Kamis, 30 Juli 2009

Mangkunegara VII, Raja Jawa yang Modern

Heri Priyatmoko

Beberapa waktu lalu dalam rubrik ini, saya bersama Bandung Mawardi telah menyodorkan analisis historis mengenai sosok Paku Buwono X sebagai kaisar Jawa, yang oleh cucunya, BRA. Mooryati Soedibyo diusulkan menjadi pahlawan nasional. Membicarakan penguasa Solo tempo dulu, terasa kurang tanpa lengkap menyebut nama Mangkunegara VII. Lantas, siapakah Mangkunegara VII ini yang mampu menggabungkan kebudayaan Jawa dan Barat ini?
Wasino, sejarawan Universitas Negeri Semarang yang paling ambisius menguak sejarah sosial ekonomi Mangkunegaran. Inilah yang menarik ketika membaca karya Wasino, Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran (2008). Sebuah karya apik ihwal kerja keras Mangkunegara VII mengangkat kesejahteraan praja melalui usaha ekonomi perkebunan (onderneming), terutama komoditas gula. Tapi sekali lagi, Wasino tidak mengupas sosok Mangkunegara VII secara detail.
Meskipun Bandung Mawardi sudah bersusah payah menguak jati diri Mangkunegara VII melalui esainya “Modernitas dalam Tradisi Mangkunegara VII” (Kompas, 28/03), namun tetap saja Bandung tak menemukan fakta historis penting bahwa Mangkunegara VII memiliki kepribadian luhur dan berotak brilian karena hasil konvergensi dari tiga unsur, yaitu tradisi Jawa, pendidikan Barat, dan laku pengembaraan di njobo keraton.
Dalam tulisan ini, saya akan membedah biografi Mangkunegara VII yang disebut-sebut sebagai raja Jawa yang modern pada jamannya. Pada riwayatnya, Raden Mas Soerjo Soeparto –kelak menjadi Mangkunegara VII– adalah putra Mangkunegara V, lahir 12 November 1885. Beliau anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara (Suwaji Bastomi, 1996). Oleh ayahnya, ia sudah digadang belajar di Belanda. Tapi malang, saat Soerjo Soeparto berusia sebelas tahun, ayahnya tutup usia. Pamannya naik takhta sebagai Mangkunegara VI, dan melarangnya masuk sekolah menengah (HBS). Dia pun kecewa, dan memutuskan keluar keraton. Atas kepergiannya ini, berarti ia telah melanggar tradisi dan sengaja memutus hubungan dengan lingkungannya. Sebuah keputusan yang tak masuk akal jika menengok kehidupan bangsawan kala itu, yang menginginkan hidup serbaenak.
H.G. Cannegieter dalam majalah Morks Magazijn edisi Maret 1937, mengabarkan, Soerjo Soeparto berkelana mengelilingi pulau Jawa ditemani satu abdi dalem. Dia memperoleh banyak pengalaman baru yang mengejutkan, kontras dengan kehidupan njero keraton. Ia berkenalan dengan kesengsaraan, keburukan, kelaparan, kemiskinan, penyakit dan kematian.
Terus Belajar
Penduduk desa menyambutnya penuh hormat dan penginapan serta makan. Soerjo Soeparto melanjutkan laku berjalan kaki tanpa kenal lelah. Tak lupa belajar bahasa Jawa, bahasa Belanda, membaca, dan menulis untuk menghilangkan hausnya akan pengetahuan.
Residen G.F van Wijk terpukau lantaran mengetahui kedalaman ilmu Soerjo Soeparto yang justru didapatkan secara autodidak. Di usianya yang muda, Soerjo Soeparto telah memiliki pemikiran bahwa memperdalam dan menjunjung tinggi kebudayaan merupakan tujuan dari semua usaha ke arah perbaikan bangsa dan dunia. Chauvinisme ditolaknya, dan menganjurkan untuk mendewasakan diri. Niatnya untuk bersekolah tetap tak pernah padam. Dengan uang hasil menabung, lalu pergilah ke Belanda dan kuliah di jurusan sastra kuno. Namun, studinya tidak rampung akibat pecah Perang Dunia I (Partini, 1985).
Dalam usia 40 tahun, beliau menjadi raja dan bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara VII. Bermodal setumpuk uang kas praja dan keahlian memimpin, beliau sukses memajukan kesenian, pendidikan, kesehatan, budaya, dan menyejahterakan ekonomi rakyat. Lantaran semasa mudanya pernah berbaur dengan rakyat miskin, Mangkunegara VII merasa berhutang kepada rakyat, yang musti ditebus dengan suasana adil dan makmur. Hutang itu senantiasa bergaung di dada raja. Inilah yang membuatnya selalu menomorsatukan rakyat kecil. Contoh, pedagang oprokan atau barang bekas yang tidak mempunyai tempat, akhirnya dibuatkan Pasar Triwindu. Selanjutnya untuk kebutuhan rekreasi, masyarakat dimanja dengan Taman Balekambang, Taman Tirtonadi dan Minapadi yang sohor keindahannya itu.
H.J.N Nauta menulis di Nieuwsblad van het Noorden (1928), “Raja Mangkunegara sekarang ini (Mangkunegara VII) berpandangan maju. Dia mempelajari apa yang baik dari kebudayaan Barat, namun tetap memiliki sifat orang Jawa. Belum pernah kami jumpai seseorang yang agung penampilannya, sopan, bertatakrama dan halus pula perasaannya”. Dalam dunia keraton, orang bersikap menjauh demi menunjukkan kedudukannya yang tinggi di lingkungan masyarakat. Itu tidak terjadi pada Mangkunegara VII, sebab ia tak pernah menjauh dan tidak sombong. Orangnya berbobot, tapi bukan orang yang pura-pura berbobot.
Feminin
Beliau tidak terlalu memegang teguh kebudayaan, sehingga penghalusan yang ditujunya bersifat feminin. Sebagai raja yang modern, dia berusaha keras menjunjung derajat bangsanya dan memajukan kebudayaan Jawa. Menjadi raja pelindung dan ahli dalam musik Jawa, olahragawan, raja yang memajukan drama dan arsitektur. Sampai Peter Bolte, wartawan Berliner Local Anzeiner, terkagum dan teringat kepada raja-raja Itali zaman Renaissance bila memandang sosok mangkunegara VII.
Apa yang bisa dicomot dari keteladanan Mangkunegara VII untuk konteks sekarang? Yang paling penting adalah kesadaran kosmis yang diwarisi Mangkunegara VII dari tradisi Jawa yang panjang telah memberikan harapan dan keyakinan bahwa kesalahan-kesalahan kemasyarakatan, kekurangan di sektor ekonomi, dan kegagalan di bidang kebudayaan secara universal merupakan keharusan untuk mempersiapkan bangsa yang lebih baik.


Dimuat di Suara Merdeka 26 Juli 2009

Lakon Demokrasi: Ingat dan Lupa

Bandung Mawardi

Indonesia sampai hari ini tumbuh dengan operasionalisasi politik ingatan dan politik lupa. KPU, partai politik, media, institusi atau siapa saja melakukan kerja keras untuk merealisasikan ingatan di kepala-kepala orang Indonesia . Politik ingatan menjadi jaminan untuk membuktikan benih-benih imajinasi yang ditaburkan dan disemaikan di pelbagai ruang dan waktu. Publik selalu dijadikan sasaran empuk untuk operasionalisasi ingatan mengacu pada otoritas-otoritas politik. Politik ingatan seperti sihir dan candu menggairahkan karena menjanjikan percik-percik utopia. Keberhasilan dan kegagalan politik ingatan menerima ganjaran dalam bentuk pesta, arogansi, sedih, atau kebangkrutan.
Setiap hari publik selalu diingatkan tentang hajatan demokrasi: memilih presiden dan wakil presiden. Orang susah membebaskan diri dari taburan tanda-tanda politik dalam pelbagai bentuk. Televisi, koran, internet, spanduk, radio, bendera, selebaran, atau apa saja jadi alat untuk mengigatkan. Publik berada dalam cengkraman kesibukan mengingat dan mengingat dalam intensitas dan represi. Ingatan menjalar seperti sakralisasi demokrasi tanpa ada jeda atau waktu istirahat.
Dana besar digelontorkan, tim seksus lembur, iklan politik disebarkan, kerumunan orang diciptakan sebagai legitimasi politik ingatan atas nama Indonesia . Pamrih demi Indonesia memberi sugesti ampuh agar publik sadar terhadap nasib negara dan rakyat. Pemunculan Indonesia sebagai tanda adalah strategi kekuasaan untuk memunculkan ketakutan dan pengharapan. Ambiguitas jadi risiko menggerakkan publik pada kerja politik.

Ruang dan Waktu Politis
Strategi itu diimplementasikan dalam penciptaan ruang dan waktu politis. Ruang disesaki dengan makna-makna politik sebagai rasionalisasi atas kehadiran dan partisipasi. Ruang-ruang politik dieksplisitkan di gedung, stadion, lapangan, pasar, terminal, rumah, kamar, televisi, koran, atau sawah. Konstruksi ruang politis menginginkan agar publik mengafirmasi mekanisme ingatan terhadap wajah, angka, dan letak. Publik dengan ikhlas atau terpaksa masuk dalam kalkulasi politik melalui kesadaran peta atau ruang politis.
Waktu politis malah diciptakan dengan parameter tak terbatas. Mesin politik melalui kerja transaksional mengolah epistemologi waktu normatif menjadi modal meraih kemenangan. Waktu dalam kesadaran publik digoda oleh kepentingan-kepetingan politik agar ada konsensus-konsensus dalam nilai dan material. Publik pun mendapati sihir dalam ambang batas kesadaran dan ketaksadaran waktu. Ekspresi waktu politis dirayakan dengan kampanye saat dini hari, siang hari, senja, atau malam hari.
Waktu politis membutuhkan klaim berbeda dengan lakon waktu normatif. Waktu untuk kerja, sekolah, tidur, atau mengasuh anak ditiadakan sebagai kompensasi waktu politis: kampanye atau tafakur politik di depan televisi. Waktu politis adalah pertaruhan besar dalam ikhtiar membuat publik ingat mesti berlebihan. Waktu politis terjadi sebagai konsekuensi kerja politik demi hajatan demokrasi.

Politik Ingat dan Politik Lupa
Persaingan pelbagai mesin politik merealisasikan politik ingatan niscaya mengakibatkan tabrakan atau senggolan kepentingan. Fakta persaingan ini memnunculkan kontradiksi-kontradiksi atau takdir getir politik. Kepentingan untuk menyemaikan ingatan digenapi dengan politik melupakan. Mesin-mesin politik melakukan perebutan publik dengan dalil mengingat ini lalu melupakan itu. Penciptaaan dan penghapusan imaji politik tampak sengit. Eksplisitas ingat dan lupa dalam diri pemilih ditampilkan melalui kerja polling atau survei. Data-data itu jadi berkah dan momok untuk masing-maing mesin politik menerima atau menolak.
Politik lupa merupakan bab integratif dengan politik ingatan. Agenda politik lupa memang kerap mengalami penghalusasn dengan alasan-alasan etis atau penghindaran konflik terbuka. Lakon teater politik kontradiktif ini tampak dari pernyataan-pernyataan ketika kampanye dalam tawaran janji atau sesumbar dan adegan debat capres-cawapres. Hajatan kampanye kerap dibarengi dengan instruksi dan imperatif pada publik untuk mengingat kerja politik capres-cawapres pada masa lalu ketika berada dalam intitusi kekuasaan. Biografi politik dengan genit ditransaksikan pada publik sebagai konsumsi ideologis. Godaan dari proyek politik ingatan adalah melupakan aib, dosa, kesalahan, atau kegagalan pada masa lalu. Pelupaan lalu dibarengi pemunculan utopia nasib Indonesia .
Hajatan demokrasi di Indonesia adalah lakon satir dan politik getir. Ingatan diproduksi dengan massif untuk peristiwa yang belum terjadi. Mekanisme ingatan ini diimbuhi dengan tumpukan ingatan masa lalu. Epistemologi ingatan mengalami godaan dari kegenitan politik. Mekanisme ingatan publik mungkin gampang dipengaruhi oleh mesin politik jika mengaciu pada lakon pendidikan. Politik ingatan gampang meresapi publik karena warisan pendidikan masa lalu dalam bentuk ingatan atau hafalan ketika di SD, SMP, SMA, atau perguruan tinggi. Orde Baru mewariskan doktrin ingatan terhadap UUD 1945, Pancasila, P-4, GBHN, anggota kabinet, dan lain-lain. Bentukan itu memberi jalan untuk mesin politik masuk membawa bingkisan ingatan politik artifisial.
Agenda pelupaan juga mendapat warisan dari masa lalu dalam pelbagai peristiwa dan ketokohan. Lupa adalah takdir politik untuk menciptakan stabilitas atau kebersihan rezim dari risiko-risiko destruktif. Mekanisme melupakan mirip dengan pekerjaan bocah menghapus tulisan yang salah di kertas atau memijat tombol delete di perangkat komputer. Politik lupa bias dalam klaim kedustaan dan kebenaran. Lupa kadang melegakan tapi tak jarang menyiksa dan menyakitkan.

Politik Picisan
Hari ini orang boleh terus ingat tentang pilpres dan nasib Indonesia kelak selama lima tahun. Ingatan menjadi perayaaan publik dengan keramaian lekas selesai atau berhenti sebelum sampai. Ingatan artifisial dengan pamrih politik jarang kekal. Ingatan dalam jenis ini memiliki batas masa berlaku atau cepat basi ketika tak ada transaksi politik sehidup-semati. Pemaknaan politik secara eksploratif dan reflektif lalu mengalami kebangkrutan atau dalam kondisi sekarat. Lupa jadi risiko tak terelakkan karena kelelahan, kejenuhan, kebohongan, atau kejijikan. Ingatan mungkin selesai dengan lupa dalam lakon absurd tapi realis.
Perayaan demokjrasi sesaat tentu memunculkan bab-bab politik kritis. Publik kelak boleh melakukan laku mengingatkan janji-jani capres-cawapres ketika berhasil jadi penguasa. Prosedur mengingatkan merupakan konsekuensi meski bisa diatasi penguasa melalui pelbagai dalih dan kebijakan. Ingatan publik mungkin bisa dihapus ketika penguasa menciptakan wabah lupa atas nama kekuasaan dan manipulasi utopia Indonesia .
Hari ini orang juga boleh lupa mengenai hari, tanggal, tempat, nama, nomor, atau cara memberi suara dalam pilpres. Lupa bisa menjadi satir untuk resistensi atau ekspresi apatis terhadap proyek-proyek demokrasi! Orang lupa dengan sengaja atau tak sengaja memiliki kontribusi untuk Indonesia sebagai bab minor? Orang lupa adalah tanda seru agar ada keseriusan menjadi Indonesia . Orang lupa adalah tanda tanya agar ada tawaran-tawaran konstruktif dalam menggerakan Indonesia . Politik ingatan dan politik lupa mungkin jadi sinetron picisan dalam biografi politik Indonesia . Begitu.
Dimuat di Suara Merdeka (8 Juli 2oo9)

Politik , Puisi, Demokrasi

Bandung Mawardi

Silahturahim politik (kampanye) jadi tontonan dan santapan berita yang mengenyangkan untuk hari ini. Salam, sapaan, jabatan tangan, senyum, foto bersama, pujian, janji, pakaian, dan bendera menjadi perayaan untuk jadi manusia-manusia politik. Politik menjelma prosa yang meluber tanpa ada bahasa untuk bisa mengucapkan diri dengan fasih secara estetis. Politik prosaik pun jadi klise-klise menyedihkan ketika jadi konsumsi publik. Politik riuh dengan mimpi dan manipulasi untuk membuat Indonesia jadi fiksi menggelitik dan tragik.
Silahturahim politik jadi perjumpaan pamrih atas nama rakyat dengan “melupakan” rakyat. Permainan kata jadi taruhan untuk kontrak politik tanpa ada naluri untuk menulis dan mengucap makna Indonesia dengan pamrih-pamrih kultural. Silahturahim sebagai ekspresi kultural ingin digantikan dengan perayaan politik tanpa imajinasi. Puisi pun hilang dari silahturahmi sebagai bentuk pelupaan terhadap kodrat sejarah politik dan lakon peradaban.
Politik hari ini tak memiliki puisi untuk ditebarkan sebagai benih-benih demokrasi agar patut dihidupi dan diwariskan. Politik memasuki pintu rumah orang-orang dengan instruktif dan imperatif. Bahasa-bahasa kasar dan keras memaksa orang-orang untuk lekas mengucapkan iman dan amin atas sabda-sabda para aktor politik. Politik tanpa impresi karena bahasa politik dioperasionalisasikan sebagai kutukan atau janji ilutif.
Politik hari ini adalah pabrik kata dengan dusta dan dosa. Produksi kata melampaui batas resepsi. Jalan jadi hutan rimbun kata. Rumah jadi bendungan kata. Televisi jadi bazar kata. Koran jadi pasar kata. Radio jadi kebun kata. Produsen kata dikerahkan dengan massif dengan wajah dan tubuh klise. Orang-orang menerima kata-kata politik sebagai tanda seru dan tanda tanya untuk kematian atau bunuh diri. Kata-kata dengan sadis dimanipulasi dalam pertaruhan politik untuk membunuh dengan semantik tak unik.
Puisi tak mampir di rumah politik sebagai tamu yang membawa misteri. Orang-orang lupa dengan puisi karena sibuk mengurusi politik yang terlalu manja tapi melenakan. Puisi masih mendekam di kamar kecil dengan pembaca yang takzim. Puisi sekadar catatan pinggir dari rumah politik yang tak mau menyapa dan menggoda. Pembaca itu pun tafakur memikirkan metafor dalam puisi dan propaganda dalam politik. Dunia sepi dan dunia ramai.
Politik tanpa puisi? Lakon ini tampak dari perayaan demokrasi yang kehabisan sabun mandi dan sapu untuk membersihkan diri dan rumah politik. Politik selalu mendapati terjemahan prosaik dari umat yang mengimani politik sebagai berahi yang mesti dilunaskan dengan tergesa. Berahi politik jadi dalil untuk esktase demokrasi yang miskin makna. Politik menjelang tragedi. Demokrasi menjelang ilusi.
Negeri ini lupa dengan biografi puisi. Khazanah sastra masih terbuka untuk pencarian dan penemuan jejak-jejak puisi sebagai perayaan politik. Sejarah membuat orang mahfum bahwa bahasa adalah nyawa untuk hidup. Politik puitik adalah representasi dari utopia kekuasaan yang sadar bumi dan sadar langit. Politik puitik hadir dengan fakta dan fiksi. Imajinasi politik jadi pertaruhan nasib untuk mengesahkan makna hidup.
Politik puitik pada hari ini seperti jadi wacana antik. Aktor-aktor politik merasa puisi tak sanggup jadi dalil ampuh untuk menciptakan dan menebarkan doktrin. Politik hari ini menganggap slogan sebagai mantra untuk membuat orang-orang sebagai data kuantitatif. Data ini menjadi legitimasi untuk melunaskan hajat politik yang mengandung kentut dan monster.
Siapa tak lelah dengan bahasa politik yang riuh dan cerewet? Politik dan demokrasi dilanggengkan dengan dalil-dalil untuk meruntuhkan makna dan memperkosa imaji. Ekstase diciptakan dengan manipulasi dan dramatisasi tanpa estetika. Puisi justru membuka diri untuk orang-orang yang enggan masuk pasar politik atau orang-orang yang melarikan diri untuk pertobatan dari kuasa bahasa politik yang penuh dendam dan mengancam. Bahasa politik jadi aliran dusta yang deras. Politik jadi kasar dan keras. Demokrasi pun lekas melupakan puisi sebab sepi dan ironi.
Kelelahan lakon politik tak menemukan jeda dalam kenikmatan metafora dan imajinasi politik. Kelelahan justru diimbuhi dengan kelahiran kutukan atau kultus. Puisi susah mendapati pembaca yang khusuk. Puisi belum jadi pintu untuk kontemplasi dan aksi. Politik tidak memberi surat izin untuk orang-orang menengok puisi. Politik bekerja dengan agitasi untuk tak mempercayai imajinasi. Politik menjelma mesin mimpi dan ilusi. Mesin ini susah mati karena masih ada bensin dan oli yang melimpah.
Politik puitik mungkin jawaban yang susah hadir dalam berahi politik hari ini. Politik puitik sekadar jadi catatan kaki. Jawaban-jawaban atas politik adalah deretan panjang dengan distorsi dan komplikasi. Aktor politik selalu menuntut orang-orang untuk percaya bahwa jawaban-jawaban politik itu manjur. Konstitusi jadi bukti aktor politik menciptakan kisah pengabdian dengan kantuk dan uang. Konstitusi sebagai jawaban itu durhaka atas fragmen-fragmen hipnotis dan mistis dalam pesta demokrasi.
Politik puitik sebagai catatan kaki patut jadi belokan untuk membaca politik hari ini. Politik puitik itu politik yang mengusung takdir hidup dan mati dengan imajinasi. Politik dioperasionalisasikan dengan kata dan makna sebagai dalil dan risiko. Tindakan politik adalah representasi dan realisasi. Politik itu puisi? Politik puitik mengandung estetika untuk mengantarkan orang pada pintu-pintu interpretasi. Perayaan politik yang pluralistik tentu jadi pertaruhan eksistensi atas nama demokrasi dan humanisme.
Siapa mencatat dan mewartakan puisi hadir dari ritual politik hari ini? Fakta politik adalah perjudian imaji (citra). Politik dikonstruksi dengan imaji untuk menutupi aib dan naif. Imaji politik disebarkan dengan slogan untuk iklan-iklan yang propagandis. Slogan itu lahir dari kata-kata yang jauh dari estetika atau narasi puitik. Slogan menghasratkan efek imaji untuk mengelabui atau mengafirmasi pamrih aktor politik.
Siapa mau membaca puisi untuk mengenangkan politik? Siapa mau takzim untuk puisi yang tak ingin basi seperti politik ilutif dan distortif? Siapa ingin mengusung politik luluh dalam puisi? Siapa membuka pintu imajinasi politik dalam puisi? Puisi ini adalah belokan dari politik yang tragik. Begitu.

Dimuat di Kedaulatan Rakyat (5 Juli 2oo9)

Rumah Sejarah (Ndalem Padmasusastran)

Bandung Mawardi

Siapa peduli ketika melintasi Jalan Ranggawasita 153 Solo untuk menengok sebuah rumah sejarah di antara sesak deretan bangunan toko, kantor, rumah, dan warung makan? Di jalan dengan mengambil nama pujangga terkenal itu ada rumah pujangga besar di Jawa pada awal abad XX. Ada rumah sejarah yang sederhana dikenal dengan Ndalem Padmasusastran. Rumah kuno itu sudah tampak ringkih tapi menyimpan kisah-kisah penting dalam kehidupan sejarah, sastra, bahasa, dan kultural di Jawa.
Rumah itu menjadi saksi eksistensi dan laku krearif pujangga Ki Padmasusastra (1841-1926) yang menjadi juru bicara perubahan wacana kesusastraan Jawa pasca-Ranggawasita. Ki Padmasusastra pada masa muda berguru pada Ranggawarsita dalam olah sastra. Modal dari proses belajar direalisasikan dengan ketekunan membuat teks-teks sastra dengan bentuk gancaran (prosa). Bentuk ini merupakan gugatan terhadap dominasi pemakaian tembang atau puisi dalam kesusastraan (keraton) di Jawa. Gugatan tampak eksplisit dengan pemakaian julukan Ki Padmasusastra sebagai tiyang mardika kang mersudi kasusastran Jawi (orang merdeka yang mengurusi sastra Jawa tapi tidak masuk dalam patron keraton).
Rumah sejarah yang dulu merupakan pemberian dari Mangkunegara IV sekarang tampak sepi dan kehilangan aura atau spirit. Orang Solo sendiri mungkin jarang tahu bahwa rumah ringkih dengan halaman tanah dan pagar tanaman itu adalah situs sejarah dan kultural. Ketidaktahuan itu mungkin dipengaruhi oleh pengetahuan tentang sastra dan sejarah yang menganut pada kanonisasi teks sastra Jawa dan popularitas wacana Ranggawarsita sebagai pujangga akhir keraton. Nama Ki Padmasusastra pun menjadi kurang moncer karena masih sedikit peneliti memuplikasikan kajian secara ilmiah atau populer.
Ikhtiar mencari dan menghidupkan kembali spirit Ki Padmasusastra pernah dilakukan pada tahun 2000-an dengan dukungan dari pelbagai seniman. Sardono W. Kusumo menginginkan situs itu menjadi ruang ekspresi untuk pelbagai bentuk seni dari sastra sampai seni pertunjukkan dan dari seni tradisional sampai seni kontemporer. Ndalem Padmasusatran juga diorientasikan sebagai pusat kajian untuk sastra Jawa meski susah mendapati apresiasi. Ikhtiar itu terjadi dalam hitungan waktu pendek lalu hilang jejak tanpa ada komitmen dan konsistensi lanjutan.
Rintisan untuk menghidupkan kembali spirit Ki Padmasusastra mesti lekas dapat perhatian dari pelbagai pihak sebelum ada pelupaan kolektif yang ironis. Pemkot Solo dan dinas-dinas terkait perlu melakukan kebijakan penyelamatan dan perawatan bangunan yang sudah berusia di atas seratus tahun. Ikhtiar lanjutan adalah melakukan apresiasi kritis terhadap teks-teks Ki Padmasusastra untuk membaca kembali fragmen-fragmen historis Jawa dalam konteks bahasa dan sastra. Begitu.

Dimuat di Kompas Jateng (14 Juli 2oo9)

Ironi Identitas Kultural Jawa

Bandung Mawardi

Wacana pengajaran bahasa Jawa dan muatan lokal terkait dengan tradisi-tradisi lokal dalam kurikulum pendidikan menjadi pembuktian ada keraguan dalam model pewarisan identitas kultural Jawa. Restu pemerintah mungkin jadi lambaran untuk mencari pembenaran bahwa ada situasi kritis dalam pengetahuan dan praktik kultural Jawa. Rumus institusional pun digulirkan dengan dalih sebagai tanggapan untuk menyelamatkan atau menunda kehilangan atau kekalahan dalam pengajaran nilai-nilai kultural Jawa.
Barangkali orang mafhum bahwa sosialisasi tentang identitas kultural Jawa membutuhkan proses alamiah dan terkadang menganut pembakuan sesuai dengan anutan terhadap kebijakan ideologis dalam dunia pendidikan. Proses alamiah terjadi dengan realisasi sebaran dan proses belajar dalam kondisi sesuai dengan kebutuhan dan kodrat manusia dalam ruang historis, ruang sosial, dan ruang kultural. Pengajaran bahasa Jawa pada anak tentu merupakan kelaziman sebagai cara menerima dan mengolah potensi diri agar bisa melakukan komunikasi. Pengetahuan tentang bahasa Jawa sebagai medium memasuki lakon dunia tentu tidak butuh sistem ketat karena fakta keluarga menjadi penentu proses pemerolehan bahasa secara alamiah. Pemerolehan bahasa terjadi karena keajegan atau penciptaan situasi untuk memengaruhi kesadaran anak tentang fungsi dan nilai bahasa.
Gangguan muncul karena pada masa sekarang pemerolehan bahasa mengacu pada pembiasaan terhadap media dalam model konsumsi dan intervensi. Anak mulai khusuk menikmati proses menerima pengetahuan dan praktik bahasa dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kuasa dua bahasa itu tampak dari dominasi dalam ranah media dan lingkungan tempat anak mencari dalil-dalil bertumbuh sesuai dengan usia dan kodrat sosiologis. Media televisi dan bacaan tentu jadi acuan mumpuni anak memasuki lakon-lakon dunia dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris ketimbang bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Ketegangan untuk menerima dan mengonsumsi tentu terjadi dengan hukum ada takdir kemenangan dan kekalahan.
Pilihan terhadap bahasa Indonesia sebagai komunikasi dalam keluarga dan institusi-institusi sosial menjadi anak cenderung merasakan kenyamanan. Pengucapan diri dengan bahasa Indonesia terkadang dibenarkan dengan alasan komunikatif dan tidakmerepotkan seperti ketika memakai bahasa Jawa. Pola pikir ini terjadi karena tidak ada kesadaran kritis untuk memahami prosedur orang menerima, memiliki, dan mengartikulasikan segala sesuatu dengan bahasa sesuai kebutuhan. Pilihan terhadap bahasa Indonesia tentu lumrah karena secara ideologis mendapati pembenaran dari negara. Fakta “kekalahan” bahasa Jawa merupakan risiko dari penerimaan hidup dalam aturan-aturan negara. Peminggiran bahasa Jawa dalam proses pembelajaran anak dalam keluarga atau sekolah tidak harus disesali atau dijadikan dalil untuk melakukan gerakan primordialisme yang kolot.
Bahasa Jawa mungkin tak mempan menjadi sarana internalisasi diri manusia Jawa dan modal dalam komunikasi-interaksi sosial. Kondisi ini memunculkan akibat dengan perkara identitas kultural Jawa. Orang terkadang percaya terhadap relasi antara bahasa dengan identitas kultural. Relasi terbentuk dengan kunci pemahaman bahwa ada identifikasi diri mengacu pada biografi historis-kultural dalam tegangan pelekatan identitas secara ideologis. Penyebutan diri sebagai manusia Jawa menjadi rentan ketika ada pengajuan syarat mesti fasih dalam bahasa Jawa. Dalil ini mulai cair karena manusia Jawa mulai mengucapkan diri dengan nikmat ketika memakai bahasa Indonesia. paradoks identitas kultural terjadi seperti keniscayaan karena bias pengakuan diri sebagai manusia Jawa dan manusia Indonesia.
Relasi antara bahasa dengan identitas-kultural Jawa mulai renggang meski menyimpan sesal atau pengharapan. Realitas ini dijadikan alasan untuk pelbagai pihak melakukan ikhtiar penyelamatan melalui pelbagai cara mulai dari khotbah sampai kebijakan dengan restu negara. Institusi pendidikan lalu dijadikan corong untuk melakukan penyelamatan atas nama kepentingan negara. Materi pelajaran bahasa Jawa dan muatan lokal diajarkan dengan pamrih mengenalkan kembali atau menguatkan pemahaman terhadap identitas kultural Jawa.
Pengalaman belajar bahasa Jawa di sekolah justru mengandung tanya dan pesimisme. Dominasi pelajaran dengan memakai bahasa Indonesia untuk memasuki jagad pengetahuan memberi efek penerimaan secara terbuka. Dominasi bahasa membuat anak mengalami pengakuan untuk merasa luwes dan nikmat memakai bahasa Indonesia ketimbang bahasa Jawa. Materi pelajaran bahasa Jawa lalu jadi asing atau aneh di antara sekian mata pelajaran. Perasaan asing semakin membuat bahasa Jawa sebagai pelajaran imbuhan tanpa ada hasrat untuk memiliki sebagai prosedur pembentukan identitas. Belajar bahasa Jawa dalam sistem dan institusi pendidikan malah merepotkan dan mengganggu pelajaran-pelajaran lain? barangkali itu menjadi taya kritis untuk kegagalan mengalami diri dalam bahasa.
Institusi pendidikan dalam paradoks bahasa memiliki beban untuk membuat pembedaan kepentingan dalam pengejaran hasrat pengetahuan dan kesadaran terhadap lokalitas. Kehadiran muatan lokal dalam materi pengajaran juga mengalami nasib serupa karena ada keterasingan diri. Anak dengan khusuk menikmati permainan atau dongeng mutakhir dalam acuan global untuk mendapati kenikmatan. Anak pun jadi asing ketika belajar tentang Jawa karena tidak ada keajegan mengalami atau menikmati dalam bentuk permainan atau dongengan. Ironi ini jangan lekas disesali karena memang menjadi risiko zaman.
Institusi keluarga sebagai ruang hidup juga mengalami gangguan dalam proses pewarsian identitas kultural Jawa. Orang mungkin gagal menjadi Jawa karena ketiadaan sosialisasi dalam keluarga dan kepercayaan keluarga terhadap model pengajaran pada sekolah. Orang mengenyam pendidikan dari TK sampai mendapati gelar sarjana tak memberi jaminan mafhum dengan biografi diri sebagai manusia Jawa atau memiliki pengetahuan dan praktik kultural Jawa. Orang mulai sibuk dan tergoda untuk membentuk diri menjadi kosmopolitan ketimbang manusia dengan identitas lokal. Institusi pendidikan dan keluarag telah membuka pintu dengan lebara untuk kehadiran tamu-tamu agung dalam bentuk pengetahuan dan praktik dengan acuan-acuan modernitas-universalitas. Tamu-tamu agung itu justru menjadi tuang atau tukang dikte untuk orang lupa dengan biografi dan identitas kultural Jawa. Sesalan jangan ditampakkan sebagai jawaban kekalahan. Ikhtiar untuk menjadi Jawa tentu harus dilakukan meski terus dibayang-bayangi dengan pesimisme. Begitu.

Dimuat di Solopos (2 Juli 2oo9)

Jumat, 03 Juli 2009

Solo Merayakan Batik

Bandung Mawardi


Solo memiliki hajatan besar untuk merayakan batik sebagai ekspresi seni dan kultural. Batik merekam jejak sejarah dan dialektika etnisitas Jawa dalam proses menanggapi zaman dan merepresentasikan imajinasi kosmik. Perayaan batik adalah perayaan biografi peradaban dengan kesanggupan melakukan pengekalan dan inovasi untuk memberi jawab atas progresivitas zaman. Batik jadi juru bicara dari ranah identitas kultural sampai ranah ekonomi-pasar.
Batik adalah aset estetika-historis-kultural dengan kemungkinan-kemungkinan tumbuh sebagai ekspresi kreativitas tanpa henti. Perhatian terhadap batik pun mesti disadari sebagai kerja kultural untuk memunculkan imaji dan konstruksi identitas. Batik sebagai identitas kultural menjadi tema klasik di hadapan tema-tema besar dari kuasa ekonomi-politik global. Kepemilikan batik tentu jadi pertaruhan untuk mewartakan eksistensi dan proses pencarian orientasi peradaban.
Hajatan Solo Batik Carnival 2 (SBC 2) jadi bukti intensitas para pelaku dan penikmat batik untuk melakukan penguatan identitas kultural. Panitia secara eksplisit mengungkapkan bahwa ide besar dari hajatan itu adalah ekspresi local genius dengan mengambil ruang Solo sebagai acuan legitimasi kultural. Perayaan batik pun terpahamkan sebagai proses dialogis untuk melakukan penciptaan dan pemunculan kesadaran kultural. Model perayaan dalam SBC 2 merupakan strategi kultural untuk tidak tunduk dengan ideologi pasar dan mengeksplisitkan wacana lokalitas dalam alur global.
Batik pada sekian bulan lalu telah jadi kasus kontroversial dalam mekanisme kepemilikan di mata dunia internasional. Malaysia sejak dini telah mematenkan batik dan membuat publik Indonesia tertegun meski ada sesalan. Reaksi ditunjukkan dengan ikhtiar mendaftarkan batik ke UNESCO PBB agar mendapat legitimasi sebagai warisan budaya tak benda (intangible heritage). Pengakuan dari UNESCO penting untuk menegaskan bahwa batik itu milik Indonesia. Prosedur untuk mencapai keinginan itu mesti dilambari dengan syarat ada keterlibatan komunitas dan publik untuk mengembangkan warisan kultural batik.

Basis publik
Agenda SBC 2 kentara menjadi kontribusi penting untuk mengesahkan batik sebagai milik Indonesia. Pelbagai acara dengan pelibatan komunitas dan publik diadakan dengan intensif dan konstrukstif melalui workshop costume, dance, dan runway sejak Maret sampai Juni. SBC 2 memang disadari sebagai hajatan berbasiskan publik untuk misi kreatif dan edukatif. Keterlibatan publik tercatat dari intitusi pendidikan, organisasi profesional, organisasi kebudayaan, BUMN, organisasi swasta, pemerintah kota, grup kesenian, dan tokoh-tokoh publik. Basis publik memberi spirit kolektif dan model perayaan pluralistik dengan kata kunci batik. Orientasi dari kerja kolektif ini untuk mencitrakan Solo is the International Batik City dan Solo is the International Carnival City.
Bukti dari kepemilikan identitas kultural melalui batik adalah kesadaran para peserta untuk urunan dalam membiayai SBC 2. Panitia mengambil peran sebagai fasilitator dalam pelaksanaan workshop dan carnival. Kesadaran partisipatif menjadi fondasi penting untuk ikhtiar besar mengusung batik sebagai identitas kultural dengan potensi-potensi secara estetis sampai ekonomis. Batik pun mengalami proses dialektis dengan keterlibata pelbagai pihak sesuai dengan kapasitas dan penciptaan orientasi.
Puncak hajatan SBC 2 pada 26-28 Juni 2009 merupakan akumulasi dari kegairahan publik merayakan batik. Kota Solo sebagai ruang perayaan kolektif itu tentu memiliki makna penting sebagai ruang historis, kultural, sosial, politik, dan ekonomi. Kota Solo mencitrakan diri dengan tautan ketegangan tradisionalitas dan modernitas. Batik adalah pengajuan jawab untuk sadar terhadap tradisi dan pembukaan akses agar inovasi dan progresivitas kreativitas bisa menanggapi gerak zaman. Pemilihan rute SBC 2 di jalan Slamet Riyadi juga mengesankan ada pembukaan memori kolektif atas sejarah kota. Jalan Slamet Riyadi merupakan tanda kota dari proses perubahan sosial, ekonomi, politik, dan kultural Solo. Jalan itu merepresentasikan jejak-jejak kekuasaan dan kebudayaan Jawa dan penentu dari resepsi terhadap kapitalisme abad XX pada masa kolonialisme.

Janji dan orientasi
Tanggapan konstruktif dan kritis terhadap SBC 2 terus bergulir mulai dari Pemkot Solo sampai pada pelaku dan penikmat. Joko Widodo sejak dini terus mengingatkan bahwa SBC 2 menjadi pembuktian bahwa Solo itu Kota Budaya dan Kota Pertunjukan. Walikota progresif ini bahkan sanggup menjanjikan pada prestasi dalam SBC 2 untuk mendapati kepercayaan sebagai penampil dalam acara-acara internasional.
Joko Widodo (Kompas, 15/6/2009) mengatakan: “Jika sukses di acara tersebut, tahun depan saya membawa 200 peserta mengikuti acara parade di Singapura yang diikuti 36 negara agar orang semakin tahu tentang Solo dan citranya yang kental dengan budaya. Bahkan, jika mampu tampil lebih bagus di sana, kami dapat membawa berkeliling ke Eropa dan Amerika.” Janji ini mungkin menumbuhkan gairah tapi jangan jadi patokan tunggal untuk merayakan batik. Antusiasme dan apresiasi adalah realisasi dari keberhasilan SBC 2 dan memberi legitimasi untuk konstruksi identitas kultural dalam tautan tradisionalitas dan modernitas.
Hajatan SBC 2 menjanjikan peningkatan kualitas dan kuantitas ketimbang SBC 1 pada tahun lalu. Janji itu tentu menunjukkan keseriusan panitia dan keterlibatan publik untuk kreatif dan apresiatif. Program lanjutan dari SBC 2 juga perlu dilakukan secara intensif melalui institusi pendidikan, kesenian, dan kebudayaan untuk tidak terserap dalam bisa seremonial dan politik pencitraan. Program edukatif jadi pertaruhan dari kerja kultural sebagai pola pewarisasn dan persemaian inovasi-kreativitas. Keberadaan Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan di Solo tentu jadi tanda primer untuk merayakan batik tanpa henti. Rayakanlah batik dengan gairah untuk hidup dan persemaian identitas kultural! Begitu?

Dimuat di Suara Merdeka, 30 Juni 2009

Pada Mulanya Angka

Bandung Mawardi

Dunia suntuk dengan kata. Lakon-lakon hidup mendapati dalil dan legitimasi dengan kata. Orang pun mafhum dengan ungkapan klasik: Pada mulanya adalah kata. Kesibukan mengurusi kata membuat manusia merasa memiliki dilema untuk memberi iman dan amin. Kata bisa menghidupkan dan mematikan. Kata jadi dalil untuk tatanan hidup harmonis tapi mungkin menjadi dalil untuk kerusakan dan perang.
Orang lalu bosan dengan kata dalam penciptaan makna melalui ranah politik, ekonomi, filsafat, etika, atau agama. Kebosanan itu tak sanggup membuat manusia lari dari kata. Mungkinkah manusia menengok kembali pada angka? Kata mungkin telah membuat manusia trauma atau sekarat. Ikhtiar mengurusi angka jadi taktik lain untuk memerkarakan hidup biar tak gemuk oleh kata.
Dunia pun terbentuk dari angka. Pemahaman ini muncul dalam jejak historis peradaban dan agama: Yunani, India, Arab, Cina, Islam, Kristen, dan Yahudi. Kultur angka menjadi lambaran dari alur dan arus kehidupan. Angka memiliki posisi penting sebagai representasi dan realisasi dari kemungkinan-kemungkinan kehadiran dan kehilangan. Angka pun jadi konstruksi teologis, filosofis, politis, estetis, dan etis. Kesanggupan mengurusi angka adalah bukti manusia sanggup menjadi manusia.

Biografi Angka
Annemarie Schimmel dalam The Mistery of Numbers (2006) dengan reflektif mengajukan khazanah pengetahuan dan tradisi angka dalam lakon peradaban manusia. Angka menjadi ruh dan spirit dalam jejaring kehidupan mulai dari yang sakral ke yang profan. Simbolisme angka menjelma sebagai pengetahuan esoterik untuk melakukan pengingatan atau pembayangan terhadap masa depan nasib manusia. Angka adalah pertaruhan nasib dengan kerimbunan rasionalitas dan misteri. Rasionalitas terhadap angka memunculkan ilmu matematika. Phytagoras menjadi pokok dan tokoh pemula. Misteri angka menjadi pengetahuan dengan sebutan numerologi dengan selubung-selubung simbolisme untuk ditafsirkan tanpa usai.
Tradisi pengetahuan simbolisme angka pada masa Abad Pertengahan memunculkan sekte-sekte teologis. Otoritas untuk menafsirkan angka jadi alasan ketegangan atas nama klaim-klaim kesahihan, kebenaran, dan keselamatan. Pengetahuan angka pun memunculkan tradisi astrologi dengan pembenaran-pembenaran antara rasionalitas dan magis. Peran penting angka pada masa itu membuat Isidore membuat ungkapan konklutif: Tolle numerum omnibus rebus et omnia pereunt (Ambillah segala sesuatu angka-angkanya dan semua bakal binasa). Ungkapan ini jadi tanda kompleksitas tafsir angka dalam lakon kehidupan manusia.
Angka dalam tafsir teologis memiliki pengaruh kuat dalam keimanan orang untuk melakukan sakralisasi angka dengan ritual atau absorsi secara lahir dan batin. Penafsiran teologis pun dalam peradaban dan doktrin agama berbeda bisa memunculkan kerentanan untuk konflik. Angka dengan tafsir suci bisa menjelma dalil untuk menciptakan tuduhan-tuduhan dengan tendensi agama dan perang. Angka adalah acuan dari keharmonisan dan kekacauan. Unsur konstruktif dan destruktif mengalami dialektika dalam tafsir dan realisasi manusia dalam konteks agama sampai politik.

Angka Nol
Pengetahuan angka adalah permainan tafsir dan otoritas. Charless Seife dalam Biografi Angka Nol (2008) mendedahkan kemungkinan-kemungkinan mengejutkan dari pengetahuan angka untuk membaca kritis sejarah peradaban manusia. Seife percaya bahwa angka nol adalah kisah kuno sejak masa awal kemunculan matematika sebelum manusia sanggup dan suntuk dengan laku membaca dan menulis. Sejarah angka nol jadi penentu kehidupan manusia meski pada zaman-zaman lanjutan ada tendensi untuk memusuhi, membenci, menolak, membantah, atau mengabaikan angka nol. Inilah ungkapan provokatif dari sejarah angka: “Nol berada tepat di jantung perselisihan antara Barat dan Timur. Nol adalah pusat pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan.”
Nol? Schimmel menjelaskan bahwa dalam sumber-sumber sejarah India pada abad 6 SM menyebut nol sebagai shunya: kekosongan yang mengisi jarak di antara angka-angka. Sejarah itu menemukan lanjutan oleh studi para sarjana Arab untuk penciptaan sistem angka dan memperkenalkan pada dunia Barat. Angka nol lalu diterima dalam pelbagai peradaban meski tak sepi dari konflik. Nol dalam tradisi Arab disebut sifr menjadi ziffer dalam bahasa Jerman lalu menjadi zero dalam bahasa Inggris. Angka nol dalam sejarah Jerman abad XV dikatakan sebagai umbre et encombre: gelap dan terhalang.
Angka nol sanggup membuat manusia kerepotan. Kesanggupan mengurusi angka nol jadi cara manusia untuk mengimani hidup dengan kemunculan ilmu matematika dan fisika. Ilmu itu dibarengi dengan keimanan teologis terhadap angka dengan misteri, mistisisme, magis, dan sakralisasi. Benturan ilmu dan agama pun susah dihindari dengan mengusung klaim-klaim kebenaran secara absolut dan relatif. Otoritas atas angka nol dalam proses pertumbuhan peradaban manusia jadi sebab signifikan konstruksi kebenaran rasionalitas atas fenomena alam dan teknologi-teknologi ciptaan manusia. Angka nol mungkin menghidupi dan selalu memiliki potensi untuk menghancurkan atau merusak. Contoh kecil dari kuasa angka nol adalah penghilangan angka-angka apa saja ketika dikalikan dengan nol. Semua menjadi nol.
Sejarah angka nol itu jadi bukti bahwa keimanan dan pemaknaan terhadap angka menjadi penentu nasib manusia. Angka itu penting dan tak mungkin diabaikan selama manusia sadar atas ilmu pengetahuan dan tradisi teologis. Peran penting angka juga tampak dari sejarah angka-angka dalam konteks agama dan ilmu. Angka-angka tertentu dalam agama (Islam, Kristen, Yahudi) menjadi simbol dari iman. Makna dari angka-angka adalah makna untuk mengimani Tuhan, sadar diri, dan sadar kosmis. Angka memiliki tuah dalam prosesi agama meski kadang berseberangan dengan rasionalitas.

Tuah Angka
Dan Brown dalam The Da Vinci Code memberikan ilustrasi menarik tentang tuah angka dalam sejarah teologi dan proses pertumbuhan peradaban di Barat. Novel ini jadi pengingat terhadap sejarah angka dan pembuka misteri-misteri dalam agama dan ilmu pengetahuan. Fragmen kematian Jacques Sauniere meninggalkan pesan angka-angka misterius pada Robert Langdon: 13-3-2-21-1-1-1-8-5. Deretan angka ini jadi misteri untuk dipecahkan dalam konflik-konflik dengan pertaruhan nyawa. Misteri angka adalah misteri manusia. Misteri itu membuat pembaca khusuk merampungkan The Da Vinci Code dengan ketegangan dan kejutan-kejutan. Hal itu membuat pembaca mafhum dengan maksud penerbit untuk terjemahan ke bahasa Indonesia melalui ungkapan: “Memukau nalar. Mengguncang iman!”
Misteri angka dalam novel itu berbeda jauh dengan misteri angka dalam lakon Indonesia hari ini. Tuah angka menjadi dalil ampuh untuk lakon kekuasaan dan ekonomi. Publik repot dan linglung oleh pemaknaan angka secara politis dan manipulasi-manipulasi angka untuk pamrih ekonomi kapitalisme. Angka telah jadi momok untuk menundukkan orang dalam jerat-jerat politik dan ekonomi global. Begitu.

Dimuat di Seputar Indonesia (28 Juni 2oo9)

Ekonomi Kota

Heri Priyatmoko

Matahari mulai ditelan bumi. Langit berwarna jingga menandakan waktu maghrib hampir menyapa. Bau sedap aroma sate kere yang bersumber dari tungku Mbok Jinem menusuk lubang hidung mereka yang pada lewat. Tidak kurang Arif dan Iyok yang pulang glidig dari Pasar Kembang terpancing untuk mampir.
“Mbok, saya pesan dua porsi dan sekalian bikinkan es jeruk. Jangan lama-lama ya,” pinta Iyok sembari tangannya memegang perut yang terasa melilit karena sejak siang memang belum bertatap muka dengan nasi.
Lantaran saking sibuknya ngepeti sate dan menghindari serangan asap, Mbok Jinem cuma mengangguk.
“Yok, kamu sudah baca berita digugatnya Wali Kota Jokowi?” tanya Arif seraya meletakkan jaketnya di samping dingklik.
“Lha masalah opo to, kok sajake wigati banget?” Iyok balik tanya karena sudah sebulan tidak langganan koran.
“Itu lho kemarin Forum Penegak Keadilan dan Kebenaran menggugat Wali Kota Jokowi terkait dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan Solo Paragon, Center Point Solo dan Kusuma Mulia Tower. Eros Djarot sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri,” terang Arif diikuti tangannya mengambil rambak di atas meja.
Eros Djarot mengungkapkan, budaya mal itu bukan budaya Jawa. Dari segi budaya, bangunan tiga pencakar langit itu rapuh. Pasalnya, menciptakan masyarakat individualis yang kehilangan ke-Jawa-annya yang lekat dengan suasana guyup (SM, 16 Juni 2009).
Mbok Jinem yang berpeluh datang membawa dua porsi sate kere plus lontong. Mereka berdua langsung menyantapnya.
“Cekak gampange, ing wektu iki Solo durung butuh banget mal lan apartemen,” Arif sewot.
“Malah sing tak melang-melangi kuwi ekonomi kota tidak bisa lagi dimiliki warga alias bukan lagi ekonomi kerakyatan, melainkan neoliberal. Kota Solo dipacu tunggang langgang mengikuti globalisasi ekonomi dengan tujuan kapitalisasi di kota yang mengarah pada ekonomi makro. Mal dan apartemen adalah buktinya, dan kaum pemodal sudah kuasai kota. Apa masyarakat kita sudah siap menerima itu?!” jelas Iyok sembari mengoleskan kecap pada makanannya.
Neoliberalisme melibatkan aplikasi ekonomi pasar. Istilah neoliberalisme menunjuk pada gejala yang mirip dengan tata ekonomi tiga dasawarsa tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di penghujung abad XIX dan awal abad XX, yang ditandai dominasi modal keuangan dalam proses ekonomi. Neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja pemodal dari kawalan, namun dalam bentuk yang lebih ekstrem.
”Makanya, kita mesti ingat akan ajaran Bung Karno dan Bung Hatta bahwa konsep ekonomi kerakyatan diciptakan untuk mengatasi tiga penyakit yang menghinggapi ekonomi neoliberal, yaitu kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan. Ekonomi kerakyatan konsep tulen Bangsa Indonesia, dudu konsepe wong Barat. Dadi biyen kae Bung Karno pancen kepengin pembangunan Indonesia Berdikari,” Arif ketus. Sedetik kemudian mereka merenung.
Iyok yang tampak kemlekeren mencoba menerawang jauh, memikirkan dampak hebat ekonomi neoliberal masuk Kota Solo.
Yang ada dalam benak Iyok adalah matinya industri lokal mati. Hambatan perdagangan dibikin untuk melindungi industri dan tenaga kerja lokal. Dengan dihilangkannya hambatan perdagangan, otomatis harga produk dari luar negeri bakal melorot dan permintaan untuk produk lokal susut. Buahnya, industri lokal kolaps.
Sementara, Arif pun dibayangi ketakutan seandainya nanti masyarakat kota menjadi pengemis di atas kotanya sendiri. Pasalnya, di mata kaum neoliberalisme, penganggur ialah orang-orang yang ambruk atau kalah dalam kompetisi. Imbasnya, kian lebar jurang antara si kaya dan si miskin yang rentan konflik.
Semoga mimpi buruk tersebut tidak menjadi kenyataan. Itulah harapan mereka berdua dan juga masyarakat luas.

Dimuat Suara Merdeka, 22 Juni 2009

Menulis: Hasrat dan Risiko

Bandung Mawardi

Menulis adalah tindakan mengekalkan dengan pertaruhan kata dan makna. Pengekalan dilakukan karena mekanisme pencatatan lakon hidup tak selesai dalam ingatan. Produksi kata dan makna mesti dilakukan untuk membuat ingatan tak mati dan penciptaan tak sekarat dalam proses mengatakan dan mendengarkan. Tindakan menulis mengandung kesadaran hasrat untuk mengonstruksi bahasa dalam pilihan struktur. Tulisan menjelma sebagai pengalihan hasrat untuk menjadi dan mengekalkan diri sebagai manusia.
Menulis seperti prosedur menunaikan ibadah dalam dalil iman dan pengharapan. Iman memberi lambaran untuk mengantarkan diri dalam dialektika fakta dan fiksi dalam ambang batas tak kentara. Menulis menjadi ikhtiar penciptaan realitas. Penciptaan ini merupakan subversi terhadap normativitas cara menikmati hidup. Menulis membuat orang mafhum untuk durhaka pada keterlenaan lakon-lakon hidup. Menulis jadi pertaruhan untuk melakukan negasi dan afirmasi atas pelbagai hal dalam permainan kata dan makna.
Sakralitas menulis memang kerap dipahami sebagai pemaknaan laku kultural secara eksklusif. Menulis memiliki arti sakral karena ada proses penundukkan hasrat melalui ideologi konsumsi. Membaca dan menilai dunia telah dimanjakan dengan perangkat teknologi dan kompensasi harga dalam hukum efektif dan efisien atau parktis dan pragmatis. Tindakan reproduksi dan produksi mendapati gangguan dari ideologi konsumsi karena membuka kemungkinan untuk revolusi kesadaran. Menulis adalah merealisasikan hasrat manusia untuk menemukan otonomi dalam mengolah kesadaran dengan perangkat bahasa tanpa tunduk dengan paket-paket komodifikasi nilai dunia.
Hasrat menulis terkadang dimaklumi sebagai keganjilan dari luberan informasi dan arti dalam kesibukan zaman ini. Hasrat membuat orang sanggup untuk melakukan penolakan atau penerimaan terhadap menu-menu kehidupan dalam keramaian dan kerumitan. Menulis seperti mekanisme transaksi terhadap kerimbunan informasi dan arti mengacu pada pembedaan peran dan pemerolehan otonomi diri. Menulis adalah tindakan untuk memiliki otonomi dari operasionalisasi diri agar tak selesai sebagai manusia sejak dini.
Pemenuhan hasrat menulis melahirkan risiko substantif: mencipta dan kutukan. Menulis sebagai proses mencipta mengandung kesadaran konstruktif bahwa bahasa jadi kunci masuk dan keluar realitas. Pengoperasian bahasa memberi kemungkinan untuk sadar risiko sesuai kadar kepentingan dan tendensi. Menulis sebagai tindakan mencipta memunculkan spirit emansipatif pada penulis untuk menentukan peran. Kesadaran emansipatif pada realisasi tulisan merupakan ikhtiar mendapati otoritas sebagai manusia dalam mekanisme reproduksi dan produksi.
Menulis pun membuka kemungkinan manusia menerima kutukan karena resistensi dan represi. Resistensi mungkin terjadi ketika penulis merasa ada tuntutan melakukan kritik atau penolakan terhadap komodifikasi hidup. Pengambilan posisi menantang cenderung membuat penulis dalam posisi represi. Kutukan itu jadi risiko penulis untuk berhenti atau meneruskan laku menulis tanpa takut kalah dan mati.

(Dimuat di Suara Merdeka, 27 Juni 2009)

Politik Perlawatan Paku Buwono X

Heri Priyatmoko

Sebuah foto hitam putih bergambar Sinuwun Paku Buwono X beserta permaisurinya yang pertama, putri Mangkunegara IV, sedang berada dalam perjalanan dengan kereta kencana. Di pinggir jalan tampak masyarakat berjubel yang melihat. Foto yang dibuat di pengujung tahun 1910 itu, yang didokumentasikan apik dalam buku Djokja en Solo (1998), seperti kereta waktu. Imajinasi historis bagi yang melihatnya akan mampu diberangkatkan berkelana memasuki rentang panjang kisah raja terbesar di tanah Jawa.
Sungguh menarik membaca esai menantang Bandung Mawardi ”Menjadi Raja dan Menjadi Pahlawan” di rubrik ini (SM, 31 Mei 2009). Dengan membaca esai tersebut, kita mendengarkan Bandung mengatakan pengusulan gelar pahlawan Paku Buwono X kurang tepat. Kekhawatirannya, itu bakal terkesan militerisme. Pesimisme Bandung muncul dari hasil bentangan fakta sejarah jati diri Paku Buwono X yang mengalami benturan dengan Peraturan Presiden RI Nomor 33 Tahun 1966.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan masuk dalam wilayah polemik pantas-tidaknya Paku Buwono X sebagai pahlawan nasional. Namun, saya hendak memperbincangkan bagaimana strategi Paku Buwono X membangun nasionalisme Jawa. Karena, peristiwa historis maha penting ini justru luput didiskusikan dalam seminar di Yogyakarta dan Solo silam.
Setelah menelusuri perjalanan panjang sejarah Surakarta tahun 1900-1915, Kuntowijoyo dalam ”Raja, Priyayi, dan Kawula” (2004) menyimpulkan bahwa Paku Buwono X adalah raja terbesar Jawa karena bisa menguasai simbol-simbol pribadi dan publik. Belanda memandang Paku Buwono X sebagai anak manja, peminum, suka pesta, rajin bersolek, dan lebih mementingkan IQ, tapi Belanda geleng-geleng kepala mengakui keberhasilan Paku Buwono X memainkan simbol bagi kepentingan kekuasaan.
Mulai Menyusut
Pada awal Paku Buwono X memerintah, pamor kerajaan memang mulai menyusut. Dari hasil sorotan historis Darsiti Soeratman (1989), diriwayatkan, puncak kemerosotan ketika kekuasaan pengadilan benar-benar jatuh ke tangan Hindia Belanda di tahun 1903. Ditambah pula hilangnya otoritas atas tanah perekonomian dan tanah yang disewa pengusaha asing. Selanjutnya, Paku Buwono X mulai mencurahkan perhatiannya pada penyelenggaraan upacara dan pesta di keraton secara besar-besaran. Ada yang bersifat intern, seperti upacara makan siang, makan malam raja dan keluarga, ulang tahun raja atau permaisuri, pemujaan terhadap kekuatan alam, dan sebagainya. Akan tetapi, aneka acara mewah ini pengaruhnya kurang luas lantaran diadakan di lingkungan keraton, dan gemanya tidak sampai ke mancanegara. Maka, tiada pilihan lain kecuali melakukan lawatan.
Dalam memori penyerahan jabatan (MvO) Residen Surakarta F.P Sollewyn Gelpe (1914-1918) yang tersimpan rapi di Reksopustoko, tertulis, perjalanan perdana yang dilakukan Paku Buwono X pada zaman Residen De Vogel tahun 1903. Paku Buwono X pergi ke Semarang diiringi ratusan orang pengikut. Jumlah ini lalu dibatasi sampai 200 orang, dan saat Van Wijk menjabat, dikurangi lagi menjadi 80 orang. Belanda mencium gelagat tidak beres aksi Paku Buwono X. Dalam studi George D Larson (1987), dikatakan, lawatan sangat efektif menggalang pendukung Sarekat Islam. Paku Buwono X menarik simpati rakyat dan para bupati sehingga Solo dan Keraton Kasunanan dianggap sebagai pembawa panji gagasan nasionalisme.
Adapun kota-kota yang disinggahi Paku Buwono X seperti Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priyangan, Tasikmalaya, Pekalongan, Cirebon, Madiun, Surabaya, Bangkalan, Bali, Lombok, Kediri, Cepu, Lampung. Tindakan ini sungguh bikin geram Belanda sebab potensial sekali untuk subversi. Pejabat Belanda yang sadar akan bahaya ialah Residen L.Th. Sehneider (1905-1908). Lantas, ia melarang lawatan yang tidak resmi itu. Paku Buwono X membandel, lawatan terus dijalankan. Ketakutan Sehneider cukup beralasan mengingat banyak laporan bupati yang diterima gubernur soal aksi dibalik kunjungan Paku Buwono X di mancanegara. Misal, bupati Demak menginformasikan bahwa sewaktu Paku Buwono X pergi ke Demak pada Mei 1913 pernah memberi perintah agar organisasi Sarekat Islam yang terpusat di Solo jangan sampai disingkiri, malah harus didukung. Bupati Madiun pernah dipanggil Hangabehi karena tidak datang di kongres di Solo tahun 1913. Setelah diselidiki, ternyata Hangabehi diperintah Paku Buwono X.
Propaganda
Budi Utomo moncer di Solo berkat peran raja bertubuh tambun itu. Beliau dalam lawatan mempropaganda masyarakat agar mendukung Budi Utomo. Hasilnya, tahun 1920 Budi Utomo berubah radikal, dan bahkan selang setahun kemudian melakukan aksi otonomi. Meski Paku Buwono X di mata Belanda masih seperti anak kecil yang kerjanya menghambur-hamburkan uang, namun di mata kawulanya, ia tetap ”kaisar Jawa”. Sepanjang jalan yang dia lalui manakala melawat, dibanjiri rakyat dari berbagai pelosok untuk ngalap berkah dalem. Mereka rela berebut sisa makanan dan air bekas yang dipakai mandi Paku Buwono X, yang dijual oleh punggawa rendahan keraton dan pegawai hotel. Itu mencerminkan betapa besar wibawa raja yang berhasil dibangun Paku Buwono X melalui kunjungan.
Di kota tujuan, diadakan pasar malam dan pertunjukan upacara keraton. Di situ Paku Buwono X menyebar udik-udik (uang) biar rakyat gembira dan kian patuh pada perintahnya. Ada pelarangan kawin antara bupati dengan puteri keraton oleh Belanda, Paku Buwono X tidak kehabisan akal untuk mencuri hati bupati dengan memberikan hadiah kancing emas dan arloji yang berinisial Paku Buwono X kepada mereka. Dampaknya, semakin menguat kepercayaan bawahannya dan penduduk untuk berjuang melawan penjajah.
Paku Buwono X adalah orang Jawa yang pertama kali menempatkan politik lawatan sebagai senjata melawan Belanda. Mider mancanegara bukan sekadar ritual menyapa rakyat dan rekreasi, tetapi juga manifestasi dari eksistensi dirinya dalam meneguhkan kekuasaan Jawa yang harus dipertahankan. Sebab itu, tepatlah bila Paku Buwono X mendapat julukan sebagai ksatria Jawa sejati karena mampu membangun karisma dan merawat simbol sebagai kekuatan.

Suara Merdeka, 14 JUni 2009

Simbolisasi Perlawanan Rampogan Macan

Heri Priyatmoko

Sejarah tanah Jawa mulai menerima pengaruh hegemoni luar sejak zaman Mataram Islam. Campur tangan Belanda membawa kemerosotan di berbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun hukum. Kelanjutan dari kemerosotan itu dialami kekuasaan raja-raja Mataram. Karena, jauh sebelum 1830, ketika perjanjian Paku Buwana VII dengan VOC yang mengakibatkan Kesunanan harus melepaskan kekuasaannya dan banyak kehilangan tanah mancanegara (wilayah kekuasaan di luar keraton).
Puncak kemerosotan saat era Paku Buwana X (PB X) diawali setelah jatuhnya kekuasaan pengadilan ke tangan kolonial. PB X juga kehilangan kekuasaan atas tanah perekonomian dan tanah yang disewa pengusaha asing. Berbagai kemerosotan pamor raja itu mengakibatkan PB X mulai mencurahkan perhatiannya pada penyelenggaraan upacara dan pesta di keraton secara besar-besaran, salah satunya Rampogan Macan.
Bagi raja dan masyarakat Jawa pada umumnya, upacara dengan segala aturan etika adalah alat untuk membuat jarak dengan orang yang lebih rendah derajatnya serta mempertinggi wibawa agar kekuasaannya makin kukuh. Hal itu tecermin dari penggunaan busana, tempat duduk, tingkah laku, dan tinggi-rendah bahasa yang digunakan. Hal itu merupakan indikasi kedudukan, derajat, dan kehormatan para peserta upacara. Keraton Kasunanan Surakarta selain memelihara gajah dan kerbau, juga memelihara macan hasil buruan raja yang ditaruh dalam kandang yang letaknya di sudut tenggara alun-alun.
Setiap harinya peliharaan tersebut diberi makan berupa daging anjing. Raja PB X memelihara macan untuk hiburan kawulanya pada waktu garebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun dan kemudian macan ini diadu dengan kerbau. Setelah itu baru dibunuh secara ber sama-sama. Upacara Rampogan hanya digelar sewaktu ada tamu agung, terutama gubernur jenderal atau orang yang dipanggil PB X dengan sebutan ‘eyang’. PB X memang tunduk kepada Belanda, sampai-sampai menyebut residen dengan bapa dan gubernur jenderal dengan panggilan eyang.
Dalam upacara Rampogan, macan akan ditaruh dalam se buah kandang di tengah alun-alun, sedangkan prajurit me ngepungnya dari pinggiran. Lalu, macan akan dilepas dengan membuka tutup kandang dan prajurit menakut-nakutinya dengan api supaya keluar. Macan yang keluar kandang segera berlarian ke pinggir ketika tombak-tombak prajurit dan sorak penonton sudah menghadang. Pada masanya, tontonan itu menjadi keramaian yang terbesar dan terpenting. Kabarnya, kemeriahannya hingga mengalahkan upacara garebeg, penobatan raja, tedhak loji, dan jendralan
Di Kasunanan, sebetulnya ada pertunjukkan hewan yang diadu selain Rampogan, yaitu Dombo Sawala. Pertunjukkan itu biasa digelar di Pesanggrahan Langenharja. Sebuah tempat yang difungsikan untuk rekrea si dan meditasi aristokrat Kasunanan. Binatang yang sering diadu ialah harimau melawan domba (berok) dan anjing melawan babi. Untuk dihadapkan pada harimau, kambing diberi taji dan kalung buntal, yaitu rangkaian daun-daun yang warna-warni. Dalam benak PB X, ma sya- ra kat bisa melihat harimau ka rena kemurahan raja.
Penonton dari berbagai lintas etnis memadati alun-alun. Di situ, raja tampil istimewa dengan busana yang mewah dan duduk sejajar bersama gubernur jenderal. Seolah menunjukkan kepada rakyatnya keduduk an mereka seimbang. Harimau adalah binatang paling buas. Secara simbol, Rambogan bukan hanya mengandung ajaran bagi penonton tentang perlunya menguasai yang buas demi kelangsungan peradaban manusia
Ritual itu kemudian mempunyai arti tambahan, yaitu dengan mengumpamakan macan sebagai orang Belanda yang bersifat buas, menunjukkan bahwa ritual tersebut merupakan sesuatu yang mempunyai relevansi terhadap kondisi aktual masyarakat. PB X sebagai raja terbesar di tanah Jawa secara simbolis ingin menunjukkan perlawanan terhadap penjajah.

Media Indonesia, 13 Juni 2009

Sejarah Jempingan Sukoharjo

oleh: Heri Priyatmoko

Bagi Kabupaten Sukoharjo, kawasan Solo Baru bagaikan anak gadis yang sedang mekar. Solo Baru menjadi kota satelit, efek pemekeran kegiatan ekonomi Kota Solo. Dalam monografinya, Solo Baru terbagi dalam tiga kalurahan, yakni Kalurahan Gedangan, Madegondo, dan Langenharjo. Satu dekade terakhir, daerah ini mengalami perkembangan properti paling pesat ketimbang daerah sekitarnya. Solo Baru merupakan tempat incaran investor dalam rangka mengembangkan sayapnya di dunia bisnis. Tak pelak, harga tanah di sana per meternya melesat tinggi. Kini, Solo Baru sudah dilengkapi ruko, pusat perbelanjaan, dan perumahan. Bahkan, adanya wisata kuliner, water world Pandawa dan sekolah internasional afiliasi Singapura bikin kawasan Sukoharjo paling ujung utara ini kian moncer.
Namun, dibalik gemerlapnya Solo Baru, terdapat daerah remang yang menjadi sorotan publik, yaitu prostitusi Solo Baru atau lebih sohor disebut Jempingan. Dan, belum lama ini lokalisasi tersebut diberitakan oleh media lokal karena ada dua waria menganiaya seseorang yang kebetulan lewat. Sebelum itu, tak jarang terjadi uber-uberan wanita tuna susila (WTS) dengan polisi yang sedang operasi. Dalam tulisan ini saya hendak mengungkap prostitusi Solo Baru dalam perspektif sejarah, lantaran fenomena ini tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan prostitusi di Kota Solo.
Setelah menelusuri perjalanan panjang sejarah prostitusi di Jawa, Gayung Kusuma dalam “Perilaku Seks di Jawa Awal Abad ke-20” menyimpulkan bahwa pada mulanya seks bersifat privacy kemudian menembus tataran ruang vulgar. Hal itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, kedatangan orang Eropa dan perkebunan besar membawa pengaruh bagi pribumi dalam hal gaya hidup, perilaku seks dan tindakan yang melanggar norma. Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat pribumi kala itu masih rendah. Tenaga kerja wanita tak mampu mandiri secara ekonomi, maka sebagian dari mereka menjadi wanita penghibur. Ketiga, hadirnya seni pertunjukkan seperti penari tayub dan ledhek turut kasih peluang adanya perilaku seks bebas. Di antara mereka ada yang menjadi pelayan seks penonton dengan menerima imbalan uang. Keempat, pejabat rendahan dan tentara yang berasal Eropa ada yang bujang atau tidak membawa istri dengan bebas melakukan kegiatan seks di rumah bordil.
Dari hasil telaah historis Erythrina Deasy K (2008) ditemukan titik-titik di Solo sebagai ajang prostitusi tahun 1930-an. Misalnya, Banjarsari, Kestalan (dekat stasiun Balapan), Turisari, dan Cinderejo (kompleks Terminal Tirtonadi). Lokalisasi tersebut resmi. Pasalnya, Belanda memasang tanda plakat stempel hitam sebagai tanda diijinkan oleh pemerintah kolonial. Sementara bermunculan pula rumah bordil tanpa stempel alias liar seperti di Sangkrah, Semanggi dan Alun-alun Kidul. Selanjutnya, pelacur jalanan bisa dijumpai di sekitar Pasar Legi. Tempo doeloe, daerah ini dipakai untuk nongkrong warga untuk mencari wedang petruk (angkringan) atau sekadar menikmati tusukan angin malam. Faktor inilah yang mendorong “kupu-kupu malam” keluyuran berburu “mangsa”. Faktor lainnya, para pedagang yang datang dari luar daerah sebelum hari pasaran pasar, lalu menginap di pasar dan mereka butuh kepuasan dalam seks.
Dengan gambaran sejarah di atas, maka mau tak mau kita termanggut setuju terhadap tesis Michel Foucault dalam “Ingin Tahu Sejarah Seksualitas” (2008) bahwa seksualitas ialah hubungan kuasa yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari diskursus plural dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas sampai abad XX. Tidaklah mengherankan apabila koran Darmo Kondo tanggal 19 Maret 1937 mengisahkan saban kampung di Solo terdapat perempuan jalang. Bermula dari interaksi, mereka berhasil menaklukan para pemuda yang mengadu nasib di kota.
Di mata priyayi, wanita jalang digambarkan tidak sopan, “bangoennja biasa siang, ramboetnja terlepas serta bernjanji-njanji”. Dipandang bukan soal remeh, lantas Partai Indonesia Raya berkumpul membahas penyakit masyarakat ini. Ada sejumlah usul agar para perempuan itu diberi benteng atau kezerne agar tak mengganggu orang baik-baik di kampungnya. Tapi, ada pula yang berpendapat itu sukar diberantas lantaran tergantung sikap lelaki yang kerab menggunakan jasa mereka. Tepat pernyataan Saratri Wilonoyudho (2003), prostitusi merupakan masalah yang tak berhenti pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran “kultur” masyarakat sekitar, pengaruh gaya hidup, serta persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi ini.
Dari tarikan sejarah ini, amatlah jelas jikalau prostitusi di Solo Baru tidak serta merta berdiri sendiri, tetapi bagian dari pemekaran prostitusi-prostitusi yang ada di Solo, WTS ada karena desakan ekonomi, dan longgarnya kultur masyarakat setempat. Opini ini semakin sulit terbantah manakala mengingat kembali laporan di tahun-tahun lalu bahwa perempuan yang terkena razia di lokalisasi Solo Baru kebanyakan “muka lama”. Lagi pula, dalam konsep ruang, lokalisasi tersebut ternyata berada (baca: terjepit) di antara dua dunia yang berbeda: di kawasan elite yang tinggal perumahan yang notabene penghuninya sangat individualistis dan perkampungan masyarakat asli yang masih tradisional.
Sekali lagi mengutip Foucault, di antara kekuasaan dan seks, representasi hanya terjadi dalam bentuk negatif: penyingkiran, pengabaian, penolakan, dan penghambatan. Kekuasaan tidak “dapat” berbuat apa pun pada seks dan kenikmatan secara bebas kecuali berkata tidak. Berarti sungguh ironis ketika kekuasaan legal atas nama pemerintah daerah Sukoharjo bekerja keras untuk mengembangkan Solo Baru sebagai kota satelit agar berkembang pesat, namun tetap saja tiada bisa mensterilkan Solo Baru dari kegiatan maksiat.

Suara Merdeka, 13 Juni 2009

Puisi yang Menyapa

(Resensi Buku Puisi Kolam Anggitan Sapardi Djoko Damono)

Bandung Mawardi

Hari ini Sapardi Djoko Damono masih menyapa kita dengan puisi. Usia tua tak bisa jadi alasan untuk istirahat dari puisi. Tua adalah usia biologis tapi imajinasi belum tentu bebarengan dengan kerentaan. Imajinasi terus disemaikan dengan ketelatenan mengurusi kata dan makna. Sapardi menyuguhkan setumpuk puisi yang dikemas dalam buku Kolam sebagai bukti penyair menunaikan hajat kehidupan.
Puisi-puisi Sapardi masih memiliki ruh dalam kebersahajaan bahasa untuk peluapan makna. Kebersahajaan jadi dalil tanpa harus menutup pintu-pintu tafsir untuk pencarian dan penemuan makna. Konstruksi puisi Sapardi sejak dulu memang mengesankan olahan kata dalam batas otoritas bocah dan nabi. Kata-kata dituliskan dalam tegangan permainan dan perhitungan matang. Pola ini jadi penyebab puisi-puisi lahir dalam kebersahajaan tapi menyapa dengan mengena untuk refleksi.
Kolam dengan muatan 51 puisi ini terbagi menjadi tiga bagian dengan label “Buku Satu”, “Buku Dua”, dan “Buku 3”. Pembagian ini mengesankan pergulatan estetika dalam eksplorasi bentuk dan tematik. Sapardi dengan lihai menunjukkan olahan soneta dalam “Buku Dua”. Pilihan bentuk soneta ini mengingatkan pembaca pada kegandrungan para Pujangga Baru pada tahun 1930-an. Soneta pada masa itu memiliki sifat emansipatif dari bentuk-bentuk puisi lama. Kesadaran emansipatif itu kerap tak dibarengi dengan eksplorasi dalam olahan kata dan makna. Konvensi-konvensi dalam soneta pun diolah penyair mirip dengan penerimaan atas bentuk-bentuk puisi lama: pantun atau syair.
Sapardi menghadirkan puisi dalam bentuk soneta sejumlah lima belas. Bentuk soneta ini jadi pertaruhan untuk mengeksplorasi bahasa dan tema. Kehadiran 15 sonet itu membuktikan laku estetik yang matang dan istiqomah. Simaklah bait awal dalam “Sonet 4” ini: “Hidup terasa benar-benar tak mau redup/ketika sudah kaudengar pesan:/suatu hari semua bunyi rapat tertutup”/Penyanyi itu tuli. Suaramu terdengar pelahan. Bentuk soneta tak jadi hambatan pada penyair untuk melepaskan keliaran imajinasi dalam tatanan kata bersahaja.
Efek puitis jadi perhitungan matang untuk kehadiran soneta yang liris dan musikal. Bunyi jadi ruh untuk soneta mengucapkan diri. Perkara bunyi ini yang kerap diajukan Sapardi sebagai proposal dalam laku estetik menulis puisi. Bunyi adalah lambaran estetika untuk penyair sanggup menuliskan puisi yang berbunyi alias bernyawa. Simaklah dua bait akhir dalam “Sonet 13” yang sadar bunyi untuk olahan tematik hujan: Butir-butir hujan menderas dari sudur-sudut daun itu/tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas./Pohon itu tak lagi menatapmu. Membasahi kerudungmu,/meluncur ke pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.//Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan/tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan? Soneta ini berbunyi dan mungkin memberi ekstase imajinasi.
Kebersahajaan puisi-puisi Sapardi tidak sekadar mengurusi olahan estetika tanpa kesadaran tematik. Tema tentang diri (manusia) memang menjadi pokok dalam pertaruhan estetika. Kesadaran itu digenapi dengan olahan puisi untuk mengisahkan sosok-sosok dalam peristiwa atau lakon kecil atau besar. Pilihan tematik jadi bab penting dari kepekaan Sapardi atas tegangan fakta dan fiksi.
Sapardi dalam puisi “Kota Kami” dengan kritis mengajukan lakon kota dalam tarikan masa lalu dan proses perubahan yang cepat. Kritik dengan puisi bersahaja ini memiliki efek imajinasi yang kental untuk dihadapkan dengan realitas kota hari ini. Sapardi menulis: Kota kami telah menyaksikan gedung-gedung dan pabrik-/pabrik dibangun sampai tumpah ruah keluar dari pinggir-/pinggirnya.//Dulu, kata dongeng itu, pernah ada sebuah danau agak di/pinggirnya tapi ia tidak ingat lagi kapan suasana yang mungkin/bisa menenteramkan hati itu tak lagi ada. Kritik keras ini berbunyi dalam puisi yang tak jatuh sebagai kumpulan kata untuk demonstrasi.
Sapardi pun mengajukan kritik dalam puisi “Asap Pabrik.” Puisi ini liris mengucapkan kritik untuk kesadaran ekologis, teologis, dan filosofis. Sapardi dengan canggih memerkarakan asap dalam jalinan imajinasi yang bertumpuk. Asap tak sekadar jadi tanda untuk polusi tapi juga tanda untuk kesadaran imperatif terhadap alam, manusia,. dan Tuhan. Simaklah: asap pabrik di kota/membumbung, hanya Tuhan/yang tahu ke mana//hanya Tuhan yang tahu/kenapa ia membumbung/dari cerobong itu//hanya kita tak tahu/hubungan antara asap dan Tuhan -//yang sama sekali tidak pernah/menyembunyikan apa pun/dari kita.
Membaca puisi-puisi Sapardi dalam Kolam seperti membuat babak lanjutan dari buku puisi DukaMu Abadi, Mata Pisau, Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, Mata Jendela, Ayat-Ayat Api, dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? Babak lanjutan ini membuktikan Sapardi belum lelah mengurusi dan membunyikan kata dan makna. Buku Kolam memang jado kolam imajinasi atas pelbagai peristiwa dan lakon untuk refleksi. Puisi ternyata masih ingin menyapa meski usia renta.
Buku puisi Kolam tentu jadi pertaruhan penyair untuk laku kreatif dalam olahan estetika puisi. Sapardi telah menuliskan dan menyuguhkan puisi pada pembaca. Silakan pembaca memberi nilai dan membalas sapaan puisi. Sapardi mafhum bahwa kehadiran puisi bukan kehadiran jawaban atau konklusi tapi perumusan tanya untuk godaan mencari-menemukan jawab pada pembaca. Dalil ini disajikan dalam puisi “Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini.” Simaklah dalam kaitan dengan kehadiran tanya dalam puisi: Ketika kita membuka puisi ini apakah lembaran/lembaran kertas ini bertanya untuk apa? Puisi ini telah menyapa dan menanyakan. Pembaca mau apa?

Dimuat di Suara Merdeka (14 Juni 2009)

Sandiwara itu Propaganda!

(Resensi Buku Sandiwara dan Perang Anggitan Fandy Hutari)

Bandung Mawardi

Fragmen sejarah sandiwara pada masa Jepang terkuak dan memiliki arti dalam buku ini. Studi Fandy Hutari seperti menggenapi kerja H.B. Jassin dalam studi Kesusastraan di Masa Jepang (1969). Masa pendudukan Jepang (1942-1945) kerap diklaim sebagai masa menentukan untuk perubahan nasib kesusastraan dan sandiwara. A. Teeuw, Ajip Rosidi, Jakob Sumardjo, dan H.B. Jassin mengakui bahwa masa pendek itu telah memberi ruh lain dalam pembentukan sastra Indonesia modern. Bagaimana dengan nasib sandiwara?
Peringatan H.B. Jassin (1969: 7): “Menafikan kesusastraan dalam zaman Jepang adalah menafikan suatu wajah kehidupan dalam perjalanan membentuk sejarah.” Peringatan itu pantas menajdi dalil untuk kehadiran buku Sandiwara dan Perang sebagai studi atas nasib sandiwara dalam masa pendudukan Jepang. Penulis buku ini mengakui bahwa sejarah sandiwara pada masa Jepang tak mungkin diabaikan dalam alur sejarah teater Indonesia modern. Sandiwara pada masa itu kental dengan intervensi kekuasaan untuk propaganda. Wajah politis itu kerap terpinggirkan dan terabaikan dalam sejarah sandiwara modern Indonesia. Fandy Hutari dengan teliti melakukan pendataan dan penafsiran dalam konteks zaman 1940-an untuk mengetahui proses pembentukan sandiwara Indonesia modern dalam bayang-bayang kolonial.
Proses penulisan buku ini mendapati stimulus dari buku Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa (1942-1945) garapan Aiko Kurasawa, artikel Sandiwara di Zaman Jepang (1978) tulisan Kamajaya, Film Indonesia Bagian I (1900-1950) garapan Taufik Abdullah, S.M. Ardan, Misbach Yusa Biran, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia garapan Jakob Sumardjo.
Penulis melakukan penelusuran sejarah sandiwara mulai dari 1925-1941 sebelum sampai pada fokus nasib sandiwara pada masa pendudukan Jepang. Tahun 1925 diakui penulis sebagai fase menentukan untuk pembaharuan dalam jagad sandiwara. Pembaharuan itu sebagai pembeda atas zaman stambul atau opera. Contoh pembaharuan tampak pada Perkumpulan Sandiwara Miss Riboet Orion (1925) dengan pimpinan Tio Tek Djien dan Perkumpulan Sandiwara The Malay Opera Dardanella (1926) dengan pimpinan A. Piedro. Dua kelompok sandiwara itu terlibat dalam persaingan sengit untuk meraih perhatian publik dengan garapan pertunjukkan modern.
Persaingan tergambarkan dalam buku Gelombang Hidupku: Dwi Ja dari Dardanella (1982) anggitan Ramadhan K.H. Persaingan tampak dalam perang reklame dengan menghabiskan dana 6.000 gulden pada 30 Oktober 1931. Dardanella memainkan lakon Dr. Samsi dan Miss Riboet Orion memainkan lakon Gagak Solo. Persaingan sengit dan mahal membuat Miss Riboet Orion bubar pada tahun 1934 dan Dardanella mencapai puncak popularitas meski dalam waktu singkat. Dardanella pun tamat riwayat pada tahun 1935 karena tokoh-tokoh kunci melakukan pentas keliling Asia.
Dua kasus dua perkumpulan sandiwara itu jadi representasi kondisi surut dalam sandiwara Indonesia sejak 1938 sampai 1941. Popularitas film pada masa itu juga ikut mempengaruhi sandiwara mati suri karena tokoh-tokoh sandiwara hijrah ke film dan publik gandrung menikmati tontonan film. Ajip Rosidi (1965) mencatat bahwa pada masa surut itu hanya ada terbitan dua naskah sandiwara: Pembalasannya anggitan Sa’adah Alim dan Gadis Modern anggitan Adlin Affandi. Kehadiran dua naskah itu tak sanggup menggairahkan jagad sandiwara pada tahun 1940-1941.
Pendudukkan Jepang pada tahun 1942 menjadi titik balik untuk kehidupan sandiwara dalam wajah lain. Jepang memakai propaganda sebagai dalil untuk legitimasi kekuasaan. Sendenbu (Departemen Propaganda) dibentuk untuk menagani sistem dan operasionalisasi propaganda dengan memanfaatkan fil, surat kabar, pamflet, buku, poster, foto, siaran radio, pidato, seni pertunjukkan tradisional, dan seni sandiwara modern. Fandy Hutari menafsirkan bahwa sandiwara modern dipilih sebagai alat propaganda karena dapat menggelorakan perasaan orang banyak. Penguatan untuk propaganda dalam sandiwara tampak kentara mulai tahun 1944-1945.
Sendenbu dalam praktik propaganda dibantu oleh Keimin Bunka Shidoso (Kantor Pusat Kebudayaan) dengan tugas: (1) mempromosikan kesenian-kesenian tradisional Indonesia; (2) mendidik dan melatih seniman-seniman Indonesia; (3) memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan Jepang. Realisasi dari kerja Sendenbu itu adalah pendirian Sekolah Tonil di Jakarta pada tahun 1942. Sekolah ini memiliki tujuan untuk mendidik penulis naskah profesional, aktor, dan kerabat sandiwara dengan orientasi untuk propaganda.
Beberapa catatan menyebutkan bahwa sejak 1942 sandiwara seperti menemukan ruh kembali untuk mengisi fragmen sejarah Indonesia. Armijn Pane menengarai kebangkitan itu mendapati pengaruh dari program propaganda Jepang. Perkumpulan sandiwara pun tumbuh dengan gairah zaman antara lain: Tjahaja Asia, Bintang Soerabaja, Dewi Mada, Tjahaja Timoer, Bintang Warnasari, Sinar Sari, Persafi, dan Maya. Perkumpulan Sandiwara Penggemar Maya berdiri pada 27 Mei 1944 dengan tokoh Usmar Ismail, El Hakim (Aboe Hanifah), Rosihan Anwar, D. Djajakoesoema, dan Surjo Soemanto. Kelompok ini jadi bukti pembaharuan sandiwara modern di Indonesia meski susah melepaskan diri dari pengaruh kolonial Jepang dengan dalil propaganda.
Propaganda berasal dari bahasa Latin propagare berarti perluasan atau penyebarluasan. Harry Shaw (1972) mengartikan propaganda sebagai informasi, ide-ide, atau gosip yang disebarluaskan untuk mendukung atau menghancurkan seseorang, kelompok, gerakan, keyakinan, lembaga, atau bangsa. James E. Comb dan Nimmo (1994) mengartikan propaganda sebagai ikhtiar mempengaruhi opini dan tingkah laku (Sunu Wasono, Sastra Propaganda, 2007).
Konsep dan teknik propaganda dalam masa Jepang dijelaskan Fandy Hutari dalam tiga media: (1) propaganda dalam pertunjukkan perkumpulan sandiwara; (2) propaganda melalui siaran sandiwara radio; dan (3) pesan propaganda dalam naskah lakon sandiwara.
Dalil propaganda itu kentara dalam pengumuman di koran Asia Raya (20 September 1943) mengenai sayembara mengarang cerita sandiwara oleh Keimin Bunka Shidosho. Tema sayembara adalah anjuran tentang semangat cinta tanah air, keikhalasan berkorban demi kepentingan umum, dan semangat membela tanah air. Pemenang sayembara: F.A. Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah), J. Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), A.M. Soekma Rahayoe (Banteng Bererong), S. Yamamato (Kemenangan Tertanggoeng), R. Srimoertono (Penginapan Noesantara), dan Nakao Masakozu (Seroean Zaman). Sandiwara memang pantas jadi propaganda? Begitukah?

Dimuat di Lampung Post (14 Juni 2009)

Proyek Karanganyar Moncer?

Bandung Mawardi

Karanganyar mulai intensif melakukan pencitraan dan penguatan diri sebagai kabupaten potensial, aktif, produktif, progresif alias moncer. Keberhasilan meraih penghargaan Adipura pada tahun 2009 merupakan contoh kerja keras dari pemkab, pelbagai instansi, dan partisipasi publik. Pemerolehan Adipura selama tiga tahun terakhir menjadi pembuktian bahwa Karanganyar memiliki antusiasme untuk menggerakkan diri dalam proses kemajuan atas nama perubahan. Antusiasme ditampakkan dengan pelbagai ekspresi mulai dari bentuk kasat mata sampai ekspresi pada mentalitas.
Peristiwa kirab Adipura mengesankan ada rasa kemenangan atas ikhtiar menjaga kebersihan daerah. Kemenangan dengan penghargaan tentu mengandung legitimasi secara politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Adipura sebagai penghargaan kebersihan mencakup implikasi sinergi kerja pelbagai unsur dalam mencitrakan dan merealisasikan program-program di kabupaten. Pencitraan cenderung jadi modal besar untuk memberi spirit dan kepercayaan atas nama optimisme. Optimisme itu diterjemahkan sebagai proyek untuk membuat Karanganyar menjadi moncer di hadapan daerah-daerah lain dalam ranah provinsi dan nasional.
Pemerolehan Adipura memicu Pemkab Karanganyar untuk terus memberi kerja keras dan pembuktian untuk kemajuan. Gagasan Bupati Rina Iriani mulai digulirkan untuk melengkapi penghargaan Adipura dengan program pemusatan para pedagang kaki lima. Gagasan ini sengaja jadi paket primer untuk mengapresiasi Adipura secara riil dengan lokomotif dari pemkab. Rina Iriani membayangkan bahwa dengan pemusatan pedagang kaki lima dalam lokasi-lokasi tertentu bisa jadi jaminan kebersihan lingkungan terjaga. Pembayangan ini normatif meski kadang masih mengabaikan efek-efek lain dari model pemusatan.
Rina Iriani dalam wawancara dengan sebuah harian nasional mengungkapkan bahwa ada niat untuk mengelompokkan para pedagang kaki lima dalam klasifikasi seusai materi dagangan. Rina Iriani mencontohkan kalau para pedagang kaki lima penjual makanan digabungkan dengan nama Pujasera (Pusat Jajanan Selera Rakyat). Pembayangan program untuk para pedagang kaki lima ini memang cukup realistis bisa direalisasikan tapi masih mengandung tanya tak optimis. Mungkinkah dengan pemusatan bakal membuat para pedagang menerima kompensasi berimbang dalam bentuk penghasilan? Mungkinkah konsumen mendapati kenikmatan dalam transaksi dan laku makan?
Program pemusatan memang godaan administratif untuk pengelola daerah. Pemusatan kerja ekonomi dengan penentuan klasifikasi seragam tentu memudahkan pengelolaan dan pengontrolan. Dalil ini tentu tak akomodatif dengan keniscayaan perbedaan dan penyebaran. Pemusatan pedagang makanan justru akan membuat titik-titik sebaran di pelbagai wilayah tidak memiliki kemungkinan tumbuh dengan dialektika ekonomi. Sebaran wilayah kerja pedagang makanan niscaya memberi pilihan-pilihan ekonomi, sosial, dan kultural dengan mobilitas pembeli untuk mendatangi dan mengalami ruang-ruang berbeda.
Pemusatan juga menimbulkan kecurigaan ada pemanjaan terhadap konsumen karena hadir dalam satu lokasi lalu bisa memilih jenis makanan apas saja dari daerah mana saja. Pemanjaan bisa melahirkan risiko kehilangan pengalaman-pengalaman alamiah dan semi artifisial dari totalitas kehadiran makanan, pedagang, dan ruang. Makanan adalah juru bicara dari gerak dialektis manusia untuk mengerjakan sesuatu dengan pencapaian kompleks. Makanan khas dari daerah tertentu mesti enak untuk dinikmati dengan kehadiran di daerah itu sebagai legitimasi kultur makan. Pemusatan mungkin bakal memunculkan impresi artifisial dengan penghilangan faktor dan potensi alamiah makanan dan proses makan.
Program dari Rina Iriani mengesankan ada bentuk adopsi dari kasus di Kota Solo mengenai Galabo (Gladag Langen Bogan) dan target dari Pemkot Solo untuk membentuk pusat-pusat jajanan di pelbagai titik di wilayah Solo. Program Pujasera mesti mengacu pada penilaian dan pembuktian kritis terhadap keberadaan pusat-pusat jajanan di daerah lain. Pembelajaran dilakukan untuk mendapati fondasi dalam menyusun argumentasi dan menentukan orientasi dengan kesadaran risiko. Program pendirian pusat jajanan memang tidak susah tapi bisa memunculkan kerepotan ketika tak memiliki prosedur elegan dan antisipasi penyelesaian masalah.
Rina Iriani mengajukan contoh lokasi untuk program Pujasera di Pasar Papahan (Tasikmadu) dan terminal agrobisnis Karangpandan. Pemilihan lokasi dengan jarak agak berjauhan mungkin dijadikan alasan untuk memberi akses bagi penduduk bisa memilih lokasi terdekat. Penentuan lokasi membutuhkan pertimbangan progresivitas roda ekonomi lokal dengan ukuran operasionalisasi modal dan sirkulasi uang antara pelaku-peleku ekonomi. Kesadaran terhadap konsumen secara kuantitaif dan kualitatif juga perlu dijadikan pertimbangan matang untuk memberi jaminan para pedagang sanggup mengembalikan modal dan mendapati keuntungan.
Gagasan dari Rina Iriani membutuhkan apresiasi untuk kemungkinan realisasi atau perubahan (modifikasi). Optimisme memang jadi modal besar untuk pelaksanaan program tapi mesti diimbangi dengan anutan terhadap fakta empiris mengenai kondisi ekonomi, politik, sosial, dan kultural. Perayaan atas perolehan Adipura dan pembuatan program lanjutan pemusatan para pedagang kaki lima mungkin jadi ikhtiar untuk membuat Karanganyar moncer di hadapan publik sendiri dan para pengunjung dari daerah lain. Kemonceran merupakan godaan dari kerja keras pemkab dalam menjalankan amanah dan pembuktian pencapaian target-target untuk legitimasi pemerintahan.
Niat dan laku untuk moncer mesti menghindari sensansi atau kontroversi karena mengandung risiko tak rasional. Proyek Karanganyar moncer tentu membutuhkan refleksi dan evaluasi kritis dengan pengalaman historis dan empiris. Karanganyar pada tahun-tahun kemarin sudah menampakkan gejala ingin moncer secara artifisial dengan pemecahan rekor MURI untuk pelbagai acara dengan label seni dan kultur atas nama tradisi. Labelitas itu terjadi untuk memberi klaim bahwa Karanganyar mungkin menjadi pusat perhatian. Efek dari proyek moncer itu hanya bertahan dalam waktu pendek. Pengalaman dan fakta itu bisa jadi acuan untuk merumuskan Karanganyar moncer dengan program-program aktif, positif, dan progresif. Moncer jangan jadi jebakan untuk kerapuhan mekanisme dan prosedur menggerakan spirit publik dalam kerja ekonomi. Orientasi primer adalah memunculakan kesadaran terhadap dalil dan pamrih dalam kerja kolektif atas nama kepentingan daerah tanpa harus terjadi penundukkan spirit publik oleh desain dari birokrasi. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (19 Juni 2oo9)