “teater tanpa penonton”. Pemikiran itu eksplisit menunjukan perhatian terhadap perkara penonton dalam ambiguitas dan ambivalensi. Pemikiran terhadap menonton mulai merebak dengan kesadaran kritis bahwa penonton adalah tanda tanya dan tanda seru untuk peristiwa teater.

Penonton teater?
Pelbagai konsep dan realisasi mulai tampak dalam sekian garapan teater di Indonesia. Kovensi penonton mendapati godaan dan ancaman untuk tidak mati sebagai stereotipe dan instrumen. Teater Garasi dalam j.e.j.a.l.a.n (2008) dengan eskplisit memerkarakan penonton dengan pengaburan konvensi: intruksi dan etika. Penonton memiliki hak menempati ruang dan mengekspresikan tubuh dengan jejaring konstruksi interaksi teater. Risiko paling kentara adalah penonton memiliki reaksi dengan kejutan dan kegagapan. Teater hidup dengan keremangan referensi dan orientasi penonton.
Teater Garasi dalam memerkarakan penonton secara implisit tidak ingin membuat represi atau paksaan terhadap penonton untuk merubah definisi dan laku. Penonton memiliki spirit liberatif meski dalam bayang-bayang represi karena belum mahfum atau masih susah lebur dalam interaksi teater. Reaksi penonton dengan konsep itu memiliki rentetan panjang sejak awal proses penonton membawa diri ke tempat pertunjukan dan titik akhir ketika membawa diri melepas hubungan dengan pertunjukan teater.
Kisah penonton pada garapan-garapan teater mutakhir menjadi babak lain dari perkara pelik dari Danarto dalam esai Menuju Teater Tanpa Penonton: Para Penonton, Seranglah Pertunjukan! (1983). Esai itu menjadi rumusan reflektif dan provokatif untuk memerkarakan penonton dalam Pertemuan Teater 80 di Jakarta. Danarto getol menginginkan ada perhatian intensif pada penonton sebagai faktor menentukan peristiwa teater. Penonton adalah sasaran utama dari pengarang naskah, sutradara, dan pemain.
Danarto konsekuen menempatkan penonton dalam ranah primer peristiwa teater. Perhatian atas penonton itu memiliki latar belakang klise yakni penonton kerap dipandang sebagai peran-peran tak pernah masuk perhitungan (estetik) dan tak pernah mendapatkan honor. Konklusi provokatif dari Danarto: “Penonton adalah darah daging pertunjukan. Penonton adalah otak.” Konklusi itu tentu eksplisit membela hak dan peran penonton dari stereotipe di pinggiran atau di luar kalkulasi estetika teater.
Pemberian peran pada penonton dalam peristiwa teater mengesahkan sejarah dan fakta teater. Penonton adalah awal dan akhir dalam konstruksi garapan teater. Penonton bukan sekadar instrumen atau konsumen tanpa biografi dan harga diri. Penonton itu subjek dan otoritas.
Wacana penonton memang kompleks dan pelik. Perhatian terhadap penonton menjadi kunci untuk membaca teater dengan sekian referensi dan realisasi. Penonton selalu jadi perkara tak usai dalam teater. Pertunjukan bisa selesai dalam kalkulasi teknik dan estetik tapi penonton masih mungkin untuk belum selesai.

Dimuat di Majalah Gong Edisi 1o8/X/2oo9

Wajah Kota Tanpa Greget

Bandung Mawardi

Pengenalan terhadap wajah kota menjadi mekanisme untuk mengalami kota. Kehadiran di kota merupakan kehadiran di ruang besar yang ramai dengan pelbagai konstruksi dan pemunculan imaji. Kota pun menjadi ruang ketegangan untuk realitas dan idealitas. Kota selalu tak selesai untuk menjadi ruang hidup dengan wajah, tubuh, dan ruh. Wajah kota adalah pengenalan awal yang ambigu.
Wajah kota kerap jadi alasan pemkot untuk mendadani kota dengan sekian tanda sebagai representasi kota. Gapura, patung, baliho iklan, tiang-tiang lampu, atau tugu adalah wajah-wajah kota untuk batas luar dan dalam. Orang yang masuk kota tentu memiliki resepsi terhadap kehadiran tanda-tanda itu dengan tafsir dan mekanisme penyesuaian atas realitas kota.
Mengenali Kota Solo dari arah barat seperti mengenali wajah yang samar dan kurang memberi godaan. Orang yang masuk Kota Solo melalui Jalan Adi Sucipto kerap merasa bingung dengan tanda kota sebab tak ada eksplisitas atau eksentuasi yang memikat. Tanda batas antara Kecamatan Colomadu (Kabupaten Karanganyar) dengan Kota Solo kerap diidentikkan dengan bangunan Adipura. Bangunan itu diadakah untuk tanda bahwa Kota Solo berhasil meraih penghargaan untuk kebersihan sejak tahun 1987. Adipura itu jadi tanda bagi orang masuk ke tubuh kota dan mencari-mengalami hadir di ruang kota.
Adipura sebagai tanda batas kota itu seperti bisu atau miskin pesan untuk mengatakan diri Kota Solo. Adipura memang kerap menjadi “pameran” atas prestasi kebersihan kota tapi susah untuk dibuktikan ketika melihat jalan kota dan ruang publik tak selalu bersih. Orang yang melintasi Adipura itu ke arah timur artinya masuk Kota Solo dan yang ke arah barat artinya meninggalkan Kota Solo. Proses melewati itu seolah tanpa kesan dan makna. Kota Solo seperti sekadar geografi tanpa kesan dan pesan. Ironis!
Pengalaman hadir di kota tentu adalah kehadiran dengan pembedaan dan pengalaman atas yang unik. Bisakah orang mengalami hadir di Kota Solo sebagai Kota Budaya ketika masuk melalui Jalan Adisucipto dan memandang Adipura? Cara memandang ini pun terkadang jadi sebab orang merasa kerepotan untuk menikmati situasi jalan. Adipura itu berada di tengah jalan dengan frekuensi kendaraan yang padat. Pengalaman hadir di kota mungkin sebatas perpindahan ruang tanpa perbedaan kentara karena jalan itu sama dan wajah-wajah kecil di sebelah timur atau barat Adipuran hampir sama.
Wajah untuk representasi tubuh dan ruh kultural nyaris tak tampak dan terasakan. Orang yang bergerak ke timur dalam jarak ratusan meter bakal melewati gedung DPRD Kota Solo. Gedung ini pun tak bisa bicara dengan fasih untuk menuturkan diri Kota Solo. Permainan tanda kota dengan penguatan etnisitas Jawa nyaris tak tampak. Wajah kota pun semakin tak memberi janji untuk mengalami kehadiran di Kota Budaya.
Wajah kota adalah permainan tanda untuk pemunculan imaji dan interpretasi atas pengalaman kehadiran. Penciptaan wajah kota merupakan penciptaan diri kota yang mengandung orientasi untuk pengalaman impresif kota. Wajah kota jadi pertaruhan untuk mengenalkan diri dan dikenali dengan sekian permainan tanda. Kehadiran wajah kota tentu harus bisa mengatakan sesuatu dan menyuguhkan kompleksitas makna.
Barangkali Pemkot Solo tak menganggap wajah kota di Jalan Adi Sucipto sebagai pertaruhan atas permainan tanda dan makna kota. Jalan itu merupakan jalur penting orang masuk Kota Solo sebab menjadi jalur transportasi orang dari wilayah Boyolali, Karanganyar, dan Sukoharjo. Jalan itu juga jadi jalur untuk pengenalan Kota Solo ketika para pengunjung dari luar kota masuk melalui Bandara Internasional Adi Sumarmo. Suguhan wajah yang sekadar Adipura tentu tak memberi impresi untuk menyatakan tubuh dan ruh Kota Solo.
Wajah kota mungkin untuk kota-kota tertentu adalah perkara sepele. Anggapan itu mengesankan ketiadaan niat untuk mengonstruksi kota dengan olah tanda dan makna. Wajah kota di pintu masuk justru kerap ditambahi dengan wajah-wajah dalam kota yang semrawut dan tak memunculkan keunikan ruh kota. Orang tentu mahfum bahwa kota-kota di Indonesia selalu identik dengan wajah diri dengan parade iklan dalam pelbagai media, bentuk, dan ukuran. Wajah kota adalah wajah iklan. Homogenisasi wajah ini terjadi di kota-kota Indonesia.
Kasus itu pun dialami oleh Kota Solo yang ramai dengan wajah-wajah iklan. Wajah dalam kota menjadi permainan visual tanpa wasit dan penonton seperti mendapati paksaan atau mekanisme imperatif. Orang susah membedakan pengalaman hadir di kota yang berbeda karena wajah dalam kota-kota itu nyaris mirip dengan iklan-iklan rokok, pulsa, otomotif, dan lain-lain. Wajah-wajah kota jadi cerewet tapi tak bisa mengatakan kisah diri. Kota Solo juga menampakkan diri dengan wajah-wajah iklan yang terkadang nampang dengan sentuhan-sentuhan etnis Jawa. Wajah kota yang ambigu ini adalah ironi kota.
Pemkot Solo mungkin harus lekas membenahi wajah kota dengan pemahaman ruang kota, tata kota, konstruksi arsitektur, dan permainan tanda. Kehadiran tanda-tanda untuk pemunulan wajah kota selalu mengandung elemen sosiologi, kora, psikologi kota, filosofi kota, estetika kota, mentalitas kota, identitas kota, dan harga diri kota. Pemahaman itu bisa jadi dalil untuk menyatakan diri sebagai Kota Budaya tanpa harus cerewet dengan slogan dan pamer tulisan memakai aksara Jawa di depan kantor pemerintahan.
Wajah kota seperti wajah manusia. Wajah adalah makna. Sikap abai untuk mengurusi wajah merepresentasikan kemalasan mengonstruksi makna kota. Konstruksi kota yang ramai dengan wajah dengan tanda-tanda homogen tentu membuat orang susah mengalami keunikan tubuh dan ruh kota. Pembenahan terhadap wajah kota seperti memberi indikasi bakal ada perubahan untuk menata dan merenovasi wajah-wajah dalam kota. Wajah iklan dan arsitektur yang tak memiliki keunikan adalah bukti kesusahan untuk menunjukkan diri yang unik dan impresif.
Wajah Kota Solo di Jalan Adisucipto adalah kisah kecil dari wajah-wajah lain yang dimunculkan dengan gapura, patung, atau baliho iklan. Wajah kota yang menggoda tentu bakal mengantarkan orang pada imaji kota dan pengalaman atas realitas kota. Wajah kota itu ada tapi tiada. Ada tanda tapi tak bicara. Ada tanda tapi miskin makna. Wajah kota adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Wajah kota adalah permainan tanda dan makna. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (4 April 2oo9)

Memerkarakan Manusia Jawa

Bandung Mawardi

Siapa manusia Jawa? Pertanyaan ini bakal terus dilontarkan tanpa jawaban tuntas. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai manusia Jawa pun fasih diucapkan tapi susah mendapati jawaban. Jejak-jejak historis tentang manusia Jawa memang belum terlacak dan ditafsirkan dengan utuh. Jejak-jejak itu telah jadi acuan untuk menengok manusia Jawa pada masa lalu dan membaca manusia jawa hari ini.
Marbangun Hardjowirogo dalam Manusia Jawa (1983) mengajukan perspektif tentang manusia Jawa dengan kriteria bebas tanpa sistematika. Deskripsi dan analisis Marbangun Hardjowirogo tampak lenggak-lenggok dari pelbagai khazanah masa lalu ke realitas-realitas mutakhir. Penerbitan buku itu jadi jawaban kecil untuk memerkarakan manusia Jawa dalam pelbagai konteks ruang dan waktu.
Buku itu lahir sebagai reaksi dari risalah kontroversial Mochtar Lubis dengan judul Manusia Indonesia (1977). Mochtar Lubis dengan kritis membaca dan menilai manusia Indonesia dalam pelbagai sisi meski tampak fragmentaris. Konklusi kecil Mochtar Lubis terhadap manusia Jawa: sadar harga diri. Konklusi itu mendapati tanggapan dari Marbangun Hardjowirogo dengan muatan-muatan etnis.
Generalisasi jadi dalil Marbangun Hardjowirogo untuk memerkarakan manusia Jawa. Dalil ini jadi kaku karena tak memungkinkan pluralitas dalam konteks Jawa. Inilah dalil umum itu: “Semua orang Jawa itu berbudaya satu.” Sentralitas dari homogenisasi itu terletak di Jogja dan Solo sebagai pusat kebudayaan. Klaim atas manusia Jawa didedahkan dalam ciri-ciri: sikap feodalistik, sikap keagamaan, sikap fatalistik, keterjalinan dengan wayang, enggan menunjukkan sikap tegas, corak watak rumangsa, enggan untuk ojo dumeh, tepa slira, dan mengunggulkan sikap budi luhur.
Sekian ciri itu masih fragmentaris untuk jadi patokan mengenai manusia Jawa. Masihkan ciri-ciri itu merepresentasikan manusia Jawa hari ini? Apakah ciri-ciri itu merupakan tinggalan dari masa lalu? Apakah manusia Jawa konsisten dengan ciri-ciri itu atau malah rentan untuk perubahan? Manusia Jawa itu definisi inklusif atau eksklusif? Pertanyaan-pertanyaan ini sekadar rentetan pendek dari seribu pertanyaan.
Ciri manusia Jawa yang tak tergarap dengan intensif dalam studi Marbangun Hardjowirogo adalah kebatinan. Ciri ini memiliki jejak historis dan terus memiliki eksistensi dengan sekian deviasi dan derivasi. Kebatinan bahkan patut dijadikan bab besar untuk memerkarakan manusia Jawa. Pelbagai studi tentang Jawa mayoritas menempatkan kebatinan sebagai ciri penting.
Harun Hadiwijono dalam buku Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa (1983) melakukan penelusuran kritis dalam khazanah sastra di Jawa sejak zaman kepustakaan Hindu-Jawa sampai abad XIX dan fenomena pelbagai perkumpulan kebatinan pada abad XX. Penjelajahan kepustakaan menunjukkan bahwa manusia Jawa sejak dulu identik dan luluh dengan kebatinan meski dalam babak-babak zaman mengalami keterpengaruhan dengan agama dan peradaban Hindu, Budha, Islam, dan Kristen.
Manusia Jawa dalam kebatinan terus mengalami fase-fase perubahan karena acuan dan fakta arus zaman. Konsep tentang manusia dengan identitas Jawa pun tidak terdefinisikan dalam homogenisasi. Manusia Jawa justru inklusif untuk melakukan perubahan atau transformasi diri sesuai dengan referensi dan orientasi. Kebatinan sekadar jadi dalil dalam legitimasi ata deligitimasi diri sebagai manusia Jawa. Klaim-klaim muncul dengan sekian argumentasi dan bantahan. Hal itu jadi bukti dinamisasi tentang wacana manusia Jawa.
Penguatan wacana manusia Jawa dalam ciri kebatinan pun tampak dalam buku S. De Jong dengan judul Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (1975), buku Clifford Geertz dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981), dan studi Niels Mulder dengan judul Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (1983). Kebatinan menjadi perkara penting untuk membaca dan menilai manusia Jawa dalam sekian fragmen ruang dan waktu.
Niels Mulder dengan lugas menyebutkan bahwa kebatinan merupakan identitas kultural Jawa. Pengertian ini jadi dalil untuk mengungkap pandangan tentang “durung njawa” dan “menjadi Jawa”. Durung njawa sampai kerap menjadi penilaian terhadap ketidaksempurnaan proses secara etis, sosial, dan kultural sesuai dengan “normativitas Jawa”. Durung njawa seperti vonis untuk ketidaksanggupan atau belum sempurna sebagai manusia Jawa. perkara “menjadi Jawa” adalah proses dan mekanisme untuk memenuhi sekian kriteria dalam normativitas Jawa. Kebatinan jadi penting dalam hal ini karena mencakup konsep etis, estetis, dan kosmis. Ikhtiar menjadi Jawa seperti memiliki undakan-undakan sebagai pertaruhan dalam kelangsungan dan perubahan sosial-kultural.
Wacana manusia Jawa dan kebatinan dalam pelbagai tanggapan rentan jadi acuan untuk menyebut manusia Jawa itu cenderung tak rasional, tendensi pada spiritualitas, menolak materialisme, atau susah meladeni modernisasi. Penilaian ini jadi sasaran kritis ketika melakukan perbandingan dengan faktor-faktor penentu eksistensi perkumpulan kebatinan dan pengaruh dalam tarnfromasi sosial-kultural. Pelekatan ciri kebatinan pada manusia Jawa itu tidak absolut tapi memang kelumrahan karena fakta atau opini umum.
Siapa manusia Jawa? Pertanyaan ini belum rampung menemukan jawab. Pertanyaan-pertanyaan lain pun belum mendapati jawab. Pelbagai studi tentang kebudayaan Jawa dan manusia Jawa selama ini memang terkesan menjadikan manusia Jawa dalam stereotipe semu. Manusia Jawa berada mencakup pengertian-pengertian negatif dan positif. Ikhtiar mensahihkan definisi manusia Jawa kadang jadi alasan untuk dominasi atau melemahkan otoritas dalam konteks politik, ekonomi, sosial, spiritualitas, seni, dan kebudayaan. Memerkarakan manusia Jawa itu seperti membaca puisi dalam seribu bait dengan permainan tafsir yang kompleks dan pluralis.
Memerkarakan manusia Jawa tentu memiliki implikasi dengan kompleksitas wacana wong Jawa ilang Jawane. Definisi dan proses perubahan manusia Jawa dalam arus zaman pun mungkin jadi tanda untuk memerkarakan wong Jawa ilang wonge. Manusia Jawa sampai hari ini masih jadi pertanyaan tak usai dan jawaban tak sempurna. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (29 Maret 2oo9)

Cecabang Jalan Akademisi Sastra

(Tanggapan untuk Esai Aries A Denata SS)
Oleh: Haris Firdaus

Dunia kesusastraan selalu berisi banyak jalan dengan cecabang yang plural dan tak bisa dipersamakan. Sekian jalan yang barangkali kita temui saat menyusuri dunia sastra harusnya dianggap sebagai sebuah kekayaan, semacam kemajemukan yang indah dan merangsang. Ambisi “menyamakan” jalan yang harus dilalui oleh tiap komponen dalam sastra adalah keinginan gegabah yang kebanyakan timbul karena narsisme.

Ambisi tidak bijak semacam itulah yang kita temui saat membaca esai Aries A Denata SS berjudul “Duel di Jalan Raya Sastra Solo” (Solopos, 1/3). Diawali dengan klaim klise bahwa “para akademisi sastra hanya berkutat di wilayah kampus semata”, esai tersebut hendak menyampaikan semacam “tantangan duel” kepada para akademisi sastra Solo. Sebagai orang yang mengklaim dirinya sebagai “orang jalanan sastra Solo”, Aries dengan bersemangat melabrak para akademisi sastra Solo yang menurutnya “mengurung diri dalam dunianya sendiri” dan “seolah sudah tak ada lagi dunia di luar dirinya”.

Lucunya, klaim labrakan Aries yang belum tentu sahih ini akan segera bisa kita kenakan balik padanya. Dengan menantang dan bahkan bisa dikatakan “menyuruh-nyuruh” para akademisi sastra untuk berduel dengan “orang jalanan sastra” di jalan raya sastra Solo, Aries sebenarnya juga sedang “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Ia juga bersikap “seolah sudah tak ada lagi dunia di luar dirinya”.

Tampak sekali ia ingin memakai standar aktivitas diri dan rekan-rekannya di komunitas sastra non akademis untuk melihat kiprah para akademisi sastra. Menggunakan pola pikir komunitas sastra, maka aktivitas yang paling penting memang melakukan pengembangan diri supaya bisa menghasilkan karya dengan derajat estetika tinggi dan juga melakukan pertemuan dengan publik seluas mungkin guna mensosialisasikan diri, karya, dan komunitas.

Masalahnya, apakah ukuran macam itu bisa dipakai untuk menilai kualitas aktivitas para akademisi sastra? Apakah para akademisi ini harus dituntut untuk selalu terus-menerus hadir di hadapan publik luas seperti yang dilakukan oleh para pegiat komunitas sastra? Jika yang dimaksud Aries dengan “duel di jalan raya sastra Solo” adalah sekadar hadir sebagai pembicara dalam sebuah acara sastra, misalnya, bukankah itu sudah terjadi secara cukup lazim di dunia sastra Solo? Bukankah cukup jamak kita jumpai seorang dosen duduk bersama sastrawan membahas masalah sastra di Solo?

Bukanlah tugas utama para akademisi sastra untuk mengadakan perjumpaan secara terus-menerus dengan publik, apalagi mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan itu. Cukup banyak infrastruktur sastra di Solo yang bisa melakukan hal tersebut. Segepok komunitas sastra yang telah disebut Aries dan juga lembaga-lembaga kebudayaan semacam Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) dan Dewan Kesenian Surakarta (DKS) lebih cocok untuk “dibebani” tugas itu.

Para akademisi sastra bertugas di kampus, karena memang itulah ranah pokok perjuangan mereka, bukan karena mereka “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Tugas utama mereka bukanlah mengadakan acara bedah buku atau workshop penulisan kreatif seperti yang dilakukan oleh komunitas sastra. Yang menjadi pokok perjuangan mereka adalah menumbuhkan bibit-bibit baru kritikus dan peneliti sastra dengan melakukan pengajaran sastra sebaik mungkin. Selain itu, tugas mereka jugalah menghasilkan telaah akademis berkualitas cemerlang atas karya sastra.

Dalam hal menilai karya para akademisi sastra ini pula Aries menggunakan ukuran yang lagi-lagi menunjukkan bahwa dia “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Pendapatnya yang menyayangkan bahwa jurus para akademisi sastra ini “hanya bisa ditangkap oleh kalangan terbatas”, yakni “para intelektual saja”, sungguh merupakan pendapat yang kelihatannya sahih tapi sebenarnya melencong. Benar bahwa para akademisi sastra memang menggunakan jurus kritik sastra yang barangkali hanya bisa dipahami sejumlah kecil orang, yakni mereka yang membekali diri dengan wacana sastra dan intelektual secara baik. Namun, kenyataan ini sama sekali tidak perlu disayangkan karena memang itulah yang seharusnya mereka lakukan!

Seandainya tiap akademisi sastra dibebani tugas untuk menulis telaah sastra yang awam, lalu siapa yang akan menulis telaah akademis yang serius dan penuh dengan wacana intelektual? Karya sastra tak bisa hanya dipahami melalui jalan “kritik umum” yang akrab dengan semua golongan. Teks sastra juga berhak ditelaah secara serius dengan metode yang ketat, bahasa ilmiah, dan teori pendukung yang memadai. Sekali lagi, siapa yang akan mengambil tugas itu jika bukan para akdemisi sastra?

Kritik terhadap para akademisi sastra memang perlu dilakukan tapi harus dengan substansi yang benar dan jalan pikir yang tak sesat. Kritikan terhadap mereka seharusnya diarahkan pada aktivitas yang memang menjadi tugas mereka, yakni pada wilayah pengajaran dan penelitian sastra. Dua wilayah inilah yang menjadi cecabang jalan sastra yang mereka geluti sehingga lebih bijak jika kita bertanya tentang efektivitas kerja mereka di sana.

Jikalau memang hendak mengkritik para akademisi sastra Solo, maka pertanyaan yang bisa diajukan adalah: sejauh mana mereka mampu membekali mahasiswanya dengan kemampuan menulis karya atau kritik sastra yang memadai dan apakah telaah yang mereka lakukan atas berbagai ragam karya sastra sudah memenuhi kriteria intelektual yang baik? Dua pertanyaan inilah, bukan tantangan duel di jalan raya, yang seharusnya lebih dulu diajukan pada akademisi sastra Solo.

Menantang para akademisi sastra untuk berduel di “jalan raya sastra”, seperti yang dilakukan Aries, sungguh bukan tindakan yang bijak dan bajik. Tantangan itu justru berbalik menjadi “senjata makan tuan” karena menunjukkan bahwa penulisnya “mengurung diri dalam dunianya sendiri.

Dimuat di Solopos, 15 Maret 2009

Kekuasaan dan Kebudayaan

Bandung Mawardi

Soerjosoeparto pernah merasakan hawa intelektual dan modernitas di negeri Belanda. Lelaki itu sadar tentang arus hidup dan hukum perubahan yang tak terelakkan. Olah pengetahuan dan pengalaman hidup di negeri Belanda menjadi tanda seru untuk mengusung utopia kekuasaan dan kebudayaan di Istana Mangkunegaran. Tanda seru itu dengan pelbagai konsekuensi direalisasikan untuk utopia Jawa modern tapi tak abai terhadap tradisi. Proses perubahan itu dijalankan ketika Soerjosoeparto sebagai lokomotif perubahan setelah dinobatkan sebagai Mangkunegoro VII (1916-1944).
Olah dan ulah kultural-politik Mangkunegoro VII membuat pemerintah kolonial cemas dan lekas ingin membuat represi politik. kecemasan itu tampak dalam laporan Gubernur Jenderal Idenburg pada Th. B. Pleyte (Larson, 1990: 92). Idenburg curiga Mangkunegoro VII sangat mendambakan proses demokratisasi di kepulauan Hindia Belanda. Budi Utomo di Solo dengan spirit nasionalisme dan orientasi kultural di bawah pimpinan Mangkunegoro VII bisa menjadi masalah akut untuk pemunculan isu perlawanan terhadap kolonial. Cemas kolonial itu membuat Mangkunegoro VII mahfum untuk lekas dan berani membuat desain kebudayaan Jawa biar demokratis dan modern sebagai tandingan atas represi dari kolonial.
Biografi Mangkunegoro VII mengandung kontroversi dalam paham kekuasaan dan kebudayaan di Jawa. Mangkunegoro VII memiliki ide dan aksi progresif meski rentan mengalami benturan dengan kepentingan kolonial dan Istana Kasunanan. Benturan-benturan itu terkadang membuat luka dan konflik dingin tapi tak bisa menutup pintu untuk perubahan. Raja Jawa itu telah menjelma sebagai manusia modern dengan warisan-warisan politik-kultural tradisional raja-raja Jawa pada masa lalu. Warisan-warisan itu lalu mendapati interpretasi modern untuk menciptakan Jawa sebagai subjek kebudayaan dan kekuasaan.
John Pamberton (2003) dalam On the Subject of “Java” membuat perbandingaan kritis antara dua Raja di Solo: Kasunanan dan Mangkunegaran. Pakubuwono X (1893-1938) tampak ditakdirkan untuk membawa “Jawa” pergi bersamanya tapi Mangkunegoro VII tampak ditakdirkan untuk memulihkan secara sistematis segala yang hilang dari “Jawa”. Mangkunegoro VII memiliki tendensi besar untuk mengusung ide-ide perubahan atas nama “kemadjoean”. Kuntowijoyo (2004) menduga bahwa kontras antara Kasunanan (Pakubuwono X) dengan Mangkunegaran (Mangkunegoro VII) dipengaruhi oleh faktor dan model pendidikan para bangsawan Jawa. Mangkunegaran lebih cenderung mengembangkan IQ dan Kasunanan EQ.
Dua kerajaan di Solo dalam bayang-bayang kolonial pada abad XX selalu memiliki tegangan-tegangan politik dan kultural atas nama Jawa dan modernitas. Kolonial Belanda selalu memberi godaan-godaan untuk intervensi atau hegemoni dengan pamrih stabilitas politik. Kasunanan dan Mangkunegaran eksis dan tumbuh dengan perbedaan model dan orientasi. Pakubuwono X cenderung dengan penguatan simbol-simbol untuk melegitimasi kekuasaan dan kebudayaan. Mangkunegoro VII cenderung melakukan olah dan ulah untuk progresivitas modernitas Jawa dengan pendidikan, pergerakan politik, nasionalisme, seni, dan agenda-agenda kultural.
Biografi politik Mangkunegoro VII tumbuh bersamaan dengan ombak kecil pergerakan politik di Solo. SI dan Budi Utomo menjadi tanda seru untuk isu-isu politik, agama, dan kultural. Mangkunegoro VII mahfum dalam membaca situasi pergerakan politik di Solo dengan melibatkan diri dalam Budi Utomo. Mangkunegoro VII termasuk menjadi sponsor atas perdebatan Soetatmo Soerjokoesoemo dengan Tjipto Mangoenkoesoemo: nasionalisme Jawa versus nasionalisme Hindia. Perdebatan sengit itu terbit dalam selebaran Javaansche of Indische Nationalisme (1918) sebagai nomor ekstra dari majalah Wederopbouw. Misi majalah ini merepresentasikan paham kekuasaan dan kebudayaan. Mangkunegoro VII mengungkapkan: “Keindahan mengendalikan kekuasaan, kekuasaan memiliki keindahan, kearifan memberikan hak kekuasaan” (Shiraishi, 1986: 163).
Mangkunegoro VII memosisikan diri sebagai kosmopolit intelektual dengan ikhtiar membuat titik temu antara Barat dan Timur. Ikhtiar itu menjelma dalam pembentukan Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Kebudayaan dan Filsafat) pada tahun 1917. Kelompok ini beranggotakan orang Jawa, Cina, misionaris, pegawai kolonial, dan para sarjana. Tujuan kelompok studi ini adalah menciptakan hubungan erat antara budaya Barat dan Jawa. Cultuur-Wijsgeerige Studiekring menjadi sarana Mangkunegoro VII untuk menunjukkan bahwa budaya Jawa memiliki peran tinggi dan perlu dipahami oleh negeri-negeri di Barat.
Warisan besar dari Mangkunegoro VII dalam Cultuur-Wijsgeerige Studiekring adalah teks ceramah dengan judul Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920). Teks tentang simbol dan mistik dalam wayang ini kelak jadi referensi primer untuk studi-studi wayang mutakhir. Mangkunegoro VII dalam epilog teks itu mengungkapkan semangat nasionalisme Jawa sejati sebagai resistensi atas monopoli filosofis peradaban Barat dalam hal-hal spiritual dan wacana peremehan atas supremasi Jawa (Pamberton, 2003: 177)
Kontribusi fenomenal Mangkunegoro VII adalah penyelenggaraan Kongres Kebudayaan (Jawa) pada tanggal 5-7 Juli 1918 sebagai embrio untuk pelaksanaan Kongres Kebudayaan di Indonesia. Ide dan pelaksanaan Kongres Kebudayaan Jawa itu melibatkan pelbagai kalangan dari Mangkunegaran, Kasunanan, dan Belanda. Proyek kebudayaan ini menurut Takashi Shiraishi menjadi pengesahan Mangkunegoro VII sebagai “raja modern berbudi cerah”.
Mangkunegoro VII juga mengambil inisiatif untuk pendirian Java Instituut (1919) sebagai institusi dengan tujuan memajukan perkembangan kebudayaan pribumi mencakup Jawa, Madura, dan Bali. Java Institut menerbitkan majalah prestisius Jawa sebagai juru bicara untuk dialektika desain dan proses perubahan kebudayaan Jawa pada arus modernitas dan bayang-bayang kolonial.
Pelbagai agenda kultural Mangkunegoro VII itu seperti merepresentasikan ajaran Mangkunegoro IV dalam Wedhatama: “Pengetahuan luhur di Tanah Jawa adalah agama raja.” Mangkunegoro VII dengan sadar dan intensif merealisasikan pelbagai utopia kultural untuk Jawa. Utopia itu kelak berhadapan dengan godaan-godaan politik dan realitas kapitalisme-globalisasi. Warisan-warisan Mangkunegoro VII mungkin terabaikan dengan keramaian lakon politik dan ekonomi. Tokoh-tokoh kunci dalam politik dan kebudayaan saat ini perlu membuka kembali lembaran sejarah dan menginsafi bahwa utopia kebudayaan itu tak bisa ditundukkan dengan pamrih dan jerat kekuasaan. Begitu.

Dimuat di Kompas (28 Maret 2oo9)

Amor Fati dan Iklanisme

Bandung Mawardi

Rezim iklan terus menguasai tatanan hidup dari perkara sepele sampai politik. Manusia hidup dalam rezim iklan yang selalu memberi perintah dan sihir. Iklan menjelma doa untuk menikmati dan menyelamatkan hidup? Rezim ini telah melenakan manusia dalam ambang batas fakta dan fiksi.
Sejarah iklan bisa dirunut sejak zaman Yunani Kuno. Para penjaja di Athena kerap menwarkan barang-barang dagangan kosmetik merk Aesclyptos dengan iklan lisan. Iklan itu puisi atau lirik untuk dinyanyikan: “Demi mata bersinar, demi pipi bagaikan fajar, demi kecantikan yang hanya akan sirna sesudah masa remaja purna, demi harga sebagai alasannya, kaum perempuan yang mengerti, akan membeli kosmetik Aesclyptos.” Iklan pun mulai berkembang pada zaman Rowami dengan tulisan di papan pengumuman. Isi iklan saat itu antara lain untuk mencari budak-budak yang melarikan diri dan mengumumkan pertandingan gladiator.
Iklan telah menjadi tanda kehidupan untuk geliat ekonomi, sosial, politik, seni, dan kebudayaan. Proses perkembangan iklan menunjukkan progresivitas kreativitas manusia untuk menebar sihir-sihir melenakan. Iklan dalam pelbagai bentuk memiliki jurus-jurus ampuh untuk transmisi pesan dengan tendensi-tendensi imperatif. Iklan lalu lenggak-lenggok dalam mekanisme hidup secara individual dan kolektif.
Ilmu iklan jadi menu besar abad XX. Studi mengenai iklan dan pembacaan terhadap transformasi kehidupan menunjukkan konstruksi tak selesai. Iklan adalah tanda-tanda zaman mulai dari perkara sepele sampai kekuasaan. Tanda-tanda zaman ada di pelbagai titik dengan intensitas tinggi untuk ikut menentukan nasib dunia. Iklan adalah penguasa.
Iklan besar abad XX adalah demokrasi. Iklan dalam pelbagai bentuk diciptakan dan disebarkan untuk membuat pelbagai negeri menganut demokrasi. Iklan demokrasi disebarkan secara halus dan kasar untuk membuat homogenisasi dan pengendalian terpusat. Iklan ini terkadang menampilkan wajah optimis tapi mengusung tragedi-tragedi menyakitkan. Iklan jadi tanda untuk perubahan zaman.
Indonesia merayakan iklan itu mulai abad XIX melalui penerbitan pers di Jawa. Iklan mendominasi halaman-halaman surat kabar untuk memberi informasi pada publik mengenai barang atau jasa. Iklan jadi ruh untuk surat kabar. Bedjo Riyanto (2000) dalam Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial: 1870-1915 memberi konklusi tentang efek iklan: (1) periklanan dan perkembangan perkotaan modern di Jawa; (2) Periklanan dan modernisasi gaya hidup masyarakat perkotaan di Jawa; (3) periklanan dan perkembangan kesehatan masyarakat di Jawa; (4) periklanan, hiburan, rekreasi; (5) periklanan, industri, penerbitan, dan kesusastraan.
Iklan adalah rezim tak terkalahkan sejak modernitas mendapatkan amin dari publik. Iklan sebagai juru bicara membuat tatanan hidup bisa teramalkan dan terarahkan. Rezim iklan pun semakin intensif lenggak-lenggok dari jagad sakral sampai jagad profan. Iklan menjelma doa, ibadah, kebaktian, atau iman. Iklan menjelma kedipan mata, hembusan nafas, atau sentuhan. Rezim iklan jadi panglima “abad yang berlari” atau “dunia yang tunggang-langgang.”
Rezim iklan saat ini jadi aurat dan aura untuk Indonesia. Iklan-iklan komersial mendapati penggenapan dengan iklan-iklan politik. Kalkulasi ekonomi dan kalkulasi politik jadi pertaruhan untuk permainan modal dan lakon kekuasaan. Publik tanpa kenal lelah mendapati iklan sebagai ritual dan doa-doa berserakan di jalan, televisi, koran, pohon, atau radio. Hari-hari dijalani dengan imperatif iklan. Publik seperti hendak ditaklukkan dengan ibadah iklan.
Iklanisme jadi ideologi tanpa interupsi. Negara dengan takzim merayakan iklanisme untuk membuat dan mendesain tata kehidupan individu dan kolektif. Negara ini adalah negara dari pahala iklan. Negara takluk oleh iklan sebagai pemasok modal untuk operasionalisasi pelbagai sistem kehidupan. Pemilik modal dengan iklan membuat perjanjian suci untuk kalkulasi ekonomi dan politik.
Mekanisme negara iklan itu eksplisit. Iklanisme pun disebarkan dengan utopia untuk melenakan publik. Penguasa meminta iman dan amin dari publik dengan pamrih eksistensi negara ditentukan oleh iklan. Kota-kota pun riuh dengan iklan dan sirkulasi modal. Iklan meresap dan menjelma ruh kota untuk perubahan-perubahan mengejutkan tapi kadang kecut dan luput. Kota-kota jadi homogen karena negara mengeluarkan instruksi atas nama iklanisme.
Polemik iklan politik adalah contoh kerepotan dalam ibadah politik. Iklan-iklan itu jadi sambungan dari iklan demokrasi yang mengatasnamakan takdir dunia. Demokrasi pun dijajakan dengan pertarungan sengit melalui jurus-jurus iklan. Kebohongan dan godaan menjadi rumus untuk pelanggengan rezim iklan dengan pamrih politik. Modal besar untuk iklan tentu diasumsikan bakal menuai panen besar.
Iklan politik rentan dengan konflik. Situasi ini terus terjadi di negara ini tanpa ada pertobatan. Iklan sesak dengan klaim. Iklan mengandung birahi untuk menaklukkan atas nama pembodohan massa. Iklan merengek minta iman dan amin. Iklan politik memang jadi lakon getir untuk negara ini tanpa memiliki malu. Ketelanjangan, aib, dan luka terus dijajakan untuk membuat rezim iklan jadi tuan negara.
Orang sakit, sekarat, miskin, luka, atau merana justru mendapati obat iklan politik. Sekolah ambruk, jalan rusak, udara kotor, banjir, atau longsor justru didoakan dengan iklan. Pendidikan amburadul, birokrasi macet, keamanan jebol, korupsi jadi wabah, atau kekerasan merebak justru dikeruhkan dengan iklan. Negara ini memang pemuja iklan dan cinta mati pada iklan.
Para aktor memiliki mantra dalam iklan dengan godaan-godaan basi. Mantra itu disebarkan dengan spirit seperti menunaikan ibadah untuk mencari berkah. Aktor politik mungkin memang abai bahwa iklan itu adalah kutukan untuk membuat zaman jadi cerewet tapi hilang makna. Iklan mungkin bakal mengarah sebagai kutukan zaman dengan penciptaan kiamat-kiamat kecil. Kutukan ini justru terus dirayakan seperti kemenangan hidup. Barangkali orang tak sekadar menerima kutukan tapi terlanjur mencintai kutukan: amor fati. Tragis.

Dimuat di Kompas Jateng (21 Maret 2oo9)

Pariwisata Etnis di Solo

Bandung Mawardi

Dinas Pariwisata Kota Solo pada awal tahun ini melaporkan bahwa selama tahun 2008 terjadi peningkatan agak siginifikan dalam jumlah kunjungan wisatawan di Kota Solo. Kunjungan wisatawan asing pada tahun 2008 jumlahnya 13.859 dan wisatawan domestik jumlahnya 1.029.003. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan laporan untuk tahun 2007. Wisatawan asing jumlahnya 11.922 dan wisatawan domestic 960.625. Peningkatan tersebut tentu menunjukkan kerja keras dari pelbagai pihak dan dukungan dari acara-acara besar yang selama tahun 2008 diadakan di Kota Solo dalam level nasional dan internasional.
Laporan kunjungan wisatawan tahun 2008 juga menyebutkan bahwa objek kunjungan yang paling ramai adalah Pura Mangkunegaran, Kraton Surakarta, dan Museum Batik Kuno. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Solo identik dengan pengembangan pariwisata etnis. Pengembangan ini sudah menjadi konsekuensi karena Kota Solo kurang memiliki sumber daya alam sebagai potensi pariwisata.
Pariwisata memang menjadi perkara besar untuk promosi, pendapatan, dan pencitraan kota. Pariwisata identik dengan sistem dan mekanisme yang melibatkan pelbagai kepentingan dan pengharapan. Kota Solo membutuhkan sistem dan mekanisme pariwisata untuk eksis dan menguatkan harga diri dalam level nasional dan internasional. Pariwisata adalah perkara penting dan menentukan konstruksi Kota Solo yang memiliki acuan dan potensi sejarah dan kebudayaan dengan orientasi besar untuk menguatkan eksistensi dan mengangkat citra kota.

Pamrih pariwisata
Pamrih eksplisit dari pariwisata niscaya berurusan dengan kompensasi untuk pendapatan. Dinas Pariwisata Kota Solo mengakui bahwa pariwisata niscaya terkait dengan persoalan PAD (Pemasukan Asli Daerah), apresiasi kesenian, unsur-unsur kultural, dan citra kota. Pariwisata bisa memainkan peran yang realistis untuk menguatkan citra Solo sebagai kota budaya dengan menimbulkan efek positif dan konstruktif
Dalil pariwisata harus mempertimbangkan aspek kultural, sejarah, ekonomi, pendidikan, dan politik. Pertimbangan-pertimbangan itu mesti melibatkan pelbagai pihak yang memiliki otoritas dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata kota: pemerintah kota, dinas pariwisata, pengusaha, pengelola hotel, pengelola biro perjalanan, atau pihak-pihak lain. Penentuan kebijakan pariwisata tentu membutuhkan keterlibatan dan partisipasi dari pihak-pihak yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan konstruktif. Pihak-pihak itu antara lain: seniman, intelektual, budayawan, ahli sejarah, arsitek, pengamat kota, sosiolog, dan lain-lain.
Pariwisata adalah perkara besar yang terkadang melahirkan optimisme dan pesimisme. Slogan-slogan diciptakan untuk promosi pariwisata dengan mengambil ikon-ikon kultural-historis. Ekspresi-ekspresi kesenian tradisional menjadi potensi dan komoditi yang berada dalam kepentingan pariwisata. Acara-acara besar, massal, sensasional, dan kontroversial diadakan untuk kepentingan menarik perhatian dan meningkatkan kunjungan dalam pariwisata kota. optimsime dan pesimisme terhadap pariwisata di Kota Solo itu ada karena perbedaan kentara antara idealisasi dan realisasi.

Pariwisata etnis
Walikota Joko Widodo berulang kali menyampaikan bajwa Kota Solo tidak memiliki sumber daya alam sebagai basis pertumbuhan kota, tetapi Kota Solo memiliki potensi besar dalam budaya. Potensi dan kawasan budaya adalah kunci untuk membuat Kota Solo memiliki denyut dan gairah untuk perubahan. Potensi dan kawasan budaya itu merupakan tantangan untuk Kota Solo agar bisa melakukan persaingan yang kompetitif dengan kota-kota lain.
Kenyataan itu tentu memberi kesadaran pada Pemkot Solo untuk mengembangan desain pariwisata etnis. Pariwisata etnis ini identik dengan menu-menu seni dan budaya sebagai manifestasi khazanah kekayaan kota. pengembangan pariwisata etnis sebenarnya mencakup pelbagai sisi dalam penentuan target dari masalah ekonomi (pendapatan) samapai pelestarian asset atau potensi seni, budaya, dan sejarah.
Keyes dan van Berghe (1984) mengartikan pariwisata etnis sebagai pariwisata dengan atraksi primer yakni keeksotisan budaya penduduk kota dengan pelbagai artefak (pakaian, arsitektur, teater, musik, tari). Pariwisata etnis memiliki mekanisme transaksi secara simbolis dan riil. Suguhan dalam bentuk pengalaman eksotis budaya dan seni pertunjukkan memungkinkan keterlibatan pelaku pariwisata dalam memberikan kompensasi dalam dalil pariwisata.
Potensi seni dan budaya di Kota Solo jelas menjadi modal untuk pengembangan pariwisata etnis. Keberadaan Balekambang, Mangkunagaran, Kraton Surakarta, Kampung Batik Kauman dan Laweyan, Museum Batik Kuno, dan lain-lain adalah tawaran menggoda untuk pariwisata etnis. Potensi-potensi itu dapat jadi ancangan untuk menciptakan desain pariwisata etnis yang konstuktif dan kontributif. Tawaran itu mestinya tidak sekadar dengan pamrih pendapat tapi juga harus ada orientasi substantif untuk pengembangan dan apresiasi seni dan budaya di Kota Solo.
Soedarsono (1989) mengungkapkan bahwa relasi atau simbiosis seni tradisional Jawa dengan industri pariwisata terbagi dalam tiga kategori: (1) pertunjukan kemasan murni yang harus dinikmati secara sungguh-sungguh; (2) pertunjukan sebagai pelengkap acara santap malam; (3) pertunjukan yang hanya dimaksudkan sebagai pemberi suasana kejawaan bagi para tamu atau turis. Kategori-kategori itu fleksibel dalam konteks seni dan industri pariwisata.
Pariwisata etnis di Kota Solo memungkinkan untuk memberi menu unggulan seni pertunjukan tradisional sebagai produk seni dan pariwisata. Potensi itu memang rentan dengan kerancuan antara ekspresi seni, apresiasi, atau pariwisata. Kerentanan itu justru menjadi tantangan dan realisasi pemenuhan pengembangan seni tanpa harus terkooptasi oleh industri pariwisata.
Catatan-catatan yang mesti menjadi pemikiran serius adalah pengelolaan pelbagai seni pertunjukan tradisional modern dengan manajemen profesional. Pemeliharaan dan pengembangan ruang-ruang historis-budaya pun harus mendapatkan dana dan tenaga-tenaga profesional. Promosi internal tentu menjadi acuan untuk pengembangan pariwisata dalam bentuk apresiasi masyarakat Solo. Apresiasi itu menjadi indikasi keberlangsungan seni sebagai manifestasi kebudayaan. Pariwisata etnis sebagai kolaborasi produktif tentu menjadi tantangan dan harapan untuk membuktikan Kota Solo agar memiliki pamor dan kekuatan dibandingkan dengan kota-kota lain. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (19 Maret 2oo9)

Wayang dan Satire Politik

Bandung Mawardi

Politik di Indonesia memiliki seribu pintu untuk pergulatan tafsir dalam tegangan idealitas dan realitas. Rezim-rezim kekuasaan di Indonesia memiliki jejak kentara dalam historisitas kekuasaan Jawa. Pembaca dan penafsir politik Indonesia bisa gairah dan lelah untuk mengurusi politik melalui jejak-jejak kekuasaan Jawa. Jejak-jejak itu mengalami metamorfosis atau pemutakhiran sesuai dengan arus takdir jaman.
Esai-esai Benedict Anderson (1966 dan 1972) dengan kritis mengabarkan bahwa konstruksi politik Indonesia mengacu pada Jawa. Realisasi paham kekuasaan Jawa tampak eksplisit dalam pemunculan aktor, kesadaran panggung, permainan lakon, atau permainan bahasa politik. Anderson mengakui ada kerepotan epistemologis untuk membaca dan memahami konsep kekuasaan Jawa. Kerepotan itu pun sampai pada penemuan desain esoteris dan eksoteris kekuasaan Jawa melalui mitos, sastra, bahasa, seni, mistik, dan politik.
Wayang menempati peran penting dalam lakon kekuasaan Jawa sebagai kiblat atau referensi politik Indonesia. Wayang adalah jagad kompleks untuk mendedah sekian idealitas dan realitas hidup manusia. Politik menjadi bab primer dalam wayang dengan pelbagai tafsir dan realisasi. Wayang itu politik. Pembacaan dan penafsiran atas wayang dalam ranah politik memang kerap mengejutkan tapi itu kelumrahan dalam biografi politik Indonesia.

Wayang politik
Wayang itu politik menemukan pengesahan dalam proses kreatif dan laku politik Noto Soeroto. Penyair dan aktor politik ini memiliki pergulatan intensif dalam jagad wayang untuk mengartikulasikan pandangan politik pada awal abad XX. Noto Soeroto adalah penyair Jawa tapi menuliskan puisi dengan bahasa Belanda. Penyair ini merupakan cucu Sri Pakualam V dan aktor pergerakan politik pada masa kolonialisme. Noto Soeroto tercatat pernah menjadi ketua Indische Vereeniging (1911).
Kitab puisi puncak dari Noto Soeroto terbit tahun 1931 dengan judul Wayang-liederen (Dendang Wayang). Kitab ini telah diterjemahkan dalam pelbagai bahasa: Prancis, Inggris, Jerman, dan Indonesia. Kitab puisi Wayang-liederen menjadi bukti bahwa wayang adalah kebun persemaian untuk politik dalam konstruksi religius-mistik dalam latar penjajahan Belanda di Indonesia. Kitab itu melahirkan curiga dari Belanda atas kesadaran nasionalisme dan pencanggihan tradisi politik Jawa dalam wayang. Noto Soeroto mahfum bahwa wayang adalah pengucapan fasih untuk mengungkapkan seribu satu perkara kehidupan. Rosa M.T. Kerdjik (2002) menyebutkan bahwa wayang adalah katalogus hidup bagi orang Jawa. Politik menjadi bab penting dan menentukan.
Wayang dengan kerimbunan simbolisme membuat pelbagai perkara sanggup diartikulasikan dengan multiperspektif dan multitafsir. Simbolisme itu kunci eksistensi dan esensi wayang. Simbolisme kerap jadi bayang-bayang dalam tafsir dan tak tuntas dalam ikhtiar penemuan relevansi. Wayang sebagai kebun persemaian politik pun jadi referensi belum usai untuk aktor-aktor politik dan tukang tafsir politik.
Noto Soeroto dalam Wayang-liederen mengungkapkan: “Setiap ksatria merupakan raksasa bagi yang lain dan setiap raksasa karena perbuatannya sama dengan ksatria.” Satire ini merepresentasikan bahwa lakon politik mengandung paradoks, ambiguitas, dilematis, ambivalen, dan kontradiktif. Aktor politik dengan acuan identifikasi dalam tokoh-tokoh wayang kerap membuat lakon politik berada dalam samar atau ambang batas. Wayang sebagai referensi politik pun memberikan kunci-kunci untuk membuka tabir dan mewartakan makna simbolisme untuk estetisasi politik atau politisasi estetik.

Tamsil wayang
Identifikasi pada tokoh wayang merupakan jalan terjal atau labirin untuk aktor politik dalam mengonstruksi diri dengan sekian pamrih dan risiko. Proses identifikasi memang tak bisa komprehensif karena norma-norma realatif dalam wayang. Absolutisme hampir tak mungkin ada dalam proses identifikasi. Satire dari Noto Soeroto itu menjadi contoh atas operasionalisasi dan kodrat wayang. Satire itu mendapati contoh puncak dalam dilema untuk memberi tafsir dan vonis atas tiga tokoh dalam wayang: Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna.
Dilema tiga tokoh itu diungkapkan dengan estetis oleh Mangkunegara IV (1809-1881) dalam Serat Tripama (Tiga Tamsil). Siapa ksatria, pahlawan, dan pengkhianat? Pertanyaan pelik ini susah mendapati jawaban paripurna. Patih Suwanda adalah tokoh pandai, berani, dan menepati sifat keturunan orang utama. Kumbakarna adalah raksasa, memiliki sifat-sifat utama, menepati janji ksatria, dan pembela negara. Karna adalah ksatria, sadar balas budi, dan berani. Identifikasi sifat-sifat itu mengandung pertentangan ketika ada perbandingan dari perspektif berlawanan.
Mangkunegara IV menuliskan: Katri mangka sudarsaneng Jawi, pantes lamun sagung pra prawira, amirita sakadare, ing lalabuhanipun, aja kongsi mbuwang palupi, manawa tibeng nistha, ina esthinipun, sanadyan tekading buta, tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi in kotaman (Tiga pahlawan itu menjadi teladan orang Jawa, pantas untuk semua perwira, mengambil mereka sebagai teladan, mengenai jasa dan bekti, jangan membuang teladan, nanti bisa jatuh jadi hina, rendah keinginan atau cita-cita, raksasa pun tidak berbeda dalam ikhtiar memenuhi takdir sebagai makhluk dengan sifat-sifat utama).
Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Karna adalah aktor dalam lakon politik besar. Mereka diidentikkan sebagai pahlawan sesuai dengan kriteria-kriteria dalam konteks ksatria (militer) dan politik. Vonis itu bakal dilematis ketika dihadapkan dengan etika normatif. Kumbakarna adalah raksasa dari Ngalengka dan setia pada Rahwana ketika perang melawan Rama. Karna lawan tanding dengan saudara sendiri di kubu Pandawa. Tokoh atau aktor selalu dihadapkan pada pilihan dan konsekuensi. Dilema itu menjadi tanda tanya dan tanda seru untuk membaca lakon politik dalam wayang dan lakon politik Indonesia.
Aktor politik ideal adalah aktor tulen dan istiqomah dalam pengabdiam atas nama kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Aktor pun rentan untuk oportunis dan pragmatis. Pilihan-pilihan dalam lakon membuat aktor membuat kalkulasi atau penilaian objektif-subjektif untuk pertaruhan harga diri atau pamrih. Tokoh-tokoh wayang menjalani lakon dalam tegangan takdir dan kehendak bebas. Takdir menjadi kecenderungan besar karena ada anutan untuk mengisahkan hidup dalam dikotomi atau oposisi biner. Takdir itu tak bisa dikatakan mutlak sebagai fatalisme.

Banalitas wayang
Wayang sampai hari ini belum usai jadi referensi. Representasi jagad wayang dalam politik Indonesia mutakhir tampak dalam bahasa. Benedict Anderson (1966) mencatat bahwa bahasa politik Indonesia ramai dengan pemakaian istilah dari jagad pewayangan: dalang, mendalangi, lakon, gara-gara, perang tanding, jejer, atau Bratayuda. Bahasa-bahasa itu jadi imaji politik untuk memberi narasi atas tokoh dan peristiwa. Bahasa politik itu memiliki acuan dan efek dalam melenakan atau memprovokasi publik. Bahasa jadi penentu untuk legitimasi aktor politik dalam memainkan peran sesuai kompetensi dan penciptaan imaji.
Wayang pun jadi alat dan juru bicara politik. sejarah Orde Lama dan Orde Baru membuktikan bahwa wayang sanggup melegitimasi penguasa atau aktor politik. Pertunjukan wayang diintervensi dengan pesan-pesan politik. laku estetika menjelma menjadi laku politis karena pertunjukkan wayang ditundukkan oleh kekuasaan atau uang. Wayang sebagai tontonan dan tuntunan tak bersih dari politik. Aktor-aktor politik pun fasih mengucapkan khotbah-khotbah dari jagad wayang dan melakukan identifikasi diri pada tokoh-tokoh pilihan.
Wayang terus mendapati babak sambungan dalam lakon politik mutakhir. Dalang mulai melakukan metamorfosa menjadi aktor politik. Para aktor politik menjelma jadi dalang di parlemen, partai politik, atau institusi negara. Lakon politik pun ramai dengan imaji-imaji wayang. Simbolisme mengalami pembesaran dan pelipatgandaan dalam transaksi politik. Banalitas wayang jadi rasionalisasi untuk hasrat kekuasaan dan pencapaian utopia politik. Wayang menjelma godaan untuk aktor-aktor menciptakan lakon politik. Wayang belum usai dieksplorasi dan dieksploitasi. Begitukah?

Dimuat di Suara Merdeka (15 Maret 2oo9)