Minggu, 31 Mei 2009

UNDANGAN Ngudarasa Sastra Seri 4

Sastra Postkolonial

Bale Sastra Kecapi dan Balai Soedjatmoko Solo


Tema sastra postkolonial ini diajukan sebagai pembacaan terhadap biografi (sastra) Indonesia. Jejak panjang kolonialisme di Indonesia telah memberi tebaran gagasan dan praktik dalam pelbagai sisi kehidupan. Dalil dan pamrih untuk menjadi Indonesia mengandung benih dan persemaian wacana postkolonialisme. Wacana ini tampak sebagai eksplisitas dan implisitas dalam ranah sastra sebagai juru bicara proses transformasi sosial dan kultural di Indonesia.
Relasi sastra, ideologi, bahasa, kekuasaan, dan identitas tentu jadi lambaran menantang untuk memerkarakan sastra poskolonial di Indonesia dengan tebaran teori dan tafsiran mutakhir. Rintisan untuk menggulirkan kembali sastra postkolonial ini memiliki pamrih untuk tak melupakan biografi (sastra) Indonesia sebagai kasus kompleks dalam keriuhan wacana dan produksi teks sastra yang membutuhkan sapaan dan godaan. Gugatan atau revisi terhadap model-model pembakuan atau kanonisasi sastra di Indonesia pun jadi pertaruhan untuk menemukan aib atau utopia yang belum usai. Sastra poskolinal tentu masih penting untuk diperkarakan.

Hari/Tgl. : Minggu, 7 Juni 2009
Jam : 10.00 WIB
Tempat : Balai Soedjatmoko, TB Gramedia, Jl. Slamet Riyadi No 284 Solo
Pembicara : Muhammad Al-Fayydl, Peminat Filsafat dan Sastra, Jogjakarta
Saifur Rohman, Dosen Filsafat USM dan Kritikus Sastra, Semarang
Moderator : Bandung Mawardi (Bale Sastra Kecapi)

Silakan merayakan tema Sastra Poskolonial dengan mendengarkan atau urun rembug. Acara ini gratis dan ada hadiah buku untuk siapa saja sesuai kontribusi dalam Ngudarasa Sastra. Begitu.


Koordinator:
Kabut (08564712744)

Memerkarakan Kelezatan Cerpen

(Resensi Buku 2o Cerpen Indonesia Terbaik 2oo9)

Bandung Mawardi

Cerpen masih jadi menu lezat untuk pembaca? Kriteria lezat tentu mengandung pengertian resepsi dan interpretasi. Cerpen jadi pertaruhan untuk memanjakan atau melenakan selera dalam tegangan cerpenis, redaktur, dan pembaca. Cerpen-cerpen pun tak jemu jadi menu di lembaran-lembaran kebudayaan koran dengan wajah dan sapa menggoda. Suguhan cerpen-cerpen itu menjadi tanda koma yang mengabarkan bahwa negeri ini memiliki daftar panjang homo fabulans (manusia pencerita). Homo fabulans itu mengajukan cerpen sebagai menu ampuh untuk mengabarkan lakon manusia.
Cerpen adalah juru bicara. Dalil ini mungkin patut diajukan untuk meresepsi kehadiran buku 2o Cerpen Indonesia Terbaik 2oo9 yang disuguhkan oleh program Anugerah Sastra Pena Kencana. Cerpen jadi godaan yang minta perhatian. Godaan itu jadi tanda tanya dan tanda seru dalam ranah kehadiran cerpen-cerpen Indonesia yang membutuhkan hormat dan nilai. Godaan bisa memuncak dan melemah tergantung pada relasi dan transaksi dalam pergulatan estetika dengan media, tingkah pembaca, iklim politik, arus sosial, atau musim kultural.
Prolog dari Triyanto Triwikromo mengesankan bahwa kehadiran 20 cerpen sebagai pilihan menu lezat cerpen Indonesia berada dalam kepungan tanya dan kerepotan menemukan jawaban. Konklusi pun lekas diwartakan bahwa kesusastraan Indonesia masih nelangsa. Cerpen terus diproduksi dengan gegap-gempita dan melimpah tanpa menebar sihir impresif untuk manusia-manusia di luar dunia teks untuk membaca cerpen-cerpen yang kerap dianggap elitis. Prolog ini jadi pengesahan untuk memerkarakan cerpen sebagai realisasi laku kreatif yang hidup dalam ancaman malaikat-malaikat maut. Cerpen: hidup atau mati?
Fenomena kritis atas nasib cerpen sejak lama jadi polemik dan keluhan. Jawaban-jawaban eksplisit justru diajukan dengan keriuhan pemuatan cerpen di koran dan penerbitan antologi cerpen. Publikasi cerpen jadi jawaban atas ragu atau curiga meski tak menghapus dilema. Radhar Panca Dahana (2005) mengingatkan kehadiran dan signifikansi cerpen sebagai penghuni genre prosa: “Untuk apa lagi prosa diproduksi? Ketika dunia sesungguhnya telah menjelma menjadi prosa. Ketika logika hidup, imaji publik, atau peristiwa-peristiwa rutin sudah begitu prosaik .... Headline surat kabar, gosip-gosip tabloid, bincang di radio, cover majalah, diskusi cafe, keceriwisan warung kopi, wabah infotaiment, hingga soap opera di milis atau komunitas, SMS, telah dengan rajinnya (dalam hitungan detik) mempersembahkan kisah-kisah nyata yang tak sekadar luar biasa, tapi juga tak terbayangkan (unimaginable).” Cerpen memang terus ada dengan tegangan-tegangan untuk gairah atau gerah.
Kehadiran buku ini jadi jawaban lanjutan atas nasib cerpen. Pilihan atas cerpen yang dianggit oleh Agus Noor, A.S. Laksana, Ayu Utami, Azhari, Danarto, Eka Kurniawan, F. Dewi Ria Utari, Gunawan Maryanto, Intan Paramadhita, Lan Fang, Linda Christanty, M. Iksana Banu, Naomi Srikandi, Nukila Amal, Putu Wijaya, Ratih Kumala, Stefany Irawan, Triyanto Triwikromo, Zaim Rofiqi, dan Zelfeni Wimra jadi representasi optimisme cerpen mutakhir untuk tak terus nelangsa. Perkara substantif adalah cerpen dengan olahan, sajian, dan rasa pada pembaca. Cerpen-cerpen itu pun ingin menyapa pembaca sebagai konsekuensi dari kerja sastra dan kultural.
Cerpen Zaim Rofiqi yang berjudul “Kamar Bunuh Diri” patut jadi perhatian pembaca untuk memerkarakan nasib cerpen Indonesia mutakhir. Alinea pertama: Kau tentu mengira kamar itu kecil. Terlalu sempit sehingga membuat pikiran sumpek, udara mampet, angan-angan mandek? Alinea ini bisa dipakai untuk menguji kelezatan cerpen-cerpen terbaik yang disuguhkan pada pembaca. Kelezatan 20 cerpen dalam buku ini kerap memberi impresi dengan gerak dan jalan beda. Konklusi: Kau jangan mengira buku antologi cerpen ini ada dalam kamar kecil tapi kau memiliki hak untuk menerima atau menolak sumpek, mampet, dan mandek.
Ini cecapan kecil atas kelezatan sekian cerpen. Cerpen “Kartu Pos dari Surga” anggitan Agus Noor memberi haru yang ungu atas kisah bocah perempuan untuk menanyakan ibu. Cerpen “Sonata” dari Lan Fang beri godaan puitik untuk menikmati naif dan romantisme. Cerpen “Lembah Kematian Ibu” dari Triyanto Triwikromo menyuguhkan pedih perempuan yang sepi liris dan rindu dendam. Cerpen “Usaha Menjadi Sakti” dari Gunawan Maryanto memberi kesan biografi manusia untuk mengalami sebagai manusia. Cerpen “Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis” dari A.S. Laksana mengingatkan resah cinta, dendam, luka, dan kematian yang dramatis.
Kelezatan cerpen-cerpen itu beda dengan tendesi aktualitas dari sekian cerpen sebagai bukti keintiman cerpen (fiksi) yang hadir di koran yang mengusung berita (fakta). Cerpen “Terbang” anggitan Ayu Utami jadi tanda seru untuk musibah-musibah kecelakaan dan refleksi atas nyawa. Cerpen “Suap” dari Putu Wijaya jadi satire yang menggelikan dan memuakkan atas lakon korupsi. Cerpen “Perbatasan” anggitan F. Dewi Ria Utari jadi panggung tanya untuk pornografi dan pornoaksi. Cerpen-cerpen ini jadi refleksi meski dalam cecapan kelezatan kadang lekas kehilangan impresi atas bahasa dan kisah.
Penilaian Wicaksono Adi mengenai cerpen-cerpen dalam buku ini sangat fasih menciptakan bentuk yang sesuai dengan isi cerita mungkin patut diamini. Kefasihan itu sebagai faktor dari kerja homo fabulans untuk menciptakan komunikasi dan interaksi. Kefasihan itu ada tapi terkadang melenakan karena kurang mengurusi kelezatan untuk pengekalan reflektif lalu cenderung menjadi catatan kecil atas berita. Barangkali curiga ini yang hendak diterangkan oleh Wicaksono Adi dalam istilah “bobot kehadiran” (cerpen tidak melulu bertumpu pada “cerita” tetapi dapat meluas menuju hal-hal lain yang mengitari peristiwa atau segala ihwal yang berada di balik “cerita”). Begitukah?

Dimuat di Jawa Pos (24 Mei 2oo9)

Umar Kayam: Pokok dan Tokoh

Bandung Mawardi

Umar Kayam (1932 - 2002) adalah pokok dan tokoh dalam sastra, seni, kebudayaan, dan ilmu sosial. Nama ini menjadi bab penting dalam biografi kebudayaan Indonesia. Tokoh ini memang moncer untuk pelbagai hal dan memberi “sihir wacana” untuk publik. Orang berhak membaca dan menilai Umar Kayam karena cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, novelet Sri Sumarah dan Bawuk, novel Para Priyayi, dan novel Jalan Menikung. Orang berhak mengenali secara intim sosok Umar Kayam dalam kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih, dan Satrio Piningit ing Kampung Pingit.
Apa warisan dari Umar Kayam? Pertanyaan ini sengaja diajukan untuk menilik kembali kontribusi Umar Kayam dalam wacana sastra, seni, kebudayaan, dan ilmu sosial. Umar Kayam mencatatkan diri sebagai tokoh kunci dalam pergulatan wacana-wacana besar dengan orientasi memberi kontribusi untuk biografi menjadi Indonesia. Warisan-warisan itu gampang terlacak dan mengadung kontekstualisasi dalam arus zaman.
Umar Kayam dalam jagad sastra Indonesia modern merupakan pokok dan tokoh yang fenomenal. Sekian teks sastra menjadi juru bicara keampuhan Umar Kayam untuk mengisahakn hidup dengan penguatan narasi suasana dan pergulatan ide dalam tegangan fakta dan fiksi. Cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan sampai hari ini masih jadi tonggak cerpen Indonesia karena model penceritaan yang mengena pada suasana dan karakterisasi tokoh yang kuat. B. Rahmanto dalam Umar Kayam: Karya dan Dunianya (2004) menyebut cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan merupakan cerpen awal Indonesia yang menggelinding sebagai cerpen suasana. Cerpen itu memberi tanda seru dalam kesusastraan Indonesia modern bahwa narasi suasana merupakan kunci kehidupan sebuah cerita.
Novel Para Priyayi merupakan novel kontroversial. Para pengamat dan pembaca melemparkan penilaian yang riuh: novel outobiografis, novel sejarah, Para Priyayi itu risalah sosiologis, novel itu percampuran atau sintesis fakta (ilmu-ilmu sosial) dan fiksi, atau novel itu traktat pandangan kepriyayian modern. Umar Kayam mengakui bahwa penulisan novel Para Priyayi mengacu pada alasan bahwa ilmu-ilmu sosial tidak mampu lagi menjelaskan banyak hal. Kuntowijoyo (1998) menilai novel Para Priyayi merupakan novel sejarah dengan narasi perubahan dari waktu ke waktu tentang sebuah keluarga, peristiwa, dan mobilitas sosial. Novel ini mereprentasikan jejak-jejak kepriyayian dalam kebudayaan Jawa.
Warisan lain yang memberi kontribusi penting adalah tulisan-tulisan kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat yang lalu terbit sebagai buku dalam empat jilid. Tulisan-tulisan itu sebagai catatan kritis untuk memerkarakan transformasi sosial dan kebudayaan dalam tegangan tradisionalitas dan modernitas. Umar Kayam lihai untuk menuturkan wejangan dan kritik sosial-kebudayan melalui tokoh-tokoh yang lekas akrab pada pembaca.
Goenawan Mohamad (1990) menilai tulisan-tulisan Umar Kayam itu enak dinikmati karena secara spontan dan konsisten memberi kerifan untuk memandang hidup. Materi tema dalam kolom Umar Kayam itu sebagai metafora untuk koeksitensi pelbagai hal yang berbeda-beda tapi masing-maing dapat dikonsumsi dan menjadi bagian dari pernyataan diri zaman ini.
Sapardi Djoko Damono (1994) dengan lugas menilai kolom Umar Kayam itu sebagai glenyengan. Glenyengan adalah cara dalam mengungkapkan nasihat, sindiran, protes, atau usul. Umar Kayam sebagai tukang cerita mahfum dalam model glenyengan itu tanpa harus membuat pihak-pihak tertentu sakit atau disudutkan tanpa ampun. Umar kayam sadar bahwa khasanah Jawa telah menyediakan taktik dalam melempar kritik dan mengajukan usul untuk lkebaikan bersama.
Umar Kayam pun mewariskan buku Seni, Tradisi, dan Masyarakat dan Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya. Umar Kayam getol mengurusi seni tradisi. Hal itu jadi dalil ketika Umar Kayam memberi peringatan: seni sebagai tradisi adalah masalah rakyat. Buku Seni, Tradisi, dan Masyarakat membuktikan ketelatenan Umar Kayam memunculkan optimisme dan pembuatan taktik kultural untuk kehidupan seni tradisional dan seni modern. Umar Kayam pun dengan lincah mendedahkan persoalan-persoalan dan pengajuan solusi dalam teater tradisional, teater modern, film, wayang, novel pop, dan hubungan pariwisata dan kebudayaan.
Buku Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya merupakan tanda dan metafor dari perhatian Umar Kayam terhadap kehidupan kebudayaan etnis di Indonesia. Perjalanan itu mengandung pengertian pengamatan terhadap proses tranformasi kultural yang menimpa sekian kebudayaan etnis dalam kutukan dan berkah atau pesimisme dan optimisme untuk eksis dan tumbuh. Umar Kayam juga mengingatkan bahwa perjalanan itu mengartikan proses penerjemhan kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak dari kebudayaan etnis. Pengertian ini dipahami secara kritis sebab memiliki kemungkinan menjadi hegemonik dengan pertaruhan kebudayaan etnis mungkin lekas musnah atau mengalami reduksi secara substantif.
Umar Kayam itu pokok dan tokoh. Warisan-warisan Umar Kayam memang melimpah untuk jadi bahan refleksi membaca tanda-tanda zaman. Buku-buku Umar Kayam tidak sekadar warisan benda mati tapi referensi untuk mencari jejak dan menentukan proses transformasi sosial dan kultural di Indonesia. Warisan-warisan itu membutuhkan interpretasi dan realisasi. Begitu.

Dimuat di Kedaulatan Rakyat (24 Mei 2oo9)

Kauman

Oleh: Heri Priyatmoko
Kauman. Sebuah nama kampung kuno yang bersebelahan dengan Masjid Agung Surakarta, yang menyimpan kisah sejarah panjang abdi dalem ulama Keraton Kasunanan beserta keuletan perempuan perajin batik.
Matahari mulai melemah. Sinarnya tak lagi kuat menyusup lorong-lorong sempit nan panjang. Jam lima sore warung Mbak Dian di mulut gang masih buka.
”Mau nyoba wedang jahe gulo batu bikinan saya ndak mas?” pemilik warung yang sedikit kemayu itu menawari Bogel yang sedang mesam-mesem membaca SMS masuk.
Pertanyaan Mbak Dian cukup dibalas dengan anggukan. Bogel setuju.
”Ada apa to mas, kok senyum-senyum sendiri?” tanya Mbak Dian sembari ngelap meja yang basah tersiram kuah soto.
”Ada kabar baik, mbak. Pak RW memberitahukan kepada saya rencana Pemkot Surakarta untuk merevitalisasi Kampung Kauman,” jawab Bogel seraya nyemplus lombok, menambah kian nikmat makan tempe bacem-nya.
”Wealah, kalau begitu saya melu seneng. Sapa tahu warung-warung di sini katut laris. Menjadi tempat jujugan sopir taxi, sopir becak, dan pemandu lokal yang mengantar turis maupun pembeli batik,” kata Mbak Dian setengah berharap.
Memang, Pemkot Surakarta sudah membikin design engineering detail (DED) untuk revitalisasi Kampung Kauman. Langkah ini telah sekian lama dinanti warga. Sebetulnya minat masyarakat setempat terlihat dalam memberdayakan wilayahnya, yakni dengan dibentuknya Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman pada 7 April 2006 silam. Mereka sadar bahwa Kauman adalah ”harta karun” yang terkubur oleh kemegahan pertokoan yang mengepungnya. Kauman sangat istimewa dikembangkan sebagai kampung wisata religius dan batik. Lagipula terletak di wilayah komersial perdagangan dan perkantoran sehingga mempunyai kemungkinan perkembangan ekonomi lebih mudah dan cepat.
”Saya dan rekan muda-mudi di sini akan ikut berpartisipasi demi suksesnya program tersebut. Karena itu, ada baiknya pula mbak mulai belajar sedikit-sedikit mengenai sejarah kampung Kauman. Sungguh mungkin besok pengunjung yang mampir ke warung ini bertanya soal asal-usul Kampung Kauman,” Bogel menjelaskan sambil menggeser duduknya untuk menjangkau rempeyek di lodong.
”Kita pun harus tahu toponimi kampung-kampung. Misalkan, Kampung Gerjen. Jaman dulu kampung ini ditinggali abdi dalem yang bekerja sebagai penjahit. Kampung Sememen merupakan tempat tinggal ketib Sememi. Kemudian Kampung Modinan ditinggali para modin,” sela Handri, teman Bogel yang baru saja menghabiskan sepiring sayur lodeh, mulai nimbrung.
Tentunya upaya revitalisasi ini tak mandeg pada konservasi rumah kuno dan pembangunan sarana fisik kawasan saja. Sebisa mungkin revitalisasi juga menyangkut pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Beberapa dinas terkait perlu dilibatkan, seperti Dinas Koperasi dan UKM memberi suntikan dana para UKM batik setempat. Dukungan Kantor Penanaman Modal membuka akses untuk permodalan yang lebih besar bagi pengusaha batik. Sementara Disperindag berusaha keras dalam aspek pemasaran batik. Lalu, bagian promosi wisata Kampung Kauman menjadi tugas Disbudpar.
”Jika jalinan kerja sama yang bersifat sinergis antara dinas terkait dan masyarakat sekitar, tidak mustahil kegiatan revitalisasi ini berdampak pada lestarinya bangunan dan meningkatnya aktivitas ekonomi sehingga memberi insentif kepada warga,” imbuh Handri seraya mengupas pisang untuk pencuci mulut.
”Mbak, saya pergi dulu. Sudah ditunggu Pak RW di kalurahan untuk membuatkan jadwal training bahasa Inggris para pemandu lokal,” Bogel pamit, dan di meja tertinggal uang kertas biru bergambar I Ngusti Ngurah Rai.
”Mas, ini pengembaliannya,” kata Mbak Dian menoleh, namun Bogel sudah ngacir duluan dan berteriak, ”ambil saja pengembaliannya”.

(Dimuat di Suara Merdeka, 16 Mei 2009)

Selasa, 19 Mei 2009

Puzzle Semiotika Sastra

Oleh: Haris Firdaus

“Mulai saat ini, jika hendak menulis tentang semiotika, Anda jangan memakai teori Jacques Derrida, Umberto Eco, atau Jacques Lacan lagi! Teori ketiganya punya kelemahan dasar yang tak bisa dimaafkan,” begitu kira-kira provokasi Saifur Rohman, redaktur Suara Merdeka, saat mengisi sesi pertama Workshop Semiotika Sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Solo, pada 9-10 Mei lalu.

Dalam workshop yang terselenggara berkat kerja sama TBJT, Suara Merdeka, Kabut Institut, dan Bale Sastra Kecapi itu, Saifur mengajak para peserta untuk tidak larut dalam arus kelatahan saat mempraktikkan semiotika. Menurutnya, praktik semiotika di Indonesia cenderung terus-menerus merujuk pada teori-teori yang dikembangkan Derrida, Eco, atau Lacan. Padahal, kata Saifur, pandangan ketiga tokoh itu punya kelemahan-kelemahan yang sangat mencolok.

Jacques Derrida, melalui teori dekonstruksinya, menyebut tidak ada kenyataan di luar teks. Bagi Saifur, anggapan semacam itu tidak benar karena teks tidak bisa mencakup segalanya. “Banyak ekspresi-ekspresi manusia yang tidak bisa terangkum dalam ragam bahasa apapun,” ungkap Saifur.

Umberto Eco, dalam buku The Limit of Interpretation, mengungkap soal ketakterbatasan proses tafsir sebuah teks karena petanda atau isi sebuah teks dianggap tak memiliki demarkasi. “Relativitas yang tak punya batas inilah yang menjadikan teori Eco sangat lemah,” terang Saifur.

Setelah mengungkap kelemahan Derrida dan Eco, Saifur berlanjut mencela Lacan. “Teori Metabahasa Lacan—yang berkait dengan erat dengan ketidaksadaran manusia—mirip dengan cerita humor tanpa pembuktian,” tegasnya.

Sebagai “sesi pertama” dari sebuah kegiatan yang disebut sebagai “Workshop Semiotika Sastra”, materi Saifur—yang berjudul “Kelatahan dan Kreativitas: Kasus Praktik Semiotika Kontemporer”—tentu saja merupakan sebuah bahan ajar yang “tak lazim”. Galibnya, sebuah workshop akan dimulai dengan pemaparan bahan yang sederhana dan elementer dulu, baru berlanjut ke materi pendalaman, dan diakhiri dengan materi yang sedikit “dekonstruktif” untuk mempertanyakan kembali semua pemahaman awal yang didapat sebelumnya. Tapi, mau bagaimana lagi, workshop yang sedang digelar di TBJT ini memang sebuah workshop tak biasa.

Mengikuti workshop tersebut, ibarat sedang bermain puzzle. Para peserta disodori sejumlah gagasan, serangkaian wacana, gelontoran ide-ide, lalu dibiarkan mengarungi sendiri lautan ide yang telah mereka dapat, untuk kemudian memilah dan memilih mana gagasan yang harus diserap dan mana yang mesti disingkirkan. Semua materi workshop tersebut bagaikan potongan-potongan puzzle yang jika dilihat satu per satu akan tampak tak koheren, mencong di sana-sini, dan mungkin membuat tersesat. Akan tetapi, jika semua potongan puzzle tadi sudah dikumpulkan, lalu ditata menjadi satu, maka akan tampak sebuah pola, sebentuk sketsa, semacam gambar, yang meskipun samar-samar tapi beraturan. Untuk membuat gambar tadi menjadi benar-benar jelas dan sistematis, para peserta harus membaca buku lagi, berdiskusi lagi, belajar dengan tekun terus-menerus.

Jika menyimak secara intensif semua materi yang disampaikan, akan tampak bahwa workshop semiotika sastra itu memang mirip dengan permainan puzzle. Setelah materi dekonstruktif dan menghentak dari Saifur Rohman, peserta dihadapkan dengan kesistematisan, kedalaman, sekaligus keluasan berpikir St. Sunardi. Mengisi sesi kedua, Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini dengan runtut membicarakan konteks kemunculan semiotika, asumsi-asumsi filosofisnya, dan pengaruh semiotika dalam kajian ilmu lain. Diawali dengan pembahasan soal munculnya semiotika dalam kajian linguistik yang diperkenalkan Ferdinand de Saussure, dilanjutkan dengan pemaparan sejumlah filsuf yang pemikirannya bertolak dari semiotika seperti Derrida, Lacan, Baudrillard, dan Laclau, materi Sunardi diakhiri dengan menyebut dampak semiotika di bidang sejarah dan berbagai kajian lintas disiplin seperti kajian media, kajian perempuan, kajian film, dan lain-lain.

Budi Irawanto yang mengisi sesi ketiga mengayakan pembahasan semiotika sastra dengan pembahasan mengenai semiotika dan media. Budi yang merupakan pengajar ilmu komunikasi Universitas Gajah Mada ini menekankan, semiotika membuka pandangan baru bahwa teks tidak bisa ditafsirkan atau dimaknai dengan cara pandang tunggal. Semiotika di bidang iklan, film, maupun sastra, sama-sama memiliki semangat pluralitas pemaknaan yang tak memperkenankan hadirnya otoritas penafsir yang tunggal.

Sesi workshop keempat yang dimulai pada Minggu pagi diisi oleh Kris Budiman. Kris bicara dengan sistematis tentang kritik sastra dalam perspektif semiotika. Setelah mengungkap genealogi kritik sastra dari zaman paling lampau hingga masa kontemporer, dari gerakan New Criticism sampai pascastrukturalisme, Kris yang telah menulis beberapa buku tentang semiotika ini lalu menyodorkan perspektif baru tentang apa itu “kritik sastra”. Menurutnya, kritik sastra tidak hanya bisa dianggap sebagai penghakiman baik-buruk tentang karya, tapi juga mungkin dipandang sebagai upaya pemeriksaan teks sastra untuk kemudian menempatkannya ke dalam kondisi kritis.

Triyanto Triwikromo, sastrawan dan redaktur Suara Merdeka, melanjutkan perjalanan semiotika sastra dengan pembahasan mengenai semiotika dan puisi. Yang paling menarik dari materi Triyanto adalah pendapatnya tentang kontribusi semiotika dalam proses penciptaan puisi. Selama ini, semiotika—apalagi secara akademis—cenderung hanya dipahami sebagai alat penafsiran dan bukan alat penciptaan. Triyanto membalik pandangan ini dengan menyebut bahwa pemahaman semiotika adalah modal mutlak seorang penyair yang baik. Dengan yakin, ia mengatakan: “Penyair yang tak memahami semiotika hanya akan menghasilkan puisi-puisi yang berada dalam ‘ketidaksengajaan sejarah’”.

Kepingan puzzle terakhir dilengkapi oleh Tjahjono Widijanto, esais dan penyair asal Ngawi. Membahas tentang laku semiotika dalam novel, Tjahjono menjelaskan cukup teknis tentang prosedur pemaknaan melalui semiotika. Apa yang disampaikan Tjahjono, pada akhirnya, menjadi pelengkap dan penutup yang baik terhadap berbagai materi sebelumnya. Meskipun begitu, dipastikan para peserta tidak akan pulang dengan tenang setelah workshop selesai. Bagaimanapun, workshop itu agaknya memang tidak diniatkan sebagai “jalan kilat” untuk memahami semiotika sastra. Tugas para peserta masih ada: menyusun semua potongan puzzle yang didapat selama workshop menjadi sebuah gambar utuh semiotika sastra.

(Dimuat di Suara Merdeka, 17 Mei 2009)

Telusur Babad Tanah Jawi

Bandung Mawardi

Kepustakaan Jawa lama merupakan jejak historis penuh misteri dan kontroversi. Kaum intelektual Belanda dan pribumi sejak masa kolonial kerap melakukan studi intensif dan tendensius. Kerja besar dalam membuat salinan atau analisis terhadap kepustakaan Jawa menghasilkan khazanah sejarah Jawa. Membaca pustaka Jawa adalah membaca (sejarah) Jawa. Kepustakaan Jawa mengandung informasi kompleks dan penting dalam ikhtiar merekonstruksi masa lalu. Babad Tanah Jawi menjadi referensi penting dalam ikhtiar menelusuri dan membaca Jawa masa lalu dengan sekian edisi dan versi.

Babad sebagai genre kerap masuk dalam studi sastra dan sejarah. Pemahaman bahasa, struktur tulisan, imajinasi, dan sistem pemaknaan dalam babad menjadi ketentuan label sebagai teks sastra (puisi naratif). Historiografi tradisional cenderung menempatkan babad sebagai referensi sejarah-imajinatif. Babad memiliki sifat religio-magis dan pekat dengan imajinasi. Sifat itu membuat ahli sejarah berada dalam ragu untuk memakai babad sebagai sumber sejarah yang sahih. C.C. Berg dalam buku Penulisan Sejarah Jawa (1974) mengingatkan bahwa Babad Tanah Jawi meiliki tendensi sebagai ekspresi kultural yang tak bisa mutlak dikatakan sumber sejarah atau bacaan sastra-mitos-imajinatif.

Thomas Stamford Raffles dalam The History of Jawa menilai babad mengandung informasi-informasi penting dan cukup akurat untuk studi sejarah Jawa. J.J. Ras (1986) membuat bantahan bahwa babad tak patut menjadi bahan acuan untuk mengungkap masa lalu Jawa sebelum ada komparasi dengan sumber-sumber Eropa. Polemik itu tidak mengganggu akademisi kolonial dan pribumi untuk intensif memberi perhatian atas sekian babad dengan tendensi filologis dan sastra ketimbang pamrih historis.

S. Margana dalam buku Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial (2004) mengungkapkan babad merupakan problematik dalam historiografi modern. Para sejarawan kerap memahami babad sebagai tulisan atau sumber sejarah dalam tendensi subjektif. Para sejarawan yang menolak peran babad sebagai sumber sejarah memiliki argumen bahwa babad rentan dengan bias dalam menggambarkan fakta-fakta sejarah. Babad cenderung menjadi percampuran dari fakta dan mitologi. Para sejarawan yang akomodatif justru menerapkan metode dan metodologi tertentu untuk menjadikan babad sebagai sumber informasi mumpuni ketimbang sumber-sumber kolonial.

Babad Tanah Jawi dalam studi kritis kerap menjadi acuan polemik mengenai kontroversi pengarang dan proses publikasi. Kontroversi terjadi untuk kesahihan penyusun Babad Tanah Jawi. Beberapa pihak mengakui ada Babad Tanah Jawi versi keraton dan versi para peneliti Belanda (Gupermanen). Kontroversi itu dibarengi dengan penerbitan Babad Tanah Jawi dalam pelbagai versi. Masing-masing versi beda penyusun dan beda dalam muatan kisah secara kuantitaif dan kualitatif.

J.J. Meinsma (18774) dalam edisi Serat Babad tanah Djawi wiwit sangking Nabi Adam dumugi ing Taun 1674 menunjukkan bahwa informasi mengenai pengarang (Carik Bajra) tertutupi oleh informasi politik dalam sejarah Jawa. Hoesein Djajadiningrat (1983) memberi informasi bahwa ada sekian tambahan teks dalam redaksi dan penggubahan oleh Carik Bajra. Babad Tanah Jawi menjadi akumulasi dari sekian babad tua dengan muatan sejarah Jawa sampai pada masa pemerintahan Amangkurat IV (1719-1726).

Publikasi Babad Tanah Jawi muncul dalam pelbagai edisi dan versi. Raden Panji Joyosubroto pada tahun 1917 mengeluarkan Babad Tanah Jawi dengan aksara Jawa dalam 4 jilid. Balai Pustaka mengeluarkan edisi Babad Tanah Jawi susunan R. Ng. Yasadipura dengan aksara Jawa dalam 31 jilid selama 1934-1941. W.L. Olthof mengeluarkan edisi Babad Tanah Jawi saking Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647 di Leiden (Belanda) pada tahun 1936. Edisi Olthof ini hadir dalam terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1947 pada tahun 2007. Penerbitan Babad Tanah Jawi dalam versi ringkas dilakukan oleh Sugiarta Sriwibawa dengan judul Babad Tanah Jawa dalam 2 jilid (1976 dan 1977) memakai bahasa Jawa.

Ikhtiar ambisius untuk penerbitan dalam edisi bahasa Indonesia dilakukan oleh tim penerjemah dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Amir Rochkyatmo, Sri Soekesi, Adiwinamarta, Sri Timur Suratman, Parwatri Wahjono) dengan prakarsa Siti Joya Fatmi Gunaevi dan sponsor dari Amanah Lontar. Tim itu mengeluarkan edisi Babad Tanah Jawi: Mitologi, Legenda, Folklor, dan Kisah Raja-Raja Jawa (2004) dalam 6 jilid tebal setebal lebih dari 1500 halaman. Seri terbitan itu memakai bentuk prosa untuk membuat terobosan pada publik pembaca biar tidak kerepotan dalam membaca dan memahami. Peran Sapardi Djoko Damono sebagai editor membuat hasil terjemahan itu memiliki tingkat keterbacaan dan mutu literer.

Ide untuk penerbitan Babad Tanah Jawi itu berasal dari Siti Joya Fatmi Gunaevy Djajasasmita yang menginginkan ada terjemahan atas 31 jilid Babad Tanah Jawi susunan R. Ng. Yasadipura. Ide itu direalisasikan dengan mengundang tim penerjemah untuk mengusahakan Babad Tanah Jawi dari bentuk puisi (berbahasa Jawa) menjadi bentuk prosa dalam bahasa Indonesia. Proyek besar itu menunjukkan dedikasi atas kepustakaan Jawa untuk publik Indonesia.

Babad Tanah Jawi merupakan jejak besar dalam membaca (sejarah) Jawa. Kehadiran Babad Tanah Jawi dalam pelbagai edisi dan versi memberi pilihan subjektif-objektif pada pembaca ketika memiliki minat untuk membaca Jawa dalam tendensi filologi, sastra, dan sejarah. Rujukan koleksi Babad Tanah Jawi ada di Keraton Surakarta, Museum Sana Budaya (Yogyakarta), Perpustakaan Nasional RI, Universitas Leiden (Belanda), dan Fakultas Ilmu-Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bacalah Babad Tanah Jawi agar tak kehilangan jejak dongeng dan sejarah Jawa!

Dimuat di Suara Merdeka (17 Mei 2oo9)

Kamis, 14 Mei 2009

Undangan Ngudarasa Sastra: Kesusastraan dan Kekuasaan

Tema kesusastraan dan kekuasaan diajukan sebagai refleksi kritis atas biografi sastra di Indonesia. Kesusastraan dalam sejarah Indonesia memang intim dan tegang dengan kompleksitas kekuasaan sejak dari zaman kerajaan, kolonial, dan hari ini. Perkara ini menjadi sambungan atau fragmen kecil dari lakon kesusastraan dan kekuasaan yang menjadi riwayat asali dan kekal dalam peradaban-peradaban besar dunia.

Sekian wacana telah diwartakan oleh mpu-mpu sastra (A. Teeuw, Harry Avelling, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Ariel Haryanto, Radhar Panca Dahana, Afrizal Malna, Agus R. Sardjono, Faruk) yang menghadirkan pelbagai wacana untuk eksplorasi tematik atau penjelajahan biografis.
Ngudarasa Sastra dengan tema ini ingin membuat ancangan dengan eksplorasi pada tataran historis, filosofis, politis, etis, dan kultural untuk mendedahkan keintiman dan ketegangan antara kesusastraan dan kekuasaan. Eksplorasi itu sebagai konsekuensi untuk penghindaran dari pengulangan normatif (klise) atau tanggapan reaksioner atas kondisi Indonesia hari ini.

Kami mengundang Anda untuk hadir dalam Ngudarasa Sastra seri 3 yang bakal diadakan pada:

Hari/Tgl. : 17 Mei 2009
Pukul : 10.00 WIB
Tempat : Balai Soedjatmoko, Toko Buku Gramedia (Solo)
Tema : Kesusastraan dan Kekuasaan
Pembicara : Geger Riyanto (Sosiolog dan Pengarang)
Tjahjono Widijanto (Kritikus Sastra)
Moderator : Bandung Mawardi (Peneliti Bale Sastra Kecapi)

Acara ini terbuka untuk siapa saja dan gratis. Panitia bakal membagikan hadiah (buku) untuk urun rembug yang eksploratif dan pertanyaan mumpuni atas tema kesusatraan dan kekuasaan. Silakan ajak siapa saja untuk hadir dalam Ngudarasa Sastra sebagai ikhtiar merayakan sastra. Salam.

Penyelenggara: Bale Sastra Kecapi dan Balai Soedjatmoko Solo

Koordinator Acara
Bandung Mawardi (o85647121744)

Model pendidikan di Kampung Lor

oleh: Heri Priyatmoko

Budi Santosa dalam artikelnya Pendidikan yang membudayakan (SOLOPOS, 28/4), membahas interdependensi antara kebudayaan dan pendidikan. Dia menyatakan pendidikan merupakan proses transformasi budaya, suatu proses mewariskan kebudayaan untuk generasi muda. Kebudayaan bukanlah suatu yang statis, tapi kebudayaan selalu berada dalam proses transformasi. Budaya yang tidak mengalami transformasi melalui proses pendidikan adalah budaya yang mati yang berarti pula masyarakat mati.
Dalam tulisan ini, saya ingin membedah fenomena sejarah pendidikan di Mangkunegaran yang sukses membuat masyarakatnya lebih ”hidup”. Jika sudi melacak dokumen sejarah pendidikan di Indonesia, kita bakal menemukan nama Van Deventer. Melalui esainya yang menggetarkan Een Eereschuld (Utang Kehormatan) di Majalah De Gids No 63/1899, Deventer tidak tedeng aling-aling menggugat sistem liberal dan tanam paksa (cultuurstelsel) yang menguras sumber daya alam tanah jajahan, tanpa ada imbal balik.
Lantas, dia mengusulkan kesejahteraan Hindia Belanda melalui jalur migrasi, irigasi dan edukasi. Ide itu dinilai bagus. Idenburg bersama Gubernur Jenderal van Heurtz (1904-1909) pun setuju. Tandanya sepakat pada trilogi Deventer. Akhirnya, pemerintah kolonial memberikan ruang bagi kaum bumiputra untuk duduk di bangku sekolah.
Salah satu titik di Kota Solo yang masih menyisakan artefak bangunan sekolah dan menjadi saksi sejarah kejayaan pendidikan yaitu gedung SMP 3 dan SMP 10. Tempo dulu, sekolah ini bernama Van Deventer School, yang digunakan khusus perempuan. Situs tersebut dikaji secara komprehensif, baik dari sudut pandang sejarah maupun pendekatan gender, telah berekspresi memasuki tiga dimensi ruang dan waktu (masa kolonial, kemerdekaan, sekarang).
Secara struktural, artefak ini berada pada kesatuan ekologi kultural Kampung Lor yang notabene banyak dipengaruhi unsur Barat dibandingkan tata ruang Kampung Kidul (Kasunanan). Diteliti secara fungsional, kawasan ini sejak dahulu juga sudah berfungsi sebagai tempat belajar mengajar dengan model pendidikan Barat-Timur.
Mengangkat kaum hawa
Sejarawan lokal akan tergagap ketika memilih data sejarah dan menemukan fakta bahwa Mangkunegaran yang hidup dalam himpitan kekuasaan kolonial, ternyata tetap bisa bergerak bebas memajukan sektor pendidikan rakyatnya di wilayahnya dan mengangkat derajat kaum hawa. Pada tahun 1912, Mangkunegara VII mendirikan HIS Siswa yang berlokasi di Jl Ngarsopura (kini Jl Diponegoro).
Selepas lulus HIS Siswa, anak-anak perempuan melenggang masuk ke Siswa Rini, yang bertempat di timur Pura Mangkunegaran. Isi novel sejarah Bocah Mangkunegaran meriwayatkan, perhatian Mangkunegara VII terhadap edukasi amatlah besar alias kegiatan belajar sudah kewajiban kawula. Agar tidak njomplang, Mangkunegaran pun mengembangkan kebudayaan lokal dengan membentuk Pasinaon Dalang Mangkunegaran (sekolah dalang) untuk nguri-nguri budaya Jawa.
Wasino (1996) menjelaskan, model pendidikan tata susila istana melalui sistem ngawula terhadap ”priyayi lama” hasilnya relatif statis dan menghambat kemajuan keraton. Pendidikan model Barat, menurut Mangkunegara VII, lebih progresif. Alasannya, meski hubungan guru-murid bersifat klasikal dan mata pelajaran mengarah pada duniawi, namun sekolah di Mangkunegaran tetap menerapkan nilai-nilai kebudayaan Jawa di kelas.
Hasilnya, murid berotak Barat tetapi berhati Jawa. Sebuah perpaduan yang mencengangkan Belanda kala itu. Ini di luar dugaan Belanda karena sedari awal membangun pendidikan di Hindia Belanda lantaran desakan politik etis.
Sementara di Mangkunegaran, edukasi sebagai suatu strategi dari penguasa pribumi untuk memajukan masyarakat. Rakyat cerdas merupakan aset penting. Pada tahun 1920-an, anggaran pendidikan di Hindia Belanda melorot, justru anggaran di Mangkunegaran kian ditingkatkan.
Lewat edukasi, rakyat Mangkunegaran bermobilisasi vertikal dan horizontal dalam jenjang sosial (kaya dan terpelajar). Banyak mantan murid Mangkunegaran yang moncer di tingkat nasional. Contoh, Sumartini (Kepala Perpustakaan Nasional Indonesia), Ir Sujarwo (Menteri Pertanian) dan Sri Hartinah Suharti (Ibu Tien).
Bisakah gagasan strategi kebudayaan via pendidikan di Mangkunegaran itu kembali dikeluarkan dari lemari sejarah? Mengutip Donny Gahral Adian (2007), kebudayaan dewasa ini bukan lagi puncak cipta rasa karsa manusia. Strategi kebudayaan menempatkan manusia sebagai obyek kebijakan.
Dalam kesehariannya manusia bercakap, merenung dan memaknai. Ketiganya menuntut kelonggaran ekstra dari segala patokan kebudayaan. Manusia yang bebas bukan obyek, tetapi subyek strategi kebudayaannya sendiri. Sangat wajar bila kita merindukan figur pemimpin seperti Mangkunegara VII yang menempatkan rakyat sebagai subyek strategi kebudayaan. Dalam warisan sejarah dan pemikiran lokal ini ada sejumlah etos dan nilai moral yang inheren yang seharusnya kita comot.

Dimuat di Solopos, 12 Mei 2009

Godaan untuk Sastra Jawa

Bandung Mawardi

Kumpulan pertanyaan: Apa sastra Jawa? Apa sastra berbahasa Jawa? Apa sastra Jawa dengan aksara Jawa? Apa sastra Jawa dengan aksara Latin? Apa sastra Jawa dengan bahasa Indonesia? Kumpulan pertanyaan pelik itu susah menemukan jawaban jika sekadar masuk melalui pintu tunggal. Jawaban mesti masuk melalui sekian pintu untuk pengajuan argumentasi yang mengandung persamaan, kemiripan, atau pertentangan. Ketegangan mencari dan menemukan jawaban adalah konsekuensi dari ikhtiar mengurusi “Jawa” dalam cakupan aksara, bahasa, sastra, kultural, tradisi, modernitas, atau lokalitas.
Pemunculan definisi tentang sastra Jawa secara paripurna tentu jadi tanda titik yang susah dirayakan oleh publik. Proses kelahiran dan pertumbuhan sastra Jawa mengandung pertanyaan dan jawaban yang rentan mengalami penerimaan utuh atau bantahan. Penerimaan terjadi dengan jalan sebaran dan pewarisan yang terbentuk dengan konvensi-konvensi mengacu pada sumber yang dipercayai atau dibakukan. Bantahan adalah kritik yang menginginkan ada proses perubahan tanpa harus melakukan penolakan mutlak untuk mematikan atau menghilangkan.
Lembaran-lembaran lama dalam kesusastraan Jawa memiliki catatan-catatan tentang kehidupan sastra Jawa dengan aksara Jawa. Para pujangga dengan tekun dan khusuk menganggit sastra dalam pelbagai bentuk: babad, kakawin, atau suluk. Teks-teks sastra itu memiliki kedudukan dalam situasi zaman yang memungkinkan terjadi resepsi dari publik terhadap kerja kultural para pujangga. Aksara Jawa jadi pilihan untuk memberi bentuk dan ruh dalam penulisan sastra. Aksara Jawa adalah tanda dari proses kehidupan sastra Jawa dengan pertaruhan imajinasi, pemikiran, dan ekspresi yang sadar zaman.
Pewarisan sastra Jawa dengan aksara Jawa terus mendapati godaan dari alur zaman yang membuat Jawa sebagai ruang terbuka untuk sebaran pengaruh dari India, Cina, Arab, dan Barat. Pengaruh-pengaruh itu muncul dalam proses kelahiran atau pertumbuhan sastra Jawa. Peradaban India paling kentara menjadi prolog dari sastra Jawa yang menerima pengaruh mulai dari aksara sampai cerita. Peradaban Arab dan Cina pun memberi godaan untuk penentuan nasib sastra Jawa dalam pilihan bentuk dan cara pengisahan. Kehadiran peradaban Barat jadi kunci atas perubahan-perubahan besar yang tampak sistematis dan sadar pada pembakuan untuk menentukan nasib sastra Jawa.
Catatan sejarah sastra Jawa mengalami perubahan mengejutkan pada awal abad XX dengan pola interaksi dan ketegangan. Sastra Jawa menemukan godaan untuk melakukan peralihan dari pilihan aksara Jawa ke aksara latin yang diusung dan “dipaksakan” oleh kolonial atas nama peradaban Barat yang modern. Godaan itu diimbuhi dengan pengaruh-pengaruh dari penerjemahan teks-teks sastra dari Barat ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Latin. Hasil sastra dari pengarang Cina keturunan pun memberi pengaruh atas perayaan bahasa Melayu (pasar) dengan aksara Latin. Godaan semakin kentara dengan model penerbitan buku, pers, dan selebaran yang memakai aksara Latin untuk bahasa Belanda, Melayu, atau Jawa.
Lakon godaan untuk sastra Jawa itu jadi tanda seru untuk definisi yang tidak paripurna dan fakta atas kodra perubahan. Kolonial dan kalangan intelektual-pujangga pribumi sadar bahwa modernitas dan pembaratan jadi pilihan tanpa tawaran untuk penolakan mutlak. Sastra Jawa pada masa itu jadi studi yang diurusi oleh para pakar dari Belanda dan pakar-pakar dari Jawa sendiri dengan desain perubahan. Perubahan secara sistematis atas sastra Jawa dengan aksara Latin dan penerimaan genre sastra modern dari Barat terjadi karena ada faktor-faktor yang ampuh. Pendirian dan opersionalisasi institusi kultural, penerbitan, sekolah, dan pers oleh kolonial dan kaum pribumi menjadi penentu atas perubahan lakon sastra Jawa.
Sejak itu sastra Jawa memakai aksara Latin dan perlahan meninggalkan aksara Jawa. Balai Pustaka dan penerbitan-penerbitan swasta dengan gairah menerbitakn edisi sastra Jawa dengan aksara Latin dan memberi porsi kecil untuk edisi dalam aksara Jawa. Lakon sastra Jawa lalu dengan genit menerima dan meniru bentuk-bentuk sastra modern yang diolah dalam aksara Jawa Latin. Perayaan sastra Jawa modern mulai dilakukan dengan percampuran optimisme dan pesimisme ketika desain kolonial dan otoritas para pakar bahasa dan sastra Jawa jadi penentu arah yang susah diimbangi.
Sapardi Djoko Damono (2001) menjelaskan aksara Latin itu dari Barat. Penerimaan membuat sastra Jawa mesti juga menerima pengaruh terhadap kiblat Barat. Pengarang Jawa mulai meninggalkan bentuk babad, kakawin, atau suluk lalu memilih menulis puisi, cerpen, atau novel. Proses ini jadi fakta sastra Jawa modern yang memiliki pola pewarisan dan sambungan-sambungan konvensi sampai hari ini. Pertumbuhan sastra Jawa modern ini tentu membuat definisi sastra Jawa mengalami perubahan dari definisi masa lalu. Sastra Jawa modern lalu jadi tanya yang mesti mendapati jawaban tak usai. Publik yang percaya bahwa definisi itu tak mungkin berubah lagi jadi tanda bahwa sastra Jawa mandeg.
Pengarang sastra Jawa modern gairah dan suntuk melakukan eksplorasi dalam bentuk-bentuk sastra modern dengan pengakuan bahwa itu sastra Jawa. Legitimasi itu memakai argumen bahwa sastra Jawa tentu memakai bahasa Jawa. Kunci dari sastra Jawa adalah bahasa Jawa dengan aksara Latin? Sastra Jawa adalah puisi, cerpen, dan novel? Sastra Jawa adalah sastra dengan kisah detektif, horor, dan panglipur wuyung? Bahasa Jawa adalah takdir atau fakta absolut untuk sastra Jawa modern?
Pertumbuhan sastra Jawa modern sejak 1920-an mengalami persaingan dengan sastra Indonesia modern. Persaingan itu menimbulkan efek positif dan negatif untuk menentukan nasib sastra Jawa dalam bayang-bayang kuasa kolonial dan penerimaan publik pembaca. Gambaran tentang nasib sastra Jawa itu terus mengalami pertumbuhan pasang surut dalam penerapan politik kebudayaan oleh kolonial dan pemerintahan Republik Indonesia yang kurang memberi pemihakan terhadap bahasa dan sastra Jawa.
George Quinn (1995) dalam buku The Novel in Javanese atau Novel Berbahasa Jawa secara eksplisit tidak lekas mengatakan itu sebagai studi sastra Jawa. Studi ini dengan gambalang memberi gambaran historis dan nasib sastra Jawa modern. Quinn menemukan ada ambivalensi dalam proses pertumbuhan novel dengan bahasa Jawa. Bentuk novel itu jadi representasi yang mungkin dialami juga oleh puisi dan cerpen dalam bahasa Jawa. Novel adalah bentuk sastra Barat. Penulisan novel dalam bahasa Jawa jadi fakta sastra Jawa modern yang terbuka untuk menerima pengaruh asing atau melakukan perubahan.
Ambivalensi tampak pada para pengarang yang memiliki akar Jawa dalam menulis teks sastra. Pengarang-pengarang yang menulis dengan bahasa Jawa dengan klaim normatif menganggap teks sastra yang dihasilkan adalah sastra Jawa. Novel, puisi, atau cerpen yang ditulis terkadang sedikit mengatakan Jawa tapi suntuk dengan kisah-kisah detektif atau panglipur wuyung. Bahasa mungkinkah tetap jadi harga mati untuk sastra Jawa modern? Berapa teks sastra Jawa modern yang sanggup dan intensif mengatakan Jawa? Pemberian harga mati terhadap bahasa Jawa mungkin jadi kontradiksi jika tidak ada ekplorasi atas Jawa yang historis dan Jawa yang memiliki kodrat perubahan.
Pengarang-pengarang dengan akar Jawa yang menulis teks sastra untuk mengatakan Jawa dalam bahasa Indonesia justru memberi bukti untuk kodrat perubahan sastra Jawa modern. Teks-teks sastra itu tidak sekadar sastra dengan unsur lokalitas tapi ancangan untuk klaim “sastra Jawa” yang hadir dalam bentuk dan subtansi. Pilihan memakai bahasa Indonesia adalah pertaruhan untuk komunikasi dan jawaban atas ambivalensi kultural dan bahasa. Wacana tentang teks-teks sastra dengan bahasa Indonesia dari Romo Mangunwijaya, Umar Kayam, Linus Suryadi AG, atau Arswendo Atmowiloto sebagai “sastra Jawa” adalah godaan untuk nasib sastra Jawa modern. Godaan itu ingin menemukan dalil untuk tetap percaya pada definisi paripurna atau membuka kemungkinan untuk perubahan. Lakon perubahan sastra Jawa tentu mengandung risiko dan konsekuensi! Begitu.

Dimuat di Solopos (7 Mei 2oo9)

Imaji Kota dengan Kereta Api Tua

Bandung Mawardi

Joko Widodo sebagai lokomotif pemerintahan Kota Solo ingin memberi kejutan dengan realisasi wisata kereta api di Jalan Slamet Riyadi. Kejutan ini bukan mimpi tapi ikhtiar untuk membuat Solo semakin memiliki derajat sebagai kota yang bergerak. Kereta api adalah simbol dan fakta untuk laju gerak ekonomi, pariwisata, dan kultural. Kejutan itu mungkin direlisasikan pada bulan Juli nanti.
Solo sampai hari ini adalah kota yang riuh dengan pertumbuhan imaji dari pelbagai program dari seni sampai investasi. Imaji-imaji kota muncul dalam kesanggupan mendadani Kota Solo dengan modal dan kerja keras. Joko Widodo sadar dengan ikhtiar untuk tak membuat Solo menjadi kota tidur tapi mesti mengalami gerakan progresif. Imaji Solo sebagai kota bergerak pun ingin dibuktikan dengan penguatan peran Jalan Slamet Riyadi melalui pengoperasian kereta api tua untuk wisata kota.
Kota Solo kelak bakal riuh dengan situasi jalan yang sibuk. Jalan Slamet Riyadi menjadi ruang bebas untuk mobil, sepeda, kendaraan motor, truk, bus, becak, dan kereta api. Titik-titik ekonomi bakal menjadi heboh dan sumpek ketika jalan ramai oleh sekian alat transportasi dan orang. Jalan Slamet Riyadi memang tampak sesak ketika jumlah pengguna semakin bertambah dan pusat-pusat perbelanjaan semakin bertambah. Jatah untuk jalur lalu lintas kendaraan semakin berkurang dengan keberadaan lahan parkir.
Kereta api untuk wisata kota itu direncanakan memiliki rute: Stasiun Purwosari, Loji Gandrung, Sriwedari, Kampung Batik Kauman, Keraton Solo, Galabo, dan Stasiun Sangkrah. Rute ini sengaja jadi alasan untuk memberi arti pada peran kereta api dan pamrih Pemkot Solo untuk meraup rejeki dan pencitraan kota. Kereta api yang bakal secara rutin melintasi Jalan Slamet Riyadi pada bulan Juli nanti itu tentu memberi penguatan bahwa Kota Solo masih ingin terus bergerak dan bersolek diri.
Joko Widodo dengan antusias mengungkapkan: “Bayangkan kalau lokomotif ini (CC 5029) keluar dari Stasiun Purwosari. Melaju di Jalan Slamet Riyadi dengan sebagian uap ngepul dari bawah. Malamnya dilewatkan di Galabo (Gladak Langen Bogan: pusat kuliner di Gladak Solo). Orang makan sambil asyik berfoto. Dahsyat itu” (Kompas, 22/4/2009). Imaji-imaji sudah mulai diajukan untuk kereta api tua yang eksotis dan memiliki jejak historis.
Program kereta api itu mengandung tawaran-tawaran eksplisit untuk membuat publik Solo atau kota lain merasa penasaran. Kereta api jadi bentuk promosi yang membuat publik memiliki rasa ingin dan ketagihan. Ungkapan dan imaji bahwa kelak “orang makan sambil asyik berfoto” merupakan godaan yang menggiurkan. Orang lalu memiliki hasrat untuk mendokumentasikan diri, kereta api, dan kota sebagai memori individu arau kolektif. Rasa asyik jadi klaim bahwa Kota Solo masuk dalam interpretasi masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Imaji fotografis bisa memiliki peran untuk konstruksi kota yang inklusif dan estetis.
Dahsyat adalah kata yang ingin jadi bukti dan jadi pengalaman riil. Kereta api sejak awal sudah memberi janji dan imaji untuk Kota Solo. Dahsyat tentu susah dipahami dalam pengertian absolut untuk memberi nilai dari efek kereta api di Jalan Slamet Riyadi. Risiko yang mesti disadari adalah jalan bakal semakin ramai dan pengaturan jadwal mesti diperlukan untuk mengantisipasi tingkat kemacetan. Jalan Slamet Riyadi bisa dikatakan rentan dengan kemacetan karena titik-titik ekonomi dan kultural ada di sepanjang jalan penting itu.
Pengoperasian kereta api tua di Jalan Slamet Riyadi dalam pembayangan dan argumen Pemkot memang tidak mutlak berorientasi pada laba untuk pendapatan daerah. Pilihan rute jadi janji untuk ikut menggerakkan roda ekonomi dari pada pedagang, pengelola pusat seni-kultural, industri (kerajinan) batik, dan apresiasi terhadap situs sejarah. Pengalaman dan efek kultural mendapatkan porsi sebagai bentuk pencitraan Kota Solo yang memiliki identitas kultural dalam tegangan tradisional (Jawa) dan modern.
Pilihan kereta api sebagai alat transportasi wisata dalam kota tentu mengandung nilai efektif dan efisien. Publik yang memilih kereta api tentu ingin memiliki pengalaman unik ketimbang mengendarai mobil, kendaraan motor, bus, becak, atau berjalan kaki. Pengalaman unik mungkin bisa menimbulkan iri pada tukang becak, sopir taksi, atau sopir bus yang juga ingin mendapati penghasilan dari fasilitas transportasi yang ditawarkan. Pemkot mesti membuat antisipasi agar tak ada diskriminasi yang kentara ketika kereta api tua jadi melaju di Jalan Slamet Riyadi.
Ikhtiar untuk merealisasikan laju kereta api mesti dibarengi dengan kerja keras untuk membenahi jalan dari kemacetan dan kubangan air. Ada sekian titik di Jalan Slamet Riyadi yang menjadi genangan air ketika hujan. Genangan air itu membuat para pemakai jalan kerepotan untuk menghindari dan rawan dengan kecelakaan. Saluran air di sepanjang Jalan Slamet Riyadi butuh perhatian untuk membuat para pemakai jalan dan lintasan kereta api terhindar dari petaka. Perkara jalan dengan genangan air ini memang klise tapi sampai hari ini belum ada perubahan yang signifikan.
Joko Widodo sadar bahwa kerja belum selesai untuk mendadani dan membenahi Kota Solo. Gagasan untuk kereta api melaju di Slamet Riyadi mungkin jadi bukti lanjutan bahwa Kota Solo belum berhenti di titik akhir. Kota Solo terus bergerak meski harus meninggalkan sesuatu untuk mencapai sesuatu. Imaji kota pun mendapat porsi besar untuk membuat Kota Solo memiliki aura kultural. Imaji hendak diusung melalui kereta api. Kota bergerak dengan lokomotif dan gerbong-gerbong yang sesak penumpang. Imaji terus bersemi untuk kerja yang belum selesai di hari ini.

Dimuat di Suara Merdeka (6 Mei 2oo9)

Kabar Duka dari Sorga Pustaka

Bandung Mawardi

Museum Radya Pustaka di Solo mengalami petaka dan nestapa. Koleksi buku-buku kuno raib tanpa ada jejak untuk bisa ditemukan dan menaruhnya kembali di rak-rak dalam museum. Berita tentang kehilangan ini memang mengejutkan tapi juga ikut memberi kesan kecut ketika mengingat kasus-kasus kontroversial yang pernah terjadi di Museum Radya Pustaka. Pertanyaan dan curiga tentu membuat kasus ini jadi dilema yang mengundang keprihatinan dan kekhawatiran.
Museum yang didirikan pada 28 Oktober 1890 oleh Adipati Sosroningrat IV ketika masa pemerintahan Pakubuwono IX itu merupakan situs sejarah, sastra, dan budaya tertua di Indonesia. Jejak-jejak historis tentang Jawa didokumentasikan melalui pustaka untuk bisa mendapati apresiasi dari generasi ke generasi. Peran sebagai “sorga pustaka” justru mengalami pengabaian untuk perawatan dan apresiasi. Fakta itu membuat museum terpahamkan sebagai pekuburan untuk pustaka dan ruang historis Jawa yang sepi meski memiliki kisah-kisah monumental.
Museum yang terletak Jalan Slamet Riyadi Solo sejak 1 Januari 1913 itu seperti meratap dan merana. Kasus kehilangan buku adalah kasus kehilangan ruh karena museum itu khas dengan koleksi buku-buku kuno. Kisah museum sebagai lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada masa lalu mulai menjadi lahan untuk tindakan-tindakan ternoda. Pihak pengelola museum belum bisa membuat keterangan komplit mengenai buku-buku kuno yang hilang itu kemungkinan untuk studi atau komiditi menggiurkan oleh para kolektor.
Pihak pengelola justru menduga bahwa buku-buku yang hilang itu kecil kemungkinan untuk diperjual-belikan tapi untuk ngangsu kawruh. Pihak-pihak yang meminjam atau membawa buku-buku kuno itu mungkin ingin melakukan alih bahasa ke Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (Suara Merdeka, 23/4/2009). Dugaan itu agak lumrah tapi mengesankan ada fakta besar yang memprihatinkan. Selama ini pakar-pakar yang tekun mempelajari khazanah literatur Jawa memang orang asing. Ketekunan itu mengalahkan perhatian sarjana-sarjana atau para peneliti dari negeri sendiri.
Pihak pengelola pun menghimbau pada peminjam untuk lekas mengembalikan buku. Himbauan ini jadi indikasi bahwa ada buku-buku yang mungkin dipinjam tapi belum kembali dan belum bisa dipastikan kalau ada pencurian atau penghilangan secara sengaja. Daftar buku-buku kuno yang hilang: Warna-Warni Sinjang (4 jilid), Smaradhana, Kakawin Barathayudha, Bausastra (4 jilid), Primbon Mangka Prajan, Serat Ong Ilaheng, Serat Jayalengkara Purwacarita, Serat Ambiyabahwi, Babad Surakarta, Babad Giyanti Dumugi Prayat, Serat Wiwahajarwa, Buku Gambar Songsong Keraton, Babad Purwa, dan lain-lain. Pengelola mengatakan buku yang hilang sekitar 20-an ketika dilakukan pendataan ulang. Buku-buku kuno itu merupakan dokumentasi tentang sejarah Jawa, sejarah Solo, batik, bahasa, wayang, falsafah kuno, lakon politik, dan spiritualitas.
Kehilangan buku merupakan indikasi kehilangan pengetahuan dan masa lalu. Buku-buku kuno itu sumber pengetahuan yang membuat sejarah memiliki gerak dan manusia memiliki nostalgia-utopia. Kasus ini bakal jadi pelik ketika publik sekadar sibuk mencari pihak yang salah. Pola ini biasa terjadi ketika memberi reaksi terhadap kasus-kasus yang terkait dengan warisan-warisan kultural. Tindakan mencari pihak yang bersalah dan proses hukum memang niscaya tapi ada beban berat yang mesti ditanggungkan. Beban itu adalah ikhtiar untuk merasa memiliki dan menikmati Museum Radya Pustaka sebagai sorga pustaka dan situs sejarah kultural.
Selama ini museum memang tampak sepi dari pengunjung dan apresiasi. Kebutuhan publik untuk membaca dan menikmati koleksi buku kuno di museum memang sedikit. Hal ini merupakan fakta yang membuat museum seperti rumah tua dan buku-buku kuno seperti benda-benda aneh dari masa lalu. Rasa memiliki dan menikmati itu butuh realisasi mulai dari keberadaan komite museum, mitra museum, program diskusi reguler, dan program publikasi jurnal atau buletin secara rutin dan intensif.
Kasus kehilangan buku bisa dijadikan tanda seru dan tanda tanya untuk semua pihak agar memiliki kesadaran terhadap pustaka. Kesadaran publik terhadap pustaka memang terkesan klise tapi susah direalisasikan. Keberadaan Museum Radya Pustaka kentara jadi tanda bahwa Kota Solo memiliki jejak panjang sebagai Kota Pustaka dan Kota Pujangga. Penamaan itu ingin memberi aksentuasi bahwa konstruksi dan alur peradaban memiliki faktor kunci dalam pustaka. Buku-buku yang hilang tentu harus dicari tapi kesadaran pustaka juga mesti lekas dapat perhatian dan dibuktikan.
Ki Padmasusastra dan Ki Ranggawarsito tentu patut jadi sosok-sosok fenomenal terkait dengan Museum Radya Pustaka. Ki Padmasusastra merupakan kepala perpustakaan pertama yang mengurusi koleksi buku di Museum Radya Pustaka ketika masih di Ndalem Kepatihan. Koleksi buku mengenai khazanah Jawa dipelajari dan diwartakan pada publik melalui jurnal terbitan museum (Wara Dharma). Ki Padmasusastra juga tekun menulis tentang bahasa, sastra, dan falsafah. Spirit untuk mengurusi museum tidak selesai dengan membersihkan atau mendata tapi juga menulis sebagai kontribusi untuk peradaban. Spirit ini kentara tak mendapati ahli waris atau penerus dari pengelola-pengelola museum.
Patung Ki Ranggawasito di halaman depan bisa dijadikan bukti ketekunan pengarang untuk membaca dan menulis. Pujangga keraton pada abad XIX ini patut jadi spirit untuk ikhtiar pembentukan masyarakat literasi. Patung itu secara lahiriah memang diam sejak diresmikan oleh Soekarno pada 1953. Pendirian patung itu memang tidak diniatkan sebagai penjaga abadi museum tapi simbol untuk peran Museum Radya Pustaka sebagai pusat dokumentasi pustaka dari para pengarang pada masa lalu.
Buku-buku kuno yang hilang jangan dijadikan alasan untuk sekadar prihatin atau pamer kecaman. Tindakan realistis yang mesti lekas dilakukan adalah melakukan pembenahan model pengelolaan museum dan pembuatan program-program yang konstruktif. Pelbagai pihak yang memiliki kepentingan mesti dilibatkan dalam ikhtiar menyemaikan museum sebagai pusat pengetahuan dan kebudayaan. Museum sebagai ruang diskusi publik merupakan ikhtiar kontributif yang mungkin dilakukan untuk apresiasi dan membuat museum tak seperti kuburan. Diskusi mengenai sejarah, sastra, seni, spiritualitas, dan wacana kebudayaan tentu memberi gairah untuk membuat museum memiliki aura dan terus menghembuskan nafas kehidupan. Museum Radya Pustaka butuh gairah untuk hidup dan bukan gairah untuk mati.

Dimuat di Suara Merdeka (24 April 2oo9)