Senin, 04 Januari 2010

Karnaval Rampok di Solo Tempo Doeloe

Heri Priyatmoko

Menimbang sederetan daftar kasus kriminalitas tingkat tinggi di Solo, betulkah kota ini sudah menjadi ’’lahan basah’’ para perampok? Atau, apakah ini menunjukkan gejala aparat tak mampu lagi mempersempit gerak para penjahat?

Pikiran penulis melayang ke akhir abad XIX, ke wilayah vostenlanden (daerah kerajaan) hampir saban hari geger karena rumah orang kaya disatroni perampok dan pencuri. Pelaku perampokan berupa kecu dan koyok.

Terminologi Soehartono dalam Bandit-bandit Pedesaan di Jawa (1995), kecu mengacu pada sekelompok orang atau kawanan orang yang merampas paksa harta korban pada malam hari dan sering dikuti dengan penyiksaan dan pembunuhan korban.

Sementara koyok juga seperti kecu, tapi jumlah gerombolannya lebih sedikit. Adapun di luar itu, ada begal yang modus operandinya mengadang korban di tengah jalan. Lengkap sudah jenis kejahatan di area kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran.



Sejarawan Semarang, Wasino meriset sejarah onderneming (perkebunan) di Surakarta yang diterbitkan dalam Kapitalisme Bumi Putra (2008), menulis, pada 1872 tercatat 24 kali peristiwa kriminalitas yang dilakukan oleh kecu dan koyok. 24 kejadian dalam kurun setahun adalah suatu angka yang jelas bikin gemas aparatur kolonial dan penguasa pribumi. Memang, seiring perluasan perkebunan yang berkembang pasca-1830, maka tumbuhnya kecu —meminjam istilah Soehartono— bak cendawan pada musim hujan.

Tesis kembar yang diajukan kedua sejarawan itu terkait musabab kriminalitas di Solo tempo doeloe, yaitu ketimpangan sosial dan balas dendam.

Perluasan perkebunan di daerah yang subur, dan hasilnya subur pula isi kantong pengusaha dan pegawai perkebunan. Namun, kondisi ekonomi warga sekitar perkebunan justru kontras dengan controleur (pengawas), inspektur (pimpinan perusahaan), pakhtuis mester (penjaga gudang), mandor, bekel, dan elemen lainnya yang masuk dalam lingkaran bisnis perkebunan.

Pada 15 November 1873 kecu mengamuk membunuh istri tua bekel di Desa Kretek, Sragen.

Harta yang dikuras adalah f 108,84, sebelas ekor kerbau dan beberapa pikul padi. Sasaran perampokan pun merembet pada tuan tanah dan Cina kaya. Karena, menurut pelaku kejahatan, mereka juga ikut merugikan petani. Akhirnya, Mangkunegara VI tidak bisa tinggal diam melihat kecu ’’berpesta’’. Maka, diperintahkan polisi agar melacak secara sungguh-sungguh supaya pelaku ditangkap dan dikasih hukuman.

Tanpa tedheng aling-aling, Mangkunegara VI menyemprot habis polisi karena dinilai kurang serius dalam menjaga keamanan. Pengusaha perkebunan juga mengedarkan kecu serkuler guna mencegah para bandit dengan mengerahkan polisi sebanyak mungkin.

Kecu amat cerdik. Mereka tidak menetap di perbatasan dua distrik untuk menghindari pengejaran. Polisi dibikin keteteran, dan mengakui organisasi kecu rapi.

Dengan situasi kian genting ini, Residen Zouteliet turun tangan ikut bertanggung jawab atas keamanan vostenlanden. Segera ia mengintruksikan agar jalan-jalan desa ditutup pada malam hari dan digelar ronda malam (patrolan dusun).

Cara itu tidak seratus persen mujarab, hanya sekadar mengurangi serangan kecu atau mengalihkan sasaran ke tempat lain. Di sini bisa disimpulkan bahwa pemerintah tak sanggup menghapuskan perbanditan lantaran tak mengetahui sebab-sebab sosial politik yang lebih dalam dari masyarakat pedesaan.

Dari patologi sosial itu bisa dilihat betapa lemahnya sistem keamanan yang ada dalam masyarakat. Timbul pertanyaan, bagaimana langkah selanjutnya untuk mengatasi problem krusial itu?

Saking terbatasnya jumlah polisi di Solo tempo doeloe, lalu penduduk diwajibkan menanam bambu ori. Jalan-jalan desa harus dipagari dengan tanaman hidup. Jalan masuk diberi pintu dan dikunci pada malam hari. Penjagaan mulai selepas bedug magrib hingga pukul enam pagi. Penjaga dipersenjatai tombak, pedang, dan tampar, seimbang dengan senjata perampok yang kala itu belum menggunakan senjata api. Pikiran penulis pelan-pelan merayap kembali ke masa sekarang. Sejarawan Inggris, EJ Hobsbawn mengatakan, aksi mereka lakukan karena untuk bertahan hidup. Mereka dinamakan social bandits (bandit sosial).

Apakah dari sekian kejahatan perampokan yang marak terjadi di Solo akhir-akhir ini merupakan berlatar belakang untuk bertahan hidup? Nampaknya bukan itu. Ada asumsi, perampok ’’berkarnaval’’ di Kota Bengawan lantaran ñteringat ucapan Mangkunegara VI dua abad silam- polisi kurang bersungguh-sungguh.

Bahkan, pelaku sudah berani berkeliaran dan beraksi di ruang publik. Bukan saja harta yang diincar, namun nyawa pun begitu mudahnya ’’diambil’’ oleh perampok bila si korban melawan.

Tidak dulu tidak sekarang, Solo masih terus dihantui para perampok. Oleh sebab itu, kinerja kepolisian mestinya ditingkatkan guna menegakkan wibawa dan menunjukkan kekuatannya sebagai penegak hukum yang handal.

Kalau polisi lembek dalam mengamankan kota dari tindakan kriminalitas, maka sungguh mungkin orang-orang tidak akan membiarkan terutama istri, anak gadis, familinya untuk pergi ke Solo sendirian. Hal ini selain membuat masyarakat setempat dan pendatang tidak nyaman dan tidak betah tinggal, juga kegiatan ekonomi kota terganggu.

Suara Merdeka, 04 November 2009

Tanggul Semanggi

Heri Priyatmoko

Terangnya sinar bulan purnama menerangi wajah Yatmo yang sedang duduk termenung di wedangan Mbak Arum. Saat itu pikiran Yatmo melayang tertuju pada apa yang diteriakkan oleh seorang bocah penjaja koran di perempatan Panggung kemarin (07/11). Dengan memegang koran Suara Merdeka, bocah belasan tahun itu berteriak “Berita hangat, ribuan warga di lima RW Kelurahan Semanggi turun gunung demo ke Pemkot dan DPRD. Mereka dirundung kecemasan lantaran tanggul yang melindungi kawasan pemukiman mereka mengalami longsor sepanjang lima puluh meter”.

Mbak Arum yang sibuk ngepeti arang dalam anglo, mengetahui pelanggan setianya ini gundah gulana.

“Ini malam minggu lho, Mas. Malam happy bagi kaum muda, kok kamu malah bersedih. Ada apa gerangan?” sapa Mbak Arum seraya membetulkan posisi arang dengan gagang kipasnya.

”Saya khawatir dengan tanggul Semanggi di perbatasan Solo-Sukoharjo yang kian kritis kondisinya itu kalau tidak segera tertangani, maka malapetaka Situ Gintung jilid dua bisa terjadi. Sebab, jarak sungai dengan kampung ibarat gigi dengan gusi, dekat sekali,” jawab Yatmo diikuti tangannya mengupas pisang yang memang lagi tidak nafsu makan, turut prihatin dengan kondisi tanggul di tempat kelahirannya itu.

”Penyebabnya apa kok sampai menakutkan begitu dampaknya?” Mbak Arum sodorkan kembali pertanyaan.

”Tanggul setinggi sepuluh meter terus terkikis oleh bocoran air IPAL. Ditambah kekuatan tanggul yang tak lagi kokoh dan deras arus sungai yang disebabnya oleh kian berkurangnya penahan alamiah seperti pepohonan. Ditemukan pula keretakan dan longsor sepanjang seratus meter lebih. Padahal, kita tahu di balik tanggul itu ribuan nyawa berlindung. Andai tanggul itu jebol, bukan saja masyarakat Semanggi yang diterjang banjir, tapi Kota Bengawan ikutan terendam,” Yatmo panjang lebar dan melempar kulit pisang ke bawah gerobak.

Rido yang sejak tadi duduk di samping Yatmo, nguping. Ia tiba-tiba angkat bicara, ”Betul, Mas. Apalagi ini sudah masuk musim penghujan. Kita tentunya tiada mengharapkan warga kocar-kacir tersapu limpasan air dari sungai Bengawan Solo seperti tahun-tahun kemarin. Ini bukan mendramatisir lho ya.”

Memang, kerugian material yang ditanggung penduduk akibat amukan Bengawan Solo yang kemarin saja belum pulih. Belum terhitung kerugian yang disebabkan oleh menurunnya aktivitas sosial dan ekonomi kota selama banjir serta dampak psikologi korban banjir. Maka, sudah barang tentu insiden banjir 2007 dan 2008 semestinya menjadi bahan pelajaran untuk selalu diingat.

”Tapi, kita pun harus memaklumi Pemkot yang tidak bakalan mampu kalau diserahi untuk memikul beban ini sendirian. Pasalnya, hal tersebut bagian dari tanggungjawab Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo dan Departemen Pekerjaan Umum pula,” komentar Rido meluncur begitu saja sembari menyelonjorkan kakinya di atas dingklik panjang.

Masyarakat Semanggi yang rumahnya di dekat tanggul mayoritas rakyat kecil yang tetap menantikan uluran bantuan dari pemerintah yang tengah gencar dan bersemangat membangun infrastruktur pendukung ekonomi kota, yang seolah-olah melupakan nasib permukiman di bibir sungai. Sementara wong cilik itu jelas kethar-kethir jika sewaktu-waktu tanggul yang menjadi benteng kedua setelah waduk, dadal tak kuat menahan air sungai.

”Makanya, perlu komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan pusat untuk mengerjakan tanggul itu bersama-sama. Ingat, Kota Bengawan sudah disulap cantik dan taman dipoles tiada berarti manakala di musim hujan nanti air bah kembali menenggelamkan kota seperti tahun 1966 dan 2008. Solo bagian timur bak lautan selama dua hari,” pekik Mbak Arum dalam hati, mengenang sejarah kelam itu.

Yatmo dan Rido saling berpandangan, mengerti apa yang dipikirkan Mbak Arum.

Suara Merdeka 16 Nov 2009

Tanggapan untuk Tundjung W Sutirto Melongok ketokohan Mr Sartono

Heri Priyatmoko

Memperingati Hari Pahlawan, dosen Jurusan Ilmu Sejarah UNS, Tundjung W Sutirto menulis PB VI, PB X & OBI yang terlupakan (SOLOPOS, 10/11).

Terlontar kritik bahwa Solo tak mempunyai nama jalan Paku Buwana VI, Paku Buwana X atau OBI Dharmohusodo. Kekecewaan ini beralasan menimbang dari peran ketiga tokoh yang ia sebut memiliki kearifan lokal itu, semasa hidupnya termasuk tokoh yang tidak bisa diabaikan dalam panggung sejarah lokal (Jawa).

Di berbagai tempat, sejarah mencatat, perubahan nama jalan merupakan ritual yang tak bisa ditinggalkan setiap rezim. Izinkan penulis mengutip puisi Sapardi Djoko Damono: Jalan tidak pernah berdusta/apakah ia harus membujur ke selatan atau utara/apakah ia harus berkelok atau lurus saja/apakah ia siap menerimamu/berjalan menyusurinya.

Menarik apa yang disampaikan Sapardi dalam penggalan bait puisinya di atas: jalan tidak pernah berdusta. Siapa yang dusta? Yang berdusta adalah pemakainya. Contohnya, Jl Slamet Riyadi yang tempo doeloe bernama Purwosari Weg begitu melekat dalam ingatan kolektif wong Solo. Namun setelah diubah namanya, orang-orang sepuh “mendustai” memorinya lantaran ikut-ikutan menyebut jalan yang berjarak kurang lebih 6 km ini dengan nama Slamet Riyadi, pejuang kebanggaan Solo.

Nah, dari sini baru bisa kita pahami ide Tundjung yang menyarankan mengapa ketiga tokoh lokal itu perlu diabadikan sebagai nama jalan. Paling tidak, warga terbantu mengingat nama-nama tokoh plus perannya sebab orang tak mampu melepaskan diri dari sebuah jalan. Mereka menyusuri jalan untuk mencari sesuatu yang bersifat kultural maupun konsumtif. Bahkan, kini jalan sudah berubah menjadi ruang publik.

Tapi, jalan dijadikan sebagai alat pengingat akan nama tokoh, tak selamanya mujarab. Hal itu terbukti dari ketokohan Mr Sartono yang diabadikan menjadi nama jalan di Mojosongo.

Banyak masyarakat Solo yang geleng kepala tiada sanggup menjawab saat ditanya siapa sejatinya Mr Sartono dan apakah dia mempunyai keterkaitan dengan Kota Solo. Spontan di kemudian hari terbit kritikan dari pengamat sejarah bahwa pemberian nama Jl Mr Sartono itu mungkin awalnya tidak dibarengi dengan publikasi mengenai sepak terjang sang tokoh.

Indonesia merdeka

Daun kalender menunjuk 5 Agustus 1900. Bayi mungil yang kelak bernama Sartono lahir di dusun kecil di Baturetno, Wonogiri. Daerah itu masuk wilayah Keduwang, salah satu kawedanan Praja Mangkunegaran. Akhir abad XIX, Baturetno dalam Monografi Wonogiri (1960), diriwayatkan watak penduduknya tidak kooperatif yang dilambangkan dalam kalimat “lemah bang gineblekan, belo binatilan”. Artinya, apa yang dikatakan tak ada buktinya. Sukar diperintah, gemar hiburan. Boros dan malas bekerja.

Oleh orangtuanya Sartono dikirim ke Kampung Lor (sebutan wilayah Mangkunegaran) untuk bersekolah di HIS dan MULO di Margoyudan hingga 1916.

Lalu dia melanjutkan studinya ke Recht School di Batavia. Ilmu bagi Sartono ibarat samudra tak bertepi. Ia tak ingin bekerja dulu sebelum menuntaskan pendidikan yang lebih tinggi. Selepas tamat, dia hijrah ke Belanda guna menyabet gelar Meester in de Rechten (Mr). Gelar itu digondolnya tahun 1926. Di Negeri Kincir Angin, pemikiran Sartono kian terbuka luas dan semakin mengerti apa makna dari liberty (kebebasan) yang diidam-idamkan para sahabatnya. Pemikiran dan tujuan perjuangan politik yang menuntut Indonesia merdeka menjadi arus utama yang diperbincangkan dalam saban diskusi di Indonesische Vereeniging.

Kemudian, tersusunlah Manifesto Politik 1925 yang oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo disebut sebagai tonggak sejarah nasional. Pasalnya, Manifesto Politik 1925 meramu dasar-dasar pembangunan bangsa, konsep-konsep bangsa Indonesia, negara nasion Indonesia, dan menetapkan identitas nasional.

Sepulang dari belajarnya, Sartono bersama Sunario dkk mendirikan Jong Indonesia. Bersama Soekarno pula, PNI didirikan di Bandung. Ketika Bung Karno ditangkap Belanda dan diadili dengan tuduhan hendak memberontak, Sartono bertindak sebagai pembela. Dalam buku Di bawah Bendera Revolusi, tertulis di kala masuk bui di Sukamiskin, Soekarno sempat menulis surat kepada Sartono yang berisi keharuan atas perhatian teman-teman yang begitu besar terhadap dirinya yang hendak menjemput beramai-ramai di muka penjara, 31 Desember 1931.

Daradjadi, salah seorang kerabat Mangkunegaran yang ambisius mempersiapkan biografi Sartono, dalam Majalah Sinergi edisi November 2009, menulis yang paling menonjol adalah keaktifan Sartono di BPKNIP untuk membantu jalannya pemerintahan Republik Indonesia yang masih seumur orok merah. Dan, pascaperjuangan revolusi fisik, Sartono tampil menjadi Ketua Parlemen RIS dan Ketua DPR Sementara. Ia ketua DPR yang pertama.

Sebenarnya sikap yang patut diteladani dari dia yaitu saat elite dan artis ramai-ramaii memperebutkan kursi legislatif, Sartono justru menolak manakala dipaksa Soekarno untuk masuk DPRGR. Alasannya, berat untuk menjadi pemimpin jika itu bukan hasil murni pilihan rakyat. “Melakukan suatu hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, sangat bertentangan dengan hati nurani saya,” tegasnya. Oleh sebab itu, pantas dia disebut demokrat sejati. Pada 1968, Sartono mengembuskan napas terakhir dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Mangkunegaran di Solo.

Berawal dari Baturetno, Solo, Batavia hingga Belanda, Mr Sartono telah mengukir sejarah. Beliau tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketekunan dan kegigihan ialah salah satu indikator perjuangan, sebuah indikator keprihatinan dalam berjuang untuk sebuah harga diri, harga diri bangsa. -

Solopos 16 November 2009

Mendadak Priyayi

Heri Priyatmoko

Manohara Adelia Pinot beberapa waktu lalu memperoleh gelar Kanjeng Mas Ayu Laksminto Rukmi dari Keraton Kasunanan Surakarta dalam rangka Jumenengan Paku Buwono (PB) XIII Hangabei. Gelar itu membuat Manohara kini menjadi kerabat dekat keraton. Artis sohor lainnya yang diberi gelar yaitu Dorce Gamalama dengan gelar Kanjeng Mas Ayu Tumenggung (KMAT). Bagaimana sejarah priyayi dan apakah dengan gelar mentereng ini kedua artis itu telah menjadi priyayi atau bangsawan sepenuhnya?

Banyak kajian yang mengulas mengenai kepriyayian di masa lalu. Antara lain, Robert van Niel (1960), Leslie H. Palmer (1960), Clifford Geertz (1964), Soemarsaid Moertono (1968), Savitri Scherer (1975), Koentjaraningrat (1984) dan Sartono Kartodirdjo bersama dua rekannya, A Sadewo dan Suhardjo Hatmosuprobo (1993).

Clifford Geertz melalui karyanya The Religion of Java (1964) yang kontroversial dan menjadi perbincangan seru tiga dekade silam itu, berusaha menyediakan pengukur sejati siapa sebenarnya priyayi itu. Antropolog yang membesarkan nama Pare, kawedanan termasyhur di seantero Jawa Timur ini, membuat definisi priyayi yaitu elit pegawai negeri yang ujung akar-akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik, sastra, serta mistisisme Hindu.

Sejarawan Sartono berkolaburasi dengan dua temannya itu menghidangkan sisik melik dunia priyayi dalam Perkembangan Peradaban Priyayi (1993). Sartono memang tidak menyebut buku ini untuk mengakhiri polemik tesis Geertz dengan ilmuwan lainnya, tetapi mengulas secara utuh asal-usul priyayi lengkap dengan kehidupan sosialnya.

Priyayi pada umumnya dan priyayi luhur pada khususnya memang mempunyai nilai-nilai kultural tersendiri yang berbeda dengan rakyat kebanyakan. Namun sebagai kelompok sosial, terutama –meminjam istilah Palmier– ”priyayi kecil”, bukanlah merupakan kelompok yang tertutup rapat. Priyayi kecil tidak tentu dan tidak harus keturunan bupati. Mereka yang berasal dari rakyat kebanyakan pun dapat menjadi priyayi karena jasa dan kesetiaannya pada penguasa, selain itu pula harus melalui jalan yang berkelok-kelok ketimbang jalan bagi anak keturunan priyayi.

Suwita

Sebagaimana yang ditelaah oleh sejarawan perempuan pertama Indonesia, Darsiti Soeratman dalam Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 bahwa seseorang yang ingin menjadi priyayi harus melewati jalur suwita dan magang. Suwita dimulai ketika anak masih berusia sekitar dua belas tahun dan dilaksanakan di rumah kerabat yang telah menjadi priyayi tingkat tinggi. Suwita berarti bersedia melakukan pekerjaan kasar sampai pada yang menggunakan pikiran, harus membiasakan diri dengan keadaan setempat, dan belajar sopan santun yang berlaku dalam keluarga tempat ia mengabdi. Selain itu, ia wajib belajar mengenal kebudayaan priyayi. Misalnya, mengetahui tentang pusaka, kuda, pengetahuan kesusastraan, tari, dan gamelan. Jika orang sudah dianggap lolos suwita, ia baru boleh melenggang ke tahap berikutnya, yakni magang di suatu pemerintahan lokal atau keraton disertai dengan surat rekomendasi dari tuannya dimana dia suwita.

Tempo doeloe, siapa pula yang tidak suka diangkat menjadi priyayi, sebab melalui jabatan ini terbukalah kesempatan untuk melakukan mobilitas vertikal dan kian tinggi statusnya. Sampai-sampai lega rasa hati seseorang diterima menjadi priyayi bisa diikuti bait dalam Serat Wulangreh. Salah satu baitnya berbunyi ”dihormati serta anak istrinya, juga mendapat tanah jabatan, berapa pun luasnya”. Priyayi akhirnya menjadi simbol status. Selanjutnya akan kita menjumpai nilai khas yang berkaitan dengan status, yang dalam bahasa Jawa disebut praja, atau lebih populernya dengan istilah ”gengsi”.

Yang menarik bahwa di dalam kehidupan priyayi, estetika dan etika bersatu, sehingga menimbulkan apa yang menjadi ciri khas peradaban priyayi, yaitu kehalusan berarti adab, sedangkan kekasaran berarti biadab. Tata cara berperilaku atau norma-norma kelakuan ada kalanya dirumuskan dalam tulisan-tulisan, seperti Serat Sana-Sunu, Serat Wedatama dan Serat Sewaka. Dalam berbagai tulisan Jawa tersebut mendokumentasikan berbagai standar atau model perilaku yang ideal, terutama dalam lingkungan sosialnya. Di sinilah kemudian kita menghadapi momentum besar dalam –meminjam ungkapan Sartono– regenerasi golongan priyayi. Berhasil tidaknya proses regenerasi nilai-nilai kepriyayian yang luhur, beradab, estetika dan etika padu, tergantung kepada saban individu masing-masing yang menerima pangkat atau gelar kebangsawanan.

Golongan Atas

Pemberian gelar Manohara maupun artis-artis lainnya merupakan sinengkakaken ingaluhur yang mengandung arti: orang mendapat anugerah raja dan telah menggabungkan diri dengan para luhur (golongan atas), yakni elite tertinggi dari kaum bangsawan. Akan tetapi, perolehan gelar sebagai priyayi yang mulanya musti lewat laku suwita dan magang, sekarang hanya dalam tempo singkat gelar prestisius itu bisa diperoleh. Maka, apabila mengacu pada akar historis pencapaian derajat priyayi di atas, dewasa ini yang ditemukan adalah priyayi karbitan atau mendadak menjadi priyayi.

Di balik kebanggaan yang didapat, gelar yang sudah disematkan raja kepada artis sebenarnya beban tersendiri bagi artis maupun keraton. Pasalnya, artis itu tiada mempunyai sumbangsih atau jasa secara khusus bagi keraton dan kebudayaan Jawa pada umumnya. Di sisi lain, tepatlah apa yang dikatakan budayawan Solo Murtidjono bahwa keraton ingin menumpang popularitas model yang mendadak jadi pesohor itu dan cenderung komersial.

Sekali lagi, bertindak santun, beradab, jauh dari keributan dan paham kebudayaan ialah bagian dari jati diri seorang priyayi. Oleh sebab itu, artis yang menerima gelar agung tersebut apabila suatu hari ternyata jauh dari perilaku ideal di atas, tentunya sudah siap dicemooh dan menjadi bahan tertawaan masyarakat. Wait and see.

Suara Merdeka 29 November 2009

Merancang Dedongengan Kutha Solo II

Heri Priyatmoko

Santer diberitakan bahwa walikota Solo Jokowi –sapaan hangat Joko Widodo– kini lebih memilih sikap bungkam soal pencalonan dalam pemilihan kepala daerah 2010. Beberapa pengamat politik lokal memprediksi beliau tidak maju pilkada. Arah politik sulit untuk ditebak, dan kita hanya bisa menduga-duga saja. Akan tetapi, jika benar, partai berlogo banteng moncong putih itu bakal sukar mencari kader dengan kualitas yang setara. Sebab, selama ini masyarakat telah memelototi kinerja plus figur Jokowi. Hasilnya, jempol diacungkan kepadanya. Ia sangat familiar, warga pun terlanjur kepincut. Terus terang memang sedap membicarakan Jokowi, ketika orang Solo sekarang berhasil menggapai mimpi historisnya, yaitu memperoleh tempat untuk bersuara.

Dalam tulisan ini, penulis sengaja tidak akan mendiskusikan siapa nama bakal calon yang pantas ”bertempur” di atas panggung pilkada atau konstelasi politik pilkada tahun depan. Penulis ingin mengajak masyarakat Solo memasuki lorong waktu empat setengah tahun yang silam, dimana calon kepala daerah memasuki musim kampanye.

Pada pertengahan Mei 2005, dua pasangan calon walikota sibuk menyiapkan tempat untuk acara Dedongengan Kutha Solo. Paket acara tersebut dikerjakan oleh Komunitas Pemerhati Budaya Surakarta. Tampil sebagai pendongengnya sejarawan Soedarmono dan dimoderatori wartawan kawakan Kastoyo Ramelan. Dedongengan yang disambut pasangan Jokowi dan FX Hadi Rudyatmo berlangsung di halaman gedung Graha Saba Buwana. Peserta duduk lesehan dengan disuguhi beragam makanan dari beberapa gerobak wedangan. Acara terkesan santai dan semarak. Sementara pasangan H Achmad Purnomo-Istar Yuliadi menyediakan tempat di nDalem Wuryaningratan.

Maksud dari acara itu adalah memberikan modal berupa gambaran historis kepada calon walikota mengenai Kota Solo tempo doeloe. Fakta sejarah dibentang dan kemudian dikemas melalui dongeng agar orang yang mendengarkan terasa terhibur dan mudah ngendon (bercokol) dalam pita ingatan. Melalui narasi-narasi lisan itu, mereka diajak memasuki jagat petualangan yang indah serta pahit yang tergores dalam lembaran sejarah Kota Bengawan. Harapan panitia kala itu, siapapun walikotanya kelak harus melek sejarah kota biar tidak gampang mencabik-cabik bangunan bersejarah, menggusur tata ruang kota dan ruang publik untuk kepentingan investor seperti masa sebelumnya.

Dongeng memang resep paling mujarab buat warga dan pemimpinnya yang sedang mengalami amnesia sejarah terhadap kotanya sendiri. Pernyataan itu sulit dibantah. Karena, dari hasil telaah James Danandjaja dalam Folklor Indonesia (1984), dikatakan, dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu suka didongengi dan suka ngobrol, ngrumpi, bahkan gosip. Sebab itulah, budaya lisan sampai kini tetap kuat mengakar di masyarakat meskipun kita sudah memasuki budaya tulis dan visual.

Berkatalah Kiekergard ”hidup dilalui ke depan, tapi dipahami ke belakang”. Diktum ini berlaku untuk Solo. Serangkaian peristiwa dramatik yang terjadi di Solo, persoalan perkotaan yang teramat kompleks dan dinamika politiknya yang saban-saban menampakkan suhu panas, yang semua itu terangkum dalam Dedongengan Kutho Solo berhasil merasuk ke kepala dan hati sanubari Jokowi. Diawal berkuasa, walikota yang masuk terpilih menjadi salah satu tokoh dari sepuluh kepala daerah terbaik versi Tempo ini, mulai mengedepankan sejarah. Dia mengusung visi yang konkret Solo’s Past is Solo’s Future (Solo Masa Lalu adalah Solo Masa Depan). Kota dipercantik, taman kota tinggalan Paku Buwono X dan Mangkunegara VII yang mangrak dipoles, dan dilakukan banyak terobosan serta menggelar berbagai acara seni-budaya-sejarah untuk membawa nama Solo moncer ke tingkat internasional. Di sinilah terpampang bukti nilai pemerintahan yang historis.

Masyarakat selalu mendambakan adanya sosok pemimpin yang ideal sebagai ujung tombak di masa gawat atau kota sedang dalam dekapan kapitalisme dan modernisasi yang rawan menggilas wong cilik dan bermacam nilai tradisi yang ada. Wajar suara warga kerab terdengar melengking di saban acara Rembuk Kota. Di diskusi formal, ramai nian para pengamat sejarah lokal tak jemu-jemunya berteriak ihwal pentingnya asupan sejarah bagi siapapun yang bermimpi menjadi AD 1. Pasalnya, –meminjam istilah Drajat Tri Kartono– Solo merupakan sebuah proyek yang tak pernah rampung.

Memang, Solo kota yang sejarahnya terus berevolusi. Berawal dari sebuah desa, lalu menjadi kota kerajaan, kemudian disambung kota kolonial (termasuk kota pergerakan), kota budaya, dan berubah kota modern yang tak tahu kemana larinya nanti. Maka, bisa dipermaklumkan di sini kalau beberapa walikota yang menjabat gagap dan kikuk menahkodai kota yang memiliki sebutan bersumbu pendek ini sebab tidak paham karakter dan local genius kota, tidak mau mendengarkan kemauan warga alias mempertahankan budaya politik kota agar tetap mati suri, dan abai pada pelindungan heritage. Jadi harus dipahami, kandidat walikota yang kelak terpilih jikalau hanya bermodal kelihaian berpolitik dan punya segepok duit, bukanlah jaminan mutlak dapat membawahi kota ini berjalan mulus.

Nah, dengan berkaca dari betapa faedahnya gelaran perdana Dedongengan Kutha Solo, sudah semestinya kita lekas mulai merancang untuk menyiapkan kegiatan serupa karena beredar kabar bahwa pilkada Solo digelar April mendatang. Bagaimanapun, wong Solo tak mau kotanya jatuh ke tangan orang yang salah alias mengulang dosa sejarah. Perlu ditambahkan pula materi dalam Dedongengan Kutha Solo jilid II yakni model kepemimpinan raja sampai walikota yang pernah bertengger di kursi kekuasaan.

Misalnya, diuraikan ketokohan Mangkunegara I, Mangkunegara IV, Mangkunagara VII, Pakubuwono IV, Pakubuwono X dan walikota pertama hingga era Jokowi. Meskipun mereka menjabat dalam periode atau zaman yang berlainan, tetapi paling tidak ada nilai-nilai dan moralitas yang dikenang dan bisa kita comot. Justru ini bukan ahistoris atau anakronisme sejarah karena memetik kearifan sejarah dan keteladanan mereka untuk keperluan kekinian. Menurut pemikiran yang dikembangkan sejarawan Bennedeto Croce, ini disebut sejarah kotemporer, menghadirkan sejarah untuk kepentingan sekarang. Bahkan segaris dengan sebuah ungkapan bahwa memimpin kota ibarat orang memanah, menarik busur panah ke belakang dan melesatkan ke depan.

Yang tidak kalah penting ialah dalam Dedongengan Kutha Solo jilid II kelak, si pendongeng haruslah piawai merangkai kisah, menghadirkan tokoh dengan sangat ekspresif, dan mampu menghadirkan teater di dalam kepala para pendengar. Dengan begitu, visi dan konten dongeng secara diam-diam telah meng-install sikap dan pandangan kita tentang ketokohan para pembesar Kota Solo itu. Sulit disangkal bahwa program Dedongengan Kutha Solo walaupun hanya digelar lima tahun sekali atau ketika kampanye pilkada dan wabil khusus ditujukan kepada calon walikota, namun berdampak besar bagi kehidupan sosial warga dan nasib Solo ke depan.

Kompas Jateng, 16 Desember 2009

Menuju Pilkada Solo

Heri Priyatmoko

Beberapa waktu lalu, kabar sedap kembali menyeruak dari dalam gedung balaikota Surakarta. Kota Bengawan yang baru saja menyabet tiga penghargaan di bidang pengelolaan, keuangan, pariwisata dan kesehatan, kini penghargaan kembali menyapa dari Majalah Venue. Walikota Solo, Jokowi –panggilan asyik Joko Widodo– dinobatkan sebagai walikota terbaik tahun 2009 dalam pengembangan meeting, incentives, confrence, and exhibitions (MICE) di daerahnya. Penilaian Indonesia MICE Award tersebut didasarkan pada pengamatan atas sederetan acara di Kota Solo sepanjang 2009.

Dari hasil pencapaian prestasi ini, maka kian melambungkan kepercayaan Jokowi untuk ”bertempur” ke panggung pilkada tahun depan. Memang, karier dia lumayan gemilang karena memahami apa yang telah disuarakan oleh pakar sejarah bahwa karakteristik masyarakat Solo cenderung ngalah, ngalih dan ngamuk dalam saban menghadapi masalah perkotaan yang merugikan mereka dan itu tidak diselesaikan secara tuntas. Di balik ketenaran nama Jokowi yang diawali dengan suksesnya merelokasi PKL Banjarsari tanpa gesekan, bagaimanapun beribahasa tiada gading yang tak retak masih berlaku untuknya. Lelaki tinggi yang bekas siswa SMU 6 Surakarta ini harus ”lempar handuk” ketika menghadapi persoalan tumpukan sampah di TPA Mojosongo dan banjir Solo bagian timur. Ia tiada sanggup membebaskan kotanya dari dua problem lawas tersebut.



Oleh karena itu, ada baiknya, barang siapa yang hendak mencalonkan diri sebagai balon semestinya sejak awal menyiapkan strategi untuk mengatasi masalah klasik itu selain tujuh fasilitas dasar rakyat yakni permukiman, air bersih, transportasi, prasarana, kesehatan, pendidikan. Kemudian, aspek demokrasi lokal yang telah subur dengan indikator tingkat daya kritis masyarakat yang meningkat serta aspirasi masyarakat yang kian mendapat tempat, juga semestinya diperhatikan oleh balon. Sebab, dari situ pula masyarakat bisa melakukan pengontrolan kinerja balon apabila kelak lolos naik kursi AD1.

Kini, masyarakat sudah semakin cerdas dan mereka tidak akan begitu mudahnya menyerahkan kotanya kepada orang yang tidak mau mendengarkan kritik warga. Kita berharap, siapa pun yang terpilih kelak harus menjadi walikota bagi segenap lapisan masyarakat Kota Solo yang multi etnis alias tidak berpihak. Pasalnya, lembaran sejarah lokal telah mendokumentasikan dengan rapi beberapa kali insiden konflik etnis, yang salah satunya akibat dari ulah pemimpin yang semau gue, tak mengerti manajemen perkotaan dan tidak berusaha memahami isi hati rakyatnya serta fokus kepada salah satu kelompok tertentu. Apakah anda minat menjadi balon walikota?

RADAR SOLO 21/12/09

Refleksi Akhir Tahun Kota Solo

Heri Priyatmoko

Malam itu, bulan mengirimkan sinarnya tidak terlalu terang. Hawanya cukup gerah. Rido yang tidur di ubin tak bertikar, tetap basah oleh keringat. Lelaki itu bangun, membuka pintu pagar dan berjalan ke arah warung Mbak Arum yang jaraknya hanya sepelemparan batu.

“Tumben jam segini baru nonggol?” sapa pemilik warung hangat. Dari kejauhan suara kenthongan bertalu-talu. Pertanda malam memang larut.


“Di rumah panasnya minta ampun,” jawab Rido meraih buku catatan bon untuk kepet-kepet.

“Ini es jeruk kesukaanmu,” tanpa diminta, Mbak Arum menyodorkan gelas itu di atas meja.

“Terimakasih, mbak. Lha Mas Yatmo ke mana, kok nggak kelihatan batang hidungnya?” tanya Rido clingak-clinguk, kemudian tangannya meraih rokok dalam lodong, mengambil sebatang, menyalakan dan mengisapnya dalam-dalam.

“Tadi setelah habis bantu buka warung, dia pamit katanya mau diskusi membahas refleksi akhir tahun Kota Solo,” ujar perempuan berparas manis itu.

Sebentar lagi tahun 2009 segera meninggalkan kita. Ada kegiatan menarik yang muncul menjelang tutup tahun, yaitu membuat pelaporan kerja selama setahun. Kemudian disambung berefleksi apa yang telah dicapai, dan apa yang kiranya dapat digapai pada masa (tahun) depan.

“Memangnya apa yang dibahas untuk refleksi Kota Bengawan ini?” tanya Mbak Arum seraya menumpuk piring yang habis dilap.

“Lebih baiknya yang dibicarakan berupa sesuatu yang sekiranya dianggap kurang memuaskan rakyat. Kalau pencapaian yang bagus biasanya dibahas dalam ulang tahun kota sebagai kado,” Rido menanggapi santai.

“Sebagai orang kecil, saya turut prihatin dengan ontran-ontran Taman Sriwedari yang hingga kini belum ada titik terang dari kedua belah pihak yang bersengketa. Ditambah pula kasus Benteng Vastenburg yang kelihatan adem-adem wae, padahal warga tahu itu juga belum ada penyelesaian. Kedua masalah sengketa hak kepemilikan ini justru menimpa pada bangunan dan kompleks taman yang sarat nilai sejarah lokal yang tinggi,” Mbak Arum menghela nafas.

Suara lolongan knalpot motor kian mendekat, ternyata Mas Yatmo sudah datang.

“Sampeyan tadi dengan teman-teman membahas apa saja?” Mas Yatmo yang belum sempat menaruh pantatnya di kursi sudah ditembak pertanyaan oleh Rido.

Setelah duduk dan menyambar cangkir plastik berisi wedang teh, Mas Yatmo nyerocos, “Ada banyak. Soal aksi kejahatan di kota ini yang grafiknya meningkat dan perampokan di ruang publik kian bikin miris.

Ada usulan, Solo perlu meniru Surabaya yang mempunyai radio seputar kejadian kota. Warga yang melihat insiden, langsung mengirim SMS atau menelepon ke operator. Dari situ, pihak kepolisian dan masyarakat bisa memantau. Di Surabaya, tidak sedikit perampok yang gagal kabur dan ketangkap karena sudah diketahui identitasnya berkat informasi radio”.

“Walah, masyarakat Solo kecolongan, Do,” tambah Mas Yatmo pendek, bermimik serius.

“Maksudnya?” Rido mengerutkan dahi, semakin penasaran diikuti tangannya mengupas bungkus arem-arem.

“Warga yang awalnya mengetahui pembangunan di utara Terminal Tirtonadi untuk pelebaran terminal karuan saja kaget, karena di situ ternyata didirikan bangunan bisnis. Jelas ini akan menambah keruwetan lalu-lintas, rawan aksi kejahatan dan pasar tradisional di sekitar tergencet.

“Yotalah temen, memori kolektif masyarakat tentang keindahan Taman Tirtonadi yang dituangkan Gesang dalam lagu ‘Taman Tirtonadi’, bakal ikutan terhapus pula,” suara Mbak Arum terdengar berat, kecewa lantaran masih menyimpan foto tempo doeloe taman karya Mangkunegoro VII yang mempesona itu.

Mbak Arum pun kelingan satu petikan bait lagu itu, ”Tirtonadi yang permai, di tepi sungai”.

Kota Solo, di dalam tutup buku tahun 2009 banyak PR yang segera diselesaikan dan ada agenda pembangunan yang tak memihak warga kota.

SUARA MERDEKA, 21/12/09

Proyek Bus Tingkat Di Solo

Heri Priyatmoko

Dalam menjalani sebuah kehidupan, salah besar manakala kita meremehkan sejarah. Terbukti Bung Karno menyerukan “Jasmerah” dan Kierkegaard berteriak “hidup memang dijalani ke depan, tapi dipahami ke belakang”. Bahkan, Walikota Jokowi –sapaan asyik Joko Widodo– dalam membangun kotanya pun juga mendengungkan visi konkrit, ”Solo’s Past is Solo’s Future”.

Kota Solo dalam genggaman Jokowi memang bagai putri bangun dari tidurnya. Beragam acara berskala nasional dan internasional diadakan demi mencuri hati para turis agar bersedia berkunjung dan menepis stigma kota konflik dan bersumbu pendek. Jokowi menghadirkan pula surga kota yang hilang dengan menyolek ruang publik yang mangkrak. Dari sinilah kemudian dapat dimaklumi mengapa dari sekian walikota hanya Jokowi yang mempunyai karir yang gemilang dan memperoleh tepuk tangan begitu riuh dari warga karena ia sadar sejarah.

Belum lama ini, topik yang paling hangat di Kota Bengawan adalah rencana Pemkot Solo mengadakan bus tingkat untuk wisata kota. Pemkot ngotot dengan proyek ini walau DPRD Solo menolaknya. Alokasi anggaran yang semula Rp 4 miliar, dicukur menjadi Rp 2 miliar, tak bikin Pemkot mundur selangkah pun. Pemotongan anggaran dan perubahan desain bus wisata itu, dilatarbelakangi kondisi sarana prasarana jalan dan kondisi lalu lintas yang tidak mendukung. Selain itu, soal pemeliharaan bus yang bakal merogoh kocek yang tidak sedikit. Kemudian terkait pula dengan ketentuan tarif, rute dan hal-hal lainnya.

Sikap Pemkot ini apabila dipandang lewat kacamata sejarah lokal, merupakan sikap yang ahistoris alias tidak paham sejarah. Memang, di Solo di era 1980-an pernah hidup ”bus tumpuk” dengan rute Palur-Kartasura. Tapi yang musti diingat, pengadaan bus tingkat ini adalah rekayasa Ibu Tien Suharto (alm) yang tidak segaris dengan gagasan masyarakat yang kala itu mengharapkan transportasi tradisional asli Solo seperti andong atau dokar, lebih layak diprioritaskan biar lestari.

Solo kota kedua setelah Jakarta yang mempunyai bus berbentuk menyerupai kue lapis itu. Ini merupakan hal wajar karena Solo salah satu ”anak emas” Orde Baru. Mulailah masyarakat menggerutu. Tapi apa daya, banyak yang sia-sia menentang segala kebijakan yang diterapkan oleh rezim yang otoriter ini yang implementasinya memakan korban heritage dan kearifan lokal. Pada tahun 1987 jumlah bis tingkat ada 30 buah dengan biaya perawatan bis tingkat terbilang mahal dan semua komponen harus impor dari luar negeri.

Lantaran masih sedikitnya angkutan umum di Solo waktu itu, bus tersebut sempat bikin warga jatuh hati, dan hingga sekarang pun masih terekam dalam memori karena jalannya seperti keong, tarif tak mencekik dan bisa dipakai untuk mengusir rasa sebal. Dengan duduk santai di atas, terlihat pohon-pohon rindang berbaris yang kadangkala menimbulkan suara akibat gesekan dengan badan bus. Badai krisis ekonomi menerpa bumi Indonesia, berimbas pula pada kuantitas bus ini. Saking tak mampu bertahan dan persaingan moda transportasi kian pelik, buntutnya ”raksasa tumpuk” program Orde Baru itu gulung tikar.

Pemkot menjelaskan, bus wisata dengan model tingkat ini berbeda dengan bus pada umumnya. Pengadaan bus tersebut memang khusus untuk memberikan fasilitas kepada wisatawan yang hendak menikmati keindahan Solo. Darmaningtyas, pengamat transportasi yang terkemuka dalam esainya yang menantang ”Transportasi sebagai magnet pariwisata” menulis, sistem transportasi yang baik di suatu kota dapat menjadi magnet bagi datangnya wisatawan dari luar daerah atau bahkan luar negeri. Sistem transportasi yang dimaksudkan bukan sekadar sebagai sarana mobilitas selama wisata, tapi sistemnya itu sendiri. Dengan kata lain, orang datang ke suatu kota itu dengan tujuan ingin melongok sistem transportasinya, seperti yang terjadi di Bogota yang mengembangkan busway atau Tokyo dengan kereta api cepat.

Andong

Pemkot yang sejak awal mengusung slogan ”Solo’s Past is Solo’s Future”, kini semestinya juga mencari transportasi macam apa yang menjadi ciri khas Solo tempo doeloe, bukan malah memakai bus tingkat yang sebetulnya bagi turis itu hal biasa karena mudah ditemukan di luar negeri. Andong merupakan jenis alat transportasi lokal yang sepantasnya dibidik. Sekali dayung tiga pulau terlampaui, itulah peribahasa yang tepat apabila berhasil memanfaatkan andong sebagai sarana penunjang pariwisata.

Wisatawan tentunya berburu sesuatu yang unik manakala bepergian ke tempat lain. Andong hanya ditemukan di Solo dan Jogja. Dengan andong, maka para pelancong disuguhi keunikan dan bisa menikmati dari transportasi ini yang sulit ditemukan di daerahnya.

Kemudian, keberadaan andong sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang seharusnya diuri-uri, dewasa ini justru kian terpinggir dan jumlahnya menyusut, mendekati kepunahan. Sebab itulah, membidik transportasi yang digerakkan dengan kuda ini berarti Pemkot berusaha menjaga tanda kultural Kota Solo. Dan, kita tidak mau anak-cucu terbelalak melihat andong lantaran asing dengan transportasi nenek moyangnya.

Lebih jauh lagi, andong memuat filosofi Jawa. ”Alon-alon waton kelakon” akan kita rasakan di saat andong mengangkut tubuh kita melewati jalan raya. Andong bersama kusirnya banyak yang membudayakan tertib lalu lintas meski berkejaran dengan sang waktu. Kemudian, andong menghidangkan suatu interaksi antara manusia dan binatang (kuda) untuk saling mewujudkan kerjasama, yang dirumuskan oleh orang Jawa kuno dalam ungkapan ”urip lan nguripi”.

Dari penjelasan sejarah serta latar belakang di atas, tentunya kita bisa menilai bahwa penggunaan andong memang berfaedah besar ketimbang bus tingkat. Selanjutnya, kita hanya berharap semoga Pemkot lebih arif dalam mengambil keputusan tersebut dan mempertimbangkan potensi lokal yang telah ada agar lestari. Jika tetap ngotot, Pemkot secara tidak langsung mengingkari visi historis yang sesungguhnya masyarakat telah sepakat untuk selalu diusung dalam membangun Kota Solo.


(JOGLOSEMAR, 29 Des 2009)

Proyek Kultural Solo 2010

Bandung Mawardi

Ambisi Kota Solo untuk menjadi kota budaya terus direalisasikan dan disahkan melalui pelbagai agenda kebudayaan dari taraf lokal sampai taraf internasional. Kota Solo telah menebar sihir kultural dan memikat siapa saja untuk tak jemu memerkarakan pelbagai suguhan wacana dan praktik kebudayaan dalam acuan tradisi dan rumusan kontemporer. Kota Solo tak ingin sekadar tumbuh sebagai kota ekonomi, kota uang, kota mall, atau kota apartemen.

Antusiasme untuk menyemaikan Kota Solo tampak dari ancangan menghadapi 2010. Pemerintah Kota Solo sejak dini telah memikirkan suguhan-suguhan pada publik untuk mengesahkan diri sebagai pusat perhatian dari pelbagai penjuru negeri. Kota Solo ingin menjelma sebagai kota dengan martabat dan derajat dalam parameter kultural. Ancangan itu diwartakan dalam publikasi Calender of Cultural Event Solo 2010. Kalender ini menghimpun pelbagai agenda kultural dalam taraf besar dengan orientasi mampu memikat publik secara massif dan mencitrakan Solo agar semakin moncer.

Agenda-agenda besar untuk 2010 antara lain: Solo Karnaval, Seni Kampung Solo, Solo Batik Fashion, Solo Batik Carnival, Solo Keroncong Festival, Festival Keraton Sedunia, Mangkunegaran Perfoming Art, Keraton Art Festival, Solo International Perfoming Art, dan Solo International Ethnic Music. Penjadwalan sekian acara besar ini ditata dengan pelbagai pertimbangan untuk menjadi peristiwa mengesankan dan patut untuk dikenangkan. Jadwal memang ikut menentukan pencapaian target dan efek dalam guliran wacana sebab peristiwa-peristiwa besar itu melibatkan kerja sama dari pelbagai instansi dan individu.

Prioritas untuk agenda besar memang patut dijadikan bukti kesanggupan potensi kota untuk mewartakan dan memaknai diri. Acuan tradisi atau etnis tetap menjadi ciri dari ikhtiar mengonstruksi Kota Solo sebagai basis penting dalam wacana historis-kultural Jawa dan Nusantara. Kesadaran dan pengolahan kreatif terhadap seni tradisi atau nilai-nilai lokalitas memang jadi realisasi dari pemunculan identitas kultural tanpa harus tunduk dan luluh oleh arus besar modernitas. Pelbagai agenda kultural di Kota Solo selama ini mulai menampakkan kecenderungan untuk merawat atau menyemaikan tradisi dengan cara modern. Pemodernan dilakukan dalam manajemen dan pengemasan agar bisa menyapa publik dengan memikat.

Orientasi kultural kerap dilekatkan dalam pelbagai agenda untuk mendapati pengesahan kendati tak mungkin orinetasi itu secara utuh diciptakan. Lakon zaman mutakhir selalu meletakkan agenda-agenda kultural dalam ketegangan negara dan pasar. Negara dalam pamrih politik dan kultural menghendaki ada pola pelestarian dan pengembangan tradisi agar ada kontinuitas pewarisan nilai-nilai dalam acuan lokalitas. Negara mengambil peran dengan memberikan restu dalam bentuk kebijakan, pendanaan, dan rekomendasi pada pelbagai pihak untuk terlibat dalam menarasikan biografi kultural.

Peran negara itu kadang tampak sebagai perlakuan normatif sebab ada pamrih besar dalam realisasi agenda-agenda kultural. Pamrih itu diterjemahkan sebagai pencitraan diri dan pendapatan melalui perselingkuhan negara dan pasar. Perselingkuhan ini diistilahkan sebagai pariwisataisme. Pasar menjadi parameter untuk menentukan nilai dan efek secara ekonomi-politik dari agenda-agenda kultural.

Godaan pariwisataisme ini juga melekat dalam sekian agenda kultural di Kota Solo. Kehadiran publik dengan pendataan jumlah turis dan pengunjung lokal kerap menjadi kunci dari vonis keberhasilan suatu agenda kultural. Cara pikir ini lumrah terjadi karena terjadi kerancuan dalam pembedaan dan pemilahan kepentingan dari institusi di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan kemauan pelbagai pihak atas nama budaya atau pariwisata. Simbisosis mutualisme mungkin terjadi tapi efek politis dari perselingkuhan negara dan pasar kerap mengecoh alias melenakan kesadaran kritis.

Konstruksi Kota Solo 2010 dalam agenda-agenda kultural megesankan ada orientasi untuk mendapatkan tempat dalam sorotan internasional. Labelitas acara dengan kelas internasioanal kadang membuat publik takjub karena Solo dicitrakan seperti kota milik dunia. Ketakjuban itu kadang bercampur dengan keprihatinan bahwa Kota Solo mungkin habis energi untuk menjadi tuang rumah dan meladeni sekian agenda kultural internasional. Keterlenaan dengan kelas internasional mungkin memunculkan ketakdasadaran terhadap potensi-potensi lokal. Seniman-seniman lokal lumrah saja ketika merasa terabaikan dan sekian agenda kultural di kampung-kampung atau sudut kota tak mendapati perhatian secara proporsional.

Kondisi tak seimbang ini memerlukan pemikiran ulang agar dalam penentuang agenda-agenda kultural tidak terjebak dengan imaji dan kelas internasional. Sekian agenda kecil memang ikut dicantumkan dalam Calender of Cultural Event Solo 2010 tapi seperti jadi catatan kaki. Ketidakpekaan mungkin bakal menimbulkan ironi dan menjadikan publik perlu melakukan resistensi. Publik kadang ragu dan curiga terhadap Pemkot Solo dengan tanya: “Apakah Pemkot Solo memiliki data komplet mengenai aktivitas kesenian dan mengenali sosok-sosok seniman dan budayawan di Solo? Apakah Kota Solo ini mau dijadikan kota panggung karena riuh oleh acara seni pertunjukkan dan karnaval? Apakah Pemkot Solo mafhum bahwa pencitraan kota dengan sastra juga memiliki makna strategis?

Optimisme tentu menjadi modal untuk merealisasikan sekian agenda kultural di Kota Solo pada 2010. Kesadaran terhadap prioyek persemaian agenda kultural memang patut mendapati perhatian besar tanpa harus tergesa untuk menghitung hasil dalam bentuk duit atau citra. Kesadaran terbentuk dengan intensitas dalam warta kultural melalui institusi keluarga, sekolah, dinas pemerintahan, kampung, atau media massa cetak dan elektronik. Realisasi atas proyek kultural Kota Solo 2010 mesti terpahamkan sebagai ikhtiar konstruktif dan tidak terlena dalam hura-hura alias pesta hiburan. Begitu.



Dimuat di Kompas Jateng (3o November 2oo9)

Proyek Masyarakat Sopan

Bandung Mawardi

Negeri ini tumbuh dengan pelbagai fondasi lahir dan batin dalam rumusan ajaran-ajaran tradisi dan konstitusi. Tradisi itu disemaikan dan diwariskan sebagai strategi hidup dengan mendapati titik-titik sambungan dengan episode lalu dan proyeksi ke masa depan. Persemaian itu mengalami pertemuan dan pertempuran dengan tradisi-tradisi lain untuk menjelma tradisi baru atau justru kehancuran dan kematian. Persemaian tradisi pun mesti menghadapi kesadaran manusia modern untuk merumuskan konstitusi sebagai perangkat hidup kolektif dalam urusan politik, ekonomi, pendidikan, keluarga, agama, sosial, atau seni. Konstitusi itu mengandung kekuatan hukum dan ideologis untuk diterjemahkan secara tak permanen ketika harus bersentuhan atau bertabrakan dengan tradisi.

Pilihan dan perbedaan kekuatan mengikat dari ajaran-ajaran tradisi dan konstitusi menjadi sumber dari lakon pembentukan masyarakat sopan. Proyek masyarakat sopan ini memiliki alur panjang dalam episode-episode lama peradaban Nusantara dan mengalami perubahan atau pergeseran ketika Indonesia sebagai negara terbentuk dengan pelbagai konstitusi. Imajinasi masyarakat sopan pada masa lalu menjadi acuan untuk ikhtiar merawat ajaran-ajaran tradisi sesuai dengan klaim kultural ketimuran. Realisasi masyarakat sopan pada episode hari ini merupakan ramuan ganjil dari sekian referensi tanpa ada kemutlakan untuk menganggap sebagai Timur atau Barat.

Ketegangan dan perebutan klaim dalam pembentukan masyarakat sopan kentara pada masa Orde Baru. Tata krama dijadikan sebagai istilah baku untuk melakukan penertiban dan penyeragaman dari percampuran tata nilai kehidupan individual dan kolektif. Politik ikut ambil peran sebagai pengesahan dari proyek masyarakat sopan melalui jalur pendidikan, keluarga, pemerintahan, atau sosial. Tata krama diwartakan untuk menjadi anutan dalam pencitraan dan pengamalan nilai-nilai sesuai kodrat ketimuran, naluri demokrasi, pemberadaban negeri, afirmasi modernitas, atau persesuaian dengan normativitas etika globalisasi.

Proyek masyarakat sopan adalah pembentukan dan pemunculan legitimasi dalam pembenaran terhadap tindakan dan serapan nilai-nilai sesuai dengan kondisi zaman. Tata krama atau etika makan, bicara, berjalan, atau bertamu diajarkan dan “dipaksakan” pada publik untuk diterima sebagai kepentingan negara dan pasar. Negara merasa memiliki kepentingan dengan model penertiban ini sebagai penganut dari penertiban ideologi parta politik, penundukkan pendidikan emansipatif, perampokan hak-hak politik, penyensoran imajinasi, pelarangan seni, atau penindasan tradisi. Tata krama menjangkiti siapa saja seperti ketika harus menghapal dan mengamalkan nilai-nilai P-4 melalui penataran dan kontrol negara.

Publikasi buku pada masa Orde Baru bisa dijadikan representasi dari kegairahan publik merayakan proyek masyarakat sopan dengan pelbagai dalil dan orientasi. Buku-buku dari pemerintah memang sengaja mengandung muatan ideologis dengan kekuatan imperatif agar publik menerima alias tidak membantah demi stabilitas politik dan kemapanan alur kekuasaan. Buku-buku di luar jalur pemerintah juga memiliki pengaruh besar untuk mengonstruksi rumusan tata krama dengan aroma tradisi, agama, filsafat, atau politik dalam tarikan sumber Timur dan Barat.

Kuraesin dalam buku Masyarakat Sopan (1968) dengan eksplisit menjelaskan bahwa materi dalam buku itu dimaksudkan untuk memberi bekal pada para remaja agar bisa menjadi anggota masyarakat sopan. Pemahaman dan afirmasi terhadap tata krama membuat orang aman dalam pergaulan sosial. Tata krama mesti dipelajari secara formal dan informal untuk menemukan identifikasi diri dalam kolektivitas. Dalil ini diterjemahkan melalui suguhan materi mengenai tata krama berkenalan, makan, pergaulan di tempat umum, persahabatan, pacaran, menelpon, dan berpakaian. Materi-materi ini dimadukan untuk membekali para remaja agar bisa menjadi manusia sopan dalam masyarakat sopan. Tata krama dalam konklusi Kuraesin selalu terkait dengan akal sehat untuk menjadi manusia. Buku ini memiliki peran penting dalam proyek masyarakat sopan karena suguhan materi dan pengesahan negara dengan pencantuman label: “Milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak Diperdagangkan.”

Gagasan dan proyek masyarakat sopan secara massif dirayakan oleh publik dengan kesadaran bahwa negara melakukan intervensi dengan pamrih ketertiban dan stabilitas. Tata krama jadi penting untuk mereduksi atau mengantisipasi benih-benih pemberontakan, resistensi, protes, kritik, atau suksesi pada masa Orde Baru. Penguasa dan para jajaran dengan intensif melakukan kampanye terbuka mengenai tata krama dengan iming-iming penghargaan atau perlindungan. Tata krama menjadi proyek untuk membuat manusia-manusia Indonesia jadi seragam karena kerap mengabaikan latar sosial-kultural. Tata krama dirumuskan dalam pembakuan terpusat dan abai terhadap pluralitas.

Tata krama dalam episode lanjutan dijadikan sebagai model penyaringan terhadap modernisasi alias westernisasi. Negara merasa perlu mengingatkan rakyat tentang ancaman dan risiko dari gempuran nilai-nilai Barat atau Amerikanisasi. Gempuran itu muncul dalam pelbagai bentuk dan memakai jalur-jalur strategis sehingga membuat negara kelimpungan. Penyelamatan publik menjadi misi penting untuk memberi kepastian bahwa stabilitas tidak terganggu dan kekuasaan masih aman dari rongrongan siapa saja. Ketakutan dan misi penyelamatan ini direpresentasikan dengan gairah negara mempromosikan tata krama demi pembangunan, persatuan dan kesatuan, dan nasionalisme.

Buku fenomenal mengenai proyek besar Orde Baru terbit dengan judul Tata Krama Pergaulan (1984) dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini lahir dari gagasan Nugroho Notosusanto selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan pengakuan: “... sudah sejak beberapa tahun terakhir ini saya merasakan, bahwa mulai banyak norma-norma tata krama sebagaimana yang dihayati dalam lingkungan beradab kita, yang dilanggar.” Kasus besar adalah cara berpakaian, cara duduk di tempat umum, dan cara bicara. Buku itu pun disebarkan dengan massif dan instruktif untuk mengajarkan pada siswa, mahasiswa, guru, dan dosen mengenai proyek masyarakat sopan dalam titel tata krama.

Sejarah dari proyek masyarakat sopan ala Orde Baru belum usai sampai hari ini. Negara masih meneruskan proyek itu dalam bahasa berbeda melalui pembuatan konstitusi. Publik tetap harus taat karena tata krama telah diterjemahakan dalam ranah hukum dan politik dengan sanksi. Proyek masyarakat sopan telah membuat publik merasa kehilangan otonomi sebagai manusia. Tata krama telah membuat orang-orang jadi lengah dengan nalar kritis. Kontinuitas dan perubahan sisah diidentifikasi karena publik direpotkan oleh definisi-definisi klise mengenai adat ketimuran atau tata krama ala negara.

Keributan kadang terjadi ketika negara melakukan sosialisasi atas produk undang-undang atau peraturan terkait dengan proyek masyarakat sopan. Pro dan kontra muncul sebagai cara tanggap publik terhadap nasib diri di dalam negara. Pengabaian terhadap substansi tata krama pun menimbulkan kericuhan karena elite politik kadang menunjukkan perilaku tanpa adab ketika mengurusi politik, hukum, ekonomi, pendidikan, atau instansi-instansi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Barangkali hari ini perlu ada rumusan mutakhir untuk menciptakan masyarakat sopan tanpa harus melukai, menodai, dan mematikan otonomi manusia di hadapan negara dan pasar. Begitu.



Dimuat di Koran Tempo (29 November 2oo9)

Suguhan Risiko Teater

Bandung Mawardi

Garapan teater dengan acuan cerpen mungkin menjadi prosedur untuk integrasi atau disintegrasi cerita. Klosed menghadirkan ambang batas pemaknaan karena ada keimanan terhadap cerpen dan ada tafsiran liar mengacu anutan konstruksi teater. Pementasan Malaikat Kakus oleh Klosed dari Solo dengan sutradara Sosiawan Leak menjadi bukti kerepotan untuk mengusung cerpen dalam olahan teater. Klosed dalam pementasan di Taman Budaya Jawa Tengah pada 26 November 2009 memang mencoba untuk tidak mutlak setia pada cerpen anggitan Triyanto Triwikromo itu tapi mengesankan ada kerja keras menampilkan sisi lain cerita dalam diskursus teater.

Suguhan awal membuat penonton merasai situasi penjara kendati kurang meneror. Lima aktor dalam formasi berjajar mengajukan prolog ekspresif dengan memainkan tong kecil bernomor ala tanda penghuni penjara untuk memunculkan efek musikalitas dan penguatan dari gerak tubuh dan tuturan ganjil: Assssb....Assssb....Assssb. Imajinasi penjara diimbuhi oleh teralis besi tergantung tinggi di atas panggung. Letak ini serasa menantang penonton untuk menggapai simbolisasi penjara. Penonton lekas dijelaskan oleh tuturan urut mengenai pintu masuk cerita persis dengan materi cerpen. Kesetiaan ini mungkin ingin menjadi pengikat untuk tidak lari jauh dalam eksplorasi tubuh, properti, dan tuturan cerita. Siasat ini sanggup membuat Klosed meminta perhatian penonton untuk menikmati kalimat-kalimat puitis tanpa dibebani lagak deklamasi. Para aktor menuturkan dengan enteng dan membuat perbedaan intonasi agar menebar sugesti.

Tiga pemain lelaki dan dua pemain perempuan lalu melakukan gerak tubuh ritmis dalam tempo cepat sebagai realisasi dari sensibilitas terhadap ruang dan minimalitas dekorasi. Tubuh jadi tumpuan untuk mengendalikan cerita atau melepas cerita agar tak mematikan fleksibilitas aktor merasai hadir atau tak hadir. Pengenaan kostum dengan pakaian kolor-longgar menjadi penentu untuk memunculkan impresi-impresi dalam batas kelumrahan dan pemicu dari proses mengimajinasikan cerita sesuai latar ruang dan waktu. Klosed dalam garapan tubuh dan aksesoris mengesankan ada ketaksetiaan karena tidak secara eksplisit mengabarkan diri sebagai para peghuni penjara. Pilihan ini mungkin dilakukan karena pertimbangan agar tubuh dan pakaian bisa mengatakan sesuatu secara elegan terkait dengan cerita atau meloloskan diri sebagai derivasi cerita.

Pemakain tong kecil membuktikan kecanggihan tafsir Klosed atas materi-materi dalam cerpen Malaikat Kakus. Benda ini bisa jadi corong untuk bicara, menjadi pot untuk menanam diri, wadah kotoran dan tubuh, menjelma ember, sandaran tubuh, atau representasi tubuh. Cerita berhamburan melalui kecerewetan pemain bebarengan dengan efek musikalitas tubuh dan properti. Model pengisahan ini membuat kalimat-kalimat pecahan dari cerpen terasa cair tapi kerap jadi tumpukan bahasa tanpa sempat dikonsumsi dengan kewajaran. Tempo cepat untuk memberi cerita membuat Klosed dalam ketergesaan membedakan diri ketika sadar tubuh teater atau diri sekadar sebagai saluran cerita.

Sekian penonton tampak murung dan bingung menerima serbuan kalimat dibarengi dengan eksplorasi tubuh pemain dalam eksplisitas tubuh lentur dan kaku. Dua aktor memiliki intensitas sebagai tubuh penari. Dua aktor memiliki kekuatan sebagai tubuh teater. Seorang pemain perempuan justru mendisiplinkan tubuh ala pembaca puisi. Percampuran dari perbedaan identitas tubuh dalam panggung menciptakan tubuh naratif dalam tegangan sastra atau kemauan teatrikal. Kepemilikan dan pengolahan tubuh dibarengi dengan tong kecil memicu garapan Klosed menjadi menegangkan dan berkeringat.

Kelincahan dalam mengatur posisi dalam formasi tertib kadang menimbulkan curiga mengenai kehendak menata cerita mesti urut dan mengandung kontinuitas. Risiko ini juga dipengaruhi oleh resepsi aktor terhadap pembacaan cerpen dan peralihan dalam naskah. Pengakuan aktor ketika dalam sesi latihan pada penulis mengindikasikan ada proses berat untuk mengafirmasi cerita dan menuturkan dalam teater. Para aktor memang suntuk memamah cerita tapi lekas mendapati beban makna sebelum mereka menghadirkan garapan teater sebagai sejenis produksi makna. Cerpen memiliki mekanisme produksi makna ketika dalam pergaulan intim dengan pembaca. Model ini tentu berbeda dengan garapan teater karena harus memiliki jalan lain ketika sadar melakukan produksi makna inklusif pada pergaulan dengan pelbagai elemen pementasan. Produksi makna masih jadi pekerjaan berat dalam durasi satu jam pementasan.

Garapan Malaikat Kakus ingin mengisahkan kehidupan bocah dan para penghuni penjara. Ulah jorok, nakal, bengis, naif, dan suci dicampuradukkan sebagai gambaran riil dari pengetahuan publik. Pengimajinasian teater membuat Klosed mesti mendistribusikan peran untuk menebar benih-benih makna pada penonton. Distribusi peran ini justru menunjukkan kisah-kisah seru dalam lingkungan penjara jadi tereksplisitkan: percumbuan, adu ejekan, kerja membersihkan rumput di halaman, pertemuan antara penghuni dan penjenguk, atau medium buang hajat. Tebaran adegan-adegan ini cukup mendekatkan penonton pada anutan realitas atau buaian imajinasi ala pengarang dan sutradara. Imajinasi atas iblis dan malaikat dalam kegelapan dan kesamaran kehidupan penjara pelan-pelan dihaturkan pada penonton.

Risiko integrasi dan disintegrasi mulai tampak ketika penonton perlahan mau meringis atau memberi tawa kecil terhadap jeda pembatas dan pembeda dari keketatan alur cerita dalam garapan. Aktor-aktor Klosed mencoba membuat adegan-adegan lucu dan seronok diimbuhi celotehan tak biasa untuk mengikat perhatian penonton terhadap cerita atau olah tubuh aktor. Cerita mungkin lekas mengalami disintegrasi karena aktor tampak kelelahan mengurusi tubuh. Integrasi cerita justru mungkin dirasakan ketika aktor menuturkan dengan sikap santai dan cuek atas kehadiran diri dalam teater. Kesetiaan terhadap cerpen jadi longgar. Tafsiran ini pun mesti dihadapkan pada modal resepsi penonton sebab tak semua telah membaca dulu cerpen Malaikat Kakus yang termuat dalam buku kumpulan cerpen Ular di Mangkuk Nabi (2009).

Leak sendiri dalam beberapa sesi latihan mengatakan ada risiko-risiko susah teratasi dalam menggarap Malaikat Kakus sebagai cerpen surealis. Pembacaan cerpen dalam ranah resepsi pembaca memang memungkinkan rumusan tafsir tak kelihatan. Prosedur transformasi dalam garapan teater membuat tafsiran itu mesti menjadi model untuk operasionalisasi produksi makna melalui aktor, properti, ilustrasi musik, dan permainan cahaya. Sutradara sejak awal ingin mencarikan titik temu dengan sekian elemen pertunjukkan tapi terus dihadapkan pada kesusahan dan sejenis keterpaksaan bergantung pada fakta-fakta pemain dan tim pentas.

Risiko-risiko itu kentara dalam sajian pentas Malaikat Kakus ketika ada usaha membuat benang merah-benang merah sebagai kompensasi dari kepercayaan sutradara bahwa setiap aktor sanggup menghaturkan cerita dan diri. Sutradara merangkap sebagai aktor juga mengesankan ada sistem kontrol atau penentu aba-aba untuk membuat cerita terus mengalir. Model instruktif dalam permainan memang kerap dilakukan oleh beberapa kelompok teater. Leak sebagai aktor justru tampak susah menempatkan diri dan kentara memiliki ketergantungan terhadap ritme dan pola dari empat aktor lain. Hal ini agak mengganggu dalam visualisasi dan percikan imajinasi atas kesanggupan tubuh aktor mengabarkan dan menyemaikan cerita.

Garapan Malaikat Kakus dari Klosed membuktikan bahwa relasi antara cerpen dan teater masih memiliki risiko estetika tak terelakkan. Leak sendiri mengakui mesti ada perbedaan membaca Malaikat Kakus sebagai cerpen dan garapan teater. Pengakuan ini lalu dibuktikan dengan pementasan meski repot tapi jadi kerja keras sutradara dan aktor untuk tak luluh mutlak terhadap cerpen. Pekerjaan ini menjadi sambungan dari cara Klosed menafsirkan sekian teks sastra pada masa dulu: Anak-anak Mengasah Pisau (Triyanto Triwikromo), Wajah sebuah Vagina (Naning Pranoto), dan Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari). Garapan Malaikat Kakus membuktikan ketekunan Klosed memberi tanggapan teater atas teks sastra. Ketekunan ini selalu mengandung risiko tapi Leak sebagai sutradara Klosed memiliki cara tafsir berbeda untuk menemukan formula secara integrasi atau disintegrasi antara teks sastra dan garapan teater. Begitukah?



Dimuat di Suara Merdeka (29 November 2oo9)